Baby Jinnie

Warning: bxb, mature content, older!nj, younger!sj, college student sj, blow job.

 

 

Namjoon tak pernah membayangkan selama 35 tahun hidupnya, tinggal bersama seorang remaja tanggung yang sangat pendiam. Putra dari seniornya yang bernama Seokjin itu tak begitu berisik untuk ukuran anak usia akhir belasan yang menduduki bangku perkuliahan. Di musim gugur ketika udara semakin mendingin, seniornya datang berkunjung bersama sang istri. Wajah keduanya yang gelisah dan menampakkan raut ‘maaf merepotkan’ ketika menjelaskan maksud kedatangannya sempat membuat Namjoon khawatir.

 

Dia sedikit tak suka pada remaja yang pernah ditemuinya yang selalu berisik dan sok. Ingin menolak permintaan tolong sang senior, tetapi dia bahkan belum sempat membalas budi atas pertolongan seniornya dua tahun lalu ketika dia terjebak dan harus berurusan dengan hukum. Seniornya dengan tekun membuatnya terbebas dari tuntutan. Dan mungkin sekarang saatnya dia membalas hal itu. Menjaga putra mereka yang terlanjur keras kepala memilih kampus di negara ini sementara kedua orang tuanya harus pindah dinas ke negeri seberang.

 

Dia siap pada kemungkinan rumahnya akan berisik oleh keluhan dan benda berserakan khas anak remaja yang sibuk dibombardir tugas. Tetapi ketika pemuda itu diantar sang ayah ke rumahnya, Namjoon tak mendapati perangai buruk dari pemuda itu. Rambutnya lurus dan sedikit panjang diikat man bun ditambah kacamata yang membingkai matanya.

 

Namjoon sempat terpesona oleh senyumannya ketika dia memperkenalkan diri. “Saya Seokjin, Kim Seokjin. Seorang mahasiswa tahun ke-2. Mohon bantuannya, om.” dia membungkuk sopan dan suaranya begitu halus ketika berbicara. Namjoon mengantarnya ke kamar yang akan ditempati Seokjin setelah bertukar nomor telepon.

 

##

“Om, apakah anda menerapkan jam malam?”

 

Namjoon menatap Seokjin di depannya ketika mereka sarapan pagi. Mengamati sejenak bagaimana tubuhnya begitu tegap ketika duduk dan makan. “Kamu mau ada jam malam?”

 

“Eumm…saya bertanya barangkali om menetapkan jam malam untuk saya. Bukan berarti saya mau ada jam malam. Saya sering mengerjakan tugas di luar dan lembur hingga tengah malam. Takutnya om sudah istirahat dan tak bisa diganggu ketika saya pulang larut–”

 

“Kamu akan saya beri kode apartemen ini dan bebas pulang pukul berapapun asal itu berhubungan dengan tugas.” Potong Namjoon seraya menatap pada mata Seokjin yang alpa kacamata. “Jelas?”

 

“Maaf om, saya kurang suka ketika saya bicara tapi disela. Tapi, terima kasih karema mempercayakan kode apartemen anda ke saya.”

 

Noted.” Gumam Namjoon lirih. “Kamu harus memilikinya, saya sering dinas ke luar kota, dan tak mungkin kamu menunggu saya.”

 

“Baik, dimengerti om.” Pemuda itu mengusak rambutnya yang menghalangi pandangan.

 

“Kamu punya kendaraan untuk ke kampus?”

 

“Punya, nanti akan saya ambil dari rumah sepupu saya. Kemarin ayah tak mengizinkan saya mengendarai motor sendiri ke sini.”

 

“Motor? Kamu pakai motor untuk ke kampus?”

 

“Iya, om. Apakah tidak ada parkiran motor di sini?”

 

“Tidak. Dan sebaiknya kita diskusikan lagi perihal kendaraan ini. Kamu akan saya antar untuk sementara waktu. Motormu biar di rumah sepupumu dulu.”

 

“Tapi om, saya butuh itu untuk kemudahan saya nugas kesana-sini.” Ekspresi pemuda itu sedikit terganggu.

 

“Kamu bisa mengendarai mobil?”

 

Seokjin mengernyit sedikit tak nyaman karena menebak arah pembicaraan mereka “bisa.”

 

“Pakai salah satu mobil saya. Kamu bisa memakainya dulu.”

 

“Tidak usah, om. Terima kasih. Saya kurang suka mengendarai mobil sendiri.”

 

“Yasudah terserah kamu.” Namjoon beranjak seraya mengambil infused water yang dibuatkan asisten rumah tangganya. “Tapi hari ini saya antar dan pulangnya nanti saya minta sopir saya menjemput kamu. Chat saja kalau kegiatanmu sudah selesai.”

 

“Iya, om. Terima kasih.”

 

Sepanjang pengamatan Namjoon, Seokjin itu rapi, terstruktur, praktis dan ringkas. Dia akan memilih jalan manapun yang menurutnya praktis dan simpel. Dia juga menyusun jadwal hariannya ketika sedang hari kerja. Menyusun piring dan gelas ketika mereka selesai makan. Seolah secara otomatis pemuda itu akan merapikan hal-hal yang menurutnya berantakan. Termasuk rak sepatu yang sering Namjoon senggol ketika akan keluar.

 

Dia setuju untuk memakai mobil Namjoon setelah bertanya pada ayahnya melalui telepon. Menitipkan motornya di rumah sang sepupu yang sama sekali tak keberatan. Seokjin lebih sering mengurung diri setelah malam menjelang dan jarang menghabiskan waktu di ruang televisi. Namun, dia juga berinteraksi dengan Namjoon dengan sapaan hangat.

 

Sesekali saat hari libur atau weekend, pemuda itu berada di ruang televisi Namjoon dengan sepiring hidangan yang dibuatnya sendiri. Namjoon hanya mengoleksi buah-buahan dan camilan dari minimarket. Bukan kukis beraroma mentega yang selalu menemani Seokjin menonton serial. Dia bukan penggemar makanan manis, jadi tak begitu berminat ketika ditawari.

 

Dia juga akan menemukan Seokjin bersantai di balkon tanpa melakukan apapun. Hanya duduk di kursi yang memang Namjoon sediakan untuk melepas penat. Memejamkan mata sambil menikmati terpaan semilir angin yang menerbangkan beberapa helaian hitam lembut milik pemuda itu. Namjoon ingin menghampiri, namun takut mengganggu waktu tenang Seokjin. Dia menjadi sungkan di rumahnya sendiri.

 

Suatu malam di penghujung Oktober, Namjoon membawa wanita saat pulang dari klub. Seokjin yang membukakan pintu karena bunyi bel apartemen sangat mengganggunya yang sedang fokus menghafal. Mempersilahkan dua orang dewasa yang sedang berada diambang batas kesadaran. Menunjukkan letak kamar tamu pada wanita berpakaian minim itu dan kembali pada kegiatannya.

 

Seketika menyesal karena beberapa saat setelahnya, suara-suara mulai membuyarkan konsentrasinya. Mengumpat berkali-kali karena kesulitan fokus kembali walau sudah menyumpal telinga dengan earphone dan memutar lagu dengan volume maksimal. Seokjin memutuskan keluar dari unit apartemen Namjoon dan bermalam di kafe internet yang buka 24 jam. Bercengkrama semalam suntuk dengan kenalan barunya yang memperkenalkannya pada digital drawing.

 

Ketika kembali pada pukul 4 pagi, dia dikejutkan dengan presensi Namjoon yang duduk di sofa. Pria itu menatap lekat Seokjin yang melangkah memasuki rumahnya setelah mengganti sepatu ke sandal rumahan.

“Darimana?” Tanyanya dengan suara dalam yang sedikit mengejutkan Seokjin.

 

Pemuda itu menghela nafas. “Kafe internet.”

 

“Sampai pulang pagi begini?”

 

“Saya kehilangan konsentrasi karena suara om dan wanita kemarin. Jadi, saya keluar agar bisa menghafal materi kuliah saya.” Jelasnya tenang.

 

Giliran Namjoon yang menghela nafas lelah. “Maafkan saya. Lain kali saya tidak akan membawanya ke rumah.”

 

“Iya, om. Saya mau ke kamar dulu.” Pamitnya setelah membungkuk sesaat.

 

Namjoon tidak menepati omongannya sendiri. Pria itu beberapa kali masih membawa wanita ke apartmennya. Membuat Seokjin berkali-kali pula bermalam di kafe internet. Atau bermalam di apartemen kawannya yang tak jauh dari hunian Namjoon. Berkali-kali meminta maaf, namun berkali-kali pula melakukannya lagi. Seokjin agaknya sudah muak dengan permintaan maaf Namjoon.

 

Dia ingin pindah, namun tidak diizinkan ayahnya dan Namjoon. Waktu menelepon sang ayah dan meminta untuk keluar dari apartemen Namjoon dengan alasan dia mengganggu waktu pribadi pria itu, Namjoon dengan tidak sopan malah merebut ponselnya. Membuat Seokjin berang dan mendiamkan Namjoon selama beberapa waktu.

 

“Seokjin…” Namjoon mengetuk pintu pemuda itu sejak lima menit lalu dan masih tak mendapat sahutan. Dia ingin meminta maaf atas kelancangannya dan ketidaksopanannya tempo hari, namun Seokjin masih mendiamkannya. Dia hanya tak ingin Seokjin pergi dan apartemen menjadi sunyi tanpa lalu lalang pemuda itu yang selalu membuat segalanya rapi. “Janji, kemarin yang terakhir. Saya tidak akan bawa dia lagi ke sini.” Tak ada sahutan, dan Namjoon menyerah.

Susah sekali menghadapi Seokjin. Pemuda lurus yang sangat terorganisir itu sulit dibujuk. Sepertinya dia membuat kesalahan besar. Mungkin Seokjin sudah muak padanya, apalagi ketidaksopanannya kemarin. “Maafkan saya bersikap tidak sopan kemarin.”

Dan pria itu berbalik menuju kamarnya karena tak mendapat respon.

 

****

Seokjin seolah semakin jauh semenjak kejadian Namjoon dan para wanitanya. Jika sebelumnya pemuda itu berinteraksi dengan hangat pada Namjoon, akhir-akhir ini tak didapatinya nada itu. Pemuda itu menanggapinya dengan nada lurus walau berbicara banyak. Menanggapi setiap ucapan Namjoon dan berdiskusi bersama perihal berita di televisi, namun tak ada nada keakraban yang berusaha dipupuk. Sungguh membuat Namjoon gelisah. Dia harus selalu berhati-hati ketika berbicara dengan pemuda itu.

 

“Bibi Miran, apakah ada kain pel?” Namjoon mendongak dari berita harian yang dibacanya di tablet. Presensi pemuda berbalut sweatshirt dan celana jogger tertangkap netra naganya. Mempertanyakan mengapa pemuda itu butuh kain pel, padahal nantinya lantai akan dibersihkan oleh assisten rumah tangga.

 

“Ada di lemari sapu, tuan. Untuk apa? Mau saya ambilkan?”

 

Seokjin menggeleng. “Biar saya ambil sendiri. Saya menumpahkan sesuatu pagi ini. Dan saya yang akan mengurusnya sendiri.”

 

Ketika Seokjin kembali dengan ember kecil dan kain pel, Namjoon menjadi penasaran. Dia menyusul pemuda itu. Dia mengetuk pintu kamar yang sedikit terbuka itu dan dipersilahkan masuk oleh Seokjin.

 

“Kamu menumpahkan apa sepagi ini?” Namjoon ajukan kuriositas ketika yang bersangkutan berjongkok membersihkan lantai.

 

“Heumm…sperma.” Namjoon membelalak, sama sekali tak memprediksi jawaban itu. Karena tak ada sahutan, Seokjin terkekeh. “Kadang di masa puber ini saya mimpi sangat erotis dan berakhir memuaskan diri sendiri ketika bangun. Saya tertidur di kasur lantai kemarin malam, saat bangun saya terlanjur dikuasai hasrat, sampai mengabaikan bahwasanya ada kamar mandi di dalam kamar ini. Terbiasa dengan rumah lama yang kamar mandinya berada di luar.” Ocehnya yang membuat Namjoon terdiam, tak tahu harus menimpali apa.

 

Seokjin membawa ember dan kain ke arah kamar mandi dalam kamar. Meninggalkan Namjoon yang termenung di sisi lemari. “Om mau berdiri di sana terus? Saya mau menyelesaikan urusan saya lagi om, malu kalau om masih di sini dan mendengarkan saya.”

 

Lagi-lagi Namjoon hampir tersedak. Seokjin terlalu terang-terangan. “Mau dibantu?” Namjoon merutuki mulutnya yang berujar tanpa filter. Mengamati wajah Seokjin yang balas menatap dengan menantang.

 

“Om straight. Dan saya bisa sendiri kok.”

 

Namjoon terkekeh. “Dengan tanganmu sendiri? Apa puas?”

 

“Mmm…saya punya dildo dan vibrator, tentu saja saya puas.”

 

“Dildo tak bisa menandingi milik saya.” Namjoon mengucapkannya dengan mendekat pada telinga yang termuda. Berbisik dengan suara serak dan begitu rendah. Membuat Seokjin memejamkan mata menikmatinya. “Saya bisexual, omong-omong.”

 

Seokjin tersenyum, mendekatkan telapak tangannya ke dada berbalut jas kantor yang begitu pas membalut tubuh tegap Namjoon. Meremasnya sensual. “Boleh pegang sebentar milik om?” Namjoon menggeram ketika telapak kurus itu turun ke perutnya, memeta berkali-kali.

 

“Boleh. Silahkan saja, kamu pasti suka.” Entah sejak kapan sexual tension diantara mereka menjadi begitu membumbung tinggi. Mengantar rasa panas ke seluruh tubuh. “Mmhh..hh..” begitu tangan itu membelai selangkangannya dengan pelan, Namjoon menggeram. Pun ketika dia meremasnya, semakin membuat Namjoon frustrasi.

 

“Mmm…besar. It must be so tasty.” Sialan, Namjoon benar-benar akan menggigit pemuda di depannya. “It sausage right?” Namjoon menaikkan sebelah alisnya saat Seokjin mendongak menatapnya. “My breakfast.”

 

Fuck!

 

Pandangan Namjoon menggelap. Menempelkan dahi ke dahi Seokjin yang menatapnya dengan binar mengagumkan, Namjoon memejam menikmati harum Seokjin. “Kamu mengijinkan saya menggauli kamu?”

 

“Heumm….” Seolah ingin menyiksa Namjoon, Seokjin tak juga menjawab. “Tidak hari ini, om.” Namjoon mendesah kecewa. Gairahnya yang membumbung tinggi seolah bukan apa-apa bagi Seokjin. “Tapi…saya mau sosis ini.” Diremas sekali lagi, Namjoon menggeram.

 

Do whatever you want, baby.” Sedikit terkejut ketika yang termuda mendorongnya hingga duduk di ranjang, Namjoon menguasai dirinya kembali. Memperhatikan Seokjin yang berlutut di depannya, membuka ikat pinggang dengan telaten dengan pandangan sesekali ke mata Namjoon. Menurunkan ritsleting dan menarik turun celana kerja Namjoon beserta celana dalamnya, hingga menyisakan kejantanannya yang teracung tegak.

 

“Can I have this as my breakfast?” Puppy eyes yang ditujukan padanya membuatnya gila.

 

“Of course. You can have it, baby Jinnie.” Mengusak sesaat rambut halus Seokjin sebelum sang pemuda melahap miliknya ke mulut dengan bibir penuh yang begitu menggoda.

 

###

 

Leave a Comment

Item added to cart.
0 items - Rp 0
Beranda
Cari
Bayar
Order