- Jung Wooyoung as Lucien Aumont
- Choi San as Julian Castellane
Cast yang lain bebas sesuai imajinasi masing — masing ^^
(inspired by : King of Scars)
———————————————————————-
“Haaaahhhhh….”, helaan nafas panjang kembali keluar dari Lucien, Raja Ursinia. Lembar demi lembar surat protes berisi ultimatum kerap dikirimkan ke istana.
“Rakyat kelaparan,”
“Ternak — ternak mati semua,”
“Tanah kebun menjadi tandus,”
“Bunuh monster itu.”
Kurang lebih begitulah isi dari surat yang harus dibalasnya satu persatu dengan janji — janji yang, sungguh, ia sendiri pun tak yakin dapat memenuhinya.
Namun apalah yang bisa dilakukan seorang raja di tengah krisis, selain meminimalisir kepanikan sambil terus mencari solusi yang mungkin dilakukan.
Ah, ya. Monster.
Sudah dua tahun lamanya, sejak mahluk raksasa dengan sayap seperti naga dan tubuh sepanjang ular dan empat kaki berkuku tajam itu menghantui kerajaan Ursinia.
Dua tahun pula lamanya, sejak penasihat kerajaan — penasihat sang Ayah, yang kala itu masih menjabat sebagai raja — menghianatinya, membunuh hampir seluruh penghuni istana — termasuk ayah dan ibu Lucien — dan menyebabkan pria dua puluh empat tahun itu harus memikul beban satu negara di pundaknya.
Terima kasih kepada Julian, putra kedua keluarga Castellane, Jendral pasukan pertahanan lini pertama sekaligus teman masa kecil Lucien.
Peta bintang kelahiran mereka berada pada garis antariksa yang sama, membuat satu sama lain terikat oleh benang hayal yang lebih kuat dari darah.
Takdir mereka bersinggungan, sejak awal keduanya melihat dunia.
Maka saat Lucien dalam bahaya, Julian dapat merasakannya dan segera menghampirinya, melindunginya dengan ayunan pedang ganda yang amat lihai digunakannya, bagai penari yang tak pernah meleset untuk menemukan ritme musiknya.
Sedikit mereka ketahui, bahwa pertarungan satu lawan satu antara Lucien dan si penghianat pengguna sihir gelap itu nyatanya meninggalkan satu hal yang membuat percabangan baru pada garis hidup keduanya.
“Dengan segala hormat, yang mulia, saya rasa benar bahwa tidak ada cara lain. Bunuh monster itu,” Julian mengutarakan opininya di ruang rapat hari itu.
Seakan suaranya tak terdengar, Sang Raja justru mencetuskan ide lain,
“Bagaimana kemajuan riset tanah yang kuajukan bulan lalu ? apa ada kemajuan ? kurasa soal ternak yang mati pun akan terselesaikan asal mereka diberi pakan dari tanah yang subur. Lalu soal pertahanan, perkuat lagi pasukan kedua, rekrut anak laki — laki di atas delapan belas tahun yang cukup sehat, lindungi rakyat — “
“Kita baru saja kehilangan dua ratus prajurit pasukan kedua dari terakhir kali monster itu menyerang, yang mulia. Saya rasa tidak ada yang mau mendaftar — “
“Beri intensif yang besar — “
“Satu — satunya cara hanyalah dengan membunuh monster itu — “
“Oh, demi Tuhan, DIAMLAH, JULIAN !” Lucien menggebrak meja, napasnya terengah.
Ia sapukan kasar jarinya pada surai warna gandanya, frustrasi.
“Aku rajanya. Ini negaraku, dan mereka rakyatku. Kau berani meragukan keputusan yang ku ambil untuk mereka ?” ujarnya tegas. Semua jiwa yang berada di ruangan itu menahan napasnya, terlampau takut untuk menanggapi.
Sementara itu, Julian tetap tak gentar, “Saya percaya anda raja yang baik. Saya percaya anda mencintai negara dan rakyat anda lebih dari apapun, dan karena itulah saya percaya anda sanggup mengambil keputusan logis yang terbaik tanpa terbawa emosi pribadi anda. Bunuh monsternya, yang mulia,”
Ia tarik nafasnya dalam — dalam,
“Bunuh saya.”
Cukup. Julian tak akan mengalah, dan Lucien tahu itu. Maka dengan satu perintah final, ia akhiri pertemuan sore itu untuk bergegas keluar dari sana.
“Kau gila. Kita semua butuh istirahat. Rapat hari ini aku tutup.” ujarnya. Dengan langkah — langkah besar, ia menjauhi bangku tempatnya duduk tadi, membuka pintu aula istana untuk keluar, kembali menuju kamarnya sendiri. Tanpa ada suara lain, tanpa ada tuntutan dari siapapun.
Sungguh, Lucien tak pernah keberatan harus mengemban jabatan ini di usia muda. Yang ada justru ia senang bisa secara langsung mendengar keluhan rakyatnya, memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya demi membangun negeri yang lebih indah untuk orang — orangnya.
Banyak sekali hal ia kerahkan. Waktu, tenanga, keringat, bahkan kekayaan pribadinya ia gunakan untuk membangun fasilitas pendidikan untuk anak — anak.
Lucien sama sekali bukan raja yang buruk, malah ia seorang yang amat cerdas dan tak pernah kehabisan akal untuk keluar dari masalah.
Begitulah, sampai masalah itu berhubungan dengan Julian.
Jenderalnya, sahabatnya.
Separuh bagian dari jiwanya.
Ia mengerti, bahwa saat penyihir sialan itu menanamkan entah racun apa dalam diri Julian, sebagian dari dirinya pun ikut berubah. Matanya memerah, nadinya menghitam, dan helai demi helai rambut di kepalanya pun turut berubah, memberi semburat hitam diantara kuning warna aslinya.
Seandainya hanya itu saja, ia tak masalah. Ia lebih dari siap menerima perubahan aneh pada dirinya. Menjadi benda apapun bersama Julian, walau bukan lagi manusia, namun rupanya mantra itu lebih jahat dari perkiraannya.
Tiap malam saat bulan berada pada fase tiga per empat nya, jendralnya berubah total menjadi mahluk raksasa tak berakal yang merusak apapun yang dilihatnya. Membunuh hewan dan manusia, teman maupun bukan, dan bahkan dengan Julian yang seperti itu pun, Lucien tak akan ragu menyembunyikannya. Melindunginya tiap malam ia hendak berubah, berusaha meminimalisir kerusakan yang akan dibuatnya, kalau saja hal itu tidak menyangkut rakyatnya.
Kini, Lucien terbagi antara tanggung jawabnya sebagai raja untuk rakyatnya dan pemimpin untuk jendralnya. Hatinya terbagi antara melindungi orang — orangnya, atau satu nyawa api kembarnya.
Di tengah lamunannya, ia mendengar jendelanya dilempari kerikil. Julian.
Tak lagi mengenakan seragamnya, hanya kemeja putih yang dipadukan dengan celana kain dan suspender. Dua pedang kayu di tangannya.
“Mau berlatih, Luc ?” tawarnya saat Lucien membuka jendelanya. Ia mengangguk, lalu segera menghampirinya.
Luc. Panggilan akrab dari Julian untuknya. Dia menggunakan panggilan itu, yang berarti tak ada bahasan serius mengenai negara atau monster. Hanya dirinya dan pedang di tangannya, dan Lucien benar — benar membutuhkan distraksi itu.
“Kapan sejak terakhir kau melawanku, Jules ? yakin bisa menang ?” godanya,
“Kita lihat saja,” Julian melemparkan salah satu pedang kayu itu ke Lucien, dan dengan sigap keduanya langsung memasang kuda — kuda.
Memang sejak remaja, baik Lucien maupun Julian menerima pelatihan yang sama, bahkan hingga turun ke lapangan, ke peperangan langsung.
Keduanya bahkan sempat membuat tato dengan bunyi yang sama, Amicus Ad Aras — Teman Hingga Altar, sebelum keberangkatan mereka, kalau — kalau tak ada yang bisa kembali pulang.
Tentu saja keduanya selamat, sebagai salah satu prajurit pengguna pedang terbaik di Ursinia. Dan saat mereka berlatih tarung sekarang pun, sungguh tak ada perbedaan kekuatan yang jauh. Julian yang diuntungkan dengan langkah besar yang diambilnya, dan Lucien dengan kelincahan dan refleknya yang baik.
Dan lagi — lagi, pertandingan berakhir seri. Keduanya terengah, berbaring telentang di atas rumput lapangan istana.
“Kukira semua pikiran politik itu sudah menghilangkan kemampuan berpedangmu,” Julian menoleh, menunjukkan gigi taring dan lesung pipinya.
“Jangan remehkan seorang raja, Jules,” jawabnya.
Lalu Julian berdiri lagi, dan kembali menantangnya dalam babak kedua.
“Lagi,”
“Hey, berapa kalipun kau minta ulang, hasilnya akan sama — “
“Lagi, dan kali ini, dengarkan aku jika aku menang,” lanjut Julian. Tak ada sedikit pun humor dalam intonasi suaranya kali ini, dan tanpa diberitahu pun Lucien paham apa yang diimplikasikannya.
“Takut, yang mulia ?” tantangnya kala Lucien terlihat ragu.
Lucien menarik nafasnya, lantas berdiri menyusul Julian. Kali ini, ia serius. Pertarungan hidup dan mati. Ia ulang seluruh pelajaran bela diri yang pernah dterimanya. Kuda — kuda yang baik, teknik mengayun pedang, segalanya.
Ia tak ingin kehilangan Juliannya.
Dan kini, keduanya bergerak dengan lincah, mengayunkan pedang masing — masing. Menari dengan langkah kaki yang hampir sama.
Sedikit Lucien tahu, bahwa selama ini Julian menahan diri untuk tidak mengalahkannya. Toh, sepandai apapun sang raja dalam menggunakan senjata di tangannya, tentu tak sebanding dengan si pedang ganda legendaris, jendral pasukan pertama.
Maka tak butuh waktu lama untuk Julian emojokkan Lucien di tanah. Menindihnya selagi menodongkan mata pedang kayu itu di atas lehernya.
Dan betapa terkejutnya Lucien, saat Jendralnya itu berkata, “Aku menang, yang mulia,”
Lalu tak lama perasaan itu berubah menjadi panik, dan pahit memenuhi tenggorokannya.
Karena ia tahu betul, apa yang akan diminta sahabatnya itu.
Julian pindah untuk duduk di sampingnya.
“Dengarkan aku, Luc”
“Tidak,”
“Kau sudah janji,”
“Tidak,”
“Lucien.”
Dan air matanya pun meleleh. Air mata yang tak pernah sekalipun ditunjukkannya entah pada rakyatnya atau pegawai istana, karena apalah artinya seorang raja yang terlihat lemah di depan subjeknya ?
Namun kini, ia tak bisa.
Sesak. Hatinya terlalu sesak, dan matanya terlalu panas.
“Kau paham betul, tak ada lagi jalan keluar selain ini.” Julian menghela nafas berat,
“Kau hanya menunda hal yang tak terelakkan. Cepat atau lambat, akhirnya akan begini. Akhiri mahluk itu, sebelum dia — aku, membuat kerusakan lebih jauh,” jelasnya, sebelum menarik pergelangan tangan Lucien, tepat dimana nadinya mulai menghitam,
“Sebelum kau ikut rusak karenaku,”
Ya. Ia paham. Ia terlampau mengerti bahwa memang tak ada jalan lain, tak ada solusi lain untuk mengakhiri penderitaan negaranya.
Ia mengerti bahwa hidup orang — orangnya tergantung pada dirinya, namun bagaimana ia bisa hidup kalau harus merenggut nyawa Julian dengan kedua tangannya ?
“Kau tahu, kau bisa melimpahkan tugas ini pada orang lain. Francis, misalnya. Dia cukup kuat untuk melawanku dalam duel. Atau Claude, dari pasukan kedua. Badannya kuat, aku yakin dia bisa — “
“Tidak.”
Lucien memejamkan matanya erat — erat.
“Biar aku saja. Biarkan tanganku kotor atas dosa ini. Agar saat orang — orang mengelukan keberhasilanku sebagai raja yang menyelamatkan negaranya, aku tidak lupa akan dosaku sebagai seorang pria biasa yang merenggut nyawa teman sehidup sematinya,” jelasnya.
Hening.
Mereka hanya diam disana untuk beberapa saat, mencerna kenyataan atas kejamnya semesta pada keduanya.
“Akan kutunjukkan bagaimana rupa surga, nanti,” canda Julian.
Sialan. Bisa — bisanya dia bercanda, batin Lucien.
Ia tertawa sarkas, “Yakin sekali kau akan masuk surga ?”
“Positif. Saat ditanya malaikat, aku akan bilang ‘Hamba meninggalkan dunia sebagai seorang martir yang menyelamatkan suatu negara’” dan keduanya tertawa. Tawa yang cukup lama tidak terdengar dari keduanya, ditengah hiruk pikuk masalah yang kerap dihadapkan pada mereka.
“Aku titipkan Camille padamu. Aku tidak paham alasannya, tapi kurasa sudah bertahun — tahun kakakku itu menyimpan perasaan untukmu. Jaga dia baik — baik saat aku tidak ada,” pinta Julian.
Lucien mengangguk, “Ada lagi ?”
“Makam ibu. Bawakan ia bunga tiap hari sabtu. Kau tahu, bunga ungu yang tumbuh di bukit belakang,”
Lucien mengangguk lagi, air matanya semakin deras.
“Ada lagi ?”
“Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Kau hanya melakukan apa yang harus kau lakukan sebagai raja.” jawabnya,
“Dan ingat aku sebagai bocah ingusan yang menyebalkan. Dengan begitu, akan lebih mudah bagimu untuk tidak merindukanku,” Julian menambahkan.
Lucien berbalik badan memunggungi Julian. Ayolah, kenapa air matanya tak mau berhenti. Julian pasti akan meledeknya nanti kalau ketahuan bahwa matanya bengkak.
“Terakhir, jangan lagi menangis seperti sekarang. Kau jelek,”
Kau lebih jelek, bodoh. Julian bodoh.
Malam itu pun tiba. Malam dimana bulan berada pada fase tiga per empat nya, dan Julian berubah menjadi raksasa perusak segala.
Dan kali ini, Lucien siap. Seluruh pasukan telah berjaga menahan sayap mahluk itu agar tidak terbang menjauhi istana. Lucien, lengkap dengan baju zirah dan pedang kebanggaan keluarga Aumont berdiri tepat di depannya, menunggu waktu yang tepat untuk menghunuskan benda tajam itu ke jantung sang monster.
Perubahan itu berlangsung amat cepat. Mata Julian tak lagi mengenalnya, mengaum dan berusaha menyerangnya. Ia kumpulkan segenap kekuatan, dan dengan satu teriakan kencang, ditancapkannya pedang pada tangan kanannya ke dada bersisik mahluk itu.
Ia berhasil.
Dengan darah kental keemasan yang merembes dari lubang tempat pedangnya tertancap, mahluk itu melemah, kehilangan perlawanannya. Tubuhnya meringkuk, menyusut dan menyusut sampai ia kembali ke wujud manusianya.
Julian.
“Julian!” teriaknya,
Sang pemilik nama batuk — batuk, kesulitan untuk bernafas. Darah dimuntahkannya.
Lucien menidurkan kepalanya di atas pahanya, dan Julian tersenyum di detik — detik terakhirnya.
“Kerja bagus, yang mulia,”
Kalimat terakhir sebelum ia menutup matanya.
Dan walaupun Lucien tampak biasa saja, diam tanpa ekspresi di depan prajurit — prajuritnya, tak ada yang tahu — yang dengar — raungannya tiap malam di balik privasi dinding kamarnya.
Setengah dari jiwanya tak ada lagi di dunia, dan yang bisa ia lakukan hanyalah menuruti permintaan terakhirnya.
Tahun itu, Lucien meminang Camille menjadi ratunya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat gadis itu bahagia, membalas cinta nya dan memperlakukannya sebagaimana Julian akan memperlakukan kakaknya kalau ia masih ada.
Rakyat pun turut bahagia. Atas berakhirnya teror monster raksasa, dan atas pernikahan raja tercintanya.
Lucien membuat cerita bahwa jendral kesayangannya dengan berani menumpas mahluk itu, dan gugur dalam usahanya. Biarlah fakta bahwa Julian — lah monster nya menjadi rahasia. Biarlah subjeknya mengenang julian sebagai pahlawan mereka.
Dan nama keluarga yang disandangnya, agar tak begitu saja dilupakan tanpa ada keturunan penerusnya, ia jadikan nama itu sebagai nama kerajaannya.
Kerajaan Castellane.
Diambil dari nama prajurit pemberani, Julian Castellane yang mengorbankan nyawanya demi melindungi rakyat tak berdaya.
Satu janji yang tidak bisa ditepatinya.
Tidak mungkin ia bisa mengingat Julian sebagai bocah ingusan yang menyebalkan, karena bagi Lucien, pria itu akan selalu menjadi Julian Castellane yang pemberani.
Teman masa kecilnya, rekannya di medan perang, belahan jiwanya.
“Kalau begitu, bukankah berarti sang raja melakukan pengorbanan yang lebih besar, paman ?” seorang gadis kecil dengan gaun merah bertanya, penasaran.
“Kenapa itu, menurutmu ?” pria misterius bertudung abu — abu, sang pencerita, balik bertanya,
“Kan, Julian hanya berkorban sekali, dan ia dikenang sebagai pahlawan. Ia bisa beristirahat dengan tenang di atas sana, sementara yang mulia harus tetap hidup dan terlihat baik — baik saja. Menahan rasa sakitnya sendiri, semua demi rakyatnya,” jawabnya, menuai senyum puas dari pria itu.
“Ahahah, sungguh, kau seorang anak yang pintar,” pujinya, sembari mengusap kepala gadis itu.
“Ah, lagipula cerita itu belum tentu benar adanya. Itu berbeda dengan yang diajarkan guru kami di sekolah, bagaimana kami bisa mempercayaimu ?” lain dengan gadis tadi, anak laki — laki dengan perban di pergelangan kaki kirinya justru meragu.
Pria bertudung itu hanya mengendikkan bahunya.
“Yah, kurasa untuk itu kuserahkan saja pada imajinasi kalian masing — masing,” jawabnya.
“Ah, maaf anak — anak, aku harus pergi mengantarkan bunga — bunga ini. Rutinitas hari Sabtu. Jangan pulang terlalu malam, ya” ia mengedipkan matanya, sebelum berjalan menjauhi kedua anak itu.
The End.