“Kasihan ya kamu.”
Satu kalimat yang sederhana, biasa digunakan oleh orang untuk menyatakan rasa prihatin terhadap sesuatu untuk menunjukkan simpati mereka. Namun, bagi Angin, hal yang terjadi adalah sebaliknya… yaitu rasa benci.
Ia yang tumbuh besar di bangsal VIP dengan nomor 104 Rumah Sakit Merpati Abu sudah sering mendengarkan kalimat itu dilontarkan oleh siapapun yang melihatnya. Sering sekali gadis itu keluar masuk rumah sakit, menjalani rawat jalan, dan kembali ke ruangan berdinding putih polos dengan bau obat medis yang tidak kunjung berkurang. Oleh sebab itu, Angin menjadi salah satu pasien yang paling dikenal di sana. Pasien yang selalu mendapat tatapan rasa kasihan oleh orang – orang.
Angin paling tidak suka dikasihani. Ia tau kondisinya sulit untuk sembuh, tetapi itu bukan berarti ia akan nyaman mendapat tatapan dan kalimat itu dari orang – orang hampir setiap saatnya.
Sehingga, untuk menghindari bertemu dengan orang lain, Angin menghabiskan banyak waktunya di taman rumah sakit. Lebih tepatnya, di depan bagian rumput berpagar yang banyak berisi bunga dandelion. Banyak waktu yang ia habiskan menonton alliran udara menghembuskan bibit putih yang tertempel di kepala bunga itu, terbang jauh ke angkasa.
Ingin rasanya Angin seperti mereka. Bebas. Tidak terkurung. Leluasa.
Nasib tetapi mengurungnya di rumah sakit itu. Tidak mampu melakukan apa – apa kecuali menjalani treatment setiap harinya. Angin dahulu sering mengutuk kondisi tubuhnya, tetapi belakangan ini, Ia mulai berpasrah bahwa mungkin seluruh hidupnya akan ia habiskan seperti ini. Meskipun bundanya terus mendukungnya untuk berdoa pada Yang Maha Esa akan keajaiban, Angin hanya mengiyakan tanpa menjalani. Ia yakin, kehidupannya yang penuh rasa sakit ini tidak akan pernah berubah.
Hingga suatu hari, suatu keajaiban benar terjadi.
Seperti biasa, Angin mengarahkan kursi rodanya ke taman. Ia sedang kabur dari saudara bundanya yang hari ini berencana untuk mengunjunginya. Lagipula, menonton dandelion dalam lamunan adalah kegiatan yang lebih menyenangkan dibandingkan mendengar ceraham-atau khotbah-dari tantenya.
Baru sampai di taman, sudah terlihat sesuatu yang berbeda dari biasanya. Suasana taman yang terik terkena matahari menjadikan lokasi itu sebagai tempat yang tidak populer di rumah sakit. Bahkan, Angin harus menggunakan payung agar tidak terkena sinar UV. Tetapi di depan pagar dandelion, terlihat seorang anak perempuan dengan surai hitam panjang, berlutut sambil meniup bunga dandelion di tangannya.
Anak itu segera menyadari keberadaan Angin, memberikan jalan pada gadis itu, “Oh halo! Kamu mau lihat bunga juga?”
Angin mengangguk pelan. Ia mendorong kursinya di samping gadis tersebut. Sedikit canggung, sebab Angin bukanlah orang yang pandai bersosialisasi. Untung saja, anak itu tampaknya lebih jago dalam berteman. Diambilnya sekuntum bunga dandelion kemudian ia berikan pada Angin, “Mau tiup? Seru lho!”
Tentu, Angin tidak menolak kesempatan itu. Sudah lama ia ingin meniup bunga – bunga di hadapannya, tetapi jarang ia bisa dikarenakan penyakitnya yang membuatnya susah bergerak dari kursi roda. Senyuman kecil tersungging di bibir Angin saat melihat bibit dandelion terbang tak beraturan.
“Lucu ya? Dari tadi aku niupin ini banyak – banyak, seru banget.” komentar gadis di sebelah kanan Angin itu.
“Iya, lucu.” jawab Angin pendek.
Gadis itu menoleh dari dandelion menuju pada Angin, tangan kanannya tersulur seperti meminta dijabat, “Namaku Awan. Kamu?”
Angin menjabat tangan kanannya, “Angin.”
Mendengar nama mereka yang sama – sama berkategori benda alam membuat Awan tergelak. Gelak tawanya dengan suara yang cenderung lebih berat dari perempuan biasa membuat sesuatu yang tidak biasa terasa timbul di dalam lambung Angin. Gadis dengan rambut yang lebih pendek itu ikut tertawa keras, sesuatu yang jarang ia lakukan.
“Aduh maaf. Gatau kenapa lucu banget. Salam kenal ya Angin!”
“Salam kenal juga.”
“Kamu pasien di sini?” tanya Awan, melanjutkan percakapan.
“Uh… iya.”
“Wah. Baru masuk atau gimana?”
Senyuman di wajah Angin jatuh, berganti dengan rasa tidak nyaman. Ia menghembuskan nafas panjang, tidak siap menerima rasa kasihan lagi. Tetapi, mau bagaimana lagi? Ia tidak mungkin berbohong soal kondisinya.
“Aku pasien di sini sejak umur 6 tahun, sekarang umurku 18 tahun. Sering keluar masuk sih tapi banyak masuknya daripada keluarnya.”
“Oh… sakitmu separah itu?”
“Ya… seperti yang bisa kamu lihat,” Angin menunjuk kedua kakinya, “Aku sakit autoimun multiple sclerosis. Penyakit ini bikin tubuhku sering tidak bisa bergerak dan lemah.” Usai berkata begitu, Angin menundukkan kepala, menunggu respon prihatin dari Awan seperti orang pada umumnya.
Namun, apa yang keluar dari mulut gadis itu sungguh di luar ekspetasi Angin.
“Kamu keren banget.” ucapnya, sebelum langsung melanjutkan dengan, “Maksudku, kamu keren bisa bertahan sampai sekarang. Kalau aku, mungkin dari lama aku sudah hilang harapan…” Ia kemudian mengambil satu batang dandelion, meletakkanya pelan di pangkuan Angin, “Dandelion cocok sama kamu. Penuh harapan.”
Itulah awal dari segalanya. Angin yang sudah dalam mode pasrah, merubah hatinya dikarenakan komentar gadis yang unik itu. Ia tidak habis sangka bahwa Awan akan memujinya, kagum dengannya.
Hal ini terus berlanjut selama pertemanan mereka. Lama kelamaan, Angin mengetahui bahwa Awan adalah anak dari salah satu dokter baru di sana. Dari situ, Awan sering datang ke rumah sakit, menghabiskan waktu bersama dengan Angin. Kedua gadis itu banyak bercanda tawa, terutama Awan yang seringkali kagum akan segala hal yang Angin lakukan. Dengan mata yang berkilat – kilat dan bibir yang membentuk huruf O. Sungguh menawan… dan manis di mata Angin.
Angin tau… ia telah jatuh hati pada Awan.
Memang, belum lama waktu yang mereka berdua alami, tetapi Angin yakin akan perasaannya. Ia sadar bahwa sebagai sesama perempuan, mencintai Awan merupakan hal yang tabu di negara tempat ia tinggal. Tetapi, Angin tidak peduli. Karena dari rasa sukanya, Angin menjadi termotivasi untuk cepat sembuh. Ia lebih sering menjalani terapi dan tidak lagi malas – malasan mengkonsumsi obat resep dari dokter. Perubahannya cukup signifikan sampai – sampai bundanya percaya ini adalah mukjizat.
Diam – diam, Angin setuju.
Hanya saja mukjizatnya bukanlah perubahannya… melainkan kehadiran Awan di hidupnya.
Angin yakin dengan motivasi barunya ini, ia akan sembuh. Dan dengan berita dari dokter, tampaknya harapan Angin untuk berhasil cukup tinggi.
Tampaknya.
—
“…Kamu nggak apa – apa nak?” ucap seseorang dengan nada penuh rasa khawatir. Perlahan Angin membuka kelopak matanya, di samping kasur terdapat bunda dan dokternya. Angin hendak bangkit dari kasur, tetapi pergerakannya serasa tertahan. Rasa sakit juga terdapat di sekujur punggungnya.
“Aku kenapa?” tanyanya lemah.
Dokter Ichi membuka file pasien Angin, “Kamu relapse lagi, Angin. Tadi kamu sampai sempat pingsan ketika sedang terapi. Relapse kali ini yang paling parah, mungkin kamu tidak bisa keluar dari kasur untuk beberapa saat.”
“Bagaimana bisa dok? Padahal saya sudah rajin berobat…” kalimat Angin terputus saat ia merasakan nyeri di punggungnya lagi.
Dokter menggeleng sedih, “Maaf nak. Seperti yang kita ketahui… penyakit autoimun memang susah dikontrol. Tetapi kami akan berusaha sekuat mungkin untuk kamu.”
Angin membuang muka. Ia hanya ingin bertemu dengan Awan sekarang. Diraihnya telepon genggam miliknya dengan penuh susah payah, “Bunda… aku mau telepon Awan.”
“Oh Awan sudah di luar kok. Boleh masuk dok?”
Dokter mengangguk, “Sebentar saja. Habis itu kamu langsung istirahat.”
Angin tersenyum senang saat mendengar Awan sudah menunggunya di balik pintu. Setelah dokter keluar dari kamar, terdengar langkah kaki gadis tersebut memasuki kamarnya… tetapi ada hal yang berbeda.
“Halo Angin! Maaf lama datang hari ini, aku baru selesai kerja kelompok sama teman aku,” Awan mempersilahkan anak lelaki di sampingnya masuk, “Ini Guntur. Guntur, ini temenku Angin.”
Lelaki tersebut menunjukkan senyuman ramah, “Hai Angin. Gue sering denger soal lo dari Awan. Sumpah dia kalau nyerocos soal lo itu ga ada berhentinya.”
“Aku ngomongin hal baik doang kok! Kamu jangan nyebarin gosip ga bener ih.”
Guntur mengacak rambut Awan asal, “Iya iya. Bocil banget deh lo.”
Kedua insan di depan Angin tertawa keras. Namun, Angin sama sekali tidak ikut tertawa. Ia berfokus pada pandangan Awan yang sedari tadi tidak berhenti menatap Guntur. Kemudian… matanya berkilat – kilat, pipinya yang berubah warna merah muda saat Guntur menggodanya, dan senyumannya yang tidak pernah turun.
Sebagian diri Angin terasa seperti hilang di saat itu juga.
—
Sepanjang hari, Guntur dan Awan banyak mengajaknya bicara, meski ia hanya menjawab sepatah – patah. Untung, Awan menyadari perilaku aneh Angin. Ia kemudian menyuruh Guntur pulang terlebih dahulu, hendak berbicara empat mata dengan gadis yang lebih muda itu.
“Oke saatnya bicara serius. Kamu kenapa hari ini?”
“Aku nggak apa – apa cuma capek aja.” jawab Angin. Ia memutuskan untuk menyimpan berita soal kesehatannya sebagai rahasia dikarenakan tidak ingin merusak mood bahagia Awan dari tadi. Mungkin lain kali saja aku bilang, batinnya dalam hati.
Awan menggenggam tangan Angin, “Beneran kan?”
Angin mengangguk. Awan kemudian melepaskan tangannya, “Oke kalau gitu. Ingat ya kalau ada apa – apa bilang. Kita kan sahabat, Ngin.”
Kalimat itu menambah nyeri di lubuk hati Angin. Ternyata memang, Awan selama ini hanya melihatnya sebagai sahabat saja. Tidak lebih. Tidak kurang.
“Kalau Guntur itu juga sahabatmu?” tanya Angin tidak sengaja. Ia tidak berniat untuk bertanya langsung pada Awan.
Angin langsung menyesali perkataannya setelah melihat pipi Awan yang bersemu merah lagi. Gadis itu menggeleng pelan, tanpa memberikan penjelasan.
Tapi, Angin tau jelas artinya.
“Keluar Wan.”
“Hah-”
“Aku bilang KELUAR!”
Buru – buru Awan keluar dari kamar, meninggalkan Angin sendirian di sana. Ditemani bunyi udara yang berseliweran, Angin menutup tubuhnya dengan selimut. Membiarkan tangis dan rasa sesak di dadanya tumpah, hingga ia berharap dapat membuat hatinya tidak lagi penuh oleh keberadaan Awan.
—
“Kamu bertengkar sama Awan?” tanya bunda ketika membawakan makanan.
Angin mendengus tidak suka saat melihat bubur di tray bundanya, namun menurut dan membuka mulut saat bunda menyuapinya. Ia menjawab, “Nggak juga…”
“Terus kenapa kamu ngelarang Awan ngunjungi kamu?”
“Karena…” Angin berpikir sejenak akan jawabannya. Apa yang sebaiknya ia katakan? Bahwa ia sedang patah hati dan tidak ingin melihat wajah Awan sekarang ini? Bukankah itu berarti ia harus mengakui kalau ia memendam rasa pada gadis lain? Pada akhirnya, Angin memutuskan hanya menjawab, “Karena lagi malas aja kok bunda.”
“Benar? Sepertinya kamu ada masalah yang cukup serius dengan dia. Mungkin berhubungan dengan percintaan?”
Otomatis Angin tersedak. Ia meminum segelas air sebelum kembali menatap bundanya dengan mata membelalak.
“Kaget ya? Kamu kelihatan banget sih kalau lagi suka sama Awan. Karena dia juga kan kamu jadi punya semangat lagi? Tapi akhir – akhir ini… bunda lihat api di matamu redup, bersamaan dengan kamu melarang Awan datang,” jelas bunda, “Jadi ada masalah apa?”
Dirasa mendapat restu untuk bercerita, Angin mulai menjelaskan semuanya dari awal. Ia mati – matian menahan air matanya saat sampai ke bagian dimana ia mengetahui bagaimana perasaan Awan terhadapnya. Selama bercerita, bunda mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk sebagai tanda masih mendengarkan.
“Jadi begitu… aku sekarang ngejauhin Awan karena nggak tahan lihat dia suka orang lain.”
“Gitu ya…” Bunda tampak berpikir dalam – dalam, memilah kalimatnya. Pada akhirnya, beliau menunjukkan senyuman penuh kasih sayangnya pada Angin, membelai poni anak sematanya, “Kamu masih sayang Awan?”
Sayang? Jika ditanya begitu… tentu saja Angin masih sangat menyayangi Awan. Gadis itu adalah sumber kebahagiaan sekaligus kesengsaraannya sekarang, sungguh ironis. Angin mengangguk setuju, “Iya.”
“Kalau sayang, apa yang kamu paling inginkan terjadi pada Awan?”
Jawaban mudah. Angin tentu saja ingin Awan bahagia… Oh.
“Bunda mau suruh aku relain diri sendiri lihat Awan sama orang lain agar dia bahagia? Terus aku gimana? Haruskah aku hidup dalam rasa sakit demi Awan?” pekik Angin kesal.
“Bukan begitu… tetapi kamu harus belajar saja bahwa cinta terkadang perlu pengorbanan dan juga…” Bunda menghela nafas panjang, “Bunda sebenarnya tidak ingin kasih tau kamu tapi… waktu hidup kamu mungkin tidak lama, Angin.” ucap bunda dengan suara bergetar. Ia mengatur nafasnya, tidak ingin menangis di saat penting seperti ini, “Maaf bunda baru bilang. Tetapi, selama ini bunda kira kamu masih bisa sembuh. Namun, itu semua hanya denial. Sekarang, bunda harus jujur ke kamu.”
Angin tau ia seharusnya marah, sedih, kecewa, atau apapun karena telah dibohongi. Tetapi, yang muncul di benaknya bukan itu semua… melainkan Awan. Ia akan pergi meninggalkan Awan, tidak bisa melihat paras manis serta tindakan konyol gadis tersebut lagi. Lebih parahnya lagi… jika ia pergi dalam keadaan masih bertengkar seperti ini.
“Bunda cuma bilang sekarang karena waktunya tidak banyak dan… bunda tidak ingin kamu meninggalkan dunia dalam penyesalan. Sebab, cinta yang sesungguhnya adalah saat kamu mencintai seseorang dengan sepenuh hati demi kebaikan dirinya.”
Sekarang, Angin paham akan maksud bundanya. Ia berterima kasih karena bunda telah memberikan pandangan baru, sekaligus berjanji pada dirinya sendiri.
Ia akan mencoba untuk berbicara dengan Awan, meski harus mengorbankan hatinya sendiri.
—
Janji Angin tidak pernah terpenuhi.
Sekitar 3 hari setelah berbicara dengan bunda, Angin tiba – tiba meninggal dikarenakan serangan jantung. Penyakitnya lagi – lagi beraksi, dan kali ini menyerang bagian medula oblongata dalam saraf jantungnya. Setelah sekitar 18 tahun, hampir 19, tersiksa, akhirnya Angin beristirahat dengan tenang.
Saat pertama mendengar berita duka itu, Awan secepat mungkin pergi dari sekolah menuju rumah sakit. Namun, kedatangannya terlambat. Yang ia temui bukanlah lagi sosok Angin yang biasa tersenyum lembut padanya, melainkan tubuhnya yang sudah mulai kaku dan mendingin.
Syok. Awan menangis sejadi – jadinya. Jika saja ia tau bahwa Angin akan pergi secepat ini, ia akan lebih berusaha untuk mendekati Angin kemarin. Atau mungkin membawa Angin berjalan – jalan menikmati kota, sesuatu yang jarang gadis itu lakukan. Begitu banyak kesempatan… yang semuanya sekarang sudah tidak akan pernah ada lagi.
“Awan? Itu kamu nak?” Bunda Angin berjalan mendekat, sepucuk kertas terlihat di tangannya, “Angin nulis ini untuk kamu sebelum ia meninggal.”
Perlahan, diambilnya surat itu dari tangan bundanya. Ia mengangguk terima kasih, kemudian berjalan menuju lokasi yang pencahayaannya lebih terang. Seperti insting, kakinya berjalan membawanya ke taman dengan rumput dandelion.
Di depan lokasi pertama mereka bertemu, Awan membaca surat tersebut.
Hai Awan
Kalau kamu baca surat ini, berarti aku terlalu cupu untuk ngomong langsung ke kamu haha
Aku baru saja dapat berita kalau mungkin waktuku nggak lama di dunia ini
So… i decided to tell you this
I love you, Awan
But, you don’t have to love me back kok
Aku tau hatimu tersimpan pada Guntur
And it’s okay now, I’m okay
Kemarin – kemarin pas aku tau, aku sengaja ngejauhin kamu
Karena aku masih ga terima kamu sukanya sama orang lain, bukan aku
Tapi setelah dengar nasehat bunda… aku sadar
Bahwa bahagiamu lebih penting daripada keegoisanku
Love hurts sometimes, but it’s okay
Because what matters is the person you love
Jadi, tolong tetap bahagia ya Wan?
Kejar aja si Guntur karena aku yakin dia juga suka kamu balik kok
Sehingga kalau aku juga sudah pergi nanti, aku bisa pergi dengan rasa senang
Senang melihat orang yang aku cintai itu kutinggal dalam kebahagiaan
With Love, Angin.
Bersamaan dengan jatuhnya Awan ke tanah, surat di genggamannya terremas. Gadis itu menjerit dengan penuh kesedihan, air matanya tumpah tidak ada tanda berhenti. Di saat itu, udara di sekeliling Awan berseliweran, meniup dandelion yang terdapat di atas petak rumput.
Bunga – bunga itu terbang tinggi, mengikuti angin. Mungkin jika berharap, bunga itu akan sampai di atas awan.
Tetapi, untuk sekarang…
Dandelion itu tidak akan pernah disatukan oleh angin kepada awan.
Yang tersisa hanya ada dandelion untuk angin… bebas selayaknya burung yang berterbangan.