“Bu, aku pulang.”
Astarina masuk dengan selembar kertas di tangannya. Suasana hati cerah walaupun malam ini gelap gulita. Ia pulang hampir tengah malam, sebab jarak dari tempat ujian ke rumahnya lumayan jauh.
“Bu, aku lolos sbmptn. Ke UGM, sesuai kemauan Ibu yang ingin aku kul—”
“Ya, harusnya juga memang lolos. Cuma sbmptn! Harusnya lolos pakai jalur snmptn,” sela Ibunya. Tanpa melihatnya. Tanpa melihat selembar kertas hasil kelulusan. Tanpa… melihat perjuangan ia sebulan ini.
“Bu… sbmptn lebih susah dari snmptn.” Astarina mengepalkan tangannya. Matanya memerah, ia tak mengerti kenapa ibunya masih marah padahal kemauannya sudah dikabulkan.
“Lebih susah kakak kamu, snmptn ke UI.”
Tak lagi mendengar. Astarina nyeri hebat. Dadanya digenggam. Berlari dari rumah yang bagai neraka untuknya. Berlari di kesunyian malam, dengan tangisan tak kunjung berhenti. Persetan dengan udara dingin yang menusuk kulit. Ia sakit hati. Ia lelah dibandingkan. Ia lelah tak pernah dihargai.
Ia hanya ingin mati. Toh, lagipula keinginan Ibunya sudah terkabul. Sudah selesai, bukan?
Maka, menyebrangi jalan tanpa melihat lampu lalu lintas adalah pilihannya. Tubuhnya terlempar setelah tertabrak mobil. Astarina sadar, kepalanya terluka, tangannya terluka, kakinya terluka. Mungkin tubuh bagian dalam pun, sama terluka. Tetapi, ia tertawa. Tertawa bahagia di penglihatan malam untuk terakhir kalinya.
“Halo. Adek? Mbak? Kayaknya agak tua kalau dipanggil mbak…”
Astarina yakin. Ia pasti sudah mati. Tetapi, kenapa malah mendengar suara pria?
“Ah, sadar! Adek manis, sapa dulu malaikat gantengnya,” kata pria itu. Lalu tangannya terulur untuk membantu. Astarina menerimanya. Tubuhnya bangkit dan menerima tas sekolah yang diberikan pria itu.
“Kenapa kau mati sebelum waktunya? Itu tak benar, kau membuat ku lembur.”
Astarina masih terdiam.
“Tidak-tidak. Lupakan. Jadi seperti ini, kau ingin kembali hidup? Tetapi dengan takdir berbeda. Tergantung kau menerima—bukan, maksudku, tergantung kau menjalankan hidupmu.”
Malaikat itu kecewa dengan respon Astarina yang malah melongo kebingungan.
“Kau jangan terpana dengan ketampanan ku, jadi kau mau hidup lagi dengan takdir berbeda?”
“A-apa Ibu ku akan menerima jika aku ingin kuliah di Unpad?” tanya Astarina akhirnya membuka suara.
“Ya, tentu.”
“Baiklah, hidupkan aku.”
“Kau menginginkannya secepat ini?” tanya Malaikat tak percaya dengan keputusan cepatnya. Namun, jawaban Astarina ternyata mantap. Ia mengangguk mantap, “ya! Aku ingin. Aku ingin membuat keputusan ku sendiri.”
Malaikat itu tersenyum. Memajukan tubuhnya, mendekati anak kecil di depannya, “genggam tanganku, Ata.”
***
Bahunya terasa sedang dipukul pelan, oleh buku paket.
“Astarina! Bangun, kau mau menginap di perpustakaan?” Matanya mengerjap.
“Chila?! K-kau?”
“Apa? Aku terlalu baik karena menunggumu selalu belajar disini? Memang! Ayo pulang, perpustakaan akan segera tutup.” Chila menarik tangan Astarina. Buku-buku milik temannya sudah dirapikan.
“Kau kenapa sih? Seperti baru bangkit dari kematian saja.” Astarina tertohok. Temannya benar. Ia baru bangkit dari kematian, dengan alur waktu mundur. Ini adalah hari dimana akan daftar sbmptn.
“Tidak-tidak. Lupakan. Jadi seperti ini, kau ingin kembali hidup? Tetapi dengan takdir berbeda. Tergantung kau menerima—bukan, maksudku, tergantung kau menjalankan hidupmu.”
“Chila! Sorry! Gue harus balik duluan, bye! Titip salam buat Lariq. Nanti kita main setelah sbmptn selesai!” kata Astarina kemudian berlari menuju rumahnya.
Ya! Dirinya harus berubah! Tak perlu mendengarkan perkataan Ibunya lagi. Ia akan daftar ke Unpad.
Darimana saja kamu, bar—Astarina! Jangan berlari seperti itu!”
”Maaf, Bu. Aku harus daftar sbmptn!”
”Kau akan daftar ke UGM?” tanya Ibunya.
Astarina dengan mantap menggeleng, “tidak. Aku akan ke Unpad. Mengambil hukum.”
“K-kau! Ibu tak menyuruh kesana, ibu ingin kau mas—”
“Aku ingin kesana. Aku bisa membuktikannya ke Ibu!” selanya. Mantap.
Ibunya terkejut. Pertama kalinya, Astarina seperti ini. “Baik, jika kau lulus. Ibu akan setuju kau kesana. Tetapi, jika tidak. Kau pindah ke ayahmu di Surabaya!”
Astarina mengangguk. Walau sedikit takut. Masalahnya, setelah orang tuanya bercerai. Astarina tak pernah suka dengan ayahnya. Jadi tinggal bersama ayahnya adalah neraka yang lain. Lebih baik sama ibunya, setidaknya ia masih bisa memakan makanan enak.
***
Hari pertama. Satu bulan lagi ia akan menghadapi ujian sbmptn. Astarina bangun dari tidurnya, pergi ke kamar mandi. Lalu setelah siap, ia meminum dua gelas air putih. Suasana masih sejuk, berlari di pagi hari sembari melihat sinar matahari muncul. Ia akan melakukan ini selama satu bulan setiap pagi.
Siangnya Astarina pergi ke perpustakaan. Membaca, membaca dan membaca. Selama dua jam.
Sorenya saat pulang dan sudah membersihkan piring kotor, menyapu halaman, kemudian mengangkat jemuran. Ia akan melatih bacaannya tadi. Mencari try out gratis, dicoba. Dilihat hasilnya.
Seperti itu… selama satu bulan.
“Astarina lo gak bakal ikut main nih?” tanya Chila meyakinkan. Namun, jawaban Astarina tetap sama. Ia menggeleng tanpa melihat temannya. Hanya fokus terhadap buku. Tetapi itu hanya sedetik, sedetik kemudian ia menoleh, “maaf, sorenya aku harus bantu Ibu pergi belanja.”
Malam terakhirnya tiba. Ia merebahkan diri di kasur. Menatap langit-langit kamar. Tangannya disimpan di dada. Hubungan ia dengan ibunya membaik, jalan pertama yang mulus.
“Aku akan tidur. Besok, adalah hari dimana janji ku terpenuhi. Tunggu jawabanku, malaikat tampan.”
***
Astarina keluar ruangan dengan gembira. Ia lulus. Ia berhasil. Tak berhenti berteriak kecil sebab ingin segera pulang menuju rumah. Memberitahukan kepada ibunya.
“Asta! Sumpah! Lo keren. Udah lolos kemudian dapat beasiswa!” Chila histeris mendengar sahabatnya mendapatkan beasiswa. Astarina tak berhenti tersenyum, “semoga ini bisa buat Ibu gue bangga, ya!”
Hari ini. Saat bulan itu. Hari ini adalah hari dimana ia kecelakaan. Dimana ia kabur dari rumah karena sudah lelah. Namun, untuk sekarang. Ia tak akan mengulangi hal itu. Astarina membawa takdir berbeda, sebab ia memilih jalan yang berbeda. Ia memilih keputusannya sendiri.
“Bu. Aku pulang,” kata Astarina setelah menutup pintu. Kemudian melihat Ibunya sedang duduk di depan televisi seperti waktu itu.
“Lulus?” tanya Ibunya langsung. Astarina tersenyum puas. “Lulus! Aku keterima, dan dapat beasiswa penghargaan nilai skor tertinggi!”
Ibunya menatap biasa. Membuat Astarina menelan ludah sendiri, dirinya takut. Namun, ibunya menepuk bagian sofa yang kosong, “sini duduk.”
Astarina menurut. Menyimpan tas sekolahnya di pangkuan. Duduk menghadapi Ibunya dengan tegap.
“Ibu… akan bilang ke ayah kamu. Kamu gak jadi tinggal disana.”
“Yes! Yes! Yes!” Kedua tangan Astarina diangkat tinggi-tinggi. “Makasih, Ibu!!!”
Ibunya tertawa pelan, tetapi langsung disembunyikan. “Sana, mandi. Bau keringat kamu!”
***
Astarina tak berhenti tersenyum. Sekarang hari dimana ia masuk menjadi mahasiswi di Unpad. Dan hari ini pun ia mendapatkan penghargaan terhormat.
Namanya dipanggil oleh panitia, disebutkan agar segera ke panggung. Lalu tepukkan tangan terdengar ramai. Membuat dirinya semakin gugup.
“Astarina,” panggil Ibunya. Astarina berbalik. Ibunya memberikan dua ibu jari. Astarina tersenyum lebar.
Tak ada lagi ketakutan, tak ada lagi kegugupan. Cinta Ibunya tak terhalangi lagi. Ia memilih jalan yang berbeda.
“Selamat kepada ananda Astarina Zinoviaris. Masuk ke jurusan mana?”
“Kau?” Genggamannya tak asing. Astarina mengenal ini. Astarina tahu genggaman ini.
“Ya?” tanya pria itu lagi. Lalu tersenyum puas sembari tangannya masih menggenggam tangan mungil Astarina.
“Janjimu sudah ditepati ternyata? Bagaimana bahagia? Senang bertemu denganku lagi, Ata?”
Astarina terkekeh, lalu mengangguk, “terima kasih! Aku dan Ibu lebih akur dari biasanya. Ia tak membandingkan aku lagi, atau—”
“Kau telah menerima dirimu apa adanya, Ata. Kamu mengambil keputusan mu sendiri. Kamu mengabaikan omongan Ibumu yang mengancam. Dan, kamu… Membuat Ibumu membuka hatinya.”
Pria itu mengalungkan medali penghargaan terhormat.
“Kamu harus bangga dengan dirimu sendiri, menerima kekurangan dirimu sendiri, dan… Menyayangi dirimu sendiri. Just you, only you.”
“Dunia akan terasa lebih mudah. Jika kamu mencintai dirimu.”
[]
–End-
Sukaa 🥺🥺🥺🥺🥺 KARAKTER MALAIKAT NYA KAYAKNYA GANTENG SAYA SUKA BUAT SEQUEL SI MALAIKATNYA NGASIH KESEMPATAN KEDUA SABI NIH WKWKWK
suka banget 💕💕