Cursed

Ketika Seokjin menginjakkan kaki di perpustakaan, matahari sudah tinggi dan sinarnya mencapai dataran tan berlekuk milik seorang pria yang sedang tenggelam dalam lautan kata-kata dekat jendela.

Wajahnya tidak pernah Seokjin lupakan, meski sudah tiga kali kehidupan ia lalui bersamanya. Yang Seokjin perhatikan adalah titik tempat tahi lalat yang berubah-ubah dan perangainya karena bergantung pada lingkungan tempat ia dibesarkan dan seberapa keras ia menempa ujian, tetapi jiwa yang hidup didalamnya, tetap sama. Langkahnya ia bawa bersama dengan helaan napas yang menggunung sebelum dilepas, Seokjin maju kehadapannya.

“Ini masih pagi, Namjoon-ssi.” ingat Seokjin, kalau-kalau pria didepannya itu lupa membedakan mana siang mana malam.

Namjoon mendongak dan tergelak sebentar sebelum menarik kursi disamping, “ah, songsaenim! Kamu sudah datang rupanya!”

Segelas americano didekatkan Namjoon pada Seokjin, lengkap dengan dua buah pastry yang terkemas cantik dari sebuah bakery terkenal dipusat kota.

“Memangnya boleh bawa makanan kedalam perpustakaan ini?”

Namjoon menarik senyum sambil menggaruk tengkuk, “karena punya orang dalam yang berstatus penting di seluruh universitas, aku yakin namaku dianulir dari daftar orang-orang yang melanggar aturan disini.”

Itu juga, yang Seokjin herankan kenapa bisa terjadi pada dirinya. Tiga kehidupan dimasa lalu berhasil ia lalui dengan mudah sebab dirinya hanya terlahir sebagai anak orang kaya dari keluarga konglomerat, seorang model dari agensi terkenal, dan terakhir adalah karyawan swasta di kantor pajak. Tetapi sekarang?

Demi Zeus yang mengutuknya entah sampai kapan terlahir sebagai manusia di dunia, Seokjin merasa harus menyudahi kutukan ini bagaimanapun caranya! Dia terlahir dengan takdir sebagai Wakil Dekan, berjarak dua tahun lebih tua daripada pujaannya dan menemukan bahwa Namjoon akan memiliki seorang tunangan di usianya yang ketiga puluh nanti.

Tidakkah ia dipermainkan semakin buruk??

“Kali ini, kontes apa yang ingin kamu ikuti?” tanya Seokjin setelah berdeham sekalian mengusir semrawut hal-hal yang daritadi menggerogoti pikirannya. Namjoon tampak menyipitkan mata seraya menyesap americano-nya penuh penghayatan.

“Literasi. Kamu yang paling handal disini, jadi aku yakin songsaenim bisa membantuku memberikan beberapa inspirasi. Hadiahnya lumayan. Kita bisa bagi dua hadiahnya, bagaimana?”

Hati Seokjin sakit setiap kali Namjoon memanggilnya dengan sebutan informal tanpa kejelasan status diantara mereka, seperti yang sudah terjadi di tiga kehidupan sebelumnya.

“Bukannya literasi adalah makananmu sehari-hari?” tanya Seokjin bingung. Mengingat Kim Namjoon adalah peraih nilai tertinggi semester lalu di jurusannya dan penyumbang piala terbanyak sepanjang ia belajar di universitas, Seokjin ragu kalau Namjoon membutuhkan bantuannya semata-mata.

“Kadang-kadang Oscar Wilde juga butuh berkelana untuk mendapat penyegaran pikiran, tidak ada bedanya denganku. Meskipun aku bukan penyair atau Einstein yang jenius.”

“Lalu kenapa kamu memanggilku kesini? Penyegaran pikiran dekat terjemahannya dengan pergi refreshing ke alam terbuka atau jalan-jalan di taman kota. Aku ini wakil dekan lho,” Seokjin mengedarkan pandangan demi membuat kesan bahwa dirinya terganggu, “banyak yang harus kukerjakan. Jangan mentang-mentang pernah menyelamatkan hidupku sekali jadi kamu bisa seenaknya memanggilku datang dan pergi. Memangnya aku jin Tomang?”

Namjoon tertawa hingga lesung pipitnya terlihat. Membuat Seokjin tenggelam sesaat dalam pesonanya yang memikat.

“Melihat wajah songsaenim saja sudah merupakan refreshing bagiku. Lagipula ini hari libur, kenapa kamu harus bekerja?”

Seokjin menyesal sudah mengijinkan Namjoon menyelamatkan hidupnya dari segerombolan perampok yang hendak menghabisi nyawanya tiga bulan lalu. Jika ini membuat hubungan mereka jadi semakin dekat, dia lebih senang nyawanya melayang kalau begitu.

“Kamu tidak mengerti seberapa banyak tugas seorang wakil dekan,” kata Seokjin berkilah, “baiklah. Apa yang bisa kubantu? Kita punya waktu setengah jam sebelum aku harus pergi ke suatu tempat.”

“Mau kemana?”

“Ke suatu tempat. Tidak dengar ya?”

“Iya, kemana?”

“Bukan urusanmu, anak kecil.”

Namjoon menghela napas. Dia merasa begitu sulit mendekati Seokjin, entah mengapa.

“Ini pilihan tema yang ingin kuangkat, yang mana yang menurutmu paling bagus? Pilih dengan bijak karena kontes literasi ini berskala internasional. Kalau aku gagal, kamu penyebab sebagian kecilnya, songsaenim.” Namjoon memperlihatkan beberapa kotretan dalam layar tabletnya pada Seokjin. Memperhatikan kedua alis Seokjin yang bertaut pertanda ia tak terima dengan penghakiman sepihak Namjoon barusan.

“Kenapa jadi aku yang bertanggung jawab?”

“Karena kamu yang kasih persetujuan Hoseok songsaenim untuk mengijinkanku ikut kontes ini. Memangnya aku tidak tahu?”

Eh? Ternyata Namjoon menyadarinya ya?

“Kontes ini berbeda,” Seokjin berdeham, “kamu bisa jadi jadi bintang publik sehari kalau memenangkannya karena Korea Selatan sudah absen tidak ikut kontes literasi tingkat pasca sarjana selama dua tahun berturut-turut.”

“Iya, makanya pilih temanya sekarang ya.”

Satu usapan lembut Namjoon berikan diatas punggung tangan Seokjin, membuat pria itu seperti tersengat listrik tiba-tiba. Sementara Namjoon sendiri merengutkan dahi keheranan melihat tingkah laku Seokjin yang tak dapat ditebak.

Dia tak pernah mengerti Seokjin.

Dia tak pernah mengerti kenapa wakil dekan itu menjaga jarak mati-matian padahal hanya melihat dari raut wajahnya saja semua orang tahu kalau pria rupawan itu menaruh hati pada dirinya.

Kalau di lingkungan universitas, memang tidak begitu kentara. Tapi setiap kali Namjoon mengajaknya keluar-semenjak mereka bisa sedikit lebih dekat-Seokjin akan memposisikan dirinya seperti setangkai bunga matahari yang tengah didekati seekor lebah.

Diam-diam membuka hati.

Diam-diam menyerahkan diri.

Diam-di-

“Yang ini saja,” Seokjin menyela undakan pikiran Namjoon tentang dirinya sambil menyerahkan tablet, “temanya tidak terlalu berat dan tidak terlalu mengundang kritisi dari publik. Benarkan kerangkanya di dua paragraf terakhir, setelah itu kamu bisa menyerahkannya pada Hoseok songsaenim agar gagasannya bisa dikembangkan lebih lanjut.”

Namjoon memperhatikan tema yang Seokjin pilih dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi, “serius? Pengaruh perekonomian global terhadap generasi masa kini?”

“Itu mirip seperti tema thesismu kan? Jadi kamu tidak perlu mencari sumber terlalu jauh untuk kontes ini.”

“Ini terlalu general, Seokji-songsaenim,” kata Namjoon tidak setuju, hampir terselip lidahnya memanggil Seokjin dengan sebutan informal lagi, “bahkan aku perlu menggarap thesisku setengah tahun lagi karena tema ini terlalu luas. Apa kamu tidak salah?”

“Persempit saja topiknya kalau begitu. Pilih satu sektor yang menurutmu paling berpengaruh.”

“Itu butuh analisa lagi.”

“Kalau mudah, kontes ini bukan untukmu, Namjoon.”

Namjoon menghempaskan dirinya pada penyangga kursi setengah menyerah, “ganti orang, songsaenim. Aku tidak perlu ikut kontes ini.”

“Tidak bisa. Butuh birokrasi lagi karena namamu sudah tercantum dalam daftar peserta kontes di Kementrian.”

“Aku yang pilih temanya kalau begitu.”

Seokjin mengibaskan satu tangannya buru-buru sambil menggigit pastry, “tewma lain yang kamuh sowodorkan juwgah terlalu uwmum. Tidakh ada tantangannya.”

Remahan pastry yang menempel disekitar sudut bibir Seokjin sangat menguji ketahanan diri Namjoon saat ini. Setengah mendesis dia berujar, “kucium ya? Gemas

sekali sih wakil dekanku ini?!”

Sontak Seokjin tersedak sampai dadanya sesak napas. Buru-buru ia mengalirkan cairan dingin kopinya diatas meja sebelum melotot pada Namjoon yang kentara memperhatikannya penuh ketenangan, “tolong yang sopan! Aku ini dua tahun lebih tua daripada kamu, Namjoon! Apa titel wakil dekan tidak ada artinya bagimu, ya?”

“Tidak.”

“Tidak usah bertemu lagi kalau begitu. Aku tidak sudi punya mahasiswa yang tidak punya etiket!”

Persetan dengan etiket, Namjoon menyingkirkan pastry yang dipegang Seokjin dan menyeka remahannya di sudut bibir. Dia menarik kursi Seokjin lebih dekat kearahnya hingga jarak mereka terkikis sampai sekitar satu inchi. Kedua paha sang wakil dekan dirapatkan, dan Namjoon mengapitnya tanpa ragu sambil menarik napas.

Ketika sepasang obsidian mereka terkunci satu sama lain, Seokjin mengira waktu juga akan berhenti. Dia menggigil dalam sentuhan Namjoon yang meremat satu pahanya dengan berani.

“Pecat aku jadi mahasiswa,” katanya dengan suara serendah lautan, “aku tidak memerlukan titel itu untuk menjadi pasanganmu suatu hari nanti. Seokjin-ssi, kurasa aku jatuh cinta pada wakil dekanku sendiri.”

Pernah Seokjin bertanya-tanya, mengapa dari tiga kehidupan yang ia lalui sebelumnya, pria didepannya itu selalu berakhir menaruh hati seperti sekarang? Kutukan yang ia dapat hanyalah tentang bagaimana ia harus bertahan hidup tanpa bisa bersama dengan orang yang dia cintai. Sedangkan jatuh cinta bagi Namjoon, seingatnya adalah murni pilihannya sendiri.

“Kamu tidak tahu akibat dari apa yang barusan kamu katakan padaku, Namjoon. Percayalah.” kata Seokjin tanpa raut muka.

Tapi Namjoon tidak peduli. Dia sudah jatuh cinta pada Seokjin pada pandangan pertama, dan entah kenapa dia merasa itu bukan yang pertama kalinya dirinya jatuh cinta pada orang yang sama.

Jadi Namjoon mendenguskan tawa seraya berkata, “meskipun kau adalah Aphrodite dan aku adalah Adonis yang dikutuk, aku tetap akan bersumpah kalau kita akan bersama pada akhirnya.”

Langit yang cerah mendadak bermuram durja. Serat awan tipis mulai berkerumun dan mengijinkan gumpalan air hujan siap turun sebentar lagi. Seokjin mendongak pada langit, menyadari bahwa para Dewa mendengar penuturan lantang Namjoon terhadap keturunan Aphrodite itu untuk yang kesekian kali.

Namjoon sejatinya adalah keturunan Adonis yang merupakan bangsa manusia, bersikeras menikahi Seokjin yang merupakan keturunan Aphrodite dan dibenci oleh Dewa Zeus sebab tidak pernah ada hubungan yang direstui antara keturunan para dewa dengan bangsa manusia.

Seratus tahun silam, Alec menantang Zeus untuk merebut Agis dari dirinya. Zeus murka untuk yang kedua kali, karena setelah memergoki anaknya sendiri-Aphrodite-bermain api dengan Adonis, dia mengetahui bahwa keturunannya menjalin hubungan dengan manusia.

Ketika Zeus akhirnya memutuskan untuk memusnahkan semua keturunan Adonis termasuk Alec dari bumi, Agis datang dan mengorbankan dirinya untuk bersedia dihukum bersama Alec. Bersedia terlahir kembali ke dunia sebagai manusia dengan ingatan sempurna sebagai keturunan Aphrodite dan menemukan Alec yang terlahir berkali-kali tanpa tahu bahwa dirinya pernah menantang Zeus demi menghabiskan sisa hidupnya bersama Agis, keturunan pertama Dewi Aphrodite.

Zeus memiliki traumatik terhadap semua bentuk pengorbanan cinta, jadi dia sengaja memperolok cinta mereka dengan membiarkan Agis dan Alec bertemu dalam setiap reinkarnasi kehidupan, tetapi tidak pernah menjadikan mereka takdir bagi satu sama lain. Begitulah bagaimana mereka terpisah berkali-kali dan tidak pernah bersama. Pada kehidupan kali ini, Agis yang bereinkarnasi menjadi seorang wakil dekan bernama Kim Seokjin telah mengetahui bahwa Alec akan meninggalkannya seperti yang sudah terjadi pada tiga kehidupan yang lalu.

Jadi Seokjin tersenyum seraya melepas genggaman Alec yang dikenalnya sebagai Namjoon di kehidupan sekarang dan berkata, “takdir tidak akan pernah berubah. Kita tidak dipertemukan untuk menjadi takdir bagi satu sama lain.”

Namjoon tidak senang dengan pemikiran Seokjin. Gurat diwajahnya meningkat dengan jelas dan sepasang obsidiannya berubah kelam dan menakutkan. Amarah dalam dirinya menyebabkan petir menyambar dan hujan turun dengan deras diluar. Membiarkan hawa dingin merajalela diantara mereka.

Seokjin selalu terpana dengan mata naga yang kelam didepannya. Itu adalah identitas seorang Alec yang tersirat dan Seokjin selalu bisa menemukannya meski mereka terpisah di ujung dunia.

“Kalau kamu punya waktu, berpikirlah tentang bagaimana dua ranting pohon yang selalu bersinggungan di ujung jalan, tapi mereka tidak pernah bisa bersatu dalam satu akar kehidupan yang sama,” lalu Seokjin membelai pipi Namjoon penuh kasih sebelum ia berdiri, “itulah gambaran kita disetiap kehidupan yang kita lalui.”

Pria itu lalu meninggalkan Namjoon sendirian dalam ruangan luas bertahtakan kandelier temaram. Meninggalkan semua harapan yang Namjoon tawarkan padanya bulat-bulat, yang bahkan belum sempat sepenuhnya dia bumbungkan.

Seokjin pernah mencobanya. Di kehidupan kedua. Tetapi semua sia-sia. Pria itu bahkan harus melihat Namjoon terbunuh didepan matanya sendiri sebelum pernikahan mereka terjadi.

Jadi dia tidak akan berani mengulang hal yang sama meski perasaan mereka selalu berada dalam satu frekuensi. Alec akan selalu jatuh cinta pada Agis, seperti Namjoon yang menemukan Seokjin didalam lingkaran kehidupannya saat ini.

“Tapi aku tetap menginginkanmu meski kau tidak pernah jadi milikku. Itulah sebabnya aku bersedia ada disampingmu meski kita hanya bisa membuat hubungan tanpa cinta.”

_Agis_

Leave a Comment

Item added to cart.
0 items - Rp 0
Beranda
Cari
Bayar
Order