La Fin Que Je N’atteindrai Jamais.

Secercah senja tak nampak sejingga sengat musim panas kala itu. Jalan tapak yang melewati keduanya menurun undukan gelombang batu paving terasa menggaet seret; berat namun tidak akan terlihat pandangan orang. Pun jubah yang dipakai terasa gerah, mereka jauh terbiasa akan keberadaan benda dari kain, pokok utama kemaluan manusia segala zaman.

Senyap tetiba berteriak, membuat telinga berdesing namun tak nampak sama sekali. Akibat keheningan ini keduanya berdelusi, kesalahan sendiri kenapa tidak mau bercakap-cakap. Ego mereka yang tinggi? Keduanya belum bisa masuk jenis bangsawan yang akan mengangkat dagu saat berjalan dan mengenakan tongkat sebagai bukti kekuasaan; salah satu mereka memakainya karena keadaan kakinya.

Tangan keduanya tidak terlihat sibuk menggandeng barang; tentu bukan menggenggam hal yang mustahil itu. Mereka juga bukan penderita kelainan, maksudnya badan mereka tidak akan tertimpa granvitasi berlebihan sampai kaku begitu. Lalu kenapa gerakan mereka terlihat canggung seperti enggan menunjukan jika mereka adalah manusia hidup?

Hiruk pikuk orang yang berjalan di sekitar keduanya didiamkan, masa bodoh lagian mereka sedang berperang dengan diri masing-masing.

“Tumben sekali kita bisa keluar di jam begini? Biasa akan ada tumpukan dokumen untuk diselesaikan,” mungkin itu hal buruk untuk membuka percakapan, atau dia yang kehabisan alasan untuk membasahi tenggorokan keringnya.

Belum serta merta hal itu diberikan jawaban dari lawannya. Sama dengan kikuk orang di sebelahnya, pemuda dengan helai ke-emasan itu masih bertumpu pada pemikirannya, ‘jangan memulai jika kau tidak ingin kalah’. Sedikit random namun kalau begitulah bagaimana keduanya berakhir tanpa ada kemajuan. “Kurasa kita terlalu bersemangat membunuh kebosanan siang tadi, makanya jam segini sudah bebas. Aku lebih mengkhawatirkan laporan yang akan datang besok hari, sebenarnya.”

Jangan tanya pemilihan kalimat itu. Dia bukan novelis seperti orang pertama, dia adalah petarung yang mengandalkan otak dan gerakannya. Pekerjaan belakang meja ini tidak memerlukan keterampilan berkata-kata, pun dia memang emosian, sulit baginya bisa berkata lebih lembut lagi. Tentu yang mengenalnya memaklumi bahkan akan menganggap dia gila ketika tutur mulutnya berubah.

Ahaha, kau begitu lucu, Tuan Louis. Pantas saja semua orang menyukaimu,” katanya tidak ada maksud sindiran; memang begitu cara bicara supel miliknya.

Bukannya langsung menjawab ketus, Louis menatap parau dalam diam. Pintar sekali dia jika berurusan dengan topeng-topengan ini. “Bagaimana kalau kau memanggilku Louis saja?”

“Asalkan Louis juga memanggilku John.”

Dalam pekerjaannya, kemampuan berunding adalah yang terpenting. Kekalahan yang dia rasakan sekarang tak lebih dari korelasi baik di antara keduanya. Senang? Bisa jadi, namun yang penting sumber candu tiada tara.

***

Detikan keras membahana dalam ruang tak seberapa besar, jelas karena ruang itu berada di bawah tanah. Tangannya membantai habis tumpukan kertas yang kemarin dia duga akan menghantui fajar sampai tengah harinya. Catatan kecil; kemarin mereka sampai di taman dengan basah kuyup.

Ada rentesan air sialan datang tiba-tiba tanpa peringatan, hampir saja sumpah serapah keluar dari si bibir pucat. Untung saja sang musim gugur sigap menenangkan seperti aslinya.

Kembali pada keadaan sungguhan, Louis membanting pena bulu dipegangannya. Kesal karena tidak bisa keluar, walau dia bisa saja membolos. Tapi, dengan prinsip ketat dalam kehidupannya, nihil hasilnya bila kejadian itu terjadi.

Dalam otak terjadi sebaliknya, kertas film berputar kurang ajar menunjukan sosok besar tegap, badan atletis yang tidak seperti pegulat menjijikan yang ditangkap oleh kelompoknya beberapa waktu lalu. Matanya, tentu, menjadi daya pikat terbesar. Sayang pemiliknya merendah sangat, mengatakan bila kedua batu mulia itu merakyat; banyak orang yang punya.

Helaan nafas kali ini berat, seperti bahu yang harus dia angkat kini melemas, bersandar di kursi kebesarannya.

Louis P.O.V

Lagi-lagi aku berkelana di alam bawah sadar. Yah, tidak mungkin aku benar-benar keluar dari kantor. Tapi bukan ide buruk kau tau; berjalan perlahan menembus lorong gelap lantaran hujan kurang ajar itu belum juga berhenti. Menemui sosok yang paham medis jam segini juga ide yang tidak bisa dikatakan buruk. Bagaimana pun ini jam makan siang.

Akhirnya kupatahkan keinginan kakiku untuk diam, dan beranjak keluar dari pengap ruang ini. Tidak perlu menggunakan jas atau jaket atau topi atau tongkat jalan, banyak sekali ‘atau’nya. Terserah, sekarang aku lebih mementingkan akan memasak apa.

Di sini ada failitas dapur yang lumayan lengkap ya, jangan kalian pandang remeh walau ini bukan biro umum yang diakui pemerintahan.

Salad? Spaghetti? Keju yang ada dalam pendingin sepertinya masih cukup untuk dua porsi.

Pikirku tidak akan ada kejadian, hanya pikirku sebelum tubuh ini berputar arah. Oh! Jangan lupakan lengkungan aneh di mulutku, seperti ingin memuntahkan sarapan tadi pagi, yang berupa teh saja.

‘Hahh, sialan. Kenapa juga ada manusia menyebalkan itu di sana?’ 

Aku tidak ingin banyak kata berbunga jadi langsung saja aku katakan orang menyebalkan yang kumaksud adalah tunangannya.

Kaget? Terima kasih kembali.

Sampai gema langkahku berhenti barulah kusadari atap menjadi tempat pemberhentian. Bukan atap sebenarnya, hanya bagian atas bagunan ini, di bagian balkonnya. Untung aku mengambil lembur hari ini sehingga tidak mungkin ada orang lain bisa melihatku.

‘Dokter satu itu ternyata punya pikiran yang sama. Mendatangkan kekasihnya saat yang lain keluar, sungguh pencuri kesempatan sekali. Dikira kantorku ini tempat mesra-mesraan?’ Dumelku terus dalam hati.

Aku benci ketidak mampuanku mengekspresikan kemuakan ini. Peduli setan jika rambutku dan pakaianku basah berantakan.

Lagipula ada yang lebih sakit dibanding fisikku sekarang ini.

“Sebenarnya sejak kapan aku bertindak macam orang gila begini,” lirihanku pada diri menyedihkan pemuda akhir dua puluhan. Sungguh tragis karena gila yang ditunjukan cinta butanya.

Bumantara meratap penuh lara, tersampaikan segalanya yang aku rasakan, terima kasih telah menumpahkan menggantikanku.

End P.O.V

Kala pertama mereka bertemu itu adalah kejadian konyol di mana dia menjadi tersangka pembunuhan kereta. Kali kedua dan kali ketiga tidak dicertitakan keterjadiannya. Buana serasa lebar bagi mereka, berbeda bengan yang lain.

Kali tiga tahun lalu mereka baku jumpa di pemakaman. Bohongan makamnya, baru ketahuan sekarang. Singkirkan itu, dulu dia melirik seongkok dosa kotor bagai tikus got. Dia pemaaf, tapi terpukul waktu sahabatnya menghilang. Dan hei, pemuda itu juga kehilangan kakak laki-lakinya, dua orang pula.

Tidak tau siapa yang mendekat, keduanya suka menyusuri setapak taman kecil hasil pembangunan kota akibat lahapan jago merah. Bagus sekali pemandangan, cocok bagi yang ingin merajut kasih.

Kecuali dia.

Selain Louis yang berduka sebelum memulai. Dia yang diam sekarang kena batunya. Ganjaran sebab mulutnya bungkam.

Tentulah dia diam, pasalnya tabu jika dia mengucap kata itu. Kata yang anak Hawa itu bisa sebut se-enaknya tanpa ada penghakiman dari sekitar. Tidak akan ada tunjukan geli orang-orang, lain sekiranya dia yang berbicara. Belenggu mengesalkan, terkutuk, mati saja sana kalau pakai kata-katanya.

“Katamu cinta itu buta? Iya, saking dia buta dia tidak bisa melihat jalin benang sutra yang aku jaga dari tusukan jarum keji bernama harkat dan ego masyarakat.”

Caci maki merupakan hukum ringan, kemaluan yang bisa dia tahan namun enggan dirinya beri barang sepertiga- seperdelapan untuk sosok terkasih. Perngorbanan dungu.

Lihatlah dirinya kini, penuh dengan sendu pilu, yang nestapa senang mengelilinginya.

“Kalau memang aku bukan akhir bagimu, maukah kau menjadikanku bayang romansa picis? Jika aku mustahil menjadi Nirwana atau buana, bisakah aku berharap menjadi kalbu; lantaran serat pirang ini? Jangankan semesta! Aku tidak besar kepala mengharapkan itu, hanya kecil, bukan juga cakrawala, namun citta ini rindu akan insanmu.”

Sudahkah dia menumpahkan kesedihannya? Tentu belum, dan tidak akan habisnya jeritan kemalangan dia.

***

Pagi itu John terbangun dalam ruang prakteknya. Bahunya letih, kaku saat digerakan. Akibat tidur di sofa yang rada keras, salahkan jarum jam yang cepat sekali berputar menjadi tengah malam sampai dia malas untuk beranjak pulang.

Syukur dirinya laki-laki, tungannya sudah pulang duluan, takut Nyonya kediaman anfal penyakitnya.

Perlahan tulang-tulang diregangkan agar tidak ada salah saraf. Berasa cukup, dipakainya jaket yang tergantung, udara saat ini dingin sedikit, tidak cukup membekukan.

Kenop pintu diputar, hidungnya menghirup bau kayu berembun cocok dengan penggambaran tempat itu. Jalannya pelan, tidak ada orang tapi siapa tau ada petugas yang ronda malam belum balik, atau tamu yang suka datang kepagian lantaran meninggalkan barangnya.

Belum lama namun dia sampai pada pintu kayu jati. Yang beda pintu itu terbuka, jarang sekali pemiliknya membiarkan terbuka.

Ya benar saja, pantas terbuka karena orang itu terlihat masih duduk sambil menggerakan tangannya, menimbulkan pekikan kaget serta bunyi lembaran kertas konsisten dibalik.

“Jangan ribut, dokter. Ini masih sangat pagi—”

“Karena ini masih pagi aku teriak! Kau tidak tidur lagi!? Sudah kukatakan untuk tidak sering begadang!” Kecak pinggangnya belum layak menuai perhatian dari pemuda satunya.

“Tidak apa-apa, banyak yang harus aku selesaikan. Kemarin aku bolos jadi tidak apa-apa,” benar, tidak apa-apa.

Belum dia menarik kertas berikutnya, lengannya telah mengikuti langkah tergesa dari pria satunya. Mendudukannya di sofa ruangan, cepat-cepat membungkus pundaknya dengan selimut entah dari mana. Tatapan coklat itu menusuk, bak induk yang mendlik anaknya.

“Dokter—”

“Diam dan jangan ke mana-mana! Jangan juga berpikir untuk balik ke mejamu, direktur Moriarty.”

Tak berselang lama, poeselen panas bersarang ditangkupan tangannya. Secangkir Earl Grey dihidangkan bersama roti tawar berselai. “Aku mungkin tidak jago menyeduh teh atau memasak, namun setidaknya aku jamin ini aman untuk dikonsumsi. Nah, sekarang isi perutmu dulu, Louis.”

Kicau burung saja tidak terdengar, setidaknya belum. Subuh itu terlalu dini baginya meratapi takdir sekali lagi. “Kebaikan itu menusuk kejam bukan?”

“Louis?”

Delima itu sekali lagi mengabaikan kemilaunya. Pupus harapan dan tidak ingin lagi bertanya, “dokter tau kenapa ada yang dinamakan ‘masa lalu’ dan ‘masa depan’?”

Walau kebingungan John merasa harus melanjutkan percakapan ini, “Karena waktu yang terus berputar?”

Senyumnya semakin sirat gentir, “kalau kukatakan, karena apa yang terjebak di saat lampau tidak akan bisa menolehkan kepala, hingga yang dia harapkan hanya sebuah berakhir, bukan lagi akhir, bagaimana.”

Tidak ada lagi tanda tanya, cukup sudah permainan teka-teki ini.

Bagaimana pun dia tidak akan mendapat akhir.

“Hari ini aku ada misi di gudang dekat pelabuhan. Dokter harus ikut sebagai tenaga medis karena diperkiraan komplotan mereka banyak sekali. Apa itu tidak masalah?”

“Ah? T-tentu saja. Aku siap membantu kalian semua!”

“Baiklah kalau begitu aku bersiap dulu. Jam satu siang kita akan rapat.”

Tbuh itu berdiri, bersiap untuk menyusun perlengkapan-entah-apa-namanya-Louis-tidak-tau, “aku akan datang lagi nanti. Sampai ketemu sebentar siang, Louis.”

“Sampai ketemu, dokter.”

Sebelum kayu tebal itu tertutup, engselnya berhenti sejenak, “menurutku akhir bukan selalu menjadi tujuannya. Kalau bisa terus melangkah, bukannya lebih baik begitu? Aku, juga tidak akan terburu-buru mengambil sebuah akhiran walau memang melelahkan jika berjalan terus.”

Bukannya ini kekalahan telak untuk Louis. Menolak sebelum tersadar, ingin berlanjut namun ditampar kenyataan, hingga memilih akhir pun ditentang oleh konsonan fana.

“Bila memang aku harus menjadi antagonis dan mengubah masa lalumu, atas dasar egois, maukah kau memaafkanku yang hina dan terpaku pada sebuah akhir? Yang bahkan hatiku ini menjerit kesal lantaran segan menyelesaikan cacat ini?”

Lelehan itu sudah kering untuk meluncur turun membasahi tirusnya. Louis akan memilih diam seperti sebelumnya, memilih rasa sesak yang dalam delusinya semata untuk cekungan manis pria-nya.

Kau yang menyuruhku berhenti, di saat kau sendiri tidak tau jika orang itu tertujukan padamu. Kau yang menghancurkan harapanku, masih bolehkan aku mendoakan kebahagiaanmu jatuh ke tanganku saja? Tidak perlu jantung atau hati, cukup uluran jemarimu saja diarahkan kepadaku, apakah itu juga terlarang?

Kalau Surga membuangku, dan Neraka menolak kebedaraanku, dunia mencemooh kelahiranku, rumah bukan lagi tempat tinggalku, masih maukah kau menjadi jembatan tempatku berteduh?

Pada akhirnya hanya tanda tanya yang mampu ku-ucapkan, seperti aku yang menunggumu menjawab pernyataan damaku; asmara yang tiada habis.

Leave a Comment

Item added to cart.
0 items - Rp 0
Beranda
Cari
Bayar
Order