Aku harus kuat, karena aku memikul tanggung jawab besar di pundakku.
***
“Bagaimana bisa kau biarkan hal semacam ini terjadi?!” Pekik Seunghwan tertahan. Jemarinya sibuk menunjuk-nunjuk ke sebuah cover majalah yang sejak tadi menjadi perhatian Taeyong. “Beruntung agensi majalah ini tidak terlalu terkenal. SM juga sudah mengatasinya hingga tuntas. Dan publik yang terlanjur melihat juga sudah diyakinkan kalau foto ini hanya rekayasa komputer.” Seunghwan menghela nafas, lelah. Sesekali ia memijat keningnya yang berdenyut nyeri. “…tapi tetap, kalian tidak mungkin dimaafkan begitu saja. Keputusan ada di tangan Lee-sshi.”
Taeyong menunduk. Perasaan bersalah, takut, dan khawatir bercampur di dadanya. Rasanya ocehan Seunghwan hanya terdengar seperti sayup-sayup ditelinga Taeyong. Semua hanya berputar tentang skandal, profesionalisme, konsekuensi, egoisme, dan tanggung jawab. Taeyong seperti kehilangan dirinya. Saat ini ia bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya menatap ke setiap inch tinta yang tercetak di atas cover majalah itu. Membentuk sebuah gambar yang sangat familiar.
Di sana terlukis begitu nyata.
Dirinya. Jaehyun. Jalan yang sepi. Berdiri. Berciuman.
Dan seribu kalipun Taeyong memastikan, gambar itu memang asli. Memori Taeyong sendiri yang memastikan itu bukan rekayasa. Dan itu tidak memberikan setitikpun kesempatan bagi Taeyong untuk menyangkal.
“Besok, kau diminta untuk menghadap Soo Man-sshi. Aku yakin kau bisa mengatasinya sebijaksana mungkin.”
“A-apa, aku harus mengajak Jaehyun?” Tanya Taeyong pelan.
“Tidak perlu.” Seunghwan menggeleng tegas. “Untuk beberapa waktu ini kalian harus saling menjaga jarak. Jangan sampai kalian tertangkap kamera di saat yang tidak tepat lagi.”
Taeyong menggigit bibir.
Menjauh dari Jaehyun…
Benar. Ia sudah menduga hal itu akan terjadi. Taeyong juga sudah mempersiapkan hatinya sejak jauh-jauh hari. Karena sejak awal ia tahu apa yang ada diantara dirinya dan Jaehyun adalah sebuah kesalahan.
Hanya saja.. Taeyong tidak mengira akan seperti ini jadinya..
“Jeongmal mianhae, hyung.”Taeyong menunduk dalam-dalam. “Aku janji aku akan menyelesaikan masalah ini.” Ucap Taeyong sungguh-sungguh. Dengan tangannya sendiri ia akan mengakhiri apa yang telah diperbuatnya.
***
“Hyung? Sudah makan??” Suara khas Ten yang pertama kali menyambut Taeyong saat ia masuk ke dorm.
Taeyong hanya menggeleng dan tersenyum. “Aku sudah makan dengan Soo Man-sshi tadi.” Jawab Taeyong sambil berlalu ke kamarnya.
Mendengar nama ‘Soo Man’, Ten langsung bungkam. Sedang Yuta dan Haechan saling bertukar pandang. Khawatir.
Tentu saja masalah Kangteuk akan menjadi masalah bagi semua member.
“Oh, iya.” Taeyong berbalik, menghadap Ten. “Kalau Jaehyun sudah pulang, bilang padanya untuk menemui aku.”
Ten hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Aku ada di kamar sampai nanti malam,” setelah mengatakan itu, Taeyong masuk ke kamarnya dan menutup pintunya dari dalam.
Ten meletakkan spatula yang sejak tadi digenggamnya. Tangannya gemetar.
“Bagaimana ini? Bagaimana kalau masalahnya tidak selesai?” Bisiknya takut.
Yuta hanya menggigit bibir. Bingung harus bicara apa.
“Masalahnya pasti selesai,” ucap Haechan tiba-tiba. Ia menyuap sesendok pancake sebelum berkata, “Taeyong leader kita. Dan aku percaya padanya..”
Untuk pertama kalinya, Haechan bicara dengan nada yang begitu meyakinkan.
Yuta dan Ten hanya menunduk. Mereka ingin mempercayai ucapan Haechan. Sesulit apapun situasinya. Biar bagaimanapun, mereka harus percaya pada Taeyong, leader mereka.
***
‘Masalahnya pasti selesai,’
‘Taeyong leader kita. Dan aku percaya padanya.’
Taeyong menelan ludah. Getir. Ia jatuh terduduk, lalu bersandar lemah ke balik pintu. Tentu saja ucapan Haechan terdengar olehnya. Entah itu sengaja atau tidak, Taeyong merasa tanggung jawab yang dipikulnya semakin besar saat mendengar ucapan Haechan.
Untuk kali ini saja, Taeyong membiarkan dirinya tersuruk. Tampak begitu lemah dan menjadi bukan dirinya yang biasa.
Apa yang diucapkan Seunghwan-sshi benar. Berani berbuat, maka harus berani bertanggung jawab.
Sekali ini saja. Taeyong ingin menjadi Eunhyuk yang cengeng. Begitu mudah menumpahkan airmatanya saat sedih, senang, atau merasa terganggu. Sekali ini saja Taeyong ingin menjadi Haechan. Yang begitu terbuka menunjukkan emosinya. Menjerit saat ia marah, mendengus, memaki, atau apapun yang dapat mengurangi beban hati mereka.
Kali ini saja.. Taeyong ingin menjadi sosok yang egois. Baru setelah itu ia berjanji akan menyelesaikan masalah ini.
Seperti memikul ratusan kilo beban, kepala Taeyong jatuh lemas bertumpu di atas kedua lututnya.
Taeyong duduk tanpa suara. Ia benar-benar membiarkan bulir-bulir emosi itu mengalir jatuh di pipinya.
Taeyong terisak pelan. Belum pernah ia tampak se-menyedihkan ini. Apa yang ia tangisi sebenarnya?
Bukankah ia sudah mengambil keputusan yang tepat?
Taeyong tersentak pelan saat terdengar suara ketukan dari belakangnya.
“Hyung, ini aku.. Boleh aku masuk?” Suara Jaehyun..
Taeyong menghapus sisa-sisa airmata di wajahnya. Ia telah membuat keputusan besar dan ia tidak boleh terlihat ragu di depan Jaehyun.
Taeyong duduk diatas tempat tidur sebelum mempersilahkan Jaehyun masuk.
“Hyung?” Jaehyun muncul dari balik pintu. “Kau memanggilku kan?”
“Ya.” Lagi, topeng Taeyong terpasang dengan sempurna. Seulas senyum rileks terukir diwajahnya.
Taeyong ingin meminta Jaehyun untuk duduk di sisinya, tapi itu mungkin akan membuat keadaan diatara mereka semakin canggung. Atau lebih buruknya, hal kecil seperti itu membuat pertahanannya runtuh didepan Jaehyun.
Seperti membaca ekspresi wajah Taeyong, Jaehyun menarik kursi kecil di dekat lemari. Lalu duduk disana setelah memastikan jarak diantara dirinya dan Taeyong cukup aman.
“Aku duduk disini saja, hyung.” Ucap Jaehyun memecah suasana.
“Ah. Ya.” Jawab Taeyong canggung.
Sempat sunyi sejenak. Mereka hanya duduk diam. Tidak berani memandang satu sama lain, dan bergulat dengan pikiran mereka masing-masing.
“Hyung? Kudengar kau baru menemui Soo Man-sshi..” Sekali lagi, Jaehyun yang mencoba memulai pembicaraan. Taeyong mengangguk datar. Sungguh, ia tidak bermaksud besikap cuek atau mendiamkan Jaehyun. Tapi ini demi kebaikan mereka berdua. Jaehyun harus percaya kalau Taeyong sudah memikirkan keputusannya dengan matang.
“Apa… Soo Man-sshi berpesan sesuatu.. untukku?” Jaehyun melirik Taeyong, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat mata mereka bertemu.
“Tidak.” Taeyong menggeleng. “Soo Man-sshi tidak membahas soal masalah itu. Hanya obrolan kecil. Dan…” Taeyong tercekat. Ia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Mati-matian Taeyong berusaha menahan emosi yang sudah meluap di kerongkongannya.
“Dan?”
“Ada beberapa perubahan jadwal, kita tidak boleh berada di dalam satu acara lagi. Kita tidak perlu melakukan fanservice atau syuting bersama..” Terang Taeyong
“Dan..” Taeyong menahan nafas, berusaha mengumpulkan tenaga untuk mengatakannya. Ini yang terberat..
“… Tidak boleh lagi.” Ucap Taeyong tegas, bertolak belakang dengan hatinya.
Jaehyun spontan memandang wajah Taeyong, berusaha mencari keraguan disana. Tapi raut datar itu tidak menyampaikan apapun. Dan Jaehyun tidak bisa mengingkari kalau ia mendengar keseriusan dalam kalimat Taeyong. Apa itu artinya Taeyong juga memutuskan untuk menyerah? Jadi ini keputusan Taeyong?
Jaehyun memandang Taeyong dengan senyum getir. Taeyong memuji dirinya sendiri. Mungkin sebenarnya ia memang lebih berbakat dari Taeil. Berakting membohongi diri sendiri.
“Jadi itu artinya…”
“—kita putus.” Sambung Taeyong cepat. “Dan mulai sekarang aku akan tinggal di lantai sebelas. Kau tetap disini.” Taeyong mengatakannya dengan santai, seolah memang tidak ada beban yang menghimpitnya saat kata-kata itu meluncur dari bibirnya sendiri.
Jaehyun masih memandang wajah Taeyong. Emosi di rautnya mengendur, putus asa.
Mungkin memang tidak bisa diperbaiki, semua ini harus diakhiri.
Jaehyun menggeleng pelan lalu berkata “Tidak perlu hyung. Kau tidak perlu pindah, karena mulai lusa aku tidak akan tinggal di dorm lagi.” Jaehyun tertawa pelan. Entah apa yang ditertawakannya, keputusan bodohnya ini atau takdir yang mengikat mereka di garis awal. Taeyong sudah mengambil keputusannya sendiri, karena itu ia juga akan memilih jalannya –sendiri.
“Apa maksudmu?” Kening Taeyong mengerut, ia membaca sesuatu yang lebih buruk dari raut Jaehyun.
“Aku sudah memikirkannya dengan matang. Minggu depan aku mulai menjalani latihan wajib militer. Malam ini aku akan mengatakannya pada manager-hyung.”
Kali ini Taeyong yang tercekat. Kata-kata Jaehyun tadi seolah menghantam dada Taeyong. Keras. Sesak rasanya. Sebenarnya Taeyong sudah memutuskan untuk menjauh dari Jaehyun. Tapi ia tidak mengira kalau mereka akan benar-benar ‘jauh’. Taeyong menunduk. Ia tidak berani menatap wajah Jaehyun, ia tak ingin Jaehyun menemukan sebersit luka di matanya lalu ikut merasa bimbang dengan keputusan yang telah mereka ambil. Ini semua demi kebaikan mereka berdua, dan demi kebaikan seluruh member. Karena itu ia harus kuat.
Taeyong mengerjap beberapa kali, berusaha untuk tenang.
“Oh.” Akhirnya, hanya itu yang keluar dari bibir Taeyong.
Jaehyun hanya mengangkat wajahnya sedikit, pandangannya nanar. Ia kecewa. Padahal Jaehyun berharap setidaknya, sedikit saja, sosok yang ia cintai itu mengatakan sesuatu.
“Aku akan menemui manager-hyung sekarang.” Jaehyun bangun. Perlahan. Rasanya berat, ia masih mengharapkan sesuatu dari Taeyong. “Apa masih ada yang ingin kau katakana, hyung?” Tanya Jaehyun, setengah berbisik. Sedikit berharap Taeyong akan mencegahnya. Namun tidak, harapan Jaehyun pupus saat Taeyong hanya menjawabnya dengan gelengan cepat.
“Kalau begitu aku permisi, hyung.” Raccon itu membungkuk, menunjukkan penghormatannya pada Taeyong, mungkin untuk yang terakhir kalinya.
“Tunggu…”
Jaehyun baru akan membuka pintu. Entah apa yang menghentikan langkahnya, panggilan Taeyong, atau sebersit harapan di dadanya. Ia berpaling, menatap Taeyong yang masih membeku disana.
“Ya, hyung?”
“Emh.. Baik-baik di sana ya! Semoga sukses..” Ucap Taeyong sambil tersenyum tegar.
Jaehyun membalas senyum Taeyong.
‘Ternyata kau memang tidak ingin mencegahku, hyung?’ Lirih Jaehyun dalam hati. Padahal kalau Taeyong menunjukkan sikap bertahan, sedikit saja. Jaehyun bersedia mengorbankan semuanya. Kalau saja Taeyong bersedia bertahan bersamanya, Jaehyun bersedia melawan dunia. Tapi Taeyong menyerah di sini. Apa yang dapat dilakukan Jaehyun hanya dengan sebelah sayap?
Ini jalan yang dipilih Taeyong. Jaehyun tidak berhak untuk menghalanginya. Pilihannya hanya tertinggal satu : Memilih jalan yang bersimpangan.
“Jaga diri. Jangan ceroboh, tidak ada aku disana yang bisa menjagamu. Dengar itu Jaehyun.”
Itu yang terakhir. Jaehyun tak ingin mendengar apapun lagi, ia tak ingin berharap. Karena pada akhirnya harapan itulah yang akan membuatnya kecewa.
“Ya, hyung.” Jaehyun membuka pintu. “Terimakasih, untuk selama ini. Untuk semuanya.”
Dan sosok itu menghilang bersama dengan pintu yang tertutup. Kisah ini berakhir sampai disini.
***
Di dunia yang terukir gelap inilah. Doaku kembali padam..
Dan demi kepedihan yang tidak terhapuskan, kuizinkan hariku pergi…
AAA NO N NOOOO NONONONONONO NO LET JUST BE UGHH AYOLAH PERJUANGIN BEB ASTAGA😭😭 AYOOO!! SINI! ya allah nangis nangis..
The moment “Mungkin aku memang pandai berakting, berbohong pada diri sendiri” DAMN IT HURT ME SO MUCH?!? I like your writting 😭😭😭 fighting 😭 AAAAAA