Rock*bye

 

 

Pukul empat sore, Seokjin mengemasi barang dan hendak keluar dari ruang kerjanya. Langkah kakinya terhenti ketika mendengar suara seseorang.

“Seokjin, eummm.. Ik heb voor film een extra kaartje.. Heb je volgende week zaterdag tijd? (Seokjin, eummm.. Aku punya ekstra tiket movie .. apa kau ada waktu hari sabtu depan?)”

Pria berperawakan tinggi besar dengan mata biru khas orang Eropa itu menatap penuh harap pada Seokjin.

Sorry, Eric. I have my own schedule for this weekend” Seokjin tersenyum tidak enak hati karena telah menolak ajakan pria itu untuk kesekian kalinya.

“Ah, Ja (ya).. I see” Eric mengulum senyum, ia kecewa karena lagi-lagi dirinya ditolak oleh pria cantik di hadapannya.

“Eric, je bent knap (Eric, kau tampan), you can get someone better than me. I’m sorry” Seokjin menepuk pelan punggung pria tampan di hadapannya sebelum berlalu memasuki lift.

Pria bernama Eric itu mengusak surainya kasar. Lagi-lagi Seokjin membuatnya patah hati, sepertinya memang benar jika ia harus berhenti untuk mencoba mendekati pria cantik itu.

 

β€”β€”πŸŒΏπŸŒΏπŸŒΏ

 

 

Semilir angin musim semi pada sore hari menerbangkan helaian anak rambut sewarna madu miliknya. Seokjin berjalan-jalan santai dengan putra kecilnya yang baru berusia tiga tahun.

“Papa, papa, papa, Ik vind het weer goed. Het weer is prachtig (papa, aku suka cuacanya. Cuacanya sangat bagus)”Β 

Seokjin tersenyum mendengar ucapan si kecil. Anaknya itu semakin pintar dari hari ke hari. Disaat balita seusianya belum lancar mengucap kata, namun putranya sudah lancar berbicara.

“Echt waar? (Benarkah?)”

“Ja, papaa”

“Soobin, are you tired? Mau papa gendong, sayang?”

Soobin atau lebih tepatnya Kim Soobin, adalah nama yang diberikan Seokjin untuk putra kecilnya.

“Gendong, papa” si kecil mengulurkan tangnnya pada sang papa, meminta digendong. Seokjin terkekeh gemas melihatnya.

 

Mereka memasuki salah satu restoran casual dining yang ada di pinggir jalan kota Den Haag. Seokjin membawa Soobin yang ada dalam gendongannya ke salah satu meja yang berada di pinggir jendela. Ia membuka buku menu yang tersedia di atas meja.

 

“Goedenavond. Hoe kan ik u helpen? (Selamat sore. Ada yang bisa saya bantu?)” Ucap seorang waiter dengan ramah kepada Seokjin.

“Goedenavond, Ik zou graag iets willen bestellen (Selamat sore, saya ingin pesan sesuatu)”

Seokjin dengan tenang menyebutkan pesanannya pada waiter yang membawa note kecil. Waiter itu kemudian memasang baby chair untuk Soobin sebelum berlalu dari hadapan mereka. Seokjin menoleh pada Soobin disampingnya ketika anaknya itu memanggilnya.

“Ada apa, sayang?”

“Papa, look at that! A motorcycle!” Si kecil bertanya dengan jari tangan menunjuk ke arah jalanan di luar. Seokjin tertegun sejenak ketika melihat apa yang ditunjuk oleh jemari anaknya, sebuah motor Harley yang terparkir rapi didepan restoran.

Seokjin tiba-tiba teringat dengan masa lalu, sudah lama sekali dirinya tak merasakan sensasi berkendara dengan motor besar itu. Berkendara dengan teman-temannya, dan juga.. Namjoon. Bagaimana kabar pria itu? Ia segera menggelengkan kepalanya guna mengusir rasa aneh dalam pikirannya. Ia sudah punya Soobin disisinya, dan itu sudah lebih dari cukup untuk Seokjin.

“Ah ya, bagus sekali ya motornya. Nah, sekarang kita makan dulu ya” Seokjin segera mengalihkan perhatian si kecil pada makanan yang baru saja diantar oleh waiter.

Mereka makan dengan tenang sore itu, Soobin yang duduk di atas baby chair juga memakan makanannya dengan dibantu Seokjin sesekali.

 

 

β€“β€“β€”πŸŒΏπŸŒΏπŸŒΏ

 

 

“Papa, eummm..”

“Iya? Ada apa, sayang?”

“Apa Soobin punya daddy?”

Pertanyaan polos anaknya membuat Seokjin tercekat. Ia mengatur intonasi suaranya agar tetap tenang.

“Kenapa Soobin bertanya seperti itu?”

“Teman Soobin di daycare bilang kalau dia punya daddy dan papa dirumahnya”

Seokjin tersenyum mendengar penjelasan putra kecilnya. Oh ya, Seokjin selalu menitipkan putranya di daycare dan akan menjemput Soobin ketika jam pulang kerja.

“Soobin sayang, tentu saja Soobin punya Daddy. Tapi untuk sekarang, daddy Soobin sedang bekerja di tempat yang jauh”

“Echt waar, papa?”

“Iya sayang, sekarang ayo kita gosok gigi dulu”

 

Pukul sembilan malam adalah waktu tidur untuk Soobin, Seokjin membacakan dongeng pengantar tidur untuk putranya. Setelah Soobin tertidur, Seokjin mengecup kening putra kecilnya itu dan membisikkan kalimat sayang layaknya mantra agar tidur si kecil dihiasi mimpi indah. Ia lalu keluar dari kamar putranya setelah menyalakan lampu tidur di atas nakas untuk Soobin.

 

Seokjin duduk di atas sofa ruang tamu miliknya. Pikirannya kembali berputar pada kehidupannya empat tahun belakangan ini. Masa sulit ketika awal kehamilannya, rasa ngidam serta bengkak pada kakinya ketika malam menjelang dan juga.. kerinduannya pada Namjoon. Seokjin sangat bersyukur dirinya dapat melalui semua itu seorang diri, anak dalam kandungannya lah yang menjadi satu-satunya penyemangat agar dirinya tetap bertahan. Soobin adalah malaikat kecilnya.

 

Putranya itu dari hari ke hari semakin mirip dengan Namjoon. Baik sifat maupun wajah mungilnya. Setiap kali dirinya melihat wajah Soobin, semakin besar pula rasa rindunya pada Namjoon. Seokjin menyeka linangan air mata yang mengalir pada pipinya. Mengingat masa lalu membuatnya tak dapat mengontrol rasa emosional dalam hatinya. Namjoon mungkin saja sudah bahagia bersama keluarga kecilnya sekarang. Dan tak semestinya Seokjin kembali memikirkan pria itu. Soobin saja sudah cukup memberikan kebahagiaan untuknya, Seokjin merasa tak butuh yang lain lagi.

 

 

β€”β€”πŸŒΏπŸŒΏπŸŒΏ

 

 

“Hallo, Seokjin. Hoe gaat het met je? (Halo, Seokjin. Bagaimana kabarmu?)” Wanita keturunan Asia dengan rambut hitamnya itu menyapa ceria ke arah Seokjin.

“Hai, Byulyi. Kabarku baik, bagaimana denganmu sendiri? Kau nampak lebih segar setelah liburan ya”

Byulyi adalah teman pertama Seokjin disini. Wanita berdarah Korea sama sepertinya itu menetap di Belanda bersama suaminya yang memang orang Belanda asli.

“Oh, tentu saja. Jepang sangat menakjubkan. Kau harus mengambil cuti dan pergi liburan. Soobin juga sudah besar, dia pasti tidak akan rewel jika perjalanan jauh” Byulyi berucap antusias.

“Aku masih takut jika Soobin mendadak rewel, dia belum pernah perjalanan jauh”

“Kalau kau masih ragu untuk perjalanan jauh, Swiss cukup dekat dari sini, bukan? Disana juga tak kalah indah. Kau bisa mengajak Soobin melihat banyak pemandangan indah disana”

“Hmm, Swiss ya?”

Byulyi mengangguk antusias dan berkata jika Seokjin benar-benar harus mengambil cuti sesekali, karena menurutnya pria cantik itu sudah menghabiskan terlalu banyak waktunya untuk berkutat dengan dokumen.

By the way, apa Eric masih mengajakmu berkencan?” Byulyi tiba-tiba berbisik.

“Kurasa tidak lagi, aku baru menolak ajakannya minggu lalu” Seokjin berucap santai.

“Lagi!?” Byulyi sedikit menghentak meja membuat Seokjin berjingkat.

“Kau mengejutkanku!”

“Maaf,maaf, tapi Seokjin kau ini. Haish, apa kurangnya si Eric itu? Dia tampan, kharismatik dan yang pasti dia kaya. Haaahhh.. Andai aku masih jomblo, aku mau jadi pacarnya” Byulyi berucap dengan nada genit yang membuat Seokjin merotasikan bola matanya.

“Banyak yang harus kau pertimbangkan jika menjadi seorang single parent, Byulyi” Seokjin berkata dengan tenang.

“Ini bukan hanya tentangku, tapi juga Soobin ke depannya. Aku tak mau sembarangan berkencan dengan orang. Lagipula, aku sudah cukup bahagia bersama dengan anakku” imbuhnya yang membuat Byulyi terdiam seketika.

 

Tak ada yang pernah tahu alasan Seokjin menjadi single parent. Teman-temannya hanya menebak jika Seokjin mungkin seorang duda.

 

 

β€”β€”πŸŒΏπŸŒΏπŸŒΏ

 

 

Jauh dibelahan bumi yang lain, seorang pria yang berstatus sebagai seorang CEO muda itu kembali mengunjungi pantai dengan masih mengenakan setelan kerjanya. Ia memperhatikan lalu lalang orang yang berjalan-jalan sore di tepi pantai. Ada yang bersepeda, bermain pasir ataupun hanya duduk-dudukΒ  di tepi pantai guna menikmati sunset.

 

Ia tersenyum getir teringat seseorang yang ditemuinya di pantai ini. Ia tak tahu, bahkan tak pernah berfikir sebelumnya jika setelah apa yang terjadi diantara keduanya malam itu, Seokjin tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Getar pada ponselnya membuat pria itu sedikit terkesiap.

 

“Namjoon, kau dimana? Jangan lupa kita ada jamuan nanti malam” Suara laki-laki seusianya terdengar sesaat setelah ia menekan tombol hijau.

“Aku sedang mencari angin, hyung. Jangan khawatir, aku akan langsung ke restoran sebelum pukul tujuh” ucapnya sebelum mematikan sambungan telepon.

 

Haahhh.. I miss you, babe..

 

 

β€”β€”πŸŒΏπŸŒΏπŸŒΏ

 

 

Hari berganti, namun kesibukan Namjoon seolah tak ada habisnya. Lebih tepatnya, ia yang selalu menyibukkan diri. Tenggelam bersama dokumen dan laporan perusahaan miliknya.

 

Yoongi yang baru memasuki ruang kerja Namjoon seketika menghela nafas. Sahabatnya itu semakin hari semakin gila kerja. Namjoon yang dikenalnya saat ini sungguh berbeda dengan Namjoon yang dulu. Yoongi tahu jika Namjoon berubah sejak kepergian Seokjin. Ia sendiri tak tahu dimana pria cantik itu berada, Seokjin seolah hilang ditelan bumi. Hoseok bahkan teman-temannya yang lain juga tidak ada yang tahu keberadaan Seokjin.

Jangan dikira Yoongi dan Namjoon tidak berusaha. Mereka semua sudah berusaha mencari keberadaan Seokjin. Hoseok yang awalnya bungkam akhirnya mengaku jika Seokjin memang pergi keluar negeri. Namun ia sendiri tak tahu kemana perginya sang sepupu.

Namjoon benar-benar menjadi workaholic setelahnya. Bahkan setelah naik jabatan menggantikan ayahnya, Namjoon langsung memutus ikatan pertunangannya dengan calonnya dulu.

 

“Joon, mau berapa lama lagi kau disini? Ayo kita pergi, temani aku minum malam ini”

“Aku sedang sibuk, hyung” ucap Namjoon dengan tangan yang masih sibuk membolak balikkan map.

Yoongi bergerak mendekati meja kerja Namjoon. Tanpa banyak bicara, dirinya meraih map yang berada di tangan Namjoon dan menaruhnya di atas meja. Namjoon hendak protes, namun melihat Yoongi yang mengeluarkan aura mengerikan miliknya membuat Namjoon menelan kembali kalimat yang hampir keluar dari mulutnya.

 

 

Mereka berdua mengunjungi salah satu bar di daerah Itaewon yang tak terlalu ramai pengunjung. Salah seorang waitress berpakaian cukup seksi menghampiri meja mereka untuk mengantar pesanan. Wanita itu cukup berani untuk menggoda disertai kerlingan mata genit ke arah Namjoon yang tentu saja tak mendapat tanggapan dari si empunya. Yoongi yang melihat itu seketika terkekeh.

“Maaf nona, dia tak tertarik dengan wanita. Jadi hentikan itu” ucapan Yoongi menghasilkan dengusan kecewa dari waitress itu. Namjoon hanya menggelengkan kepalanya pelan, tak habis pikir dengan tingkah wanita jaman sekarang.

“Untuk apa mengajakku kemari, hyung?”

“Tidak ada apa-apa. Sudah lama rasanya kita tidak minum bersama” ucap Yoongi setelah menuangkan bir ke dalam gelasnya.

“Ya, kau benar. Jika kau tidak bekerja denganku mungkin kita juga akan sangat jarang bertemu” Namjoon berucap setelah meminum bir miliknya.

Yoongi menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan ucapan Namjoon.

“Apa kau mau kita mengadakan touring lagi? Sudah lama sekali klub motor kita tidak aktif”

“Jangan dulu, hyung. Kurasa aku masih belum sanggup untuk itu. Pikiranku terlalu penuh akhir-akhir ini, aku tidak mau mengacau nantinya”

Yoongi tahu jika Namjoon selalu menghindari topik ini. Sudah lama Yoongi tak melihat Namjoon yang mengendarai motor besarnya. Sahabatnya itu berubah setelah kepergian Seokjin. Tapi bukan hanya Namjoon yang merasa kehilangan disini, Yoongi dan teman-teman lainnya juga. Seokjin sudah seperti saudara bagi mereka.

“Baiklah, Nam. Aku hanya menyarankan karena kita baru saja memenangkan tender besar. Jadi sudah sepatutnya memberi sedikit reward untuk diri kita”

Mereka kembali minum hingga menghabiskan hampir lima botol bir.

“Apa kau berencana untuk liburan, hyung?”

Yoongi terkekeh mendengar pertanyaan Namjoon.

“Aku belum berpikir tentang itu, malah seharusnya dirimu yang butuh liburan”

“Aku? Kenapa aku?”

“Kau sudah terlalu lama bekerja, ambillah cuti sesekali. Senangkan dirimu, tak perlu khawatirkan perusahaan” kalimat Yoongi agaknya membuat Namjoon berpikir.

“Tapi hyung, kalau aku mengambil cuti maka kau yang akan kerepotan nanti”

“Tak masalah. Kau sudah menyelesaikan pekerjaan yang bahkan deadline nya masih bulan depan. Jadi tentu aku tak akan kerepotan. Pergilah jalan-jalan, sayang jika uangmu hanya dianggurkan saja”

“Hmm, menurutmu aku harus kemana?” Namjoon bertanya dengan tangan menumpu dagu.

“Sekarang sedang musim semi, bukan? Japan sounds good”

Namjoon terlihat berpikir sejenak sebelum kemudian menyuruh Yoongi untuk mengosongkan jadwalnya minggu depan. Ia sudah memutuskan untuk berlibur kemana.

 

 

β€”β€”πŸŒΏπŸŒΏπŸŒΏ

 

 

Bukan Jepang seperti saran Yoongi namun disinilah Namjoon berada, Swiss. Lebih tepatnya dia berlibur di ibukota negara itu sendiri, Bern. Ia menyukai sejarah dan hal-hal old fashion.

Maka Namjoon memulai hari pertamanya disini dengan mengunjungi museum sejarah Bern. Ia menyegarkan matanya dengan melihat-lihat isi dalam museum ini. Berbagai artefak dan peninggalan sejarah dipajang disini, hal yang sangat Namjoon sukai.

 

Dengan santai, dirinya berjalan mengelilingi museum ini. Namjoon menghentikan langkahnya ketika melihat anak kecil yang berjalan sendirian tanpa orang dewasa.

Anak kecil itu terlihat kebingungan dengan mata bulatnya yang menggemaskan. Mata itu, entah mengapa Namjoon merasa familiar. Ah, mungkin karena wajah anak itu yang terlihat seperti orang Asia, pikirnya. Namjoon kemudian berjongkok mendekatinya karena berpikir jika anak itu tersesat.

 

Namjoon tidak pernah berhadapan dengan anak kecil sebelumnya. Maka sebisa mungkin ia melembutkan nada bicaranya.

“Hi, kid. Are you lost? Where is your mom?”

“I don’t have ‘mom’. I came here with my papa”

Namjoon terkesiap, ia merasa telah salah bicara. Dalam hatinya terenyuh karena merasa kasian pada anak kecil ini. (Namjoon mengira jika anak sekecil ini sudah tak lagi memiliki ibu)

 

“So, where is your papa?”

 

 

“SOOBIN!!”

 

Suara dengan nada panik dari seorang laki-laki terdengar familiar dalam rungunya. Seketika Namjoon membalikkan badan, waktu terasa berhenti disekelilingnya.

 

 

β€”β€”πŸŒΏπŸŒΏπŸŒΏ

 

 

Seokjin tersenyum dengan Soobin yang terlihat sangat bahagia dalam gendongannya. Putranya itu tak berhenti berceloteh riang sejak kedatangan mereka kesini. Ya, Seokjin memutuskan untuk mengambil cuti dan berlibur ke Swiss. Sesuai saran Byulyi. Namun dia memilih kota Bern untuk liburannya.

Seokjin merasa takjub karena diluar dugaan, Soobin sama sekali tak rewel. Putranya itu sangat antusias karena ini pengalaman pertama Soobin naik pesawat dan berlibur ke luar negeri seperti ini. Seokjin sengaja memilih untuk pergi menggunakan pesawat karena tak mau menghadapi resiko Soobin yang kelelahan di jalan jika menggunakan mobil.

 

Tempat pertama yang dikunjunginya adalah museum sejarah Bern. Soobin sangat senang ketika memasuki museum. Anaknya itu sangat senang melihat berbagai benda sejarah yang ada di dalam museum.

Ponselnya berbunyi di dalam tas selempang miliknya, sehingga Seokjin harus menurunkan Soobin untuk mengangkat panggilan itu.

“Sebentar sayang, papa angkat telepon dulu ya” Seokjin mengangkat telepon dari kantor dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya menggenggam tangan Soobin.

“Hello. Ada apa, Byulyi?”

“Seokjin, maaf mengganggu liburanmu. Aku hanya mau bertanya, dimana kau simpan file untuk kerjasama kita dengan perusahaan X?”

“Aku sudah mengirimkannya lewat email pada sekretaris tuan Mark minggu lalu. Mungkin kau bisa bertanya padanya”

“Ik ben het er niet echt mee eens (Aku tidak terlalu setuju). Kau tahu sendiri jika sekretaris tuan Mark itu sangat judes padaku”

“Astaga, baiklah. Tunggu sebentar ya, aku akan kirimkan padamu lewat email

“Bedankt!(Terima kasih)! Kau yang terbaik, Jin. Semoga liburanmu menyenangkan!”

“Ya, ya, ya. Terima kasih juga, Byulyi”

 

Seokjin menutup sambungan teleponnya. Ia bergerak mengotak atik ponselnya guna mencari file yang hendak ia kirimkan pada teman kantornya itu.

Terlalu sibuk dengan ponselnya, Seokjin sampai tidak menyadari jika Soobin terlepas dari genggamannya.

 

 

 

Seokjin menutup ponselnya setelah menyekesaikan urusannya dengan Byulyi.

“Nah, ayo kita-Soobin!!”

Seokjin panik. Total panik. Netranya berpendar ke sekeliling guna mencari putra kecilnya.

Ia berjalan sambil terus memanggil nama anaknya hingga dibantu oleh petugas museum untuk mencari Soobin.

Seokjin sudah hampir menangis karena tak melihat Soobin dimanapun. Ia berulang kali merutuki kebodohannya dalam hati.

“Soobin, kamu dimana sayang?” ucapnya lirih.

Seokjin terus menyusuri tiap sudut museum, hingga akhirnya ia menemukan si kecil bersama seseorang.

“SOOBIN!!”

Seokjin tergesa berjalan sambil memanggil nama anaknya. Namun ia terkesiap ketika melihat orang yang bersama dengan putranya. Jantung Seokjin terasa jatuh hingga ke inti bumi.

 

 

β€”β€”πŸŒΏπŸŒΏπŸŒΏ

 

 

Namjoon memperhatikan bagaimana paras elok Seokjin yang semakin cantik sejak terakhir mereka bertemu. Hanya saja ia merasa jika pria cantik itu terlihat sedikit kurus.

“Bagaimana kabarmu, Nam?” Seokjin membuka percakapan. Ia hanya mencoba untuk mencairkan kecanggungan di antara mereka.

“Seperti yang kau lihat, babe

Panggilan itu.. Seokjin seolah kembali ke masa lalu ketika mendengar Namjoon memanggilnya dengan cara yang sama.

“Papa, het ijsje is zeer goed (Papa, es krimnya enak sekali)” Soobin menyodorkan es krim yang ada di tangannya ke arah Seokjin. Menyuruh sang papa untuk mencobanya juga.

Mereka bertiga sedang berada di salah satu kafe yang ada di dekat museum. Namjoon memperhatikan bagaimana telatennya Seokjin membersihkan lelehan es krim yang menempel pada pipi anak itu. Dalam diam matanya tertuju pada jemari lentik Seokjin yang terlihat kosong, tak ada cincin yang melingkar di jari manis pria cantik itu.

“Apa dia anakmu?”

Gerakan tangan Seokjin pada pipi anaknya terhenti.

“Ya.. ini memang anakku”

“Anak kandungmu?”

Seokjin terkekeh kecil mendengar pertanyaan Namjoon.

“Tentu saja, apa kami tak cukup mirip?”

“Ya.. kalian punya mata yang sama indahnya. Apa dia baru saja berbicara bahasa Belanda?” Tanya Namjoon yang di hadiahi anggukan kepala oleh Seokjin.

“Ya, kami tinggal di Belanda. Cukup tentangku, bagaimana denganmu sendiri, Nam? Apa kau sudah menikah dengan tunanganmu?”

Namjoon pikir, selama ini dirinya sudah mencari Seokjin hingga ke ujung dunia namun ternyata ia salah. Namjoon tersenyum kecut mendengar pertanyaan Seokjin.

“Tidak pernah ada pernikahan di antara kami, Seokjin. Aku membatalkan ikatan pertunangan kami”

Seokjin terkejut mendengar berita itu, meski dalam hatinya terselip setitik perasaan lega.

“Kenapa, Nam?”

“Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak aku cintai”

“Tapi seingatku, kau yang menerima pertunanganmu dulu, kan?”

“Status pertunanganku dulu hanyalah untuk kepentingan bisnis semata. Setelah aku menggantikan ayah di perusahaan, aku bisa bebas membatalkan pertunangan itu”

Sungguh Seokjin sangat ingin menjatuhkan rahang sekarang. Bertahun-tahun dia pergi dan selalu berfikir jika Namjoon sudah berkeluarga, nyatanya sampai sekarang pria itu bahkan belum menikah.

“Hey, jagoan. Siapa namamu?” Namjoon bertanya pada anak Seokjin.

“Eunngg, Kim Soobin, uncle” Soobin menjawab pelan dengan mulut yang masih sibuk memakan es krim.

“Soobin, nama yang bagus. Marga Kim itu.. milikku?” Namjoon bertanya dengan mata yang menatap lurus ke arah Seokjin.

“Tentu saja itu margaku, untuk apa aku memberikan margamu padanya?”

Namjoon membuang nafas mendengar ucapan Seokjin.

“Kim Seokjin.. Kau pergi menghilang begitu saja selama empat tahun ini, dan sekarang.. kita bertemu disini denganmu yang memiliki seorang anak. Tidak taukah kau jika aku setengah mati mencarimu!?” Namjoon sedikit menaikkan nada bicaranya, membuat Seokjin terdiam. Beruntung meja yang mereka tempati berada di sudut, jadilah tak ada orang yang memperhatikan.

“Soobin.. dia anakku, bukan?” Tambahnya.

“Namjoon..” Sela Seokjin.

“Dia anakku, aku benar?” Namjoon memotong.

“Kenapa kau sangat yakin sekali?” Seokjin menyahut cepat.

Namjoon mengalihkan pandangannya pada si kecil yang sibuk dengan makanan.

“Karena ketika melihat Soobin, entah mengapa aku seperti melihat diriku versi kecil”

“Banyak hal yang berubah dalam empat tahun. Apa kau tak berpikir jika aku menikah dan punya anak sebelumnya?”

“Kalaupun kau sudah menikah, aku tak akan ragu untuk merebutmu dari suamimu!” Tersirat kesungguhan dalam kalimat Namjoon yang membuat Seokjin terdiam dan menghela nafas.

Namjoon menyentuh tangan Seokjin yang terasa halus dibawah kulitnya, kemudian menggenggamnya.

“Aku memang pengecut karena tak bisa memperjuangkanmu sedari awal, tapi aku mohon kepadamu.. tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, babe

Seokjin merasakan matanya yang memanas serta pandangannya yang mengabur. Ia mendongakkan wajah untuk menahan air mata yang hendak jatuh, namun sia-sia. Setetes air mata meluncur dipipinya.

“Empat tahun, Nam.. Empat tahun aku menjauh darimu karena aku tak mau menjadi orang ketiga diantara dirimu dan tunanganmu. Aku sengaja tidak mengatakan yang sejujurnya padamu, karena aku berpikir.. jika aku tak bisa memilikimu, setidaknya aku punya bagian dari dirimu yang menemaniku.. Dan ya, Tuhan mengabulkan permintaanku.. Kau bisa lihat sendiri jika Soobin sangat mirip denganmu.. setiap aku menatap wajahnya, aku seperti melihat dirimu..” Seokjin menyeka air mata yang mengalir di pipinya.

Namjoon tiba-tiba berlutut di hadapan Seokjin, membuat pria cantik itu terkejut dengan apa yang dilakukannya.

“Kim Seokjin.. aku Kim Namjoon, dengan sepenuh hati memohon maaf padamu.. maaf atas semua kebodohan dan rasa pengecutku yang membuatmu salah paham dan pergi dariku.. maaf karena aku terlambat menemukanmu dan malaikat kecil kita..” Namjoon berucap dengan segaris air mata yang mengalir di pipinya.

“Namjoon, berdirilah” Seokjin hendak memaksa Namjoon berdiri, namun pria itu berbalik menggenggam tangannya.

“Kim Seokjin, menikahlah denganku! Mari kita berikan keluarga yang utuh untuk Soobin”

 

Sementara si kecil Soobin hanya mengerjapkan mata bulatnya, memandang kedua orang dewasa itu bergantian karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi diantara mereka.

 

 

β€”β€”πŸŒΏπŸŒΏπŸŒΏ

 

 

Seokjin bergerak membuka lebar-lebar jendela kamar yang ditempatinya agar bisa leluasa menikmati pemandangan alam yang ada. Matanya kemudian melihat cincin yang melingkar di jari manisnya membuat Seokjin kembali tersenyum. Ia sama sekali tak pernah menduga, jika liburannya kali ini benar-benar mengubah hidupnya.

Kemarin, tepat setelah dirinya mengatakan ‘ya’ pada lamaran Namjoon, pria itu segera membawanya dan Soobin pergi kesini. Interlaken, sebuah kota yang berada ditengah-tengah Swiss. Namjoon langsung membawanya pergi ke salah satu gereja tua yang ada di Unterseen.

Aku tak ingin kau pergi lagi dariku, itulah yang diucapkan Namjoon padanya.

Dengan kekuasaan yang dimiliki Namjoon, tak sulit bagi pria itu untuk menghubungi pendeta lokal beserta jemaatnya. Dengan hanya menggunakan pakaian kasual tanpa buket bunga yang tersemat ditangan, mereka mengikat sumpah setia dihadapan Tuhan. Beruntung Namjoon tak lupa mengajaknya mampir ke toko perhiasan untuk membeli cincin pernikahan dadakan mereka.

Semuanya terlalu cepat dan mendadak baginya, namun Seokjin merasa bahagia.

Sebuah tangan melingkari perutnya, hembusan nafas hangat Namjoon terasa menggelitik tengkuknya.

“Kau bangun terlalu awal, babe” pria itu bergumam dengan wajah yang mengendus leher Seokjin dari belakang.

Namjoon menikmati harum tubuh Seokjin tak pernah berubah sejak dulu, wangi lavender kesukaannya.

“Aku ingin menikmati udara segar pagi hari. Apa Soobin masih tidur?”

Namjoon mengangguk sebagai jawaban.

“Oh ya, orang tuaku dan teman-teman kita sedang dalam perjalanan kesini. Aku juga sudah menghubungi paman dan bibi Jung untuk ikut serta” Namjoon berucap pelan.

Seokjin berbalik badan menghadap suaminya. Dengan tangan Namjoon yang masih melingkar di pinggang rampingnya, Seokjin membawa tangannya untuk memeluk erat tubuh kokoh sang suami.

“Aku sangat bahagia, Nam.. Terima kasih telah menemukanku.. Terima kasih untuk semuanya.. dan aku minta maaf, karena tanpa sengaja telah menjauhkan Soobin darimu”

“Ssstttt.. sudah tak apa, babe. Justru dirikulah yang bersalah karena tidak peka sedari awal kau memberiku sepatu bayi itu” Namjoon mengelus punggung Seokjin sayang.

“Aku sudah memberimu clue sedari awal, apa kau masih menyimpannya?”

Namjoon tersenyum menjawab pertanyaan Seokjin.

“Tentu, meski sekarang tak lagi muat jika dipakai Soobin, bagaimana kalau kita pakaikan untuk adik Soobin saja?” Namjoon berbisik menggoda di akhir kalimatnya.

Seokjin melonggarkan pelukannya, ia menatap mata Namjoon sebelum menjawab.

“Ya, mari kita buat adik untuk Soobin setelah keluarga kita datang kesini” ucap Seokjin.

“Ide bagus, babe. Kurasa mereka akan dengan senang hati menjaga Soobin untuk beberapa waktu”

Namjoon membawa Seokjin ke dalam ciuman panjangnya. Dengan alam pegunungan sebagai background dan udara segar pagi hari, mereka berciuman menyalurkan rindu yang tertampung selama empat tahun belakangan ini.

 

 

 

β€”FIN

With Love,

Anabulnj

Item added to cart.
0 items - Rp 0
Beranda
Cari
Bayar
Order