Sorry,

  •    “Huaa, aku butuh pelukan!!” Suaranya sangat nyaring. Tubuh nya langsung ditabrakkan pada dada laki-laki yang telah merentangkan tangan selebar-lebarnya, tidak lupa dengan senyuman yang begitu manis.

        Nyaman satu kata yang cukup mendeskripsikan suasana saat ini. Setelah berkutat dengan tugas yang tak ada habis-habisnya, yang Aeri butuhkan hanyalah sebuah pelukan. Pelukan dari laki-laki yang amat dicintainya.

        “Mau makan ramyeon?” tanya Jihoon. Secepat kilat Aeri segera melepas pelukannya, kemudian mengangguk cepat dengan penuh antusias.

         “Ayo kita kerumahku dulu.” Tangannya merangkul bahu sang gadis. Mereka berjalan beriringan ditemani celotehan ringan dari masing-masingnya. Menyenangkan.

       Aeri meringis begitu obat merah itu menempel pada luka di kakinya. Tangannya meremat lengan laki-laki yang kini berjongkok untuk mengobati kakinya. Tidak terlalu dalam memang tapi cukup sakit kalau bersentuhan dengan suatu benda. Luka di lututnya ini juga lumayan lebar.

         “Uh, sudah kukatakan kalau kau tidak bisa naik sepeda, keras kepala,” omel laki-laki itu -Jihoon namanya- meski ia mengatakan itu, tidak ada raut kesal sedikitpun dari wajahnya. Aeri gadis itu hanya menatap lekat Jihoon yang kini sudah beranjak berdiri, setelah meletakkan salep pada lututnya.

        “Yaa, kau dengar tidak.”

        “Tentu saja aku dengar, aku tidak tuli, ” jawab Aeri pura-pura merajuk. Bibirnya di monyongkan ke depan.

        Tawa itu meluncur dengan ringan, tangan kekar itu mengacak rambut Aeri yang sudah berantakan sejak tadi, sebab kecelakaan barusan -menabrak batu oh tidak atau tergelincir, entahlah ia tidak begitu mempedulikannya-.  Begitu juga Jihoon. Tidak terjadi sesuatu yang parah saja Aeri sudah sangat bersyukur.

        Bibir itu semakin maju, kenapa ia malah ditertawakan. Memang apanya yang lucu?

         Aeri hampir menangis karena tawa laki-laki itu tak kunjung usai. Ia mengguncangkan bahu Jihoon yang duduk di sampingnya. Tak ada efek. Pasrah, kyaa.

          Namun, akhirnya ikut tertawa juga, mendengar tawa laki-laki itu adalah candu dan vitamin baginya. Ya, tawa seorang Park Jihoon adalah favoritnya. Bagaimana mata itu nyaris tak terlihat saking serunya tertawa. Entah mengapa sepertinya hari ini ia begitu bahagia, apapun alasannya aku juga ikut bahagia. Harus.

    Pukul 21.00 waktu Korea. Angin berembus cukup kuat untuk menerbangkan beberapa helai surai gadis itu. Dia Aeri gadis Jepang yang baru beberapa hari lalu kembali menginjakkan kaki di negeri gingseng ini.

         Jemarinya berpegangan erat pada jembatan pembatas antara dirinya dan sungai Han. Benar, sekarang ia di sini, menikmati pemandangan yang menakjubkan. Ia bisa melihat lampu-lampu kota yang sudah sepenuhnya dinyalakan saat malam hari. Cahaya berwarna-warni dari jembatan sungai langsung terjun bebas ke air yang tenang. Cantik. Cantik sekali.

         Aeri tersenyum samar tatkala ingatan itu kembali hinggap dibenaknya. Momen-momen yang terlalu manis untuk dilupakan, tapi juga meninggalkan luka yang cukup dalam. Seandainya takdir bisa diubah, apakah gadis itu boleh memilih untuk tetap bersamanya. Ataukah Aeri memilih tidak ingin bertemu dengan laki-laki itu, ia tidak ingin pernah mengenalnya. Sama sekali. Ah, mungkin jika saja tidak akan begini akhirnya.

       Matanya terpejam. Tangannya semakin kuat mencengkram pembatas, takut seandainya pegangan itu lepas dengan sendirinya. Meninggalkannya seorang diri. Persis seperti yang dia lakukan.

      Sesak kembali merayapi dadanya, kepalanya digelengkan pelan. Gerakannya kuat. Aeri harus mengusir jauh pikiran itu. Untuk tetap bersama, rasanya tidak mungkin. Nyaris mustahil untuk diwujudkan.

         Dari ribuan alasan tidak satupun yang bisa menjadi kemungkinan mereka bisa kembali, saling berbagi kasih?

          Kelopak matanya dibuka cepat, ia menghela napas kasar. Kakinya menyusuri trotoar dengan gusar. Sekarang ia akan pulang, pulang ke negara asalnya, ia telah memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di sana. Lalu melupakan kenangan di sini, termasuk kenangan indah yang telah dilaluinya bersama dia.

      …

      “Maaf Aeri, tapi aku harus mengatakan ini. Aku tidak bisa bersamamu lagi, ” ujar Jihoon cukup lama setelah ia membisu.

       “Maksudnya? ” Aeri tidak bodoh, untuk bisa mengartikan kalimat itu dengan baik. Ia tidak ingin berpikir aneh-aneh. Hanya mencoba positif thinking.

     

        “Gadis yan—”

       “Yang kemarin ada di rumah mu? Yang Ahjumma kenalkan padaku waktu itu? Kenapa dia?” tanya Aeri bertubi-tubi. Wajahnya tampak serius, tidak seperti biasanya kekanakan.

        “Aku akan bertunangan dengannya pekan depan,” jawabnya seraya mengangkat bahunya sebentar kemudian bersandar pada sandaran kursi. Enteng sekali.

        “Lalu aku? maksudku kenapa? Kenapa kau ingin? Kita sudah menjalani hubungan ini selama tiga tahun bukan? Itu bukan waktu yang singkat, ” tanya Aeri lagi. Kini mulai terbawa emosi, tampak dari gerakan tubuhnya yang mulai gelisah dan tidak nyaman. Dan tangannya yang menunjuk-nunjuk dirinya sendiri.

        “Maaf sekali lagi Aeri, dia teman masa kecilku. Kau tahu, kami pernah membuat janji dulu. Dulu sekali. Kami berjanji akan selalu bersama, tapi kemudian kami berpisah karena ia harus mengobati penyakitnya, ke luar negeri. Da—” Ucapan itu kembali dipotong.

        “Aku tidak ingin mendengar kisah kalian! Jadi, sekarang apa, kau dulu juga pernah berjanji untuk tidak meninggalkanku kan?”

       Laki-laki itu menghela napasnya lelah, ia tidak ingin berlama-lama dalam drama semacam ini. Jujur saja, ia tidak memiliki perasaan apapun pada Aeri. Ia hanya bermain-main? Waktu itu ia juga tidak serius mengatakan kalau ia mencintai Aeri, tapi gadis itu malah menerimanya. Lalu mereka sering jalan bersama, dan jujur hal itu membuatnya nyaman.

        Kemudian cinta pertamanya itu kembali setelah sekian tahun, laki-laki itu rindu? Jelas, tentu saja. Memang ini yang ia harapkan, menunggu pujaan hati yang sebenarnya kembali. Ada rasa bersalah juga di hatinya, bukankah itu jahat. Ya, Jihoon tahun itu jahat, dan sebab itu ia ingin mengakhirinya sekarang.

       “Kau bisa mencari laki-laki yang lebih baik dariku.”

       “Tentu, tentu saja. Laki-laki yang lebih baik, lebih pantas dan lebih segalanya darimu. Terimakasih, semoga kau tidak bahagia. Dan semoga kita tidak akan pernah bertemu lagi.”

        “Uh, maaf. ” Sekali lagi kata itu ia ucapkan. Matanya menatap lekat gadis yang telah hilang, setelah memesan taksi.

    Dan berakhir.

Leave a Comment

Item added to cart.
0 items - Rp 0
Beranda
Cari
Bayar
Order