22 April 2019
Sejak dulu, Kanna sering dibuat bingung oleh tiga pertanyaan dalam hidupnya. Semua adalah tentang “kenapa takdir seperti tidak mengizinkannya hidup lebih layak dari sekarang?”
Atau mungkin, bukan lagi ‘seperti’ ….
Karena, kenyataannya, ia memang tidak memiliki wajah cantik mulus seperti si primadona sekolahnya. Tekstur kulit kusam kering yang tidak diinginkan siapapun itu melekat pada wajahnya. Kanna juga tidak memiliki keadaan finansial yang bagus untuk sekadar membeli buku fiksi favoritnya. Keluarganya tergolong kelas menengah. Dibilang miskin, tidak juga—ia tidak pernah menerima bantuan sosial kecuali saat pembagian daging pada hari Idul Adha. Dibilang kaya, tidak juga—ia tahu keluarganya masih sering kekurangan uang untuk memenuhi keperluan bulanan. Terakhir, Kanna juga tidak memiliki kapasitas otak brilian sehingga bisa memenangkan trofi tinggi untuk sekolah. Bahkan, hanya untuk dirinya sendiri pun, tidak pernah.
1. Kenapa ia tidak ditakdirkan memiliki wajah yang cantik tanpa cela?
2. Kenapa ia tidak ditakdirkan lahir dari keluarga kaya?
3. Kenapa ia tidak ditakdirkan memiliki kecerdasan yang bagus dalam hal akademik?
Tiga pertanyaan itu menemani perjalanan Kanna saat langkah kakinya menjauh dari kelas. Cuaca yang tadinya cerah kini perlahan mendung, membuat gadis itu ingin berlama-lama di sekolah. Jika memutuskan pulang, pasti ia akan kehujanan di jalan sebab jarak rumahnya sangat jauh.
Lagipula, rasanya malas jika harus disambut keadaan rumah yang sangat monoton. Rumah itu berisi ayah, ibu, dan adiknya yang biasa menemani hari-harinya dengan suara teriakan khas anak PAUD saat dikerjai teman bermainnya, omelan khas ibu-ibu saat anak bungsu berusia lima tahun itu melakukan kenakalan kecil, atau juga sindiran halus ayahnya yang berkata, “Orang sukses itu nggak harus kuliah. Orang kuliah itu belum tentu sukses.” saat menyadari anak sulungnya segera lulus sekolah.
Merasa terlalu suntuk, Kanna pasti memilih tinggal satu jam lebih lama di area sekolah. Sebab, rasanya di rumah tidak terlalu baik untuk kesehatan mentalnya.
Gadis itu mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk menikmati warna rumput. “Ini awan sok-sok-an mendung, nggak mau hujan apa, ya?”
“Kanna?”
Netra gadis itu terbelalak. Langkah kakinya sontak terhenti. Ia menghela napas berat dan tiba-tiba ingin sekali memukul pemilik suara itu sebab telah membuatnya terkejut.
Ngapain dia di sini?!
“Ngapain muterin lapangan tujuh kali? Lagi manasik haji mandiri?”
Kanna mendelik, berbalik menatap pemuda pengganggu acara “estetik tapi sedikit galau” sore harinya ini dengan kesal.
Sejak kapan dia ngeliatin gue kayak gini?!
“Sejak putaran pertama.”
“Diem, ya! Gue nggak nanya!”
“Oh, gituu.”
Kanna mendengus setelah mendengar jawaban tak acuh dari pemuda yang kini mengangguk sok asik itu. Perasaan menyenangkan yang tadinya bertahan sekarang melebur bersamaan angin yang membawa hujan turun. Sontak, mereka berlarian menuju koridor kelas. Menyadari bahwa hanya ada mereka berdua, Kanna mendesis. “Gue mau ke atas. Dadaaahhh!” serunya, lantas berlari menuju lantai dua dan berhenti di depan ruang perpustakaan.
Pintu ruangan penuh buku itu masih terbuka. Jejeran sepatu di rak masih rapi. Kanna teringat, hari ini adalah hari kumpul anak pustakawan. Menetralkan napas sembari melepas sepatu ke atas rak, Kanna melongokkan kepalanya ke dalam ruangan. Gadis itu sudah biasa menghabiskan Rabu sore di perpustakaan sekolah, jadi anak pustakawan sudah terbiasa dengan kehadirannya. Tapi, kali ini, Kanna merasa respon mereka tidak seperti biasanya; seolah semua atensi telah Kanna curi.
Keheranan itu langsung terjawab saat sesosok makhluk kasat mata muncul di belakang gadis itu hingga ia sontak terkejut—kembali—dan beristighfar keras. “Astaghfirullahaladzim!”
Kano mengusap telinganya sembari berujar, “Pengang, kuping gue.”
“Lagian, lo ngapain ngikutin gue?!”
“Emang mau ke perpus.”
“Dih?”
“Yang mau ribut, di luar.”
Kanna mendelik ke arah salah satu anak pustakawan di dalam. “Dih, bukannya dilerai malah dipersilakan,” gerutunya sembari melengang masuk lantas merebahkan badan di karpet antara rak buku fiksi.
“Minggir, dong.”
Kanna geram, ingin sekali menendang kaki Kano agar tidak selalu mengikutinya. “Kok, lo ganggu, sih?”
“Bukan gue yang ganggu, tapi emang perpustakaan bukan tempat buat tidur.”
“Suka-suka, lah. Ini udah jam pulang.”
“Jangan tidur.”
“Hujan gini emang enaknya buat tidur, tau!”
“Jangan di perpustakaan juga. Ntar kalo pada pulang terus lo ditinggalin, gimana?”
“Nggak, lah. Gue masih bisa denger suara orang mau pulang.”
“Batu, lo! Mending sini, dah, temenin gue baca di meja sana.”
“Mager. Makasih.”
Kano menendang sedikit kaki gadis itu sampai empunya menggeram. “Gue kalo di sini kayak lo ntar yang ada ikut tidur. Kalo di sana, sekalian biar dekat anak pustakawan. Ntar nggak dikira aneh-aneh juga, kitanya.”
Kanna menghela napas berat. “Lo aja sana baca sendiri. ‘Kan, bukan anak PAUD lagi. Ngapain ditemenin?”
“Gue mau ngobrol.”
“Chat aja, deh.”
“Maunya di sini, sekarang. Bukan nanti.”
Kanna memijit pelipis. “Ya Allah, Cil.”
“Ayoo, Kannaaa.”
Sebelum Kano semakin gencar menunjukkan sifat merengek ala bocil-nya, mau tidak mau, Kanna pun mengiyakan permintaan anak manusia satu itu. Daripada dia semakin cerewet mengeluarkan dialog menyebalkan yang akhirnya tetap membuat Kanna menyerah sebab malas, gadis itu menurut saja dan mengikuti Kano duduk di meja dekat anak pustakawan. Ada empat meja rendah dengan alas karpet hijau di dekat rak buku-buku pengembangan diri yang biasa Kanna tempati. Kanna duduk di dekat meja yang terdapat kliping berwarna hijau—mungkin lupa dikembalikan pengunjung.
Kano mengambil sebuah buku bersampul hitam lantas membacanya dengan jarak satu meter dari Kanna, tak mempedulikan gadis itu seolah sudah tidak perlu diberi atensi. Kanna pun menggeleng—tak habis pikir, memutuskan untuk melanjutkan acara tidur sorenya dengan menaruh kepalanya di atas kedua lengan dan menghadap Kano. Barangkali, pemuda itu memang butuh dibacakan seperti anak PAUD nanti.
Masih jam tiga, Ashar nantian jam 4 sekalian nunggu hujan reda.
“Udah mau lulus,” celetuk Kano saat Kanna berada di ambang kesadaran.
“Hng?”
“Udah mau pisah?”
“Hah? Apa, sih?” Kanna menyahut lemah.
“Duh, kenapa gue bisa suka sama cewek selemot ini, coba?”
“Gue tampol, ya, lo!” seru Kanna, mengangkat kepala kesal. “Apa tadi? Lanjutin!”
“Iyaa, udah mau lulus, udah mau pisah.”
Rasa kesal Kanna perlahan lenyap, berganti dengan perasaan asing yang mulai menyelimuti hatinya—perasaan yang seringkali hadir saat ia akan menangis. Ia benci ini, tapi konon katanya, “setiap ada pertemuan, pasti ada perpisahan”, ‘kan? Dalam hidup, orang-orang akan datang dan pergi. Ada yang meninggalkan luka, ada pula yang meninggalkan pengalaman berharga. Pada hujan sore hari ini, akhirnya mereka bercengkerama.
“Kenapa?”
“Lo kalo ngomong jangan setengah-setengah, dong, No. Gue, tuh, nggak bisa nerjemahin apa yang lo bilang dengan tepat karena asumsi gue pastinya lebih banyak dari jumlah cewek lo.” Cewek yang suka lo, maksudnya.
“Apa aja emang?”
“Pertama, kenapa cepet amat kita—maksudnya sekelas, seangkatan—mau lulus? Kedua, kenapa gue muterin lapangan sebanyak tujuh kali? Ketiga, kenapa gue tiba-tiba murung abis lo bilangin ‘mau pisah’?” Kanna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Hng, yaaa, gitu, deh.”
Kano menaikkan alisnya. “Cewek gue ada tiga, jadi?”
“Mana gue tau?! Udah, lah! Kenapa jadi malah bahas cewek lo?” ‘Kan, gue cemburu.
Kano terkekeh. “Kenapa lo tadi muterin lapangan? Gue kira lagi manasik haji mandiri.”
Kanna terdiam sejenak, berpikir dalam diam—benar-benar menghentikan seluruh raganya dari gerak. Ini adalah kebiasaan yang sempat Kano salah pahami, sebab gadis itu justru terlihat seperti dirasuki setan batu, alias setan yang tidak bisa bergerak. Kano tidak tahu menahu soal setan itu, sebenarnya; hanya pemikiran tak berdasar kalau kata Kanna. “Sebenernya …, tadi, cuma gabut, sih. Makanya muterin lapangan tujuh kali. Pas udah kehitung enam, capek, cuma, ‘kan, Allah suka bilangan ganjil, jadi gue genapin tujuh.”
“Ganjil,” koreksi Kano, menghela napas dalam-dalam; menahan rasa geram yang tiba-tiba datang. “Lo capek?”
“Maksud?”
“Capek lahir batin. Dari kemarin, gue lihat lo diem mulu. Di kelas, di kantin, di masjid, di lapangan juga. Gue takutnya lo kerasukan setan bisu; bisanya cuma diem. Eh, kalo cuma bisa diem berarti nggak bisa apa-apa, ya?”
Kanna sudah tidak sabar untuk tidak menggampar bahu pemuda itu. Suara tamparannya lumayan keras. Bukan hanya menyebabkan perhatian anak pustakawan terinterupsi, kini tangan kanan Kanna juga terasa panas.
“Sakit, bego!” seru Kano tertahan.
“Kasar!”
“Ngaca!”
Kanna lelah, kembali meletakkan kepalanya di meja—kali ini tanpa alas. Ia memandang Kano sekilas. “Nggak tau, No. Gue kayak … lagi fase kebingungan arah gitu.”
“Pake kompas aja.”
“Ini tangan kanan gue belum reda panasnya, loh, Cil. Masa’ mau lagi?”
“Cih, jarak sehari doang aja songong.”
“Yang penting tua gue.”
“Iyaa, si paling tante.”
“Ya Allah, sabar gue, mah.” Kanna menghela napas frustrasi. “Mending pulang sono, lo!”
“Males.”
“Udah, ya! Jangan bikin kesel!”
“Lanjutin yang tadi.”
“Gue kesel.”
“Kesel sama gue? Ya Allah, tadi bercandaaa.”
“Bukan, pe’a.” Kanna menoyor kepala pemuda itu menggunakan buku kliping yang ia bentuk menjadi tabung silinder. “Gue, tuh, kesel sama keadaan.”
“Nggak boleh gituu.”
“Lo nggak ngalamin, sih, jadi bisa bilang kayak gitu.”
“Emang kenapa?”
Dan, secara ajaib, pertanyaan itu menjadi gerbang pembuka antara rasa kesal Kanna dengan rasa sedihnya. Tentang tiga pertanyaan yang sejak dulu menyelimuti pikirannya tanpa mau berganti dengan rasa syukur atas keadaan yang ada.
“Sejak dulu, gue bertanya-tanya, kenapa gue nggak secantik primadona sekolah kita? Jadi, gue bisa dihargai dengan baik karena nggak buruk rupa—gue tahu gue nggak seburuk itu tapi … ya, gitu, lah. Terus, kenapa gue nggak terlahir dari keluarga sekaya Chava? Jadi, gue bisa dihargai karena gue bisa membantu mereka beli apa aja. Dan … terakhir, kenapa gue nggak sepinter Rizvan—si ketos angkatan kita? Atau seenggaknya, gue bisa juara lima besar bertahan sejak masuk SMA. Gue cuma pernah juara dua, itu pun waktu semester awal kemarin ….”
Kano menebak arah pembicaraan Kanna. “Jadi, lo lagi insecure?”
Kanna terdiam.
“Apa itu juga jadi alesan lo nolak gue waktu itu?”
Kanna menggigit bibir pelan. Mulutnya ragu untuk menjawab, sebab ia tidak tahu apa jawaban yang tepat untuk diutarakan. Lagipula, menyukai seseorang saat akan lulus sekolah itu menyedihkan, bukan? Sebentar lagi lulus dan mereka akan berpisah, tentunya untuk memperbaiki masa depan. Kanna sedikit menyesal saat perasaannya berbalas ketika perpisahan akan datang. Kano memang menyebalkan, tetapi Kanna tidak tahu bahwa pemuda itu juga memiliki perasaan padanya lebih dari sekadar teman.
“Kenapa nggak pengen pacaran?”
“Nggak papa.”
“Hm?”
“Ya, nanti gue insecure mulu, Kanooo. Lo, ‘kan, ganteng, kaya, favorit banyak cewek, pinter semua-muanyaaa juga.” Gadis itu memainkan pinggiran meja sembari cemberut. “Gue, mah, apa? Katanya, ‘kan, ‘sebelum mencintai orang lain, cintailah diri kita sendiri’. Nah, gue belum bisa. Gue masih belum bisa nerima keadaan yang udah ada sejak gue lahir.”
“Hei?” Kano memastikan apa yang dilihatnya salah, bahwa netra kecoklatan Kanna tengah meluapkan emosi sedihnya. Tapi …, gadis itu memang menangis. Kano merasakan hatinya sedikit nyeri. “Na, gue nggak tau seberat apa tiga hal itu buat lo, tapi, biarin gue ngomong sesuatu, ya?”
Kanna mengangguk tak semangat.
“Ngedengar cerita lo, gue malah keinget sesuatu. Gue pernah baca, kalau rasa cinta menurut Yunani itu ada delapan jenis. Gue nggak inget jelas itu apa aja, tapi gue inget ada yang namanya agape, storge, philia, dan eros.”
Kanna tersenyum tipis di balik tangisnya. Kano terlihat berbeda saat sudah serius berbicara. Dan, tidak ada alasan untuknya tidak menyukai si pemuda.
“Ada yang maknanya cinta antara sahabat, antara orangtua dan anak, cinta secara gairah, dan juga cinta tanpa ingin timbal balik. Nah, cinta tanpa timbal balik ini bisa disebut cinta tak bersyarat; ini cinta dari Tuhan untuk umat manusia,” ujar pemuda itu sembari menutup penuh buku di tangannya. Pandangannya tak terfokus pada Kanna, hanya sesekali menatap wajah gadis itu tanpa berniat lama-lama. “Nah, kalau menurut etimologi Yunani ada agape, di dalam Islam ada Al-Waduud; itu salah satu asmaul husna yang artinya Maha Mengasihi.”
Kanna menyimak dengan baik.
“Gue nggak bakal ngaitin agape ataupun Al-Waduud ke diri lo, karena berdasarkan yang gue baca, cinta kayak gitu dicontohkan oleh tokoh seperti Al-Ghazali, dan rasanya, kita—gue dan lo—terlalu pendosa, ya, buat bersanding dengan nama besar itu? Tapi, sekarang gue cuma mau lo paham, bahwa Allah itu Maha Pengasih, Allah Maha Penyayang. Allah memberikan banyak nikmat untuk umat manusia, Na. Contohnya, nikmat akal untuk berpikir. Tinggal manusianya aja, sadar terus bersyukur atau nggak? Jadi suka positif thinking atau justru negatif thingking?”
Kano melirik Kanna sesaat. “Dengan segala keawaman gue dalam agama, gue mengasumsikan apa yang terjadi pada lo ini sebagai rasa cinta Tuhan kepada hamba-Nya. Allah nggak mau lo jadi orang sombong, makanya dia ngasih lo wajah yang menurut lo biasa aja dan nggak mulus kayak cewek primadona yang lo sebut-sebut. Tapi, itu hal yang bagus buat disyukuri, karena mungkin kalo lo cantik, lo bisa jadi alasan cowok ngerendahin harga diri lo dengan ngajak lo pacaran—selain karena mereka nggak kuat iman.”
“Bentar ….”
“Kenapa?”
“Kalo lo sadar ngajak pacaran itu namanya ngerendahin cewek, berarti dulu lo … ngerendahin gue?”
“Jujur, gue emang tertarik sama lo. Tapi, ngajak lo pacaran itu cuma inisiatif karena gue pengen lihat ‘gimana, sih, jawaban lo kalo gue ajak ke hal buruk?’ Gue tau, Na, pacaran itu nggak baik. Dan, gue bersyukur waktu lo punya pikiran yang sama dan berakhir nolak gue ….”
“And then?”
“Gue jadi tahu, se-clueless dan se-insecure-nya lo sekarang, lo nggak bakal mau diajak ke ranah dosa karena lo inget lo itu manusia yang nggak tau kapan berakhirnya usia.”
Kanna terdiam. Benar, ia memang merasa sudah banyak dosa. Meskipun nafsu untuk pacaran selalu ada, ia juga selalu ingat bahwa pacaran adalah hal mendekati zina. Dan, zina adalah salah satu dosa besar yang sebisa mungkin harus dihindarinya.
“Dan, lo perlu inget kasus adik kelas kita, yang lo sebut primadona, dia pernah ngalamin kejadian nggak mengenakkan karena parasnya yang cantik.”
Kanna terkesiap. Adik kelasnya itu … mengalami pelecehan seksual dan kasisnya terungkap beberapa minggu yang lalu.
“Iya ….”
“Lo tau, ‘kan, Tuhan itu pasti mau yang terbaik untuk hamba-Nya? Makanya, buat sekarang, Dia nggak ngasih yang lo pengen dulu. Bayangin, kalo lo kaya, lo belum tentu bisa belajar arti perjuangan ngumpulin uang saku buat sekadar beli satu buku yang lo mau. Di umur sekarang, mungkin lo cuma tau beli dan beli dengan mudah, karena keluarga lo udah kaya.”
“Lo … tau?”
“Lo pernah cerita perjuangan beli satu novel di kelas dan gue denger secara jelas.”
Kanna tersenyum masam, merasa malu.
“Dan, untuk Rizvan yang lo cemburuin karena dia selalu unggul dalam hal akademik, lo nggak tau seberapa besar tekanan yang ia hadapi di belakang layar, Na. Gue yakin kita sama-sama nggak ditekan keluarga untuk dapetin nilai bagus, sebagaimana yang gue lihat tiap hari selama kelas tiga, lo selalu santai dalam ngadepin pelajaran. Kalo kata orang TikTok, sih, mungkin Rizvan bakal bilang ‘you never see on screen‘.”
Hujan mulai mereda saat Kano melihat luar jendela dan berkata, “Pemikiran lo itu bagus dan perlu banget dipertahanin, alias zaman sekarang, tuh, langka yang masih mikir kayak lo, Na.”
Kanna mengangguk pelan. “Lanjutin, dong. Gue lagi mau dipuji-puji. Itung-itung lo ngilangin insecure gue sedikit.”
Kano terkekeh mendengar itu, sadar bahwa air mata Kanna mulai menetes kembali. Ingin rasanya mengusap, tapi bukan mahram—juga takut digampar. Ingin rasanya memberi tisu, tapi ia tidak punya. Jadi, ia hanya bisa berujar menenangkan, “Gue emang nggak paham seberapa berat tiga hal itu buat lo, dan sekarang kalo lo mau nangis, nggak apa-apa. Tapi, jangan bersuara dulu, ya? Gue nggak janji, tapi, suatu saat, gue yakin gue bakal nemenin lo nangis bersuara kalo lo emang butuh itu. Gue harap, sih, nggak bakal terjadi.”
“Lo nggak mau nemenin gue?”
“Mau, tapi nggak waktu lo nangis. Gue nggak mau lo nangis karena seringnya, nangis itu tanda sedih, dan gue nggak mau lo sedih-sedih. Harus bahagia.”
“Thanks?”
“My pleasure, Kanna.”