The Magic Book

The Magic Book

Semuanya berjalan seperti biasanya bagi pasangan muda itu. Berangkat sekolah bersama, belajar bersama, pulang bersama, main bersama, bahkan tidur bersama. Tidak ada yang istimewa sebenarnya dari mereka. Hanya ikatan kuat yang terjalin yang menjadikan mereka satu. Karakter keduanyapun tidak jauh berbeda.

Kim Namjoon yang mudah penasaran namun lebih mengutamakan berpikir logis, senang membaca, dan menyukai film bertema dokumenter. Serta Kim Seokjin yang memiliki rasa penasaran tinggi, suka berimajinasi, dan menyukai segala hal berbau fantasi. Meskipun memiliki selera yang berbeda tapi hal itulah yang membuat mereka saling melengkapi.

Semuanya berjalan normal bagi mereka. Hidup yang normal, waktu yang normal, dan aktivitas yang normal.

Namun, suatu hari segalanya berubah terutama bagi kedua pemuda itu.

.

.

.

“Namjoon.”

“Hm?” keduanya saat ini tengah berbaring di atas karpet ruang tamu rumah Namjoon. Waktu libur kali ini mereka gunakan hanya untuk bermalas-malasan. Tidak ingin pergi keluar karena tengah hujan deras.

“Aku bosan.” tukas Seokjin yang menatap ke arah langit-langit. Tontonan televisi yang ditayangkan pun terasa tidak menarik bagi mereka.

“Aku juga merasa begitu. Tapi kita tidak bisa keluar rumah.” tanggap Namjoon yang melihat pemandangan luar dari jendela yang masih memperlihatkan tetesan air jatuh semakin banyak dari langit. Seokjin menghela napas panjang. Keduanya kembali diam. Beberapa menit berikutnya Namjoon bangkit untuk mengambil minuman dari kulkas.

Sesungguhnya hanya mereka berdua saja yang menghuni rumah tersebut. Orang tua Namjoon tengah pergi keluar kota dan baru akan kembali besok malam. Namjoon juga hanya seorang anak tunggal dan tentunya rumah ini terasa sepi baginya yang tinggal sendiri. Beruntung ia memiliki Seokjin sebab kekasihnya itu tidak keberatan dan selalu datang untuk menemaninya bahkan sampai menginap. Namjoon benar-benar begitu mencintai sosok yang sudah ia kenal sejak lima tahun lalu.

Seokjin memainkan ponselnya sejenak untuk membuka social media. Namun, tak lama ia berdecak sebab tidak menemukan hal yang menarik. Alhasil ia meletakkan ponselnya kembali. Ia lalu bangkit sedikit dan melihat ke arah Namjoon yang tengah meminum sekaleng soda.

“Namjoon kamu nggak punya sesuatu yang menarik untuk dimainkan apa? Aku benar-benar bosan di sini.” tanyanya dengan bibir yang mengerucut yang terlihat lucu di mata Namjoon.

Namjoon merenung sejenak sembari membuang kaleng kosong ke tempat sampah. “Sepertinya aku ada beberapa permainan papan di atas. Biar aku cari.”

“Aku ikut! Aku lelah berbaring terus seperti kucing.” sahut Seokjin yang langsung menyusul kekasihnya berjalan menuju arah pintu belakang.

Saat mereka berada dalam jarak beberapa meter dari pintu belakang Namjoon meraih sebuah tali yang berada di atasnya lalu menariknya sehingga membuka pintu kecil serta menurunkan tangga dari atas sana. Namjoon segera naik diikuti oleh Seokjin hingga mereka sampai di bagian dalam loteng rumah yang sekaligus menjadi gudang penyimpanan barang-barang lama.

“Ugh, banyak debunya.” ucap Seokjin. Namjoon berjalan menuju salah satu peti besar dan membukanya. Terlihat beberapa mainan di dalam sana.

“Mari kita lihat. Ada ular tangga, monopoli, ludo, mainan bongkar pasang…” Namjoon terus mencari sembari memilih mainan mana yang sekiranya cocok untuk mereka mainkan sekarang demi mengusir kebosanan. Sementara itu Seokjin berkeliling. Setidaknya ia mungkin bisa menemukan sesuatu yang menarik.

Matanya menangkap sebuah meja belajar tua yang terletak di sudut loteng. Ia mendekat dan tidak menemukan apapun yang terletak di atas meja itu. Pandangannya beralih menuju laci yang ada di meja tersebut. Mencoba menariknya namun tidak bisa dibuka sebab terkunci.

“Namjoon kemari!” Namjoon yang masih sibuk pun mendongak kala Seokjin memanggilnya.

“Ada apa?”

“Laci meja ini memang tidak bisa dibuka ya?” tanya kekasihnya.

“Entahlah. Memangnya tidak ada kuncinya di sana?” sebuah gelengan menjawab pertanyaannya.

Namjoon lalu mendekat ke tempat Seokjin. Ia pun mencoba membuka laci itu dan tetap tidak terbuka. “Hmmm, sepertinya laci ini memang sengaja dikunci.”

“Kamu tahu ini meja punya siapa?”

“Tidak. Sejak dulu meja ini sudah ada di sini dan aku tidak pernah menyentuhnya karena tidak ada apa-apa.”

“Tapi melihat laci meja ini terkunci jelas berarti ada sesuatu di dalamnya. Aku jadi ingin tahu apa isinya.” ucap Seokjin.

“Kamu dan rasa penasaranmu itu.” ucapan Namjoon membuatnya tertawa.

“Berkacalah sedikit, kamu juga sama denganku.” dan Namjoon hanya tersenyum. Ia lalu memperhatikan meja yang berdebu itu. Jarinya meraba permukaan meja hingga dahinya sedikit berkerut kala merasakan tekstur yang sedikit berbeda. Seperti ada sesuatu yang terselip.

Tangannya kemudian mengusap kasar permukaan meja tersebut sehingga menerbangkan banyak debu ke udara. Tampak bagian yang terkelupas lumayan besar. Langsung saja ia mematahkan bagian tersebut hingga maniknya menemukan sebuah kunci kecil berwarna tembaga.

“Sepertinya ini kunci lacinya.”

“Sepertinya begitu. Ayo, coba dibuka Namjoon.” Namjoon pun memasukkan kunci ke dalam lubang dan memutarnya.

Klik.

Suara yang mereka dengar menandakan jika laci itu terbuka. Namjoon menariknya dan kemudian memperlihatkan sebuah buku tua di sana. Ia lalu mengambil buku tersebut.

“Hm? Buku apa itu?”

“Ntahlah. Bukunya terlihat sudah sangat tua dan gambar covernya terlihat aneh.” jawab Namjoon yang melihat beberapa gambar lingkaran serta simbol yang tak ia pahami. Buku tersebut lalu dibukanya. Seokjin pun semakin merapatkan diri untuk melihat apa isi dari buku misterius itu.

“Err… bahasa apa ini? Aku tidak bisa membacanya.”

“Aku juga tidak bisa. Tulisannya sangat aneh.” komentar mereka berdua kala melihat tulisan yang terdapat dalam buku.

Tiba-tiba saja buku tersebut bersinar terang membuat mereka kaget dan Namjoon sendiri reflek menjatuhkannya ke lantai kayu. Hingga sinarnya menghilang beberapa saat kemudian. Keduanya saling berpandangan sejenak sebelum Seokjin berjongkok dan melihat kembali buku itu.

“Oh! Namjoon, tulisannya berubah menjadi bahasa kita.” tukasnya membuat Namjoon terkejut dan ikut mendekat. Mereka lalu membacanya.

The Magic Book. Ini adalah buku yang bisa mengajarkanmu cara menggunakan sihir. Ucapkan mantranya dan kau bisa memakai kekuatan sihir yang kau inginkan.

“Jadi ini adalah buku sihir? Apa ini sungguhan?” tanya Namjoon.

“Tentu saja Namjoon. Kamu tadi lihat kan bukunya bersinar terus tulisannya berubah sehingga kita bisa membacanya.” jawab Seokjin penuh antusias.

“Tapi apa kita memang bisa menggunakannya? Maksudku merapalkan mantranya.”

“Tentu saja bisa! Aku tidak percaya ini, ternyata sihir itu sungguhan! Ini hebat!” Seokjin berseru girang.

“Jangan terlalu yakin Seokjin. Siapa tahu ini bukan buku sihir sungguhan. Lagipula sihir itu tidak nyata.”

“Oh ayolah, Namjoon. Apa yang kita lihat tadi adalah bukti bahwa sihir itu nyata.” balas Seokjin saat Namjoon mulai mengeluarkan sisi logisnya.

“Aku tidak menyangka akhirnya aku bisa menjadi seperti Harry Potter. Apa mungkin sekolah Hogwarts itu juga ada di sini?”

“Jangan ngawur. Harry Potter itu hanyalah cerita fiksi. Bukan sungguhan. Kamu terlalu banyak menonton film fantasi.”

Bibir Seokjin mencebik sebal. Ia lalu mengambil buku sihir itu dan membaca sebuah kalimat mantra seraya mengulurkan tangannya ke depan.

“Segala benda yang ada di depanku sekarang aku ingin mereka melayang!” tepat setelah Seokjin mengucapkan mantra meja yang menjadi tempat penyimpanan buku itu langsung saja terangkat dan melayang di udara.

“H-hah?!” Namjoon terkejut tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya sedangkan Seokjin tersenyum lebar karena sihirnya berhasil. Perlahan meja itu kembali ke posisi semula.

“Kamu lihat itu kan Namjoon? Kamu lihat! Aku baru saja menggunakan sihir!” riang Seokjin.

“T-tapi, tapi, bagaimana bisa…”

“Sihir itu nyata Namjoon! Nyata!” Seokjin kemudian menyerahkan buku sihir tersebut pada Namjoon yang masih berusaha memproses yang baru saja terjadi.

“Nah, sekarang coba ucapkan mantranya biar kamu bisa membuktikannya sendiri.” pintanya. Namjoon memandang ragu pada buku di tangannya.

“Umm, err… d-dengat kekuatan ini aku ingin tempat ini menjadi terang.” tepat setelah Namjoon merapalkan mantra lampu yang berada di ruangan itu menyala terang.

“Kamu lihat, sihir itu sungguhan! Kita akhirnya bisa menjadi penyihir seperti yang aku impikan!” seru Seokjin sambil melompat-lompat senang di depan Namjoon.

Namjoon hanya bisa memandang kekasihnya yang melonjak kegirangan itu. Ia kembali melihat buku sihir yang ada di tangannya. Perlahan seulas senyum terlukis di wajahnya.

“Ya, kamu benar.”

Sudah semalam berlalu sejak mereka menemukan buku sihir dan bisa menggunakannya. Pagi ini Seokjin dan Namjoon sedang belajar di sekolah seperti biasanya. Mereka memutuskan untuk merahasiakan hal ini dari orang-orang. Biarkan menjadi rahasia di antara mereka berdua.

Kini keduanya tengah makan siang di kantin sekolah. Mereka makan dengan riang sambil membahas buku sihir itu. Tentu saja dengan berbisik karena tidak ingin terdengar oleh yang lain.

Byuurrr

“Astaga, Namjoon!”  teriak Seokjin saat tiba-tiba saja ada seseorang yang menumpahkan sebotol susu ke kepala Namjoon.

“Hyunwoo! Apa yang kamu lakukan?!”

“Oops, aku tidak sengaja. Tiba-tiba saja aku terpeleset saat hendak minum jadinya susunya tumpah. Jangan marah loh, Namjoon. Aku tidak sengaja ini.” satu si pelaku yang bernama Hyunwoo.

Namjoon melirik tajam pada pemuda yang sekelas dengannya dan Seokjin itu. Jika ada orang yang begitu ia benci di sekolah ini maka Hyunwoo lah orangnya. Hyunwoo sejak dulu senang sekali menjadikannya sebagai sasaran tindakan bully yang dilakukannya sebab Namjoon adalah salah satu murid yang dikenal dengan julukan kutu buku juga ia yang tak pernah membalas segala kelakukannya. Bukan karena takut melainkan karena Hyunwoo adalah anak kepala sekolah. Jadi daripada ia dikeluarkan lebih baik diam saja. Toh Namjoon juga sebenarnya tidak menyukai sekolah ini.

“Sampai bertemu di kelas berikutnya kutu buku. Hahahaha.” Hyunwoo pergi meninggalkan mereka setelah puas menjahili Namjoon. Seokjin buru-buru mengambil tisu untuk mengelap wajah kekasihnya yang terkena susu itu.

“Hyunwoo sialan! Apa dia tidak bisa berhenti mengganggu? Jika saja dia bukan anak kepala sekolah sudah kuhajar dari dulu. Bajumu juga sampai basah begini. Ayo, kita ke toilet. Kamu bisa pake baju cadangan milikku dulu.” ajak Seokjin sambil menarik tangan Namjoon yang hanya menunduk diam. Akan tetapi pandangannya tak lepas dari sosok Hyunwoo yang kini tengah asik menertawakan dirinya dari jauh bersama teman-temannya.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat hingga waktu sekolah telah usai. Semua murid segera pulang menuju rumah masing-masing. Namjoon baru saja menutup lokernya di saat Hyunwoo berjalan menuju ke arahnya. Keduanya saling bertatapan. Hyunwoo tersenyum mengejek ke arahnya dan itu membuat Namjoon semakin marah.

“Wah, si kutu buku baru mau pulang ternyata.”

“Hey Hyunwoo bukankah seharusnya kamu minta maaf setelah menumpahkan susu ke kepalaku.” tukas Namjoon sambil menatap tajam.

“Pfffftt.. haha lucu sekali. Untuk apa aku minta maaf? Menjahilimu itu seru tahu. Lagipula kamu sendiri tidak bisa membalas kan karena takut dikeluarkan dari sekolah karena menghajar anak kepala sekolah.” balas Hyunwoo.

“Minta maaf saja dan aku anggap masalah ini selesai.”

Senyum Hyunwoo semakin lebar. “Tidak mau.”

Namjoon diam. Ia sudah menduga jawaban tersebut. “Hhh… sepertinya bicara dengan orang sepertimu memang tidak ada gunanya.” ia mulai melangkah mendekat.

“Hey, hey. Kamu mau apa? Mau memukulku? Aku ini anak kepala sekolah loh. Tidak takut bakal dikeluarkan?”

Sudut bibir Namjoon tertarik ke atas sedikit. “Aku tidak berniat memukulmu. Tapi ada hal yang lebih baik dari itu.” ia mengulurkan satu tangannya di depan wajah Hyunwoo yang menatap aneh padanya.

“Hey, orang aneh. Kamu mau apa?” senyuman Namjoon semakin melebar dan jujur itu membuat Hyunwoo ketakutan sebab ia tak pernah melihat senyuman yang mengerikan seperti itu.

“Hanya ingin mencoba sesuatu.” manik Namjoon menatap semakin tajam. Sepertinya mempraktikkan apa yang ia baca dari buku sihir pada orang lain tidak buruk juga. Namjoon sudah membaca seluruh isi buku itu semalam di saat Seokjin telah tidur.

“Dengan kekuatan sihir yang aku miliki, dengarkan perintahku.”

“H-hey…”

“Aku ingin orang yang ada di hadapanku ini lenyap untuk selamanya.”

Phoof.

“Hnngg, Namjoon kemana ya? Lama sekali.” Seokjin terus menatap ke dalam area sekolah melaui celah gerbang. Namjoon meminta untuk menunggunya sebentar karena ada barang yang ketinggalan. Namun, sudah lima belas menit berlalu dan pemuda itu belum juga kembali. Hal itu tentu membuat Seokjin khawatir.

“Apa jangan-jangan Namjoon dicegat Hyunwoo lagi ya? Aku harus menyusulnya.” baru saja Seokjin hendak kembali masuk ke area sekolah matanya menangkap sosok Namjoon yang berlari kecil ke arahnya. Seokjin pun bernapas lega.

“Seokjin, maaf menunggu lama.”

“Kamu ngapain aja sih? Lama sekali.”

“Haha, maaf. Aku tadi mencari ponselku. Ku pikir tertinggal di loker ternyata ada di laci mejaku.” jawab Namjoon dengan cengiran lebar.

“Huh, kebiasaan suka ceroboh. Udah ah, ayo kita pulang. Bentar lagi langitnya mulai gelap.” ujar Seokjin yang segera diangguki oleh Namjoon.

Namjoon sedang menikmati makan malamnya di depan televisi. Tidak lama suara deru mobil yang tak asing terdengar dari arah luar. Namjoon masih tetap pada acara makan dan menontonnya hingga pintu rumahpun terbuka memunculkan kedua orangnya. Namjoon melirik keduanya yang berjalan masuk.

“Kenapa kamu melihatku seperti itu hah? Sopan sedikit sama orang tua!” itu suara ayahnya yang menatap tak suka. Namjoon sontak memutuskan kontak mata dan kembali melihat ke arah televisi.

“Kenapa banyak sampah bungkus makan di meja? Kamu memesan makanan sebanyak apa Namjoon?!” kali ini ibunya yang bersuara.

“Sebanyak aku ingin makan. Aku tidak bisa memasak kalau Ibu lupa.” jawab Namjoon ketus tanpa menoleh. Wanita itu memijit kepalanya dan membuang semua sampah itu ke tempat sampah dengan kasar.

“Dasar anak tidak berguna. Kerjanya hanya bisa menghabiskan duit orang tua.” tukas ayah Namjoon yang mengambil sekaleng bir dari kulkas dan meminumnya.

“Bukannya yang tidak berguna itu kalian?” balas Namjoon yang melirik ke belakang.

“Kim Namjoon jaga bicaramu!” bentak ibunya.

“Kenapa? Aku benar kan? Kalian tidak pernah memperhatikanku. Hanya sibuk dengan pekerjaan dan pergi ke sana sini. Tidak seorangpun di antara kalian yang memberikan sapaan selamat pagi atau selamat malam. Bertanya tentang apa aku sudah makan pun tidak. Bukankah kalian adalah orang tua yang tidak berguna?”

PRANK!

Kaleng bir yang ayah Namjoon minum dilempar hingga menghantam dinding di belakang Namjoon.

“Anak ini semakin kurang ajar saja. Dasar tidak tahu terima kasih.” gumam pria itu. Ia lalu mendekat ke arah Namjoon.

PLAK!

Sebuah tamparan keras dilayangkan ke pipi Namjoon yang langsung terasa perih dan panas.

“Seharusnya kamu bersyukur sudah diberi makan, uang jajan, dan disekolahkan. Tapi begini kelakuanmu pada orang yang sudah membesarkanmu?!” pekik sang ayah.

“Namjoon jangan menambah beban pikiran ibu dan ayahmu ini. Kami sudah begitu dipusingkan dengan urusan pekerjaan.” tambah ibunya.

Namjoon diam mendengar semua bentakan dan dan amukan itu. Sudah sering ia mendengar hal yang sama dari mulut kedua orang tuanya dan ia sudah muak dengan itu semua.

“Persetan! Aku sudah tidak tahan dengan kalian!” teriak Namjoon. Ia mengacungkan satu tangannya ke arah mereka.

“Dengan semua kekuatan sihir yang aku miliki. Dengarkan permintaan ku! Lenyapkan mereka berdua dari hidupku bahkan dari dunia ini jika perlu! Aku sudah muak hidup bersama orang tua yang bahkan membenci anaknya sendiri!” seru Namjoon lantang.

“Kim Namjoon apa yang-”

BLAR!

Kedua tubuh orang tua Namjoon tiba-tiba saja meledak dan berubah menjadi debu. Namjoon terengah-engah dan menatap debu yang melayang-layang itu.

Mereka menghilang. Lenyap. Tidak ada di sini lagi dan tidak akan pernah kembali.

Deg!

“AAARRGGH!” Namjoon tiba-tiba saja merasakan dadanya begitu sakit seperti ditusuk. Tubuhnya langsung saja jatuh ke lantai sambil terus merintih. Lalu muncul dua orang yang kepalanya ditutupi tudung jubah hitam besar dan berdiri di depannya.

“Kim Namjoon kau sudah melakukan sebuah kesalahan.” ucap salah seorang di antaranya.

Namjoon mendongak susah payah sebab mendapati kehadiran orang asing di rumahnya. “S-siapa…”

Satu orang lagi menjetikkan jarinya yang mana memunculkan Seokjin seolah orang itu melakukan teleportasi pada Seokjin. Seokjin yang tiba-tiba saja berpindah dari kamarnya ke rumah Namjoon terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Namun, suara rintihan Namjoon mengalihkan fokusnya.

“Namjoon!” Seokjin segera mendekat dan berlutut di depan Namjoon.

“Namjoon kamu kenapa? Apa yang terjadi?”

“S-Seokjin… aku-argh!”

Seokjin dengan sigap mengulurkan kedua tangannya. “Aku minta bantuan padamu, tolong sembuhkan Namjoon.”

“Percuma saja, sihirmu itu tidak akan bisa menolongnya Kim Seokjin.” Seokjin menoleh ke belakang dan baru menyadari ada dua orang asing di dekatnya.

“Siapa kalian?! Kenapa kalian menyerang Namjoon?!” tanyanya marah.

“Kami tidak menyerangnya. Justru ia kesakitan karena perbuatannya sendiri.” dahi Seokjin berkerut dalam, tak mengerti.

“Kim Namjoon telah menggunakan mantra terlarang dan sekarang ia harus menghadapi konsekuensinya sendiri.”

“A-apa? Mantra terlarang apa maksudmu?”

“Dia sudah menggunakan sihir untuk melenyapkan orang tuanya sendiri. Bahkan sebelum itu ia telah melakukan hal yang sama pada seorang anak bernama Hyunwoo.” Seokjin terkejut tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh orang asing itu. Ia kembali melihat ke arah Namjoon yang masih meringkuk dan merintih kesakitan.

“Namjoon, kamu…” Seokjin sepertinya tahu apa alasan Namjoon melakukan hal itu.

“Sebagai konsekuensi atas apa yang telah ia perbuat dengan melenyapkan nyawa tiga orang, maka ia harus mengganti nyawa yang seharusnya belum diambil dengan nyawanya sendiri.”

“Tidak! Jangan lakukan itu!” halang Seokjin saat kedua orang tersebut hendak menggunakan sihirnya pada Namjoon.

“Tolong jangan lakukan itu! Dia tidak sadar telah melakukan hal tersebut pada mereka. Ia terbawa emosi.” jelas Seokjin. Ia sepenuhnya tahu seperti apa hidup yang dialami oleh kekasihnya itu. Tidak dipedulikan oleh orang tua yang seharusnya merawatnya bahkan sering mendapat perlakuan kasar juga tindakan bully yang diterimanya di sekolah. Seokjin tahu Namjoon membenci hidupnya sendiri. Ia terlalu banyak mendapatkan luka.

“Semakin kuat emosi maka sihir yang digunakan akan berdampak semakin kuat sehingga tidak terkendali. Kim Namjoon menyerahkan seluruh emosinya saat menggunakan sihir hingga pada taraf menggunakan mantra terlarang. Namun, alasan itu tetap tidak bisa membebaskannya dari hukuman. Ia tetap harus membayar.”

“Tidak! Kumohon jangan! Jangan ambil nyawanya. Ini salahku, seharusnya aku tidak memintanya membuka laci itu dan menemukan buku sihir itu di sana. Semua ini terjadi karena aku yang terlalu menuruti imajinasi fantasiku untuk menjadi nyata. Aku yang seharusnya menerima konsekuensi itu.”

“S-Seokjin… tidak…”

“Namjoon maafkan aku. Ini salahku.” isak Seokjin melihat kekasihnya yang kesakitan seperti ini.

Kedua orang itu berpandangan sejenak sebelum salah satunya mengulurkan tangan dan rasa sakit yang Namjoon rasakan perlahan-lahan menghilang.

“Seokjin…”

“Namjoon!” Seokjin langsung memeluk Namjoon erat saat melihat Namjoon bisa bangun.

“Setelah kami pertimbangankan, kami memutuskan untuk tidak mengambil nyawa Kim Namjoon.”

“Terima kasih Tuan! Terima kasih!”

“Tapi, kalian berdua harus membayarnya dengan cara lain.”

“A-apa?”

“Kalian berdua termasuk dalam segelintir manusia biasa yang bisa menggunakan buku sihir. Kalian tidak bisa dibiarkan begitu saja tetap berada di dunia ini dengan buku sihir itu. Maka oleh sebab itu kalian harus ikut bersama kami ke dunia sihir dan tinggal di sana untuk selamanya. Dan juga kehidupan kalian di sini akan dihapuskan dalam artian kalian dianggap tidak pernah ada di dunia ini.” putus orang itu.

Namjoon dan Seokjin saling berpandangan. Mereka tidak menyangka bila kehidupan mereka akan berubah menjadi seperti ini setelah mereka menemukan buku sihir itu. Keduanya lalu menoleh ke arah dua orang asing itu.

“Baiklah, kami akan menerimanya. Bawa kami pergi dari dunia ini. Aku bahkan tidak ingin ada di sini lagi.” ucap Namjoon. Dua orang itu mengangguk. Tak lama sebuah portal muncul di belakang mereka. Namjoon kemudian bangkit berdiri.

“Namjoon.” Seokjin meraih tangan Namjoon.

“Namjoon, apa kamu yakin?”

Namjoon mengangguk mantap. “Aku sudah tidak ingin hidup di dunia keji ini Seokjin. Aku juga tidak ingin kamu mengorbankan dirimu demi membayar kesalahan yang sudah aku perbuat. Ini sudah jadi jalan yang terbaik.”

“Maka dari itu, ayo ikut denganku. Kita tinggalkan dunia ini. Dunia sihir adalah tempat terbaik untuk kita sekarang. Kamu bilang ingin jadi penyihirkan. Sekarang keinginanmu sepenuhnya terwujud. Kita adalah penyihir Seokjin. Persis seperti impianmu.”

Seokjin menatap mata Namjoon yang berbinar. Benar. Impiannya yang dulu hanyalah khayalan belaka telah menjadi kenyataan. Ia dan Namjoon menjadi penyihir. Penyihir sungguhan.

Seokjin mengangguk kemudian berjalan bersama Namjoon memasuki portal sambil bergandengan tangan. Meninggalkan dunia ini dan menuju dunia yang ditakdirkan menjadi tempat dimana mereka seharusnya berada sejak awal.

Item added to cart.
0 items - Rp 0
Beranda
Cari
Bayar
Order