Jin Harem Fanfiction
Kumpulan cerita ringan, manis, hangat, dan "panas" yang akan menemanimu pada perasaan suka cita—ketika cinta memanggil mereka dari sebuah dering tak terduga. pic.twitter.com/WiLudCDyrV
— viana (@utoviana) January 2, 2023
#CHAPTER 1 (1.2) (SFW)
NAMJIN: IT’S YOU
KIM Namjoon sudah merasakan firasat tak enak ketika keluar dari pintu apartemennya. Seperti ada yang kurang, tetapi setelah mengecek ponsel dan dompet yang ada di kantong celananya membuat Namjoon yakin ia tak tertinggal apa pun. Toh, hanya akan pergi ke minimarket, tak ada lagi yang harus ia bawa selain dua benda itu, pikirnya.
Sialnya, ketika akan membayar pada kasir Namjoon tahu apa yang kurang—lebih tepatnya, ia salah membawa dompet karena terbiasa membawa benda coklat itu yang berisi lembaran uang dollar Amerika dan tentu tak ada kartu debit atau uang won yang terselip di sana.
Namjoon menatap kembali setumpuk ramen dan camilannya yang kini satu persatu dihitung dan dimasukkan ke dalam kantong plastik oleh kasir, persediaan mingguannya itu—tak mungkin ia harus membatalkannya, ‘kan?
Ketika wanita itu selesai dan menyebutkan nominal belanjaannya, manik mata Namjoon seketika membulat, bibirnya terus terbuka dan tertutup beberapa detik karena gugup—bingung harus mengatakan alasan seperti apa, bingung harus memulai dari mana atas penjelasannya.
Namun, ketika ia terpikirkan ide cemerlang—akan menyerahkan kartu tanda pengenalnya dan segera kembali ke apartemen untuk mengambil uang won dan menebus belanjaan dan kartu penduduknya kembali, tiba-tiba saja seseorang dari belakangnya menyerahkan kartu debit pada kasir dan mengatakan—
“Totalnya tolong gabungin sama belanjaan saya,” laki-laki itu menyerahkan lima coklat batang lalu dengan sigap kasir itu mengangguk dan membayarkannya.
“Eh—enggak perlu.”
Laki-laki itu mengambil kantong kresek dan kartu debit dari kasir lalu menatap Namjoon dengan seulas senyuman tipis.
“Enggak apa-apa.”
Kemudian dia berlalu meninggalkan Namjoon yang tengah membeku di tempatnya semenjak melihat pria itu—terperangah melihat wajah tampan bak pangeran menghipnotisnya hingga tak bisa berkedip. Terlebih, apa ia pernah melihatnya sebelumnya? Entahlah … Ia tak yakin.
Oh!
Namjoon tersadar ketika wangi parfumnya mulai menjauh, ia segera memanggilnya untuk mencegahnya pergi.
“Tunggu.” Namjoon mengambil belanjaannya lalu segera mengejar laki-laki itu kemudian menahan lengannya usai mereka keluar dari pintu minimarket. Napas Namjoon sedikit tersengal. Cepat juga langkahnya.
“Aku bakal ganti, tapi harus ke apart ambil dompet yang isinya uang won, kamu bisa tunggu di sini. Deket kok. Kalau kamu sibuk, boleh aku minta nomor rekening kamu aja? Biar aku transfer. Ya?”
Melihat laki-laki itu yang hanya menatapnya datar, Namjoon melanjutkan dengan intonasi rendah dan perlahan. Tak buru-buru seperti tadi.
“Sorry, bukan enggak menghargai niat baik kamu,” lirihnya. Namjoon menunduk, merasa bersalah dan juga malu—apa ia tak sopan? Oh, bukan. Tatapannya tak mengganggu pria itu, ‘kan?
Namjoon sungguh tak bisa menyembunyikan rasa antusias yang tersirat jelas di matanya. Sebab jika melihatnya lebih lama ia merasa jantungnya akan loncat dan semakin menunjukkan ketertarikan yang kentara.
Astaga, lebay! Tapi, serius, ganteng banget? Siapa namanya, ya?
“Aku enggak apa-apa. Beneran. Kalau kamu mau ganti, gantiin sama kebaikan kamu aja. Enggak mesti buat aku, buat orang lain juga enggak apa-apa kalau kamu ada kesempatan.”
Namjoon tersenyum menunjukkan lesung pipinya. Ah, selain tampan dia juga baik. Ia tak hentinya melayangkan seribu pujian terhadap laki-laki yang kini tersenyum padanya dengan ketulusan yang tersirat di sorot matanya.
“Makasih, hm—nama kamu siapa?”
“Kim Seokjin.”
“Ah, aku Kim Namjoon. Salam kenal.”
Seokjin terkekeh pelan melihat Namjoon yang begitu bersemangat menyodorkan tangan untuk berjabat tangan dengannya.
“Salam kenal juga.” Ia hendak melepaskan genggaman, tetapi cengkeraman tangan Namjoon begitu kuat hingga ia mengerjap dan refleks menghilangkan sedikit senyumannya.
Melihat itu, Namjoon segera melepas genggaman tangannya sembari terkekeh malu—merasa konyol dengan apa yang ia lakukan sekarang. Seokjin tersenyum lagi, Namjoon merasa pria itu menyadari kecanggungannya.
“Kalau gitu aku duluan, ya, Namjoon.”
“Oh iya, Seokjin. Sekali lagi makasih.”
Seokjin mengangguk lalu pergi dengan langkahnya yang lebar. Namjoon menghela napas, ia sangat ingin bertemu dengannya lagi. Namun, bagaimana caranya?
Namjoon kembali masuk ke dalam minimarket, duduk di bangku panjang seraya menaruh belanjaannya di atas meja berniat untuk menikmati salah satu dari ramennya. Ia perlu mengendalikan dirinya, jangan sampai mengikuti laki-laki itu seperti penguntit. Karena kebiasaannya ketika di Amerika adalah seperti itu. Jika bertemu dengan seseorang yang ia sukai maka akan segera mengejarnya sampai dapat. “Fuck boy” kelas berat yang akan meninggalkan pacarnya jika sudah bosan atau sudah mendapatkan apa yang ia inginkan.
Namun, kali ini ia tak ingin seperti itu. Ini pertama kalinya ia jatuh hati dengan cara yang baik-baik pada orang yang sangat baik pula. Ia tak ingin menyakitinya bahkan sampai mempermainkan perasaannya. Namjoon butuh kendali, agar ia tak salah dalam memahami keinginan hatinya. Kim Seokjin sangat berbeda—dia sangat positif untuk dirinya yang amat negatif. Entah mengapa, Namjoon sangat menghormatinya.
Tak lama, terdengar suara ponsel yang berdering di dekat belanjaannya. Oh—itu bukan miliknya. Namjoon menoleh ke kanan dan ke kiri—tak ada siapapun di dalam minimarket ini. Ia mengambilnya dan hendak akan memberikannya pada kasir (jika mungkin pemiliknya akan mengambilnya kembali), sebelum akhirnya ia melihat foto Seokjin dan seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga tahun ada di layar ponsel itu. Tunggu—apa ini ponsel Seokjin? Tertinggal?
“Halo?” akhirnya, Namjoon memilih mengangkatnya.
“Haoo, Papa?”
Namjoon tersenyum, menggigit bibir bawahnya karena amat gemas dengan suara di seberang sana. Jadi, Seokjin sudah memiliki seorang anak? Sungguh, hatinya merasa begitu tersentuh.
“Ponsel papa kamu ketinggalan di minimarket, nih.”
“Ouh?”
Astaga, gemas sekali. Rasanya ia ingin mencubit pipinya!
“Aku mau anterin ponsel ini, boleh? Rumah kamu sama papa di mana?”
“… Kata papa enggak boleh kasih alamat ke orang asing.”
“Ah, gituuu. Bagus! Yaudah aku tunggu papa kamu ambil ponselnya lagi, ya? Aku tunggu, nih. Kalau papa kamu pulang, bilang aja ketinggalan di minimarket.”
“Eung.”
Namjoon terkekeh lalu segera menutup panggilannya. Fokusnya kini teralihkan, kembali melihat foto itu dan memperhatikannya lebih detail. Gambar itu menunjukkan Seokjin bersama anaknya di kolam renang. Mereka tersenyum ceria bersama cipratan air yang semakin membuat nuansanya begitu indah. Namjoon tersenyum, mengelus potret itu dengan ibu jarinya. Gambar yang dapat dirasakan. Hangat dan amat bahagia.
Namun, tiba-tiba sesuatu mengganggu pikirannya. Tak mungkin seorang anak kecil dibiarkan sendirian di dalam rumah, ‘kan? Dan—ponsel siapa yang digunakan untuk menelfon Seokjin? Siapa yang mengambil gambar ini? Jika Seokjin memiliki anak, itu berarti … Seokjin mungkin sudah menikah.
“Oh!” seru seseorang yang baru saja masuk ke dalam minimarket. “Thanks udah nemuin ponselku, Namjoon. Syukurlah kamu masih di sini.” Seokjin duduk dengan napas tersengal sembari menyodorkan telapak tangannya. “Kamu kebetulan lihat ponselku, atau karena anakku nelpon? Dia suka nelpon aku hampir tiap menit kalo aku keluar sendiri.”
Tiba-tiba saja hati Namjoon bak terbagi dua, patah. Benar, Seokjin nampaknya sudah berkeluarga.
“Iya, tadi telpon jadi aku lihat ponsel kamu.” Ia menyerahkan benda pipih itu dengan bahu merosot. “Maaf kalau kamu enggak nyaman, tapi aku pengen nanya … Kamu udah nikah berarti, ya?” Detik selanjutnya ia menggaruk tengkuk tak gatal. “Pertanyaan bodoh, lupain aja orang asing yang kepo ini.”
Seokjin hanya terkekeh lembut dan memilih tidak menjawabnya. Ia mengambil sapu tangan dari dalam saku mantelnya, lantas mengelap keringat di pelipisnya. Seokjin butuh menenangkan diri sejenak. Pasalnya, ia sudah panik mencari ponselnya di sepanjang jalan dan berlari menuju minimarket, beruntunglah Namjoon menemukannya. Jika bukan, maka sudah pasti akan hilang dan Seokjin pasti menyalahkan dirinya sendiri seperti orang yang kehilangan akal.
Karena ponsel ini adalah hidup dan matinya.
“Maaf, Namjoon. Aku lagi enggak bisa cerita sekarang. Aku udah ditunggin Arji nih, anakku. Kapan-kapan aku traktir makan sambil ngobrol bareng deh, sebagai balas budiku karena udah nemuin ponselku. Mau janjian?”
Namjoon menggeleng lemas. Untuk apa ada pertemuan kedua jika dia sudah menikah? Hanya akan melukai perasaannya saja.
“Enggak usah. Kita udah impas, kok. Kamu udah bayarin aku, aku udah nemuin ponsel kamu. Selesai.”
Seokjin mengangkat kedua halisnya ketika Namjoon beringsut dari duduknya dengan wajah yang tak bersemangat. Laki-laki itu bahkan pergi meninggalkan kantong belanjaannya. Seokjin mengambilnya, berjalan menyusul Namjoon yang masih ada di halaman parkir.
Seokjin menahan lengan kekar Namjoon lalu menyodorkan belanjaan itu di depan dada bidangnya. “Hey, ini ketinggalan.”
Namjoon mendorong tangan Seokjin lalu menggeleng pelan. “Itu di dalamnya banyak camilan. Buat Arji aja. Ramennya buat istri kamu. Buat kamu kantong kreseknya aja.”
“Eh?” Seokjin mengerjap bingung, tetapi segera mengerti ketika pria itu menekankan kata “istri” dengan kentara.
Apa mungkin Namjoon … Berharap ia belum berkeluarga? Ah, yang benar saja? Ia tak boleh percaya diri. Namun, jika sudah begini tak ada salahnya mencoba menjelaskan sesuatu agar tidak terjadi salah paham—walaupun ia tak yakin dengan dugaannya.
“Aku udah cerai, Namjoon. Kalau aja kamu enggak nemuin ponselku, aku enggak akan bisa komunikasi sama Arji lagi. Mantan istriku enggak mau ketemu aku lagi. Aku udah di black list dari keluarganya juga. Coklat ini aja mau aku kirim lewat paket.”
Oh. Seokjin menelan ludahnya sendiri. Bukankah ia menjelaskan terlalu jauh?
Namjoon mengerjap bingung. “Kenapa? Kamu baik, kamu juga terlihat sempurna. Aku ngerti kalau kamu cerai karna enggak cocok sama dia, tapi kalau sampai di black list—aku enggak ngerti di mananya yang harus dibenci dari kamu. Lebay, sih, tapi biasanya firasatku selalu bener. Kamu orang baik. Ah, tapi … Kamu bukan psikopat, ‘kan?”
“Kalau aku psikopat aku udah bunuh kamu dari tadi.”
“Iya, kok. Kamu udah bunuh aku. Buktinya kamu udah ambil hati aku.”
“Apa, sih.” Seokjin terkekeh pelan dengan telinganya yang memerah lalu mendorong kantong kresek itu di dada Namjoon sampai pria itu mengambilnya. “Udah, ambil aja.”
“Mau abisin ini bareng aku enggak?”
“Enggak, Namjoon. Udah, ya? Aku mau telponan sama Arji. Keburu makin malem nanti dia udah tidur.” Seokjin tersenyum, melambaikan tangannya kemudian berlalu meninggalkan Namjoon yang masih terdiam di tempatnya.
“Tunggu.”
Seokjin menoleh, menatap Namjoon yang kini tersenyum padanya. Sungguh, Namjoon sangat gagah dan tampan—masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah darinya sedikit pun bahkan setelah belasan tahun lamanya tak bertemu. Namun, kini takdir mempertemukannya lagi dan lagi, dengan sosok itu seperti sebuah mimpi. Apa sebenarnya ia memang tengah delusi?
“Iya?” lirih Seokjin.
Namjoon menghampiri Seokjin kemudian menggenggam sebelah tangannya dan berjalan santai di trotoar, tak peduli Seokjin yang terus melepaskan jemari dari genggamannya, Namjoon semakin mengeratkan tautan itu hingga akhirnya Seokjin menyerah. Hingga akhirnya mereka berjalan beriringan dengan angin dingin yang menerpa kulit mereka.
“Sejak kapan kamu cerai?”
“Itu … Waktu Arji usia dua tahun. Sekitar satu tahun yang lalu.”
“Aku boleh enggak ketemu Arji?”
“Apa? Kenapa?”
“Aku mau izin sama Arji buat milikin papanya.”
Seokjin berhenti melangkahkan kakinya dengan debaran jantung yang sedari tadi berdentuman tak karuan. Apa Namjoon sudah mengingatnya sekarang?
“Aku baru inget, setelah perhatiin kamu di halaman parkir tadi, di bawah lampu depan minimarket.”
“… Inget apa?”
“Waktu itu ada acara pesta topeng di London. Semua tamu undangan, temennya Mr. Mark, bosku, dari berbagai negara. Terus ada momen dansa tapi kita harus bertukar pasangan secara acak siapa yang posisinya paling deket sama kita dan—kamu yang dansa sama aku, ‘kan? Aku inget banget sama mata dan bibir kamu. Menarik banget dan memori itu masih melekat diingatanku. Malam itu juga diantara semua tamu, cuman kita pasangan laki-laki yang lanjut dansa. Itu pun sekitar satu tahun yang lalu. Apa mereka malu karena kamu dansa sama aku dan istri kamu nuntut perceraian?”
“Abis dansa kita enggak saling kenalan, ‘kan? Jadi, buat apa aku cerai cuman gara-gara itu?”
“Jadi? Karena apa?”
“Aku di black list karena surat cintaku waktu SMA ketauan istriku, aku bikin surat itu buat Kim Namjoon, siswa dari pertukaran pelajar yang tau aku aja enggak.”
Namjoon terkesiap, ia refleks melepaskan genggaman tangannya dengan mata yang membulat sempurna. Lantas ia menoleh dengan sorot mata yang berapi-api.
“Apa? Itu—”
“Tapi, aku seneng karna ketahuan aku jadi enggak perlu pura-pura lagi suka cewek. Aku terpaksa nerima perjodohan itu dan dipaksa punya keturunan sedangkan aku aja enggak tulus tidur sama istriku. Aku bilang aku enggak punya hasrat, tapi dipaksa terus. Dan … Enggak ada yang tau kalau aku ini gay, sebelum surat itu ketahuan. Gilanya lagi, aku cuma suka sama satu laki-laki dan terus berhalusinasi suatu saat bisa ketemu lagi, karena hatiku udah dicuri. Entah karena kepintarannya, fisiknya, firasatku, atau entah karena aku aja yang bodoh sama imajinasiku. Yang jelas aku emang cukup gila hidup kayak gitu selama 29 tahun hidupku.”
“… I’m—so sorry to hear that, Seokjin.”
“You don’t have to say sorry. I’m just … stupid?”
“Is it me?”
Seokjin menoleh dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Kim Namjoon?” tanya Namjoon untuk meyakinkan.
Seokjin tersenyum kecil. “Wajah kamu enggak banyak berubah selain otot di tubuh kamu. It’s you, Kim Namjoon. Kalau kamu pernah ikut pertukaran pelajar waktu SMA .. Itu kamu.”
Namjoon tersenyum merekah lalu menyambar Seokjin ke dalam pelukannya.
“Jujur, aku ke Seoul cuman buat iseng pengen rasain salju pertama turun kayak di drama-drama yang katanya romantis banget itu. Sekalian jenguk keluarga mama juga di sini. Tapi, sekarang aku tau semesta enggak pernah becanda buat ketemuin dua orang yang lagi jatuh cinta di saat salju pertama turun.” Namjoon semakin mengeratkan pelukannya ketika ia mulai melihat salju-salju itu jatuh di tengah gelapnya malam.
Sungguh salju yang indah, turun di malam hari—tersorot lampu jalan bersama dirinya yang kini tengah berpelukan dengan seseorang yang disukainya saat pandangan pertama. Ternyata benar, salju pertama di Seoul bisa seindah ini.
“Seokjin, aku dulu ambis banget sama pelajaran, jadi enggak bisa lihat mutiara kayak kamu di sekolah. Aku seneng kita ketemu lagi sekarang. Dulu di pesta itu aku enggak ajak kamu kenalan, karena bosku minta aku temenin dia kemana-mana. Padahal, pengen ajak kamu ngobrol.”
“Iya, Namjoon. Aku paham.” Seokjin terkekeh seraya menggamit mantel yang dikenakan Namjoon. Ia tak berani membalas pelukan itu, ia tak percaya diri dengan statusnya sekarang. Mereka belum begitu saling mengenal dengan kehidupan dewasa ini. Seokjin sungguh berhati-hati. Bukan karena sudah melupakannya, tetapi ia sangat menghargai Namjoon. Hidup yang dihabiskan pria itu tidak mungkin mudah menerima seorang duda satu anak dengan lingkungan keluarga yang toksik dan homophobic sepertinya.
Namjoon melerai pelukan itu lalu menggamit dagu Seokjin dengan seulas senyuman.
“Kita single dan aku ini kucing liar, Seokjin. Maaf kalo bakal sedikit lancang, apa lagi kalau aku udah tau sekarang kita saling suka walau di waktu yang berbeda. Jadi, aku mau kasih kado tahun baru, kado karena kamu udah survive dan suka aku dari dulu. Hm, cukup brengsek, tapi aku yakin kamu bakal suka.”
“Huh?”
Namjoon terkekeh. “Suara itu percis Arji di telpon tadi. Dia bener-bener anak kamu yang manis. Kayak kamu, manis.”
Sepasang manik mata Seokjin berkilatan melihat paras Namjoon yang penuh dengan aura dominan. Degupan jantungnya tak bisa dikendalikan lagi, sungguh. Hingga perlahan, ia menelan ludahnya ketika Namjoon mendekatkan wajah tampan itu padanya. Refleks, Seokjin memejamkan mata ketika bibir Namjoon menyapa bibirnya dengan lembut dan memberi penekanan membuat ia meremas pelan mantel yang digunakan Namjoon.
Astaga, cinta pertamanya sedang menciumnya. Ia pasti sudah gila sekarang. Namun, Seokjin ingat jika ini di depan umum, maka ia segera mendorong dada Namjoon dan menghela napas berat—sebab napas Namjoon begitu dekat dengannya. Ia benar-benar tercekat dengan debarannya sendiri.
“Maaf, aku enggak maksud lepasin, tapi ….”
Namjoon terkekeh pelan, gemas sekali wajah polos itu. Ia kembali mendekat dan mengecup bibir tebal Seokjin hingga beberapa kali. Seokjin terus mendorong tubuhnya, tetapi Namjoon tak juga berhenti malah semakin mendekatinya.
Seokjin semakin berdebar. Sungguh, ini di depan umum. Astaga?!
“Kalau enggak mau aku cium, VC sama Arji, dong?”
“Dia lagi sama mamanya, jangan ah. Aku malu, aku malu sama kamu.”
“Hmm … Kalo gitu aku nggak akan berhenti cium kalau kamu enggak VC Arji sekarang.”
“B-buat apa?!”
“Minta izin mau deketin papanya.”
Semburat merah di pipinya membuat Seokjin tak bisa berkutik lagi. Malu sekali!
“Ish, iya.” Seokjin tersenyum kecil lalu mengambil ponselnya, menghubungkan panggilan video dan tanpa menunggu lama, sudah terhubung dengan putranya.
Layar itu menunjukkan wajah Arji yang sedang asyik melihat layar ponsel dengan wajah polosnya.
“Arji? Lagi main hape, ya?” tanya Seokjin dengan senyumannya.
Namjoon segera berdiri di belakang Seokjin lalu melambaikan tangannya pada Arji yang sedang tersenyum di sana sembari mengangguk. “Hallo, Arji.”
“Ouh? Oom?”
“Loh? Kamu hafal suaranya, ya?” Seokjin bersemangat.
Arji mengangguk dengan puppy eyes-nya. “Oom.”
“Jangan panggil oom, panggil papa, ya?”
“Arji puna dua papa?”
“Iya, mau enggak? Panggil daddy aja biar enggak ketuker.”
Arji mengedip beberapa kali lalu mengangguk pelan. “Oom sayang papa?”
Seokjin seketika terenyuh. Astaga … Ingin menangis rasanya mendengar Arji bertanya seperti itu.
“Aku sukaaa banget sama papa Arji, aku mau sayangin papa Arji, sama Arji juga. Boleh?”
Arji tersenyum, sebab Seokjin memberinya senyuman hangat. “Eung!”
Namjoon bersorak sembari meloncat-loncat kegirangan. “Yeaaah, aku punya anak!”
Seokjin terkekeh pelan seraya memperlihatkan layar ponselnya pada Namjoon yang sedang menari-nari dengan asal. Lalu tersenyum ketika Arji tertawa di seberang sana melihat tingkah random Namjoon.
Ah, hatinya benar-benar hangat. Ia meloloskan air matanya karena merasa penuh dengan kebahagiaan yang meluap-luap di dalam hatinya. Ia pikir tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini—dan Seokjin senang karena itu Kim Namjoon.
Cinta pertamanya.
Laki-laki cerdas yang menghipnotisnya dengan aura dominan yang dimilikinya. Laki-laki pertama yang meyakinkannya tentang kepada siapa dan bagaimana hatinya akan berlabuh. Meski hanya menjadi secret admirer saja—ini adalah takdir yang tak pernah ia duga sebelumnya. Kebahagiaannya.
Untuk kau yang menyita pikirku,
Aku ingin memilikimu suatu hari nanti.
Aku harap itu adalah musim dingin,
Karena aku ingin melihat salju pertama turun bersamamu.
Aku harap itu semua terjadi meski aku harus melewati banyak rintangan untuk bisa mendapatkanmu. Karena aku sangat … sangat mengagumimu.
Maaf aku memang tak romantis, tapi kau harus tahu bahwa aku …
Aku menyukaimu, Kim Namjoon.
– Kim Seokjin –
The End.