Winter D’Amour

— Begin —

“Kamu tahu pasti jika ini mimpiku, Riki!” Sunghoon berteriak seiring dengan dahinya melukis kerutan samar. Bibir sewarna ceri itu tak lagi mampu mempertahankan senyum seperti saat Sunghoon merajuk. Ia marah besar.

“Aku tahu, Sayang. Aku tahu.” Suara Riki mengiba. Sulit mempertahankan argumentasi saat dirinya merasa frustasi atas kenyataan yang akan mereka hadapi. “Tapi tidak kah kamu memikirkan tentang kita?”

Sunghoon menarik paksa koper berisi barang-barangnya yang ditahan Riki. “Kita?” ia mendecih, “Aku memberimu dua bulan untuk memikirkan tentangku, tentang kita. Tapi apa kamu benar-benar memikirkannya? Kamu tidak bisa terus mengurungku, Riki.”

“Sayang, aku—

“Lupakan tentang kita. Aku akan tetap pergi sekalipun dengan atau tanpa persetujuanmu.”

Riki sontak terbangun. Kesadaran yang ditarik paksa mengacaukan ritme napasnya. Sebisa mungkin Riki mengais banyak udara untuk memenuhi rongga dada, berharap ritme napasnya kembali semula. Ia juga dapat mendengar detak jantung yang berdegup memukul rusuk. Riki menarik napas dalam sekali lagi berusaha mengambil alih kontrol diri.

“Riki?”

Sapaan itu terdengar serak. Riki menoleh mendapati Sunghoon yang menatapnya khawatir dari balik selimut. Ya, Tuhan, tidak cukup dengan serangan mimpi buruk, kali ini Riki harus dihadapkan Sunghoon yang serupa bola bulu. Rambut legamnya kontras dengan selimut putih tebal yang menutup seluruh tubuhnya.

“Aku membangunkanmu?” Riki mengelus pucuk kepala Sunghoon, “maaf.”

Sunghoon melirik jam di nakas, “pukul sembilan. Sudah waktunya sarapan.”

Sunghoon kembali memperhatikan Riki lekat-lekat. Mata mereka bertemu, kegusaran nampak jelas di mata Riki. Ia kemudian bangkit dan meraih tengkuk Riki untuk disandarkan ke bahunya. Mengelus punggung Riki. Kausnya lembab akibat derai keringat, tentang apapun itu, mimpinya pasti benar-benar mengganggu.

Riki memasrahkan dirinya pada Sunghoon.

Selama lima tahun bersama, Sunghoon lah sosok pertama yang akan memeluk Riki. Riki tidak pernah mengatakan dirinya gusar atau takut, tapi Sunghoon memahami gelagatnya.

Riki menghirup dalam-dalam tengkuk Sunghoon, menikmati aromanya kemudian beralih memberikan kecupan kupu-kupu.

Sunghoon merasakan aliran listrik mengalir di setiap keping darah, Riki memainkan bibirnya dengan lihai membuat Sunghoon merinding. Tanpa sadar rengekan halus lolos dari celah bibirnya. Tidak. Jika Sunghoon tetap membiarkan Riki melakukan aksinya, dia tidak akan bisa menahan diri. Spontan Sunghoon mendorong pundak yang lebih muda untuk menjauh.

“Aku harus masak atau kita akan terlambat sarapan.”

“Sarapan sekaligus makan siang terdengar tidak buruk. Kita bisa menghemat bahan di dapur.” Riki menyeringai.

Sebelum ia berhasil memeluk, Sunghoon sudah berdiri di tepi kasur sembari berkacak pinggang. “Mandi tuan muda. Kamu bau.” Sunghoon meraih lengan Riki dan menggoyangkannya dengan dengan telunjuk dan ibu jari, berlagak seperti itu adalah sebuah kaus kaki yang tidak di cuci seminggu.

“tadi kamu memelukku, lalu bilang aku bau?” Riki beranjak dari duduknya hendak mendekap Sunghoon.

Sunghoon sontak berlari cepat menuju pintu kamar, “dilarang menyentuhku sebelum kamu mandi!” kata Sunghoon dari seberang ruangan. Riki terkekeh karenanya, kemudian beranjak dan melaksanakan perintah Sunghoon. Kekasihnya akan merajuk seharian jika tidak dituruti.

Mariage D’Amour cover by Jacob’s Piano
https://open.spotify.com/track/33JFCwEvVejNIxGwHMakbk?si=66bnJN4HQ6Kdm_68Mt7I4A

Sendok berdenting mengetuk dinding cawan setiap kali Sunghoon melarutkan serbuk coklat panas. Aromanya merebak mengisi udara kosong di flat mereka yang sederhana. Tenang dan hangat.

Berbanding terbalik jika melirik keluar. Serpih salju berkecamuk memukul-mukul dinding beton dan jendela. Temponya tidak beraturan tergantung kepada angin yang membawanya. Semalam Sunghoon pulang terlambat, mengatur beberapa keperluan untuk resital sehingga mereka melewatkan salju pertama musim dingin tahun ini.

Sepasang tangan menjalar memeluk pinggang ramping Sunghoon dari belakang. Tubuh Riki beberapa senti lebih tinggi, dari posisi ini Sunghoon bisa merasakan hembusan napas menyapa cuping telinganya. Ukuran yang menguntungkan juga untuk Riki, dia bisa mencium kening Sunghoon ataupun menghirup aroma shampoo tanpa perlu usaha berlebih.

Sunghoon berbalik menatap Riki, “cat di gelas milikku beberapa terkelupas karena sering dicuci.” Pipi Sunghoon menggembung sambil mengangkat gelas tinggi-tinggi, memperlihatkan gambar rusa yang tubuhnya sedikit congkel.

Riki mendengus menahan tawa. Hari itu Sunghoon pulang dengan wajah sumringah menenteng paper bag berisi sepasang gelas dengan warna berbeda sebagai hadiah White Day. Riki berani jamin matanya bahkan berkilau lebih indah dari malam musim semi. Sengaja ia pilih yang polos supaya Riki bisa melukiskan apapun di sana, tentang mereka, tentang kecintaan mereka.

Riki memutuskan untuk menggambar rusa dengan tanduk yang menawan di masing-masing gelas. Jika kedua gelas disejajarkan, lukisan itu akan menyatu melengkapi seperti keping puzzle. Saat ini cat itu terkelupas di beberapa sisi, “ah, aku mengecatnya dengan akrilik. Aku lupa bahwa itu tidak bertahan lama untuk keramik. Biar aku cat kembali.”

Kecupan mendarat sempurna di pipi Sunghoon, Riki tidak ingin membiarkan kekasihnya terus murung hanya karena sebuah gelas. “Ingin menemaniku melukis, Sayang?”

“Tentu!” Jawaban Sunghoon terlampau bersemangat, sosoknya kini sudah mengambil tempat di kursi piano miliknya.

Bagai rutinitas tanpa kata, mereka sudah hapal di luar kepala agenda yang mereka pertahankan selama lima tahun kebersamaan. Musim dingin terkadang membuat Riki dibanjiri proyek lukis dan ia akan mengerjakannya ditemani dengan Sunghoon yang bermain piano.

“Lagu apa yang ingin kamu dengar kali ini?”

“Bagaimana dengan instrumen untuk resital milikmu?”

“Tidak, tidak.” Sunghoon membuat tanda silang besar dengan kedua tangannya, “permintaan ditolak. Aku menulis lagu itu untuk kamu dengar di resital.”

Riki mengintip dari balik kanvas, “ah, aku kurang menyukai ide itu. Posisiku menjadi setara dengan penonton lain.”

Sunghoon menerbitkan tawa memperlihatkan gigi taringnya yang manis, “dasar pencemburu. Mereka tidak mendengarkanku bermain Mariage D’Amour selama lima tahun di setiap musim dingin. Kamu unggul ratusan poin karena aku mencintaimu juga.”

Serangan telak. Darimana kekasihnya belajar teknik itu untuk membuatnya bungkam? Licik sekali. Riki tidak ingin terlihat salah tingkah, ia buru-buru mengisi palet dengan cat yang akan ia gunakan. Melupakan bahwa ia harus menggambar sketsa lebih dulu. Ck, sialan.

“Kalau begitu, mainkan lagu kita, Sayang.”

Tidak seharusnya Riki mematenkan Mariage D’Amour sebagai ‘lagu kita’. Hanya saja, seperti ada ikatan tak kasat mata antara mereka. Meski seringkali tenggelam dalam kebisuan, Riki dengan kuas-kanvas dan sunghoon dengan pianonya, lagu itu adalah melodi perantara yang berbicara tentang mereka.

Riki mencuri lihat kearah Sughoon melewati sisi kanvasnya. Balutan sweater rajut yang kebesaran dan loose pants entah bagaimana menjadi sebuah pemandangan paling atraktif. Riki tahu, ia sudah terjerat saat melihat resital pertama Sunghoon ketika mereka masih sama-sama di sekolah seni. Hati dan jiwa sunghoon bermain bersama jemarinya yang menari diatas tuts.

Riki menyukainya. Riki mencintainya dengan seluruh napas yang ia punya.

Riki berusaha mengingat cantik senyum Sunghoon setiap ia tenggelam dalam lagunya, atau wajah Sunghoon yang merengut ketika Riki mencubit hidungnya. Cat itu Riki goreskan dengan hati-hati, ia tidak rela lukisannya merusak imaji dari objek paling indah, Sunghoonnya terlalu sempurna. Sunghoon selalu jadi objek terindah yang Riki lukis.

Telepon dalam saku berdering, menampilkan label nama ‘Yang Jungwon’. Sahabat Riki sekaligus sepupu Sunghoon.

“Bagaimana? Kamu sudah lihat?”

Lihat? apa yang harus Riki lihat?

“Jangan mengelak. Kamu tidak bisa terus melarikan diri dari kenyataan. Sudah satu tahun sejak terakhir kali kamu melihatnya bermain piano. Bukankah kamu masih menyukainya?”

Helaan napas berat terhembus dari celah bibir Riki bertepatan saat telepon di tutup. Hatinya berdegup ngilu. Untuk kali ini perkiraan Jungwon meleset. Ia masih mencintainya dan akan terus mencintai Sunghoon.

Riki kembali mencuri lihat, di balik kanvas, di kursi duduk depan piano, atau di penjuru ruangan, tidak ada siapa pun di sana kecuali dirinya dan piano kosong tak bertuan. Memang hanya Riki yang terlalu mengada-ada, membiarkan dirinya terjebak dalam angan masa lalu. Ia menatap lukisan dihadapannya dengan sendu, ‘Sayang, aku merindukanmu.

Riki bangkit mengambil USB yang diberikan Jungwon kemarin lusa sepulangnya dari Prancis. Sengaja Riki simpan di tempat yang sulit terjamah pandangannya, tapi ia harus menyentuhnya demi agenda ‘tidak boleh lari dari kenyataan’ yang Jungwon paparkan. Riki menyambungkan USB itu ke televisi.

Sunghoon ada di sana. Riki tidak mengerti, napasnya terasa sesak, air matanya menyeruak dari kelopak mata. Namun ia tidak menampik gelenyar menyenangkan dalam dada, rindunya terbayar tuntas.

Sunghoon memang tampak berbeda sejak terakhir kali ia lihat. Rambut legamnya berganti perak. Sweater rajut tidak melekat seperti biasa, melainkan digantikan tuxedo hitam dengan sulur perak menawan. Dari rekaman yang diberikan Jungwon, tampak posisi Sunghoon yang terpisah dari pemain lain. Meski di panggung yang sama Sunghoonnya mendapat tempat istimewa, ialah pianis utama dalam orcestra. Eksistensi luar biasa yang ia hadirkan sebagai pangeran es.

Badai salju di luar masih berkecamuk sama seperti perasaan Riki. Bukan Mariage D’Amour yang biasa Riki dengar. Entah apa namanya, tetapi sunghoon berhasil menghanyutkannya dalam ruang cinta yang sama. Perasaan familiar seperti lima tahun mereka bersama. Walaupun pada tahun keenam Riki tidak bisa merengkuh ataupun mengecup pipi gembil Sunghoon.

Tahun lalu, saat sunghoon mengatakan bahwa ia akan pergi ke Prancis untuk bermain sebagai bagian dari orcestra membuat Riki seperti hilang pijakan. Tidak pernah terpikirkan bahwa ia akan menghadapi hari-hari tanpa Sunghoon di sisinya. Pada akhirnya ia menyerah untuk menahan Sunghoon. Riki memang mencintai Sunghoon tetapi ego tidak boleh mengekang kekasihnya.

Riki mengambil sesapan dari coklat panas yang ia buat. Alunan lagu Sunghoon masih terdengar apik, mungkin ini akan menjadi lagu favorit Riki berikutnya.

Di sini, di flat yang sama seperti enam tahun lalu, hanya tersisa Riki dan sepasang gelas rusa di nakas. Walaupun dengan salah satunya kosong tak terisi. Gelas itu milik Sunghoon dan akan kembali terisi saat dirinya pulang nanti.

— END —

Halo, Sobatq! Terima kasih sudah membaca Oneshot pertamaku. Gimana perasaan kalian setelah baca? Psstt, beritahu aku dengan rating dan komen, ya. Stay safe and be happy y’all, Bye-bye!

Leave a Comment

Item added to cart.
0 items - Rp 0
Beranda
Cari
Bayar
Order