Tiny Toes – 1. Inconvenience
“KAU SUDAH GILA?!” bentakan Arthur menggelegar memenuhi seisi kafetaria. Membuat suasana hening makin mencekam. Kingkong mana yang dilepas kesekolah dan dibiarkan mengamuk disana? Beberapa anak mulai mengangkat ponsel mereka, berusaha merekam kejadian itu. Tapi dicegah oleh orang-orang Arthur yang langsung berkeliling melarang kamera apapun diangkat ke arah Arthur.
Warning: Mpreg, Yaoi, Explicit birth scene, dual/asexual
Udah lama ga buat mpreg explicit </3 Tiba-tiba pengen. Jadi sekedipan mata. Maafin kalau ada typo.
Versi Braven yang berbeda. Mungkin fluff version of Braven dah. Menye-menye, bahagia doang, yang sengsara kamu aja jangan ajak-ajak dedek dan om disini ya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jungkook menghela napas berat, dalam hati menahan amarah. Sejak awal, ia tidak pernah setuju pindah sekolah. Kenapa harus pindah? Ia lebih suka Detroit dibanding Baltimore. Tempat ini terlalu ramai untuknya, dan terlalu konservatif. Sejak saat pertama Jungkook masuk ke sekolah barunya, lima bulan lalu, ia sudah kesulitan mencari teman. Wajah Asia dan perawakan mungil ini menyulitkannya ‘menunjukkan diri’. Tidak banyak wajah Asia yang bisa ditemukannya di sekolah ini, lebih-lebih teman sebaya yang mungkin punya kondisi sama sepertinya. Jadi kadang-kadang Jungkook menguatkan diri dengan mengingat kembali niat mereka memindahkannya ke sekolah ini. Demi pendidikan yang lebih baik…
Jungkook bisa bersabar, melalui hari-hari di sekolahnya tanpa teman untuk mengobrol di kelas atau untuk duduk bersama saat makan siang. Dan itu berlangsung selama tiga bulan.
Lepas tiga bulan, Jungkook mulai menarik perhatian. Karena tubuhnya yang ramping ringkih itu tiba-tiba berisi, dan semua berkumpul hanya di pinggul dan perutnya.
Remaja 18 tahun yang terlambat lulus sekolah, tiba-tiba pindah ke sekolah ternama, jadi anak baru sekaligus jadi satu-satunya siswa yang pergi ke sekolah dalam keadaan hamil. Dalam beberapa minggu saja, nama Jeon Jungkook sudah terkenal seantero sekolah.
Bukan mendukung hal baik terjadi, sebaliknya… Jeon Jungkook yang sebelumnya invisible tiba-tiba jadi bahan bisik-bisik dan bully semua orang.
Andai saja… hal ini terjadi sebulan lebih cepat. Seandainya kehamilannya disadari sebulan sebelum pemindahan dokumennya selesai. Mungkin Jungkook tidak akan dipaksa pindah ke Baltimore, dan ia tidak perlu berjuang menuli-nulikan diri saat komentar-komentar bernada negatif itu diembus tiap kali ia lewat.
“Wajahnya seperti baru lulus SMP.”
“Apa dia punya suami?”
“Jelas bermasalah. Lihat perutnya!”
“Apa dia tidak tahu ada yang namanya kondom?”
“Wajahnya Cina. Pantas banyak orang Cina dimana-mana, umur semuda itu sudah hamil.”
Jungkook memberengut. Meski sudah mulai kebal dengan semua komentar jahat itu, kadang-kadang ada kalimat baru yang tetap menyakiti hatinya. Butuh perjuangan untuk menahan airmatanya setiap komentar jahat yang baru terdengar olehnya.
Aku lebih tahan banting dari dugaan mereka. Hiburnya dalam hati.
Matanya terpaut pada ponsel, tidak ingin meladeni satupun komentar itu. Tidak bahkan dengan menatap balik mereka dengan kebencian yang sama. Walau kalau ditanya, sebenarnya ia benci sekali. Begitu besar keinginannya untuk mengadu pada suami. Tapi jika dilakukannya, satu sekolah ini akan habis diratakan ke tanah. Jadi ditahan-tahannya semua kekesalan itu tetap di dada, tidak sekalipun Jungkook membahasnya, sekalipun sering suaminya memancing Jungkook bercerita.
Biar saja bibir mereka lelah sendiri. Biar saja mereka mengira Jungkook tidak punya suami.
Tapi rupanya, Jungkook keliru soal itu. Lidah tidak bertulang, jadi tidak butuh banyak tenaga untuk menggunakannya sering-sering.
“Kudengar seharusnya dia sudah kuliah. Tapi SMAnya belum tamat, bermasalah di sekolah lamanya jadi pindah kemari.”
Jungkook pernah membalas, satu dua kali, tapi akhirnya lelah sendiri. Sadar satu lawan puluhan bukan jenis perang yang worth a time. Komentar itu redam sendiri saat ia masuk kelas dan jam sekolah dimulai.
Ada satu dua guru juga meliriknya dengan tampang meremehkan. Saat itu terjadi, rasa down yang dialami Jungkook lebih parah dibanding mendengar sindiran teman-temannya sendiri. Mungkin karena dalam hati Jungkook merasa, seharusnya, momok guru membantunya melewati pembullyan di sekolah.
Ponselnya bergetar dalam saku saat Jungkook tengah fokus memperhatikan guru. Hanya dua kemungkinan terjadi saat benda itu memberi notifikasi. Game atau suaminya menghubungi. Yang manapun, keduanya sama-sama urgent. Jadi diam-diam Jungkook mengeluarkan ponselnya di bawah meja. Benar dugaannya, satu pesan muncul di sana.
‘Aku yang jemput hari ini. Julien can go to hell.’
Chat pendek itu sukses mengulas senyum di wajah Jungkook, yang ditahannya sekuat tenaga atau senyum kecil itu pasti sudah jadi seruan girang.
Suaminya sedang di Baltimore? Jungkook mengetik di ponselnya bersemangat.
‘Boleh. Asal jangan pakai mobil mewah. Aku pura-pura tidak kenal kalau kau datang pakai limousine.’
‘Why? My baby girl harus duduk nyaman.’
Jungkook belum sempat membalas, chat lain menyembul masuk.
‘Ralat. My baby girls.’
Jungkook melirik gurunya di depan kelas, saat punggung pria itu menghadap semua siswa, cepat-cepat dia mengetik;
‘Berhenti chat aku. Aku sedang dikelas!’
‘Kenapa memangnya? Seseorang melarang? Ada guru yang memarahimu? Aku mau nama, baby.’
Jungkook hampir mendesis, wajahnya menunduk, sudah siap mengetik panjang lebar omelan saat—
“Jeon Jungkook? Simpan ponselmu sebelum kusita benda itu.”
Jungkook tersentak kaget, hampir menjatuhkan ponsel di tangannya. Buru-buru ia duduk kaku menyembunyikan ponsel itu di bawah meja. Seisi kelas kini menatap ke arahnya.
“Pantas tidak lulus tepat waktu, tsk.”
Jungkook menunduk, menatap buku pelajarannya setengah tidak fokus. Dibiarkannya saja poni dan rambutnya yang agak panjang menjuntai menutupi mata.
“Tidak apa. Wajahnya masih 15, dan mungkin tidak perlu sekolah, tidak perlu pusing bekerja. Buka kaki juga cukup untuk biaya hidup.”
Komentar itu begitu halus, begitu pelan, mungkin berasal dari bangku di belakangnya. Sepertinya agak tidak mungkin guru tidak mendengar. Kalau pun mendengar, guru itu tetap tidak melakukan apa-apa.
‘Baby. Balas.’
‘Sebentar lagi aku istirahat. Tunggu ya.’ Jungkook mengetik cepat-cepat sebelum mengembalikan ponselnya ke dalam saku. Setelah itu ia pura-pura memperhatikan sisa kelas.
“Lihat perutnya. Itu pasti harga yang ditukar dengan uang jajannya.”
Beberapa orang tertawa, mereka baru diam saat guru berbalik marah sambil menegur ‘sssst!’ kuat-kuat.
Itu bukan suara-suara asing. Jungkook sampai hapal siapa saja yang berkomentar dengan kalimat baru sehari setidaknya sekali. Ada Justin, Paul, Mike, Caroline, dan di ujung kelas sana, Moyes.
Jungkook melirik tidak senang, satu tangannya memegangi perut gemuknya dengan protektif. Mereka boleh menghina dia sepuasnya, tapi saat putrinya yang dicibir, Jungkook ingin sekali mengangkat kursi dan menghantam kepala komentator itu satu persatu. Suaminya tidak mungkin melarang, kalau ada suaminya disini sekarang, orang-orang itu pasti sudah kehilangan lidah. Hanya karena belas kasih Jungkook mereka masih bisa menggunakan lidah-lidah jahat itu untuk berbuat dosa.
Jungkook menghabiskan sisa kelas itu dengan sia-sia. Tidak ada lagi pelajaran yang bisa masuk ke otaknya. Masa bodo. Ia bisa bertanya soal tugas pada Julien dan Angelina. Begitu suara bel istirahat berdering, cepat-cepat Jungkook berlalu keluar. Sigap memegangi perut kalau-kalau ada yang jahil berusaha menyikutnya.
Tapi istirahat juga bukan pelarian.
Istirahat… salah satu neraka yang harus dilaluinya dalam sehari selama berada di sekolah.
Jungkook harus makan sendirian. Ada Samuel disana, sesungguhnya. Suaminya membuat pemuda itu ikut pindah kemari tapi Jungkook ngotot tetap tidak ingin ‘dipaksa’ ditemani. Ia ingin berteman dengan natural, bukan ditemani oleh remaja setengah bodyguard kiriman suaminya.
Rutinitas makan siangnya selalu begitu. Mike sengaja lewat di sampingnya agar bisa berkomentar pedas, young slut, tight cunt, whore, yang diabaikan cepat-cepat oleh Jungkook karena Jungkook terlalu sibuk berbalas chat dengan seseorang.
Tapi kali ini, Mike memberikan usaha lebih dari biasanya. Pemuda tinggi berambut pirang itu tiba-tiba duduk di hadapannya, mengusap-usap ujung nampan makannya sambil menatapnya tanpa henti.
“Kalau diperhatikan… kau cantik juga ya?”
Jungkook meliriknya datar. Ponsel di tangan.
Apa lagi ini? Mereka taruhan? Yang kalah wajib mengganggunya sampai menangis?
Terakhir kali memang ada dare macam itu. Dan Jungkook memang menangis karena dare yang mereka buat sungguh keterlaluan! Mereka menyuruh Alderian mengecup bibirnya tiba-tiba, saat Jungkook marah bermaksud memukulnya, mereka mendorongnya, mengoper Jungkook satu sama lain, tidak cukup untuk melukainya tapi cukup membuat Jungkook kewalahan menghindar dan melawan karena dihalangi perut besarnya, dan berakhir menangis karena kesal pada dirinya sendiri.
Kalau bukan karena bayinya, Jungkook pasti sudah menerima tantangan duel itu dan menghajar mereka. Sekalipun ia harus ikut babak belur. Karena ia tidak pulang babak belur tapi hanya dengan mata sembab, Jungkook makin jengkel lagi. Tidak mungkin menceritakan kejadian hari itu pada suaminya sendiri. Seandainya ia tidak hamil tapi berakhir babak belur, pasti dengan bangga Jungkook bercerita pada suaminya, pada semua orang juga. Tapi hari itu… sungguh hari yang buruk. Ia memaksa Samuel merahasiakan semuanya dan bilang Jungkook hanya menangis karena sakit di perutnya.
Kembali pada Mike… remaja itu menatapnya menunggu, menebar senyum merasa pesonanya akan merasuki Jungkook. Janggut dan kumis yang tumbuh tanggung di pipinya membuat Jungkook ingin sekali mengambil silet dan melukai wajah itu. Apalagi saat dia bicara…
“Minggu depan pesta akhir tahun senior, kau sudah dapat pasangan?”
“Tidak berniat datang.”
Jungkook melihat Samuel, duduk di ujung aula memperhatikan tiap gerak-geriknya. Jungkook mendesah gerah. Tiap kali mata itu menatapnya khawatir, ia harus mengangguk-angguk pelan agar Samuel tahu ia bisa mengatasi gangguan kecil selevel Mike. Samuel tidak perlu turun tangan. Mereka hanya mencibir, saat puas pasti pergi begitu saja.
“Kau sudah dapat pasangan? Mau datang denganku? Bet you never come to year-end party.”
“AKU TIDAK BERNIAT DATANG,” Jungkook menggebrak mejanya jengkel. “Jangan ganggu aku, Mike. Pergi. Shoo!“
“Dia bilang tidak mau, Mike,” teman-teman Mike sendiri mengejek pemuda itu. Jadi benar dugaannya, mereka sedang melakukan dare.
“Berhenti menggoda anak gadis orang, Mike.” Seorang senior tertawa dari ujung aula, Dominic, senior yang paling ditakuti di sekolah, teman-teman Dominic di sekelilingnya ikut tertawa pada ejekan pemuda itu. Laura, Jenny, Riza, Anderson. Kelakuan mereka membuat banyak mata tertuju pada drama diantara Paul dan Jungkook. Tapi Jungkook, seteguh dan secuek biasa, diam saja mengunyah jeruknya. Sementara wajah Mike sudah merona semerah kepiting.
Mike berdiri kesal sambil menggebrak meja, sampai kotak susu Jungkook jungkir balik dan isinya mengotori nampan. Wajah manisnya tadi berubah geram.
“Whore.”
Jungkook mencibir tanpa suara, meniru kata whore sambil sibuk mengetik-ngetik di ponselnya. Kelakuannya itu tertangkap basah oleh salah satu teman Mike.
“Makianmu sudah tidak mempan lagi, Mike. Kau butuh hal baru.” Setelah berkomentar begitu, pemuda itu tertawa. Tapi Mike sudah kehabisan akal dan harga dirinya dilukai. Pemuda itu memutuskan pergi.
Benar kan dugaannya? Mereka pergi begitu saja. Bosan karena Jungkook tidak meladeni.
Hidup Jungkook jadi tenang, setidaknya selama beberapa menit. Tidak ada yang menghampirinya lagi, tidak ada yang mengganggunya lagi. Sampai terdengar suara announcement dari speaker di ujung aula.
‘Jeon Jungkook dari kelas II C ditunggu di ruang kepala sekolah.’
Jungkook hanya melirik-lirik, tentu saja tidak ada Jeon lain yang dipanggil. Nama itu saja cukup aneh. Agak ogah-ogahan anak itu memberesi sisa makanannya dan membuangnya ke kotak sampah. Ia memungut tasnya lagi.
Samuel seperti memberi aba-aba akan ikut berdiri, tapi Jungkook buru-buru menggeleng-gelengkan kepalanya agar anak itu tidak mengikutinya. Ia gerah diikuti!
Samuel duduk lagi, walau agak enggan pada awalnya, anak itu akhirnya kembali mengobrol dengan temannya yang lain. Bagus. Samuel lebih penurut akhir-akhir ini. Mungkin enggan diajak perang mata oleh Jungkook.
Jungkook pergi sendiri ke ruang kepala sekolah. Tidak yakin dipanggil karena masalah. Ia beberapa kali dipanggil kesana, hanya untuk satu alasan—
“Tuan Muda Jeon.”
Lelaki paruh baya keturunan Jepang yang memimpin sekolah besar ini membungkuk dalam-dalam padanya begitu Jungkook menutup pintu.
“Jangan panggil aku begitu!” Jungkook berseru jengkel.
Pria itu, Takada, hanya tertawa, masih bersikeras menarikkan bangku untuk Jungkook duduk. Pelayanan sekecil ini tidak ada artinya dibanding besarnya dana yang dikucurkan oleh suami remaja di hadapannya ini. Alangkah baiknya jika Takada berusaha menjalin relasi meski boca dihadapannya ini mungkin tiga kali lebih muda darinya.
“Tuan besar akan datang hari ini, aku mencoba memintanya memberi sambutan di acara akhir tahun sekolah. Biar bagaimanapun Tuan Besar alumni terbaik kami, dan sponsor terbesar juga.”
“Dia mana mau.” Jungkook mencibir pelan. “Dan ini tidak ada hubungannya denganku, Takada sir.”
“Anoo… Sebenarnya…” pria itu agak sungkan saat mengatakannya, suaranya begitu pelan, “Apakah sekolah baik baik saja?”
Sebelah alis Jungkook naik.
“Dia membuatmu bertanya begini padaku? Karena aku tidak menjawab? Bilang padanya sekolahku baik-baik saja.” Suaminya sendiri yang meyakinkan semua akan baik baik saja saat pria itu memaksanya pindah kemari.
Takada agak termegap mendengar jawaban datar itu. Ia mendengar dari beberapa guru bahwa remaja dihadapannya ini kerap dibully. Dan Takada tidak bisa mengambil resiko Tuan Besar mengetahui soal ini. Tapi dilemanya, anak ini bahkan memutuskan untuk tidak cerita pada suaminya sendiri. Karena jika sudah cerita….
Tidak. Tidak. Pasti sudah jadi bencana.
“Kalau begitu… Tuan Putri baik baik saja?”
Jungkook mengerutkan kening. Bukan sekali mendengar orang-orang merefer bayinya dengan sebutan “Tuan Putri”. Ia bukan keturunan kerajaan, suaminya pun bukan. Dari mana sebutan maha tinggi itu datang? Sungguh mengherankan.
“Bayiku baik-baik saja.”
“Kalau ada sesuatu… Tidak enak badan, lelah, pegal, pusing dengan pelajaran. Beritahu aku, alright? Bagaimanapun saat hamil pasti mudah lelah…”
Oke. Jungkook makin gerah berada di ruangan itu.
“Aku bisa lakukan sendiri! Ini cuma sekolah. Apa sudah? Sebentar lagi aku masuk kelas.”
“Eh- y-ye.” Mr. Takada bangun dengan canggung, menemani Jungkook hingga keluar pintu.
“Hati-hati di jalan, Tuan Muda.”
“Ya,” balas Jungkook cepat-cepat agar bisa segera pergi dari sana.
Kadang-kadang dibully memang menjengkelkan. Tapi ada satu level kejengkelan lain, datang justru dari orang-orang yang berpihak pada suaminya. Mereka memperlakukan Jungkook seperti ratu lebah yang butuh ditinggikan dan dilindungi.
‘I’M NOT A FUCKING WEAKLING!’ Jungkook pernah menjerit marah sampai menangis saat tahu suaminya memasang GPS di semua perangkat gadgetnya. Ponsel, i-Watch, sampai i-Padnya.
Suaminya, jelas sama ngototnya menolak melepas alat pelacak itu dari peralatan Jungkook. Sehingga membuat anak itu mencari cara cerdik… Menggunakan Google dan mempreteli sendiri mesin mungil GPS yang dipasang di mesin ponselnya. Sebenarnya juga hal itu baru berhasil dilakukannya dua hari lalu. Tapi setidaknya dengan begitu, ada sedikit kebebasan masa muda yang bisa dinikmatinya. Sebelum bayinya lahir. Setelah bayinya lahir pun, Jungkook tidak berniat semerta-merta menyerahkan seluruh kebebasannya sebagai manusia dan sebagai laki-laki (yang utama). Justru setelah baby lahir banyak orang khawatir Jungkook akan punya lebih banyak kuasa dari yang dimilikinya sekarang.
Sebentar lagi… Jungkook tersenyum sambil mengatup perutnya yang besar. Ia berjalan sendiri melewati koridor yang kosong. Sebentar lagi baby akan bisa disentuhnya, ditimangnya, dikecupnya, dimanfaatkan untuk mengendalikan suaminya… Dan Jungkook sudah tidak sabar menantikan saat-saat itu.
“Mau kemana, sundal?”
Jungkook terenyak, berhenti melangkah sebentar tapi menolak berpaling. Ia kenal suara itu. Mike.
Jungkook cepat-cepat melangkah lagi, ingin segera sampai ke kelasnya atau ke aula besar. Perasaannya membisiki sesuatu yang tidak mengenakkan.
Tapi ia bisa mendengar langkah cepat Mike, kaki-kaki itu lebih panjang dari miliknya. Dan derap yang didengarnya bukan hanya sepasang.
Mike merenggut bahunya dan memaksa Jungkook berhenti. Jungkook hampir jatuh terpeleset saat Mike menariknya berbalik.
“Jangan ganggu aku, Mike.” Jungkook menampik tangan anak itu. Mike berdiri bersama Paul dan John, menatapnya seperti siap menelannya.
“Kau pikir bisa kabur setelah kelakuanmu di kantin?”
“KELAKUANKU?” Jungkook menghela napas, kencang-kencang. Lalu ingat ia punya bayi untuk dijaga dan melawan Mike tidak akan ada gunanya, sekalipun hanya melawan menggunakan omongan.
Jungkook berbalik, siap menghantam Mike menggunakan tasnya kalau anak itu berusaha menahannya lagi. Tapi bukan Mike jika anak itu berhenti saat Jungkook terang-terangan menolak. Jungkook menunggu-nunggu saat satu tangan menariknya lagi untuk tetap berada disana. Tapi bukan ditarik, kali ini tangan itu melintas di wajahnya, membekap Jungkook menggunakan alas sapu tangan.
“MIKH—!” Jungkook menghentak dan meremas tangan yang lebih kuat itu, bermaksud melawan, sebisa mungkin tanpa mengusik perutnya. Tapi ia menghirup sesuatu yang justru melemahkan syaraf-syarafnya dan merebut kesadarannya dalam beberapa detik saja.
Sebelum pingsan, Jungkook mendengar bisikan Mike yang penuh kedengkian.
“Kau akan bayar perbuatanmu, slut.”
.
.
.
.
.
.
.
Jungkook menyentak sadar karena tamparan di wajahnya. Tapi saat membuka mata, pandangannya berkunang dan pencahayaan ruangan terlalu minim untuknya memastikan sedang berada dimana. Sekujur tubuhnya sakit dan ia berbaring di atas lantai yang dingin.
Lalu teringat lagi olehnya kejadian terakhir sebelum ia berada di tempat asing ini.
“M-Mike.” Jungkook menyeret tubuhnya mundur
“Halo lagi, slut.”
Jungkook menatap sekelilingnya panik. Ruangan kosong dan lembab ini tidak tampak seperti ruang manapun di sekolahnya. Dia ada dimana?
“Bawa aku keluar dari sini sebelum terlambat— Aku akan memaafkanmu, tidak akan kuceritakan kejadian ini pada siapapun.” Terutama suamiku. Kepalamu akan jadi bayaran kalau aku memutuskan buka mulut, “Let me go, NOW MIKE!”
“Masih bisa bicara sesombong ini, ya?”
“MIKE!” Jungkook meraung saat Mike menginjak pergelangan kakinya, terlalu kuat sampai-sampai ia mungkin mendengar derak tulang bergeser. “Arthur— Arthur!”
“Siapa itu, hm?”
“Arthur!” Jungkook terus memanggil, wajahnya basah oleh liur dan airmata. Mati-matian anak itu menahan rasa sakit di kakinya dengan meremasi paha.
Paul dan John saling pandang, agak bingung tapi melihat remaja di atas lantai itu meraung kesakitan membuat keduanya sama-sama takut. Mereka tidak berniat membunuh siapapun disini.
“Let’s go Mike, kau sudah menyeretnya kemari. Keinginanmu sudah terpenuhi.”
Mike berjongkok di sisi Jungkook, mengusap paha anak itu sambil menjilat bibirnya.
“Aku belum mencicipi tubuhnya.” Tangan Mike bergerak, menggerayangi paha Jungkook bermaksud menurunkan celana jogger hitam anak itu.
“NO!” Jungkook menyentak, dipaksa mengerang memilukan karena harus menggerakkan kakinya. Didorongnya dada Mike brutal, berusaha menjauhkan wajah pria itu darinya. “Kau tidak tahu siapa suamiku. Dia akan membunuhmu, Mike. Biarkan aku pergi sekarang dan aku bisa bohong soal terpeleset.
“Now-now, darling. Kau berbohong biar kulepas ya?”
“Jangan sentuh aku, sialan!”
Makin besar pemberontakan Jungkook, makin bersemangat pula Mike dibuatnya. Remaja tanggung itu menarik turun celana Jungkook hingga hanya underwear gelap yang tampak di ruangan temaram itu, melindungi bagian private Jungkook.
“Nononono, please please please, Mike. Aku—aku minta maaf, aku minta maaf kalau aku menyinggungmu. Please let us go please please.“
“See? Kau jadi cantik kalau memelas begini.”
“Sepertinya ini berlebihan, Mike.” Paul mulai khawatir saat dilihatnya Jungkook berbaring, menggeliat, nyaris jatuh tidak sadarkan diri lagi. Ia tahu Mike hanya main-main, tapi apa harus dengan menelanjangi anak ini?
“Kenapa? Kalian takut?”
“Come on, kau cuma berniat menguncinya disini. Aku tidak ikut-ikutan.” John agak marah, anak itu keluar dari sana membanting pintu. Mike mana peduli, ia belum puas bermain disini dan kalau John bermaksud pergi, Mike tetap akan melanjutkan keinginannya. Sampai tuntas.
“Kau tidak sungguh-sungguh ingin memperkosanya kan, Mike?” Paul ikut berlutut di sisi Jungkook. Sedikit tidak tega melihat bahan bully mereka seperti berada diambang batas, nyaris pingsan tapi masih bersikeras terjaga karena ketakutan.
“Let him go, it’s enough.” Paul menarik Mike saat pemuda itu berjongkok di sisi Jungkook, menggenggam sesuatu yang diarahkannya langsung ke mulut Jungkook.
“Minum, minum baby.”
“Kau beri dia narkoba?!” John agak panik.
“Ini Prostaglandins, pemicu kontraksi.”
Jungkook memberontak, hampir menggigit tangan Mike saat dipaksa menelan obat itu. Diluar seluruh rasa sakit yang menguasai tubuhnya, ia masih mendengar jelas ucapan Mike. Pemicu kontraksi?
“Telan atau sungguhan kuperkosa kau disini.”
Jungkook gemetar, airmatanya berlinangan. Satu tangan Mike bertetengger di pinggulnya, dan satu tangan berada di depan mulutnya. Kalau ini situasi berbeda, Jungkook pasti berani meludahi wajah pemuda itu dan menendang selangkangannya.
Tapi ini Mike. Menjebaknya di ruang gelap antah berantah. Tanpa satupun penonton kecuali John dan Paul.
“Please, Paul… John.” Jungkook masih mencoba, melihat keraguan di mata kedua pemuda itu.
“Mereka mendengarkan aku, bukan kau. MINUM.” Mike membekap mulut Jungkook, sambil mengancam dengan meraba-raba selangkangan anak itu. Jungkook terisak, ketakutan, frustasi, terpaksa menelan obat itu tanpa bisa menyimpannya di dalam mulut karena Mike memastikan kembali benda itu lenyap ke tenggorokannya.
“Alright I’m done.“
Mike melepasnya, Jungkook terpekur, terisak sambil meremasi perut.
“Kau yakin dia tidak akan mati disini, Mike?”
“Dia punya ponselnya kan? Kalau sungguhan punya suami pasti akan ditelponnya.”
Jungkook menggigit bibir, hampir tersedak karena menahan jeritan saat perutnya melilit tiba-tiba, jauh lebih menyakitkan dari sebelumnya.
“Itupun kalau ada yang bisa menemukan tempat ini.”
Mike menutup pintu, ada suara gerendel keras dari luar. Pemuda itu menguncinya disini, sementara Jungkook bertarung dengan rasa sakit yang tiba-tiba datang bertubi-tubi menyerang sekujur ototnya.
.
.
.
.
.
.
.
Suasana di dalam mobil mewah itu agak gelap, gorden hitam ditarik menutupi jendela dan lampu dibiarkan tidak menyala. Meski hari siang, penerangan di sana begitu kurang. Tidak banyak orang di dalamnya, hanya tiga orang pria. Tapi mobil-mobil lain yang mengekor di belakang limousine itu, menampung setidaknya empat personel per mobil.
Arthur menyeringai. Pria raksasa itu sudah membayangkan suara protes istrinya setelah melihat rombongan yang datang hari ini.
Ini berlebihan, Arthur!
Arthur memang berniat berlebihan hari itu. Setelah mendengar semua pengaduan Samuel, bagaimana baby girl-nya dibully di sekolah. Arthur ingin sekali bertemu dengan remaja-remaja bernyali besar itu sekedar pamer, menunjukkan kekuatan mengerikan macam apa yang sebenarnya melindungi Jungkook.
Ini sungguh bukan hobinya, tapi jika menyangkut baby girl-nya, Arthur tidak keberatan memamerkan sikap berlebihan.
Arthur duduk menguasai sofa panjang sendirian, di sebrangnya dua bawahannya duduk agak kikuk melihat bos besar terus-terusan berkutat dengan ponsel dan tidak berhenti senyum-senyum sendiri.
Pemandangan mengerikan macam ini sudah berlangsung berbulan-bulan, tapi baik James dan Julien masih belum terbiasa melihat Arthur bermain dengan ponselnya sambil cengengesan bagai remaja.
Arthur jelas sadar dipandangi walau kadang-kadang saat bermaksud memergoki, dua bawahannya itu sudah menatap ke arah lain.
“Lihat apa, Julien?”
Julien termegap. Padahal Martin juga mencuri-curi pandang pada bos besar. Tapi kenapa dirinya yang sial kena tegur?
“No no no nope, bos.”
“My baby-girl is so pretty, don’t you think?”
Big boss menunjukkan layar ponsel padanya, tempat satu potret birdie dijadikan wallpaper. Birdie mengenakan kacamata dan tersenyum begitu manis dalam foto itu, ada cahaya lampu meneranginya dari atas seakan-akan remaja itu sedang ditempa sinar ilahi.
Menjawab pertanyaan big boss, tentu saja kalau harus jujur… Birdie kelewat cantik. Tapi apa itu tes? Kalau jawab ‘tidak‘ potong lidah, kalau jawab ‘ya‘ potong leher? Julien memutuskan untuk menjawab sejujurnya. Karena kalau dibayar dengan nyawa pun setidaknya ia tidak menambah dosa dengan berdusta.
“Y-ya, bos. Birdie cantik,“ jawabnya pendek, seadanya. Julien sudah pasrah sejujurnya. Tapi pria itu tidak menyangka boss akan merespon jawaban jujurnya dengan tersenyum. TERSENYUM. Meski tersenyum pada ponsel sendiri, kalau Arthur tersenyum padanya, no, akan lain artinya.
“Hmm, berapa bulan aku tidak bertemu dengannya. I miss him so much.“
“Baru tiga hari bos.”
Arthur mendelik padanya.
“Ada yang menyuruhmu menjawab?”
“S-Sorry.”
“Sepertinya kau perlu berhenti memanggil birdie dengan sebutan baby-girl, bos.” Martin nimbrung, Julien hanya bisa memelototi partnernya itu. Terheran-heran saat dirinya berusaha lepas dari obrolan menyerempet nyawa ala big boss, Martin malah sukarela ikutan.
“Kenapa? Ada yang tidak suka? Siapa?”
“Nooo. Bukan soal itu. Tapi tuan putri akan segera lahir, harusnya sebutan ‘baby-girl’ sudah mulai diwariskan.”
Arthur menatap Martin kaku, seperti tidak terima diberi solusi. Tapi pria itu diam sebentar, keningnya bertaut, dan sesaat kemudian…
“Benar juga…” Arthur setuju sambil memandangi potret Jungkook di ponselnya. Melihat fotonya saja membuat Arthur sekali lagi menyeringai, senang karena dalam beberapa menit ia akan melihat istrinya, menyentuh kulitnya yang lembut, dan mengecup pipi sedikit kalau diizinkan. Lamunan kotor Arthur tersela karena satu panggilan tiba-tiba masuk ke ponselnya.
Baby Girl
Incoming call
Arthur langsung mengangkatnya sambil tersenyum lebar. Tapi—
‘Daddy—’
—suara lemah Jungkook di sebrang telpon sontak membuatnya duduk tegap.
“Ada apa? Seseorang mengganggumu?”
Martin dan Julien jadi memandang Arthur, ikut-ikutan duduk tegap mendengar pertanyaan barusan. Siapa yang berani ganggu Jungkook? Keduanya langsung berinisiasi untuk menguping sambil menyusun rencana jahat. Membalas siapapun yang berani menyentuh birdie.
“Tolong aku…”
Arthur menyentak bangun, sampai kepalanya terantuk atap mobil. Pria itu mengerang, hampir melompat, lupa tubuhnya sebesar kingkong dan ia masih berada di dalam kendaraan yang tengah berjalan.
“Kau dimana?” Arthur mengeram, menahan suaranya setenang mungkin. Jungkook di sebrang telpon tampak tidak bisa menerima bentakan seperti apapun juga, suara anak itu terlalu gemetar. Entah situasi macam apa yang menimpa baby girl-nya, tapi Arthur sudah bersedia memangkas nyawa orang atau meratakan satu gedung ke tanah kalau ada hal jelek menyentuh Jungkook sedikit saja.
“Aku tidak tahu
Seseorang mengurungku disini. Aku tidak bisa lihat apapun.
Aku tidak tahu dimana, daddy please.”
Jungkook terisak. Arthur menggerung. Julien dan Martin bergeming ketakutan.
“…Sakit sekali.”
Arthur mencengkeram ponselnya nyaris meretakkan benda itu, lalu ingat panggilan di antara mereka akan terputus kalau ia sampai merusak benda itu. Arthur menggedor pembatas yang memisahkannya dari kursi supir.
“Lebih cepat, James!” suara pria itu menggelegar di dalam mobil, hampir terdengar gemetar. Mengangetkan James dan Angelina yang duduk di bangku depan.
Perjalanan yang harusnya ditempuh kurang lebih lima belas menit, dipangkas jadi lima menit. James harus menerobos begitu banyak aturan lalu lintas dan tidak menunggu penjaga menyambut mereka, mobil langsung berbelok karena pagar sekolah Jungkook memang sudah terbuka.
Mr. Takada dan jajaran guru sudah berdiri di depan koridor utama untuk menyambut kedatangan mereka.
“Selamat datang, Arthur sir!”
Arthur tidak meladeni sambutan super hangat itu dan melenggang kaku melewati Mr. Takada.
“Sesuatu terjadi, Tuan Besar?” Mr. Takada mengekor buru-buru.
Arthur menatap marah kesana-kemari, seakan-akan berniat menelan satu saja makhluk hidup yang berani melintas di depannya.
“Seseorang mengerjai istriku.”
Suara geram itu membuat Mr. Takada termegap. Kelakuan orang gila mana lagi ini?
Setelah teguran big boss soal Jeon Jungkook yang kerap dibully di sekolah, Mr. Takada hampir mengira Arthur akan menarik semua aliran dana untuk sekolah ini. Hal itu masih mungkin terjadi. Amarah Arthur belum sepenuhnya hilang soal perkara yang sudah lalu beberapa minggu. Dan ditambah lagi soal ini?
“Tutup semua pintu sekolahmu. Tidak seorangpun boleh keluar dan masuk sampai aku melihat Jungkook.”
Mr. Takada hanya sanggup menelan ludah. Siapapun yang terlibat… ia hanya berharap orang-orang itu tidak ‘ditangani’ di dalam wilayah sekolahnya.
.
.
.
.
.
.
Dominic tahu hari ini akan ada pertemuan seluruh siswa dengan tamu terhormat sekolah yang katanya, penyumbang terbesar di sekolah mereka. Dominic bahkan tahu siapa orang itu. Tidak mungkin tidak tahu bila ia menghabiskan hampir setengah tahunnya membuktikan diri demi bisa bergabung dengan cartel itu.
Cartel Arthur bekerja underground sebagai gangster, dan di permukaan terlibat bisnis kurir logistik dan properti yang tentu ‘halal’ sekali dipandang.
Kabarnya, anggota inti akan datang. Julien, Martin, dan yang paling mencengangkan… Leader mereka sendiri.
Arthur Dechlan.
Dominic bahkan belum pernah melihat Arthur secara langsung. Jadi hari ini jadi kesempatan membanggakan baginya jika ia berhasil menatap Arthur secara langsung.
Acara itu setidaknya dijanjikan akan berlangsung di aula utama. Tempat kelas senior biasanya diwisuda.
Tapi baru lima belas menit ia duduk di kafetaria sekolah, segerombol pria berjas hitam masuk ke dalam kafetaria. Berpencar, menjagai pintu keluar sambil menatap sekeliling.
Dominic sontak berdiri saat melihat wajah familiar. Elbert. Pria itu penyalur narkoba miliknya, tempatnya sering mendapatkan bonus obat secara cuma-cuma. Agak bingung dihampirinya pria itu, diberinya aba-aba agar teman-temannya mengekor di belakang. Wajib hukumnya menyapa orang yang biasa menyuplai mereka dengan obat dan barang mahal tiap minggu.
Tapi….
Sebesar apapun donasi yang diberikan cartel Arthur tidak berarti orang-orang dewasa itu diizinkan masuk ke kafetaria dan membuat seisi ruang besar itu hening dalam sekejap. Ada apa sesungguhnya?
“Sedang apa disini, man? Kupikir pertemuannya di aula besar?”
Elbert mengerutkan keningnya dulu, sebelum membalas Dominic.
“Bos bilang tidak ada yang boleh keluar dari gedung sekolah, sampai baby-girl bos ditemukan.”
Laura dan Dominic saling berpandangan, tiba-tiba merasa tidak enak. Sejak kapan putri Arthur sekolah di sini? Dan lebih aneh lagi… Sejak kapan Arthur punya anak perempuan?!
Belum cukup dibuat bingung, pintu kembar kafetaria sekolah membanting terbuka. Julien dan Martin masuk paling pertama, lalu tak jauh di belakang, sosok raksasa muncul… Dengan tampang marah melempar pandangan kesana-sini, mencari-cari. Caranya menatap sontak membuat suasana hening makin mencekam.
Dominic menganga.
Arthur?
“Dude, what the fuck happened?” bisiknya panik pada Elbert.
“I told you, someone mess up with boss’s baby girl.”
The fuck?
4 pintu keluar dijagal oleh orang-orang berpakaian hitam-hitam itu. Mungkin mulai merasakan keanehan, siswa-siswi gusar. Apalagi saat satu dua orang dilarang keluar dari sana dan dipaksa duduk lagi.
Seorang siswa berdiri dekat sekali dari Arthur. Samuel? Adik tingkatnya. Membuat Dominic bertanya-tanya apakah anak itu anggota cartel juga. Dari caranya bicara, melaporkan dengan setengah takut,
“Terakhir dia disini, sebelum Mr. Takada memanggilnya ke ruangan Kepala Sekolah.”
Dominic berusaha mencerna obrolan itu, selagi Samuel dihakimi sepasang mata murka Arthur.
“Kau tidak mengikutinya?”
“B-birdie tidak mau diikuti, boss.”
Arthur hampir berang, tapi mengingat ada hal yang lebih genting, pria itu menahan amarahnya.
“I’ll deal with you later, Samuel.” Arthur beralih pada Martin, “Lacak GPS baby bird.”
“Alright boss.”
“D-daddy?”
“Ya, baby? Jangan putus dulu telponnya, alright? Martin sedang melacak lokasimu.”
Tangis Jungkook pecah di sebrang telpon.
“Baby??? Ada apa?”
“Aku melepas GPS itu daddy.“
“WHAT?!”
“Karena sudah kubilang aku tidak mau dilacak!”
“KAU SUDAH GILA?!” bentakan Arthur menggelegar memenuhi seisi kafetaria. Membuat suasana hening makin mencekam. Kingkong mana yang dilepas kesekolah dan dibiarkan mengamuk disana? Beberapa anak mulai mengangkat ponsel mereka, berusaha merekam kejadian itu. Tapi dicegah oleh orang-orang Arthur yang langsung berkeliling melarang kamera apapun diangkat ke arah Arthur.
“Maafkan aku! Maafkan aku…”
Mau siapa nih suaminya? atau ga ada suami? wkwkwkkw
You must be logged in to post a review.
Reviews
There are no reviews yet.