1. Young Master

Jeon meremas lampu di tangannya saat segores pedih melintas di hatinya, begitu nyeri hingga tengkuknya meremang. Empat tahun ia menunggu, hidup berjarak ribuan mil dari pria ini. Sekarang setelah berdiri sedekat ini, Jeon masih bisa merasakan betapa jauh Bruce darinya.

Author: Miinalee

Alfred dan Olivia mengawasi sementara seorang supir dan Jeon mengangkut koper dan tas turun dari taksiBarang yang dibawa anak itu tidak seberat bayangannya, seakan bukan empat tahun berlalu dengan Jeon hidup di sebrang benua.

Bruce memandangnya dari layar CCTV. Anak itu tumbuh lebih tinggi, berdiri lebih tegap, dengan cara yang menunjukkan seakan-akan ia orang yang berbeda saat ini. Rambutnya dicat pirang kontras berbanding dengan alisnya yang hitam legam. Tapi begitu masker wajahnya ditarik turun, seulas senyum mencuat dari sana dan Bruce dihantui kelebat masa lalu yang begitu familiar hingga membuatnya terburu-buru mengubah layar ke spot ruangan lain.

Sepanjang hari, Bruce menghindarinya. Tidak ada yang bisa mengganggunya selagi ia tinggal di dalam ruang kerjanya, tidak bahkan Alfred jika Bruce tidak mengundangnya lebih dulu. Tapi tidak peduli sebesar apapun mansion Wayne, atau sebesar apapun keinginannya untuk tidak bertemu, mereka tetap berada di bawah atap yang sama dan tinggal tunggu waktu keduanya saling bertatap muka.

Dan hal itu terjadi saat makan malam tiba.

Meja makan itu besar, dengan dua puluh pasang kursi saling berhadapan. Bruce akan makan sendirian, sementara Alfred berdiri disisinya menunggu. Malam itu, bukan Alfred yang berdiri disana. Tanpa berpaling, Bruce menyadarinya dan tidak bereaksi, juga tidak memulai pembicaraan apapun sekalipun empat tahun berlalu sejak ia bicara langsung dengan anak ini.

Tapi Jeon belum berubah. Tidak peduli secanggung apapun, ia akan mencoba bicara. Ditanggapi atau tidak, ditatap atau tidak, dianggap ada atau tidak.

Bruce mengabaikannya bertahun-tahun, pun meski anak itu tetap mencuri-curi untuk menghubunginya, mengirimi surat, meninggalkan pesan suara, meski semuanya berakhir diabaikan. Sekarang, cerita yang selalu berakhir di tempat sampah itu disampaikan ringkas dan antusias.

Bruce yang duduk begitu dekat, mau tidak mau mendengarkan.

“…nyaris Cum Laude, tapi professor bilang karena kampus kami kampus unggulan, 3,2 pun sudah sangat bagus. Aku akan lebih berguna saat ini, Master Bruce. Disini. Sudah ada isi,” ujarnya bangga sambil mengetuk kening. Bruce bisa melihat dari sudut matanya, pemuda itu berjingkat antusias di sisinya.

“Aku akan belajar dari Alfred lebih giat lagi.”

Bruce tetap tidak menanggapi. Selesai  makan, ia kembali mengunci diri. Pria itu tidak perlu berbalik untuk menyadari sorot sendu Jungkook menggiringnya pergi.

Jeon Jungkook genap berusia dua puluh tiga tahun ini, namun pembawaan dirinya masih seperti Jeon yang dulu, remaja yang terpaksa dikirimnya jauh-jauh karena satu insiden yang terjadi empat tahun lalu. Jeon sudah jadi hak properti keluarga Wayne sejak saat kedua orangtuanya mewasiatkan anak itu untuk mengabdi pada keluarga Wayne. Begitu pasangan Jeon meninggal dunia, orangtuanya memutuskan sebaiknya Jeon hidup bersama mereka.

Rencana pertama, mereka akan mendidik Jeon untuk jadi penerus Alfred, jadi butler setia keluarga Wayne saat ia cukup usia nanti. Peran itu diembannya sungguh-sungguh. Tapi rencana sering kali luruh seiring waktu berlalu.

Anak itu masih lima tahun saat ia pertama kali pindah kemari. Sepuluh tahun jeda usia mereka, tidak membuatnya bosan membuntuti Bruce kemanapun Bruce muda pergi. Saat itu, Bruce membiarkannya, sesekali bahkan melibatkannya dalam semua aktivitas yang dikerjakannya selagi aman. Membaca, bermain catur, berburu di pinggiran hutan dekat dari mansion mereka. Bruce mengajarinya banyak hal, bagaimanapun, sosok mungil itu menemaninya di mansion besar yang kosong ini. Kalimat ‘suatu saat aku akan menemani Master Bruce!’ masih terdengar semanis ucapan polos bocah lima tahun. Kian waktu berlalu, Bruce menyadari harapan macam apa yang tanpa sengaja dipupuknya saat ia melihat bagaimana Jeon menatapnya. Bukan lagi sorot mata polos seorang bocah yang berusaha meniru semua gerak-gerik kakaknya. Itu jenis tatapan yang dilihatnya dilempar Martha untuk Thomas, tatapan yang biasa dilihatnya dari sang ibu saat ayahnya datang setelah perjalanan panjang.

Bruce masih sanggup mengabaikannya, pura-pura tidak menyadari, sampai titik kejadian itu.

Mungkin hanya Alfred yang tahu, bahwa tujuan utama Bruce mengirim Jeon kuliah sejauh-jauhnya adalah untuk menghindari anak itu, menghindari sikap manisnya, dan menghindari binar mata yang melancarkan sejuta harapan… bahwa suatu saat akan ada keintiman diantara mereka.

Jeon punya jenis kegigihan yang agak sulit diatasi. Seperti bola yang dipukul ke dinding dan memantul kembali, berapa kali pun dimarahi dan diusir pergi, selalu ada seribu satu caranya untuk menyadarkan Bruce bahwa ia ada disana. Saat itu, Alfred lupa menutup ruang kerjanya dan Jeon menganggap itu sebagai undangan masuk.

Melihat begitu banyak benda-benda aneh diletakkan di atas meja pajangan di tengah ruangan, Jeon langsung mendapatkan topik. Ada bongkahan besi berwarna ungu, potongan kepala batu, bandul perhiasan, hingga bergulung-gulung papirus tua. Hampir semuanya menghamburkan bau debu.

Diambilnya salah satu yang paling menarik perhatiannya, sebongka penyangga lilin kuno dari tembaga. Bagian luarnya kotor oleh tanah kering, menutupi pahatan, dengan rantai menjuntai dari ujung lubang lampu ke lubang penyangganya.

“Benda ini mirip lampu jin, apa dia bisa mengabulkan keinginan?”

“Itu Dreamcatcher, mungkin… bisa mengabulkan keinginan. Bantu aku bersihkan dan jangan dijadikan mainan.” Alfred mengoper satu lap untuknya, memutuskan sebaiknya membuat Jeon sibuk dibanding membiarkan pemuda itu mengganggu Bruce.

“Bisa mengabulkan keinginan…” Jeon tersenyum-senyum tipis, gerakan mengusapnya terkesan agak bersemangat.

“Jeon…” Alfred buru-buru menepuk pipi pemuda itu dari apapun yang baru saja dibayangkannya sembari mengusap lampu. “Itu bukan mainan. Bersihkan, jangan sembarangan, hm? Fokus.” 

“Maaf-maaf,” ujarnya sambil meringis. Langsung terlupa pada permohonan iseng yang hampir saja berbisik dalam benaknya. Alfred berusaha membuatnya sibuk, tapi berada di satu ruangan yang sama dengan Master Bruce-nya tentu dengan cepat mengalihkan perhatian Jeon.

Pria itu sibuk menatap berlembar-lembar rancangan mesin di atas mejanya. Dan Jeon bisa melihat ada banyak lembaran potret sosok yang hampir tidak dikenalnya. Tapi ada satu wajah familier, tercetak di atas kertas berwarna, tampak seperti hasil cetak ulang hasil fotografi reporter amatiran. Itu sosok Superman.

“Kau berharap dia masih hidup? Gotham punya dirimu.” Aku lebih butuh dirimu. Jeon tidak sadar, kalimat itu tahu-tahu sudah meluncur dari bibirnya. Terlambat untuk menyesal.

Alfred bahkan menyadari sesensitif apa komentar itu.

“Jangan ikut campur. Ayousap-usap-usap dan sssh!” 

Bruce melirik Jeon. Tidak langsung menjawab. Melihat bagaimana Jeon dengan berani menatapnya dengan limpahan perasaan yang meluap-luap, tidak berniat menutupinya sedikitpun, Bruce memutuskan untuk menunduk lagi, menatap lurus guratan blueprint yang didesainnya sendiri. Aku tidak sekuat  Clark Kent. Berhenti menatapku seperti itu. 

“Dunia butuh pengganti Superman,” putusnya.

“Apa mereka juga manusia-manusia super? Seperti Superman?” Jeon menunjuk dengan dagunya, tahu-tahu berdiri satu meter darinya, berhadap-hadapan terhalang oleh meja. Tentu saja, dengan topik lain.

“Berhenti mendengarkan urusanku. Pergilah.”

“Tapi—”

“Pergi.”

“Apa kau masih marah, master Bruce. Soal waktu itu? Aku tahu itu salahku, tapi bisa kah kita mulai lagi dari awal, master Bruce?”

Bruce menukar posisi kertas dengan gerak agak kasar. Menunjukkan jelas ia tidak ingin meladeni Jeon. Tapi ini Jeon, bukan Alfred.

“Kau bisa mengandalkanku, Master Bruce. Aku sudah menyelesaikan beberapa sabuk martial arts selama di Irlandia. Judo, Taekwondo, Jujutsu… Aku tahu belum cukup sekarang, tapi aku pasti bisa jadi Robin-mu. Aku akan berusaha—”

Bruce memukul meja di depannya. Pria berdiri menjulang di hadapan Jeon. Meski ekspresinya tetap sedatar sebelumnya, sorot mata itu berubah warna. Ada amarah yang disembunyikannya, kental dan menekan.

“Grayson bukan benda sekali pakai. Tidak ada yang bisa menggantikannya.” Suaranya pelan dan berat. Tidak ada bentakan, tidak ada nada tinggi, tapi Jeon menangkap jelas maksud ucapannya.

Kau bukan Grayson, bukan Robin. Jangan bermimpi bisa mengisi posisi itu.

“Bukan itu maksudku, Master Wayne—”

“Pergi setelah kau selesai membersihkan semuanya. Tutup pintunya dan jangan masuk lagi.”

Jeon meremas lampu di tangannya saat segores pedih melintas di hatinya, begitu nyeri hingga tengkuknya meremang. Empat tahun ia menunggu, hidup berjarak ribuan mil dari pria ini. Sekarang setelah berdiri sedekat ini, Jeon masih bisa merasakan betapa jauh Bruce darinya.

“Kuharap aku bisa membantumu… dengan cara apapun.” Jeon nyaris berbisik. Suaranya pelan, karena ia menahan sesak didadanya, merongrong memaksa ditumpahkan lewat airmatanya. Belum pernah sekalipun ia melihat Master Bruce meneteskan airmata, dan pria ini adalah panutannya, pedoman, dan tujuan hidupnya. Jadi Jeon berjuang menahan emosinya sendiri, meski ia tidak yakin akan sanggup melakukannya sesempurna Bruce.

Kau selalu melibatkanku dulu. “Sekali saja, aku ingin terlibat lagi, sekalipun nyawaku harus jadi taruhannya,” ucapan itu berasal dari hatinya yang paling dalam. Jeon tidak menyadari sama sekali, sekelebat angin dingin berembus melewati tengkuknya di dalam ruangan kedap udara itu.

Saat merasa emosinya akan tumpah dalam hitungan detik, buru-buru Jeon meletakkan lampu tembaga itu ke atas meja. Sisa benda lainnya belum tersentuh sama sekali.

“Aku akan cek dapur dan ruang tengah, Alfred. See you.” ucapnya dengan suara begitu pelan. Jeon tidak mengangkat wajahnya lagi dan buru-buru beranjak. Alfred menangkap suara tersedak pemuda itu sebelum pintu ditutup dari luar.

“Kau terlalu keras padanya.” Alfred berkomentar pelan.

“Aku tahu, memang itu tujuanku.”

“Urusan empat tahun lalu masih belum hilang dari ingatanmu?”

Apa bisa dilupakan? Bruce hanya menatap Alfred, tanpa bersuara.

“Kau mabuk waktu itu.”

“Dan dia tidak.”

Bruce menekan suaranya, hal yang hampir tidak pernah dilakukannya, terutama pada Alfred. Menyadari emosinya lolos terlalu banyak hari ini, pria itu berbalik, memutuskan menyibukkan diri untuk menatap layar besar di hadapannya. Mengulang-ngulang beberapa video temuannya sembari bermaksud mengusir bayangan yang terus saja berkelebat dalam benaknya. Sosok Barry Allen-Flash terekam di layar besar, melesat keluar-masuk Walmart tidak lagi jadi fokusnya sekalipun matanya menatap kesana.

Empat tahun tidak cukup untuk menghapus kecelakaan itu. Lebih lagi saat tokoh dalam kenangan buruknya kembali, hidup di bawah satu atap bersamanya dan bersikap begitu manis seakan-akan masa lalu itu sudah lumrah terjadi.

“Alfred.”

“Ya, young master?”

“Aku sudah mengubungi Suzanne, ada posisi yang bisa diduduki Jeon di Wayne Biotech.”

Alfred mengerutkan keningnya, tapi bukan posisi itu yang diinginkannya. Anak itu hanya ingin menjadi penerus Alfred di mansion ini, hidup di dalam ruang terdekat Bruce.

“Wayne Biotech…..di Bristol, young master?”  hanya ada satu cabang Wayne Biotech terdekat dari Gotham, gedung besar itu bahkan tidak ada di pusat Gotham. Menyadari Bruce bermaksud melempar anak itu lagi, membuat gerak tangan Alfred berubah lambat.

“Aku punya cabang di kota lain?”

“Tidak, young master.”

“Carikan apartemen untuknya.”

“Ya, master.” 

.

.

.

.

.

Aolaaaa, ArtKook tetap berkibar pokoknya ~

Anyway buat yang nyariin Braven, ada lengkap di alittlebitsofeverything

Reviews

  1. jussie219

    Lampu jin wkkw

Add a review
Beranda
Cari
Bayar
Order