Arthur mengharapkan respon gegap gempita. Senyum bahagia, kecupan di pipi dan bibirnya, dan pelukan hangat. Jarang-jarang ia bisa tinggal di rumah agak lama, lebih dari dua atau tiga hari sudah dianggap keajaiban. Dan hari itu Arthur akan menghabiskan liburnya lima hari ke depan tinggal di bawah atap yang sama dengan Jeon Jungkook tanpa ada sebersit pun urusan pekerjaan akan mengganggunya. Jadi dengan amat sok ide, Arthur menawarkan di satu siang buta,
“Let’s go out.”
Jungkook menatapnya. Kening ke kaki, kaki ke kening, sambil menganga.
“Wah! Wah Wah!” katanya sambil bertepuk tangan. “Ada petir dari mana ini? Sepertinya cuaca baik-baik saja?” ujarnya sambil pura-pura melongok-longok melirik keadaan di luar jendela. Nymeria duduk di atas pangkuannya, ikut menatap kemana Jungkook menatap, lalu mendongak bingung melihat kelakuan ibunya.
“Aweee?” tanyanya sambil mengulum tangan. Kelakuannya begitu menggemaskan dan Jungkook sudah hampir mengecup dua pipi gembil itu habis-habisan, tapi keinginan menggoda Arthur jauh lebih menggebu-gebu. Jadi dibenahinya posisi Nymeria di pangkuan, agar ia bisa lebih leluasa menatap dan mencibir Arthur.
“Aku serius, baby. Let’s go out. You, me, and Nymeria. Or this could be a date, Jean dan Angel pasti tidak keberatan dititipi Nymeria beberapa jam saja.”
“Kau seperti pria pengangguran akhir-akhir ini, Arthur,” lalu Jungkook mencibir, dengan suara diberat-beratkan dan dikeren-kerenkan meniru gaya suaminya. “Let’s go out, baby. Let’s go out~”
“I’m trying to please your goddamn ass right here, a little appreciation? PLEASE?! Kau yang minta waktuku untuk belanja, kan? Sekarang aku punya waktu? Begini sikapmu?!”
“Eh-eh-eh!” Jungkook berseru, tidak terima pada argumen itu. Agak tinggi diangkatnya satu jari, digoyangnya ke kiri ke kanan sebagai bentuk penolakannya pada alasan Arthur. “Itu dulu, waktu aku hamil. Aku butuh perhatian lebih waktu itu, sayangnya suamiku kurang peka jadi aku lebih banyak menderita. Hah! “
Arthur yang terlanjur kesal… dan malu… hanya mengeram marah “Fine!“
Pria itu berbalik, menabrak guci besar di ruang tengah hingga terguling. Bunyi kelontang guci batu berdetang bertemu lantai keramik membuat Nymeria sedikit berjengit. Bukan menangis, bayi itu justru berpaling melirik ingin tahu, setelah melihat sumber suara keras yang baru didengarnya, bayi itu hanya mendongak acuh, kepal tangan masih terkulum di dalam mulut.
“Kau mau kemana?” Jungkook berseru sebelum Arthur menghilang ke luar rumah.
“Kerja!”
“Kenapa kerja? Aku kan belum jawab. Aku juga tidak menolak.”
Arthur berbalik cepat, nyaris tampak emosi sambil menggulingkan guci malang lainnya yang terpajang di dekat pintu.
“Apa maumu?!”
Jungkook tersenyum, berdiri anggun dengan Nymeria dalam gendongan.
“Date it is.”
.
.
.
.
.
Arthur masih marah. Sepanjang jalan Jungkook hanya didiamkan, pun bila pria itu pada habitatnya juga jarang bicara. Tapi saat berdua saja biasanya, ada-ada saja usaha yang dibuat Arthur untuk mengimbangi Jungkook. Membahas saham-saham mereka yang berkembang, atau topeng Iron Man baru yang dipesankannya untuk Jungkook. Arthur jadi banyak belajar dan menghapal tokoh-tokoh Marvel demi menyenangkan Jungkook.
Tapi hari itu, mereka pergi berdua tanpa supir dan Jungkook harus mengobrol dengan penyiar di radio karena Arthur menolak menjawab pertanyaannya. Sampai mobil mereka masuk ke lahan parkir mall.
“Berhenti ngambek begini, daddy. Aku kan cuma bercanda.”
Arthur hanya menggerung, kumis dan janggutnya bergetar saking marahnya. Bukan takut, Jungkook malah tergelak geli melihatnya. Gemas sampai dijenggutnya pipi berbulu Arthur.
“Diam.” Arthur menarik tangannya turun, mata terfokus ke depan.
Begitu mobil parkir di lantai sepi di dalam mall. Sebelum pintu dibuka tanpa ba bi bu lagi, Jungkook langsung menyerobot, memanjat Arthur dan duduk di pangkuan pria itu.
“What?” Arthur menatapnya datar. Berjuang tidak peduli meski Jungkook dengan sengaja duduk menggesek-gesek bokong di pangkuannya.
“Let’s do it here?” katanya dengan suara berbisik, sambil mengecup dagu kiri Arthur dan mengusap-usap dada pria itu. Merasakan dada bidang dan keras di bawah tangannya, meski berbalut kemeja, tetap membuat Jungkook cekikikan senang. Dan kalau diingat-ingat, sepertinya sudah seminggu lebih sejak mereka terakhir kali melakukannya. “Let’s do it lets do it let’s do it, daddy?”
Pria itu duduk tegap. Bola matanya melirik turun, tampak begitu dingin. Orang awam yang tidak mengenal Arthur pasti sudah ketakutan dilirik dengan cara begitu. Tapi Jungkook kenal Arthur, mungkin lebih dari siapapun. Sadar sebesar apa pergulatan yang terjadi di balik bola mata itu membuat Jungkook makin semangat melancarkan serangan.
“My soft daddy,” katanya bisik-bisik, tepat di depan hidung Arthur sambil menggigit sedikit. “The biggest, the softest, papa bear.”
Arthur nyaris bergidik mendengarnya. Kalau ini lidah orang lain, pasti sudah ditariknya hingga lepas dari kerongkongan. Tapi Jeon Jungkook yang melakukannya, dengan kecupan kecil-kecil hinggap di sepanjang tulang dagunya, membuat bulu kuduk Arthur meremang.
Hampir saja ia menggeser Jungkook ke samping dengan gaya mengusir, tapi Jungkook segera mengalungkan tangannya ke leher Arthur dan menyesap dagu berbulu pria itu setengah beringasan. “MINE!”
Arthur berdecak, kalah. “I’m not built for car sex… baby.”
Tentu saja, pria sebesar Arthur bukan tipe yang gemar menebar ibadah rumah tangga di ruang-ruang sempit, seperti mobil misalnya. Tapi Jungkook sudah mempersiapkan solusi untuk problem ini jauh-jauh hari. Tepatnya setahun yang lalu, saat ia memaksa memilih sendiri mobil untuknya. Sebuah jeep besar dengan ruang kaki luas dan
“Kau pikir kenapa aku minta mobil ini?” bisiknya lagi. Sambil berlutut agak tinggi agar wajahnya sejajar dengan Arthur. “Aku beli untuk ini,” katanya sambil mendorong recliner menggunakan kaki, seketika kursi pengemudi terentak mundur, nyaris berbaring datar seperti kasur.
Berdua tubuh mereka terantuk disana, Arthur tersedak karena menahan tawa sekaligus menahan bobot tubuh Jungkook di atas perutnya.
“Kau mau berkeliling mall sambil pincang?” Arthur hanya bertanya, tidak berniat undur diri lagi apalagi saat bokong Jungkook terentak di bagian terlalu bawah dari pusarnya. Diremasnya sepasang daging kenyal itu dengan agak beringas, setengah diameter pas dikatup oleh tangannya.
“Dan kau jalan di sampingku? Uhh~ hot. Bisa sekalian pamer, bagus juga.”
“Oke.”
.
.
.
.
.
semut ga boleh banyak2
.
.
.
.
.
Mereka berdua sama-sama bukan tipe orang yang gemar jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Jungkook sejujurnya lebih senang wisata ekstrem, hobi yang diturunkannya dari Arthur setelah bertahun-tahun hidup bersama pria itu. Tapi dulu, dulu sekali, saat masih mengandung Nymeria, ada drama terjadi. Jungkook ngidam untuk ditemani berjalan-jalan keliling mall… yang agak sulit diwujudkan karena;
1. Mall itu harus berada di Detroit, ini permohonan utama dalam kuasa ngidam Jungkook.
2. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, dan rata-rata mall tutup di jam 11.
3. Arthur berada di Jepang, dengan jet pribadi pun akan makan waktu dua jam untuk sampai ke Detroit.
Lima bulan berlalu. Ngidamnya yang tidak terwujud itu, dibayar dengan separuh saham Disney Land. Tapi sekarang antah berantah lagi, Arthur teringat pada keinginan Jungkook. Dan mungkin ada rasa bersalahnya tersisa hingga tiba-tiba ia menawarkan diri untuk mewujudkan ngidam gagal itu, pun bila Jungkook tidak sedang mengandung……….
……….atau tidak sadar?
Jadi akhirnya mereka sekedar berkeliling iseng, jalan kesana kemari, menghabiskan hampir 2 jam di restoran sushi, memutuskan tidak ingin berbelanja karena Arthur menolak sambil melotot untuk membawakan bungkusan apapun. Sedangkan Jungkook juga sama malasnya untuk membawa-bawa bungkusan.
“Bagaimana kalau make up saja? Kalau palette make up, ringan, kau mau bawakan?” katanya mencoba bernegosiasi lagi, di depan stand kosmetik terkenal. Jungkook membuka satu satu liptint yang menarik perhatiannya, tidak peduli pada lirikan penuh tudingan pramuniaga.
Seorang pria paruh baya bertubuh raksasa seperti Arthur, jalan berdua berkeliling mall dengan remaja semuda Jungkook? Apa namanya kalau bukan skandal perselingkuhan demi uang?
Jungkook berkaca, sambil mengusap kuas liptint merah itu ke bibirnya. Ia bisa merasakan dua pasang mata meliriknya ganjil. Tapi sikap mereka malah membuatnya geli, makin menggebu-gebu lagi untuk menikmati situasi.
“Kau mau bawakan, kan Daddy?” agak sengaja ia melirik Jungkook dengan tatapan dimanja-manjakan. Arthur yang tidak paham, malah melotot padanya.
“No. Cepat.”
“Daddy, please?”
“Cepat bungkus yang kau mau dan bawa sendiri,” ujarnya tidak sabar sambil mengangkut akrilik display berisi dua puluh empat jenis liptint berbeda warna. “Bungkus semua,” katanya pada si pramuniaga. “Tidak perlu menunggunya memilih warna. Kuambil semuanya.”
“You are no fun, daddy.”
“Nymeria menunggu. Kau sudah kenyang, kan? Ayo pulang.”
Jungkook terkesiap sambil memegangi dada. Terlupa ia sedang bersandiwara agar makin dipelototi mata-mata asing yang menyangkanya kerja sambilan jadi bayi gula.
“Kau yang ajak aku jalan-jalan sekarang kau bantali Nymeria untuk membuatku pulang? Main curang, ya? Sudah berani bawa-bawa anak kita?”
Masalah sepele sesungguhnya, seharusnya Jungkook sudah terbiasa. Tapi entah kenapa siang ini ia sekedar ingin marah-marah saja. Bukan hanya stand itu, sekarang tiga stand di kanan kiri, pengunjung dan penjaganya menjadikan mereka sebagai tontonan.
Arthur berdehem, malu jadi tontonan. Dirangkulnya Jungkook dan diusapnya wajah anak itu. Mencegah mulut Jungkook yang sudah menganga untuk melontarkan omelan lain.
“Ya. Baik. Beli yang kau mau, aku yang bawakan,” katanya dengan suara pelan, datar, tapi sesungguhnya pernyataan resmi bahwa ia telah mengalah.
“Aku sudah malas! Bungkus saja semua!” bentaknya jengkel. Arthur melotot menatapnya, hampir-hampir ikut marah juga, dibentak begitu oleh istrinya sendiri di tempat seramai ini. Kalau orang lain yang sedang ditatapnya sekarang, Arthur pasti sudah menarik keluar revolvernya. Tidak peduli ini ruang publik, tidak peduli polisi akan dilibatkan. Tidak, tidak. Ia akan gunakan tangannya sendiri, untuk mematahkan lima ruas tulang sebagai ganti.
Tapi entah kerandoman apa yang membuatnya teringat lagi, pada enam minggu lalu saat ia memutuskan untuk mengganti pil kontrasepsi dan susu otot Jungkook.
Mungkin…
Mungkin sebaiknya ia mengalah, mencegah bencana lebih besar lagi terjadi. Lebih dari empat puluh kali Jungkook mengancam, sungguh-sungguh, bahwa ia akan minggat dan menceraikan Arthur. Semua ancaman itu terjadi saat Jungkook masih mengandung Nymeria.
“Bungkus semuanya.” Arthur berkata, sampai ikut membantu-bantu mengangkuti semua akrilik display yang bisa diraihnya, apapun agar mereka bisa segera pergi dari sana. Tapi Jungkook, dengan jenis tatapan itu, dan bibir yang menguncup amat runcing, memang akan mencari-cari celah apapun yang bisa dijadikannya bahan omelan.
Kali ini pramuniaga yang membantu Arthur yang dipilihnya jadi korban.
“Matamu itu… biasa saja. Tidak lihat cincin di jari manisku? Lihat yang benar,” bentakan itu membuat orang buru-buru memalingkan wajah, takut Jungkook menangkap mereka tengah menatap.
Si pramuniaga menunduk, berbisik sorry pelan sekali, dan buru-buru menggesek kartu hitam Arthur, menyelesaikan transaksi.
.
.
.
.
.
Bayi lagi apa bayi lagi?
Koo: “JANGAN MAEN MAEN KELEN, JANGAN MAEN MAEN!”
Oh, Tiny Toes ada versi AU-nya di twitter yak.
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Braven – 25. Bonding
Author: Miinalee -
🔒 Manager Jeon pt.2 (NC)
Author: _baepsae95 -
🔒 Braven – 26. Deception
Author: Miinalee -
🔒 One Love 15-0 | 11
Author: _baepsae95
Reviews
There are no reviews yet.