Braven – 10. Monomachy

Author: A Little Bits of Everything

Monomachy /məˈnɒməki/

a duel

.

.

.

.

Short update karena sepertinya aku cibuk dan taq bisa update dalam waktu cepat minggu ini </3

.

.

.

.

.

All M Rate chapter can only be accessed through the website:

https://alittlebitsofeverything.org/ (also in my Bio)

.

.

.

.

Hari ini bukan hari yang tepat untuk main ke markas Arthur… Sepertinya. Tapi sudah terlambat. Begitu bersemangat Jungkook pada awalnya, pulang dari sekolah-dijemput oleh Julien— dan diantar langsung ke kaki gunung Detroit, ke villa cartel mereka.

Tapi saat ia sampai ke sana, aula utama sudah disulap jadi stage duel sederhana. Hanya dialasi karpet merah yang jadi arena, dan dikelilingi orang-orang yang berdiri menonton dan bersorak sementara seseorang sudah K.O hasil pertarungan sebelumnya.

Jungkook meringis saat sadar siapa yang baru saja dikalahkan di sana. Albert, temannya mengobrol soal game. Tujuh tahun lebih tua tapi terasa seperti teman sebaya. Jelas Albert kalah disana, pemuda itu melawan Damien- yang kini minggir dari arena sebagai pemenang sambil mengangkat tangannya angkuh.

Cartel Arthur rutin melakukan itu. Mengadu antar anggota, bertaruh atas kemenangan mereka, bersenang-senang sementara dua orang saling adu hantam dan babak belur di akhir acara.

Dan sekarang…

Arthur menginginkan Jungkook jadi peserta.

“Kau akan melawannya. Dan kau harus menang.”

What-the-fuck? Jungkook menahan napas, lalu menghela amarahnya.

NO!”

Belum pernah ada orang menolak Arthur, di tempat seluas dan seramai itu, dengan cara sekurang ajar itu. Semua mata memandang Jungkook, tapi anak itu tidak peduli. Orang-orang menatapnya dengan beragam ekspresi. Ngeri, kaget, geram, bahkan ada yang tertawa. Martin mungkin tergelak paling keras.

“Berapa kali dia bilang ‘tidak’ dalam sehari?”

Julien berpaling pada Mason saat pria itu bertanya.

“Tidak terhitung.”

“Pada Arthur?”

“Ya. Tetap tidak terhitung.”

“Dan anak itu masih hidup? Jarinya masih sepuluh?”

Julien menatap Mason geli. Hanya lingkar terdekat Arthur yang tahu sepenting apa eksistensi anak itu. Anggota lain mungkin sudah mulai mengendus keanehan Jungkook, sejak anak itu datang di malam buta ketika mereka melakukan pesta rutin di rumah Arthur. Sebagian besar mengira anak itu sekedar boy-toy yang sedang digemari Arthur, big boss mungkin akan segera bosan padanya— duga mereka dengan polosnya. Dan yang lainnya berpikir Jungkook hanya anak angkat. Pengganti Max. Semua orang tahu Arthur orangtua yang posesif, punya caranya sendiri yang kejam dan kolot untuk mendidik Max-sebelum anak itu tewas tiga tahun lalu. Dan apa yang dilakukannya sekarang pada Jungkook, mengingatkan semua orang pada masa-masa remaja 12 tahun itu masih ada.

“Dia baru sabuk merah, hanya satu level di atasmu,” Arthur berujar datar.

Jungkook menatap pria itu dengan bibir gemetar, matanya berkaca-kaca. Seharusnya itu membantunya kabur dari situasi seperti ini. Tapi Arthur duduk disana, menatapnya kaku, sudah menunjukkan tanda-tanda tidak akan tergoda. Entah Arthur bercanda atau bermaksud mempermainkannya. Tapi pria itu menatapnya seakan hubungan yang mereka punya hanya membekas di dalam rumah tua Arthur saja, dan disini— di villa ini— Arthur benar-benar kembali tampil seperti saat mereka berjumpa pertama kali. Kejam, dingin, dan mungkin tidak punya rasa sayang pada apapun kecuali ladang ganja yang dikelolanya.

Hanya Arthur yang diberi tempat duduk, selayaknya raja di singgasananya. Melihatnya saja membuat Jungkook muak.

“Aku mau pulang! Diantar atau tidak, aku mau pulang!” Jungkook menghentakkan kakinya marah. Jelas menolak dijadikan tontonan disini di depan semua orang. Ia bisa menebak kekalahannya begitu melihat lawan tarungnya lebih besar dan lebih tinggi, meski berusia lebih muda.

Samuel. Masih tujuh belas tahun tapi satu jengkal lebih tinggi dari Jungkook. Dan karena Samuel separuh Hawaiian dan separuh Amerika, tentu saja perawakan Jungkook kalah jauh. Sekali lihat, satu kali hantam pun Sam pasti menang mudah lawan Jungkook.

Jungkook berbalik, mencari-cari Julien. Pria itu berdiri jauh darinya, tidak berniat bergerak apalagi membantunya. Julien membisikkan, ‘Sorry, kid.’ sambil mengendikkan bahu.

Persetan. Ia akan menerobos dan pergi jalan kaki. Siapa yang peduli. Tapi Jungkook berada di sana dikelilingi terlalu banyak anggota cartel. Pria-pria dewasa itu berdiri menjulang dibanding Jungkook yang baru kemarin hilang perawan.

You. Will. Fight. Him,” suara Arthur jadi perintah, jika bukan bagi Jungkook, maka bagi tiga puluh lima orang yang hadir disana. Mereka jadi gerbang berjalan yang menghalangi Jungkook pergi kemanapun.

“Sam.” Arthur memperingati.

Samuel berjengit, sontak menghampiri Jungkook dan meminta tangannya baik-baik.

NO!”

“Jangan pergi, birdie,” pintanya setengah memelas. Jungkook menampik tangannya dengan marah. “Lima menit saja, pasti cepat.”

“You wasting my time, Sam.”

Remaja itu menatap Jungkook pahit, menggumamkan ‘sorry’ tanpa suara lalu menarik Jungkook lewat kerahnya sebelum memukul pelipisnya dan membantingnya ke tengah arena.

Suara sorak melonjak begitu tubuh Jungkook terjungkal menghantam karpet. Hampir semua orang mengelukan nama Samuel, tentu saja, mereka tidak ingin kehilangan uang.

Dengan berkunang-kunang Jungkook bisa melihat lembar uang dioper dari satu tangan ke tangan lainnya, dikumpulkan selagi menunggu kemenangan mutlak Sam. Hanya segelintir yang menyerahkan uang sambil mengelukan namanya, mungkin Martin dan Julien, karena belas kasihan mereka bukan karena keduanya percaya Jungkook bisa memenangkan pertarungan ini.

Jungkook makin berkaca-kaca, agak kesulitan ia mencari arah menuju Arthur. Saat ditemukannya, Jungkook menghentak berdiri dan bermaksud berlari pada pria itu. Lari ke pelukannya, atau setidaknya mencoba mengirim satu pukulan ke wajah Arthur. Yang manapun sama bagusnya.

Sam menjagalnya sebelum itu terjadi. Menariknya kembali ke tengah arena dan menghantam bahu Jungkook dengan sikunya. Sekali lagi anak itu terbanting ke lantai.

Ini bukan Taekwondo. Pikir Jungkook getir. Ini freestyle martial arts, apapun boleh digunakan, teknik apapun, tanpa aturan sekalipun. Ia berniat diam disana, sampai pingsan pun jadi. Memuaskan keinginan Arthur jadi pilihan terakhir yang akan diambilnya hari ini.

“Buat dia melawan. Jangan biarkan dia lari, Sam,” suara Arthur terdengar di sela sorak-sorai anggota cartel.

‘Kalau anak itu berhasil kabur, jarimu jadi bayaran.’ Samuel bergidik ketakutan saat teringat ancaman itu, dicekalnya Jungkook agak keras— demi tidak kehilangan jari. Anak itu mengayunkan kepal tangannya lagi.

“Kau ingin melawan atau tetap begini? I’m so sorry, birdie.” Sam membuatnya berdiri, menahan kerah bajunya dan—

BUGH!

Jungkook jatuh berlutut dan tersedak darah di mulutnya sendiri. Pukulan itu tidak semengerikan yang diberikan Damien padanya dulu. Tapi tetap saja menyakitkan.

Suara sorak itu kini dicampur dengan ejekan. Pussy! Pussy! Pussy!

Jungkook tersedak tangis, campuran rasa sakit dan rasa malunya sendiri. Ia berpaling ke kanan, sudah kehilangan arah dimana Arthur berada. Tapi pria itu pasti bisa mendenganya.

“ARTHUR! Ini lucu buatmu, hah?!”

Yes, absolutely.

Jungkook ingin berseru marah, tapi suaranya tercekat di kerongkongan. Anak itu berhasil menghentak berdiri beberapa kali, bukan untuk melawan, tapi untuk lari. Sam selalu menangkapnya, lagi dan lagi membantingnya ke lantai. Jungkook tahu betul anak itu bisa bergerak lebih cepat dan lebih kuat dari ini. Tapi sebaliknya ia memilih menjagal Jungkook, kali ini duduk di pinggangnya, tetap disana sedikit lebih lama dari semestinya, sekedar membuatnya tidak kabur, dan seperti menunggu. Samuel menghimpitnya, menunjukkan seperti tengah memutir tangan Jungkook ke belakang sementara wajahnya berada dekat di belakang tengkuk Jungkook.

“Dengar, lawan saja. Oke? Aku tidak diizinkan membuatmu berdarah, kecuali kau berusaha kabur. Aku hanya boleh membuat memar sedikit. Kulepaskan sebentar but please, pukul aku, birdie,” Sam berbisik cepat-cepat.

“JANGAN BICARA, SAM.”

DO IT BIRDIE!” Sam bangun, sudah mengepal tangan dan memasang kuda-kuda. Let’s do it Taekwondo style! Get up!”

“NO!”

“Damn it, kid.” Sam mengerang, terpaksa mengayun kakinya ke arah perut lawannya, cukup keras untuk menggertak Jungkook.

BUGH!

Jungkook terenyak. Tubuh anak itu melengkung tepat setelah pukulan mendarat di perutnya. Rasa sakit menghantamnya lebih parah dari apapun yang pernah dialaminya. Tidak Damien, tidak Jinwook, tidak Kwan— Belum pernah ada yang meninggalkan pukulan semenyakitkan itu hingga Jungkook kehilangan pendengarannya untuk sesaat karena telinganya berdengung-dengung merespon hantaman di perutnya.

“BANGUN!” Sam berseru, marah dan frustasi.

Arthur bergeming. Sebentar tadi sendi tangan kanannya bergerak refleks, posisi duduknya berubah kaku. Jean meletakkan tangan di bahunya, hanya sepersekian detik sebelum diangkat kembali, seakan mengingatkan. Kau tidak boleh menolongnya. Dan Arthur bersandar lagi di bangkunya, kembali terlihat santai.

Saat fokusnya kembali, Jungkook baru sadar airmatanya berlinangan deras. Sorakan mengejek makin membumbung memenuhi ruangan.

“ARTHUR!” Jungkook sudah berkaca-kaca, menatap Arthur memohonnya untuk menghentikan permainan gila itu. “It hurts!” anak itu tersedak tangisnya sendiri, darah mengalir bersama liurnya, turun ke dagu.

Are you gonna help me or not?!”

Arthur diam saja, merasa ditatap banyak mata, pria itu tersenyum miring. Tapi Jungkook tahu Arthur sudah menjawab. Lewat sorot matanya, lewat ekspresi wajahnya.

‘Tidak. Aku berniat menontonmu disini sementara kau dipukuli.’

Jungkook menatap Arthur dengan wajah terluka. Ia terpekur disana, rasa sakit menguasai tubuhnya dan seruan mengejek di sekelilingnya. Sementara lima meter di depannya, Arthur menatapnya remeh.

Tidak terdengar lagi suara Sam olehnya.

“Kau masih bisa berdiri atau menyerah?”

Yang menguasai Jungkook saat itu, hanya mata hazel Arthur yang menatapnya dalam-dalam, tapi bibirnya miring. Wajah datarnya kini diganti oleh ekspresi mengejek.

Tsk.” Arthur berdecak. “Memalukan.”

Banyak yang ikut tertawa pada komentar kecil Arthur. Tapi Jungkook… anak itu hanya mampu terperangah mendengar ucapan Arthur. Dunia kecilnya seperti berserakan di hadapannya, di atas karpet merah lima meter menuju kaki besar Arthur.

Birdie.” Sam menyentuh bahunya, mungkin bersiap memaksanya berdiri lagi.

“Jangan sentuh aku.” Jungkook menampik tangan anak itu.

Come on, sekali saja.”

“KUBILANG JANGAN SENTUH AKU!” Jungkook menjerit, sambil menangis, tapi anak itu tahu-tahu sudah berdiri menghantam Sam yang tidak siap menerima satu bogem mantap di wajahnya.

BUGH

Samuel jatuh terduduk. Memegangi wajahnya dengan kaget. Hidungnya berdarah. Yang terkesima bukan hanya dirinya, sorak sorai yang tadi memenuhi ruangan berubah hening.

“Ouch. Seperti sakit.” Martin memegang pipinya seakan daging wajahnya yang baru saja dihantam Jungkook. Sejujurnya tidak memprediksi respon Jungkook akan begitu keras, meski harus menunggu lebih lima menit dan sudah menelurkan banyak memar dan bengkak di wajah anak itu. Sekarang Jungkook berdiri, walau wajahnya merah dan basah oleh derai airmata, Jungkook memasang kuda-kudanya dengan gemetar.

“Good.” Sam tertawa, berdiri lagi ikut memasang kuda-kuda.

Tidak tahu setan apa yang tiba-tiba merasukinya, Jungkook menemukan dirinya menangis, suara yang dihasilkan mulutnya begitu memalukan, tapi ia juga tidak bisa berhenti mengepalkan tangan, memasangnya dengan mantap di depan dada sekalipun buku-buku tangannya terasa perih.

Go birdie! Go birdie!”

Sekarang sorakan bercampur, orang-orang mulai berani mengelukan namanya.

Jungkook berhasil menangkis banyak pukulan, meski tidak sedikit juga yang mendarat ke wajah dan perutnya. Pertarungan mereka berubah sengit, namun tampak lebih imbang dibanding sebelumnya.

Samuel memang berniat mengurangi tenaga dan kecepatannya, tapi saat disadarinya tubuh ramping Jungkook juga bisa jadi senjata, Samuel memutuskan untuk tidak menahan diri lagi. Jungkook cepat, kalaupun pukulannya tidak kuat, anak itu rupanya licin seperti belut. Dan hapal betul bagian-bagian rawan manusia. Lalu teringat lagi oleh Samuel siapa guru anak ini— Kwan Oh. Pantas saja, pikirnya sambil bergidik.

Beberapa kali Samuel menemukan dirinya dibuat jatuh terduduk karena Jungkook berhasil menghantam rusuk bawahnya. Satu bagian itu dipukul maka seluruh sendi Samuel akan menyerah untuk beberapa detik. Memaksa Samuel duduk berlutut sementara Jungkook memanfaatkan keadaan untuk menyerangnya lagi. Kalau sudah begitu Samuel akan lupa pada janjinya dan berubah menggunakan freestyle, dan menarik kaki Jungkook sampai anak itu jatuh bersamanya menghantam lantai.

Mereka sama-sama babak belur sekarang, mungkin juga sama-sama lelah. Sampai salah satu tidak bisa bangun lagi, biasanya pertarungan akan diakhiri. Siapapun yang berdiri jadi pemenang.

Satu momen Jungkook berhasil duduk di atas Samuel menjagal perutnya. Kalau mau sesungguhnya Sam bisa saja mengambil giliran dan membanting anak ramping itu ke samping. Tapi bara emosi yang berkilat di mata gelap Jungkook membuatnya tertegun sesaat, seperti dipaksa diam disana menerima semua amarah anak itu lewat bogem bertubi-tubi yang menyerang wajahnya.

“Aku menyerah!” Samuel terbatuk ke samping, memukul lantai dengan telapak tangannya. Jungkook tidak mendengarkan, anak itu masih terus mengirim pukulan-pukulan, sampai tangannya sendiri mati rasa.

“I’m done!” Samuel terus-terusan menampar lantai sampai seseorang datang memisahkan mereka.

That’s enough!” Martin lari ke tengah menarik Jungkook. Sementara Mason menarik Samuel duduk.

“Dia sudah menyerah, birdie. Enough! Enough!”

NOOO!” Jungkook menangis marah, menghentak bermaksud meraih Samuel lagi. Tidak tahu apa yang masih belum memuaskan hatinya. Tangisnya hangat mengaliri pipi, matanya panas karena sudah lelah meneteskan air. Otot-otot tubuhnya baru melemas saat suara Arthur menyela;

Good.”

Jungkook tidak tahu masih harus marah atau senang pada respon positif itu. Ia berdiri sempoyongan, menolak dengan marah tangan-tangan yang berusaha membantunya berdiri. Anak itu tersengal-sengal, wajahnya mati rasa, tangannya mati rasa, tubuhnya mati rasa. Hanya hatinya yang terasa. Sakit. Perih. Dan perutnya- tiba-tiba saja Jungkook sadar perutnya melilit.

Anak itu memegangi perutnya sambil melangkah dua kali, hanya sanggup berjalan lima jengkal sebelum tubuhnya ambruk tepat di depan Arthur.

Julien sibuk bersorak senang sambil merebut paksa uang-uang orang-orang yang bertaruh pada kemenangan Samuel.

“MARTIN KITA BANYAK UANG! Damn! Sudah kuduga birdie pasti menang. Mana uangmu? Mana! Semuanya! Kid, kutraktir kau-kau-dan kau. Kita minum-minum.”

Martin tidak sempat merespon Julien, sesuatu mengalihkan perhatiannya. Pria itu berjongkok di sisi Jungkook bermaksud mengangkat anak itu kedalam gendongannya, tahu betul Arthur tidak akan boleh melakukannya. Lalu disadarinya bagian selangkangan celana anak itu berubah gelap dan basah. Martin menyentuhnya ragu-ragu. Saat melihat basah macam apa yang tersisa di ujung jarinya, pria itu terkesima.

Darah. Kenapa muncul dari sana?

Boss, birdie berdarah—”

So?”

“B-bukan dari lukanya, tapi dari b-bawah?” ujarnya bingung.

Arthur bergeming, tapi pertahanan ekspresinya runtuh. Pria itu terlihat ragu antara harus berjongkok di hadapan Jeon-nya atau pergi menghindari mata-mata yang menatapnya ingin tahu.

Stay,” Jean menahannya, suaranya tertahan pelan, sebisa mungkin bibirnya tidak bergerak banyak saat ia bicara. “Darahnya hari ini sia-sia kalau langsung kau sentuh anak itu.”

Arthur menatap balik wanita itu, matanya yang bicara ‘but

Go. Kita bertemu di persimpangan biasa.”

Arthur dipaksa pergi melewati jalan lain, sementara Martin menggendong Jungkook bersama Julien menuju mobil mereka.

.

.

.

.

Begitu mobil mereka berpapasan di persimpangan jalan yang sepi, Arthur langsung membanting pintu terbuka dan meminta Jungkook dari gendongan Martin.

“Oper padaku.

“But, boss—” Martin berujar ragu, sambil melirik sopir mobil Arthur yang tidak dikenalnya dekat. Ferdinand. Bagaimana kalau sedikit cerita beredar diantara cartel mereka, lalu menyebar ke cartel lain, terus sampai terdengar ke telingan David.

Martin hanya mengkhawatirkan Arthur, dan Jungkook tentunya. Tapi Arthur saat itu seperti tidak mengkhawatirkan apapun lagi, tidak bisa ditawar-tawar saat ia mengulurkan tangannya memaksa Jungkook dipindah ke tangannya.

“Give. Him. To. Me.”

Martin menelan ludah, harus menyerahkan Jungkook pada Arthur saat suara bosnya berubah begitu.

Arthur masuk ke dalam mobil Martin, Hummer H3 dengan ruang besar untuknya tetap memangku Jungkook. Julien mengendarai mobil itu sementara Jean mengambil bangku di sisi kemudi.

“Buat dia tutup mulut, Martin.”

Yes.”

“Where to go, boss?”

Angeline.” Arthur sadar tidak punya pilihan lain. Mengunjungi kenalan lama adalah pilihan teraman baginya. Jean sesungguhnya bisa saja mengecek keadaan Jungkook untuk Arthur, tapi Arthur menginginkan klinik sungguhan. Dengan alat-alat kesehatan sungguhan dan mesin canggih.

Julien melirik dari spion tengah. Arthur membenahi posisi Jungkook dalam pangkuannya. Disadarinya anak itu mengerjapkan mata, setengah sadar dan tidak memohon;

‘Jangan dokter Detroit, please please Arthur please.’

Diambirdie.”

.

.

.

.

Hayooo maunya keguguran apa kegegeran?

Nih kalo mau marahin om dipersilahkan

Alo teman-teman, kemungkinan mulai sekarang cerita-ceritaku yang butuh dikunci/restricted hanya akan dipublish di website: https://alittlebitsofeverything

Alo teman-teman, kemungkinan mulai sekarang cerita-ceritaku yang butuh dikunci/restricted hanya akan dipublish di website: https://alittlebitsofeverything.org/, tapi cerita lain yang mungkin ringan dan bisa dipublish bebas akan tetap aku publish disini. Titip yah, yang berkenan silahkan berkunjung ^^

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Braven – 10. Monomachy”
Beranda
Cari
Bayar
Order