10. The Damned and the Lost Ones

“Dia bergerak, kalau tidak bergerak justru lebih mengerikan. Bayi bergerak, telur tidak. Kau pilih melahirkan atau bertelur?”

Author: Miinalee

Mengingat tidak banyak baju yang dibawanya saat mengungsi kemari, mengharuskan Jeon meminjam pakaian Arthur, yang dua sampai tiga kali lebih besar dari ukuran tubuhnya. Tapi bagus juga, karena pakaian pria itu membantunya melupakan sejenak bahwa ada makhluk antah berantah sedang menumpang hidup di dalam perutnya, bahwa dirinya gendut sekarang dan lingkar perut yang dibangga-banggakannya lenyap dalam hitungan hari. Jeon hanya akan teringat saat ia harus pergi mandi. Atau saat Arthur dengan usil menoel perutnya, yang ternyata terasa kelu juga.

Entah darimana datangnya insting itu hingga rasanya sekarang hobi utama Arthur di rumah ini adalah menoel perutnya, mengatup bagian depan buncit di perutnya, atau mencubit kecil sisi di perutnya. Dan itu menjengkelkan sampai ke tingkat Jeon harus mengamuk sambil melempar bantal sofa agar pria itu menjauh darinya. Jeon sudah hapal, kalau Arthur datang ke arahnya dan menatap langsung ke perutnya,

Don’t even fucking try.”

Tapi toh Arthur mencoba juga. Karena pria itu nampaknya gemar bertengkar dengan Jeon. Pertengkaran sepihak mereka di hari ketiga Jeon menumpang di rumah ini, berakhir dengan seks panas. Jeon tidak menyesal, Arthur apalagi. Tapi Jeon merasa, alangkah lebih baiknya bila pria itu memang ingin… lebih mudah menawarkan langsung ketimbang memancing amarahnya dulu.

“Aku tahu aku gendut, tapi aku tidak suka diingatkan setiap waktu. So shuttttt ittttt, Arthur!”

Arthur tertawa. “It’s soft.” 

“Ya? Begitu? Kau pernah tahu rasanya menelan semangka tanpa dikupas dulu? Begitu rasanya. It’s so fucking tight don’t you dare say it’s soft ever again.

Melihat betapa serius Jeon marah padanya hari itu, Arthur melonggarkan bullynya. Tiga jam berlalu tanpa pria itu mengganggunya lagi, atau mengganggu perutnya lagi. Jeon duduk mengunyah kentang gorengnya di atas sofa sambil menonton sesuatu di layar ponselnya.

Pria itu tuan rumah yang amat baik, sejujurnya. Jadi kadang-kadang setelah Jeon selesai dengan ngambeknya dan sadar ia baru membentak Arthur dengan amat tidak sopan. Anak itu akan menunjukkan penyesalannya dengan menimbrung pada apapun yang dilakukan Arthur.

Hari itu, ia berdiri di sisi Arthur. Pria itu sedang mencuci piring kotor dengan gerak amat pelan, berhati-hati tidak ingin menghancurkan perabot keramik di tangannya. Jeon tanpa komentar, membantu dengan mengelap piring bersih dan menyusunnya ke dalam rak.

Arthur meliriknya, mendengus, lalu membiarkannya. Pria itu malah sengaja mengoper piring bersih langsung ke tangannya agar Jeon bisa bekerja lebih cepat. Lama waktu mereka lalui membersihkan piring-piring dan gelas kotor dalam keheningan. Sampai Jeon berkomentar,

“Wow. Sepi sekali. Kita sedang berkabung di pemakaman siapa, ya?”

Arthur hanya mendengus di sisinya. Jeon mendongak, dekat sekali janggut Arthur di sisinya. Lalu Jeon menyadari keberadaan kotak silver mungil diletakkan dekat dari jendela. Sebuah radio tua dengan dua antena .

“Radionya masih menyala?” katanya sambil mengelap-elap tangan basah ke celana jinsnya.

“Mungkin?”

Jeon menghampiri benda itu dan dinyalakannya, ia harus memutar tombol mencari-cari siaran. Jarinya berhenti saat suara musik terdengar pelan, Jeon mengernyitkan keningnya. Terdengar lantunan musik serak bercampur kasak-kusuk. Sampai Jeon mengenali liriknya, lagu yang mungkin diciptakan sebelum dirinya lahir. Careless Whisper milik George Michael.

DOPE,” serunya semangat, sambil buru-buru kembali ke sisi Arthur dan melanjutkan pekerjaannya. Tidak lupa, sambil bernyanyi melenggak-lenggok menggunakan sendok bersih sebagai mikroponnya.

“I’m never gonna dance again. Guilty feet have got no rhythmmmm.” 

Arthur tertawa. Ingin diacaknya rambut Jeon tapi ingat ada segumpal busa sabun di tangannya.

Hmm, not bad.”  

Pria itu tidak pandai memuji, tapi sejujurnya suara Jeon amat merdu hingga pria itu berpikir kenapa pemuda ini tidak mencoba karir jadi penyanyi saja. Ketimbang mengekori Bruce Wayne sepanjang hidupnya.

Come sing with me, old man!”

Fuck no.”

Yasudah,” kata anak itu, lalu lanjut bernyanyi sendiri. Tangannya lincah mengelap piring, pinggulnya juga sibuk menyenggol Arthur, begitu menikmati seakan lagu serak di radio hak cipta miliknya.

Makin lama bibir merah muda itu bernyanyi, makin sulit Arthur menahan-nahan rasa takjubnya. “Jangan nyanyikan nada tingginya, jangan. Gelas di rumahku cuma dua, boy.”

Jeon mana peduli, bagian klimaks dalam lagu itu justru favoritnya. Dalam-dalam ia menarik napas demi mencapai nada tinggi itu, meski yang keluar bukan melodi. Jeon memekik, gelas di tangannya jatuh menghantam lantai dan hancur berkeping-keping.

HAKH!”

Arthur tersentak. Jeon tahu-tahu duduk bersimpuh, diantara pecahan kaca yang menusuk-nusuk kakinya dan bercak darah muncul dari luka. Tapi anak itu memeluk perutnya, tampak tidak peduli sedikitpun pada luka di betisnya.

“Kenapa? Ada apa?” Arthur berlutut, berusaha memapah Jeon untuk bangun. Pemuda itu terlalu gemetaran, tetap terpekur disana menunduk menatap perutnya ketakutan.

Fuck. Fuck no. I-I’m going to die, Arthur,” desisnya panik.

“Something hurts? Your belly?” 

Jeon membuka mulutnya lagi, pemuda itu memekik tanpa suara. Airmatanya menggenang, dituntut ketakutan. Setengah panik Jeon mengangkat sweaternya naik, hingga bulat perutnya tampak jelas, bertumpu di atas pangkuannya. Mengilap, dan Arthur langsung mengerti apa yang membuat Jeon berteriak sekeras tadi.

Perut itu bergolak. Bentuknya berubah tiga kali dalam dua detik. Oval, ke bulat, dan kembali ke oval. Setelah itu ada deru bertubi-tubi bagai ujung tongkat mencuat mendorong dari dalam sana.

“D-dia akan merobek perutku sekarang. SEKARANG! Aku butuh Wayne, mana ponselku? MANA PONSELKU?!”

Arthur merespon tenang, meski dua alis tebalnya berkerut dalam-dalam. Disentuhnya perut Jeon sambil berpikir.

Calm down,”  katanya, sambil mengatup tepat di atas kulit yang baru saja bergolak. Sentakan lain bertemu tepat di bawah telapak tangannya. Arthur menggigit bibir, ingin tersenyum namun khawatir Jeon akan salah mengartikannya dan makin mengamuk.

I think he just excited. Sudah kubilang jangan nyanyikan nada tinggi.”

“Aku belum sampai nada tinggi!”

“Dia bergerak, kalau tidak bergerak justru lebih mengerikan. Bayi bergerak, telur tidak. Kau pilih melahirkan atau bertelur?”

“TIDAK LUCU, CURRY!” Jeon marah, tangisnya pecah karena ketakutan bercampur kejengkelan melihat betapa tenang Arthur merespon situasi gentingnya. Lama sekali tangan Arthur bertetengger di atas perutnya. Sampai Jeon sendiri pelan-pelan, kini lebih dikuasai oleh rasa penasaran, ikut-ikutan mengatup perutnya di sisi kanan dan kiri.

Pemuda itu tersentak tiap kali ia merasakan satu sentakan, terasa dari dalam perutnya dan katupan tangannya. Tapi makin sering sentakan itu muncul, berirama dengan degup jantungnya, sedikit demi sedikit membangunkan rasa percaya dirinya. Alien vs Predator ini tidak mencoba merobek daging perutnya. Setidaknya, belum.

Jeon menunduk, menatap perut dengan mata basah. Tiga tangan bertetengger disana.

“Jangan menakuti aku seperti tadi,” bisiknya tanpa sadar. “Please?”

Arthur meliriknya, naik turun bergantian antara wajah dan perut. Bingung harus merespon apa.

“Ok, lukamu perlu diurus. Atau mau diurus nanti? Sekalian tunggu ada robekan di perut?”

“ARTHUR!”

.

.

.

.

“Dia tidak menghubungimu sama sekali? Tidak tanya soal aku? Tidak minta aku pulang?”

Tiga hari berlalu, dan Jeon tetap bingung bagaimana mungkin Wayne tidak mencarinya, tidak menghubunginya, dan bersikap seakan-akan Jeon tidak pulang pun bukan masalah berarti. Lalu diingatnya lagi Bruce juga yang membuangnya selama empat tahun ke Dublin. Hal itu membuatnya kecewa, dan sedih, tapi benaknya kembali membingungkan soal kenapa Bruce tidak mencarinya selama empat hari.

“Ini acara Netflix and Chill atau Keeping Up with Bruce Wayne?” Arthur menatap pemuda di sisinya dengan terheran-heran. Dua puluh menit dihabiskannya merombak posisi ruang tengah demi menyenangkan tamunya. Mendorong sofa himpit ke dinding, menggelar karpet dan selimut rajut di lantai, menyusun bantal-bantal ke posisi nyaman dan menunggu Jeon mengacungkan jempolnya tanda puas.

Lalu dua puluh menit berlalu di ruangan temaram itu, hanya cahaya TV menerangi mereka dan suara pembuka dari film Conjuring terdengar. Berdua mereka duduk di lantai, bersandar di badan sofa. Posisi itu tidak terlalu nyaman, terutama bagi Arthur yang punya besar tubuh di bawah rata-rata. Tapi Jeon menyukai posisi ini, dan Arthur suka berbagi selimut dengan pemuda itu. Jadi dicobanya memposisikan diri senyaman mungkin.

“Bisa kau cek ponselmu sekarang, Arthur?”

“Aku tidak punya benda begitu.”

“Tapi kau punya Netflix!”

“Ayahku yang membelikan benda itu.” Arthur menunjuk smartbox di sisi TV dengan dagunya. “Kau yang nyalakan barusan, kan? Aku mana tahu cara menggunakannya.”

Jeon tahu Arthur hanya pura-pura bodoh, meski pemuda itu kurang yakin untuk alasan apa. Yang pasti, ia juga tahu Arthur tidak akan membantunya soal Wayne.

“Aku mulai rindu master Wayne, kau mau antar aku pulang?”

Arthur mengunyah popcorn-nya, mata menatap TV tidak mengindahkan Jeon sama sekali. “Hm. Tidak dengar. Bagaimana?”

“Arthurrr,” Jeon berguling ke sisi Arthur, diangkatnya kaki ke atas tubuh pria itu dan dirangkulnya dada Arthur. Lalu pemuda itu mendongak.

Arthur bisa membayangkan posisinya, tapi menolak berpaling.

Please?”

“Ok. Besok? Kau mau pulang supaya Bruce bisa mengamuk lagi padamu?”

Jeon mendesah. “He won’t hit me, won’t he?”

Well, tanya tanganmu?”

Jeon mendesah lebih kencang. Lalu duduk lagi ke posisi awal sambil menatap TV, dua tangannya terlipat di atas perut, itu lagaknya untuk menunjukkan kejengkelan. Meski sejujurnya, Jeon sendiri tidak yakin ia harus marah pada siapa. Dua hari setelah Bruce tidak menahan diri dan menampik tangannya, Jeon masih bisa merasakan sakit sisa memar itu.

“Obsesimu tidak sehat,” Arthur tiba-tiba komentar. “A no is a no. Dengan pria, dengan wanita, kau tidak boleh memaksa kalau dia sudah bilang tidak.” Kenapa tidak fokus pada yang bilang ‘ya’ saja? Aku misalnya? Arthur sungguhan membayangkan dirinya menyelesaikan kalimat itu, tapi tampaknya tidak.

“Jangan komentar kalau kau tidak mau membantuku!”

“Aku tidak melarangmu pulang, kau boleh pulang.”

“Aku diusir?”

Arthur berpaling pada Jeon, terheran-heran. “Well, you want to go home?”

I like it here. Jangan usir aku. Awas kalau kau usir aku.”

“Akan tiba waktunya kau harus diusir, boy. You free rider!” 

Nay!” Jeon berseru, “Aku bayar, kok!”

Lalu anak itu berpindah posisi, mendorong bucket popcorn dan duduk di atas pangkuan Arthur. Pria itu luar biasa tenang, tapi di balik kumis dan janggutnya, begitu tipis Jeon melihat seringainya.

Netflix and chill,” katanya, sambil mengatup perut Jeon menjaga posisi aman.

Netflix and chill,” Jeon mengangguk, setuju, dan mempertemukan bibir mereka dalam satu kecupan beringas.

.

.

.

.

Baru seteguk Jeon menyeruput cangkir kopinya, yang diseduhnya sembunyi-sembunyi di dapur saat dipikirnya Arthur sedang pergi. Dan antah berantah, kapan dan dari pintu mana, Arthur sudah berdiri di belakangnya. Tanpa berpaling, Jeon bisa merasakan presensi besar pria itu di belakang tubuhnya.

“Ini cuma satu shot,” katanya dengan suara lelah.

No coffee.”  Arthur merebut cangkir itu, meneguknya habis, langsung mencucinya dan meletakkannya di rak pengering. Jeon bahkan belum sempat bereaksi melihat begitu cepat pria itu bergerak. “For the baby,” pria itu menepuk lembut perut Jeon, lalu melangkah ke ruang tamu tanpa lupa mengecup kepala Jeon lebih dulu.

Ini perjanjian mereka. Full time roleplay. Tapi makin hari, yang tampak lebih banyak menikmati justru Arthur.

“Arthur!” hampir menangis Jeon dibuatnya, kopi yang diidam-idamkannya sejak seminggu. Kesempatannya datang pagi ini karena hampir tiap hari Arthur tidak pergi. “Fuck you!”

10 bucks.

Itu juga perjanjian lain, yang muncul tiba-tiba setelah Arthur kalah berkali-kali di 8 ronde turnamen Uno Stacko bersama Jeon Jungkook. Jadi pria itu menawarkan kompetisi lain. No cursing. Dua toples disediakan. Toples dengan label Jeon akan diisi oleh Arthur tiap kali pria itu kelepasan mengumpat, dan toples dengan label Arthur akan diisi oleh Jeon tiap kali pemuda itu yang kelepasan memaki.

Fuck, damn, shit, cunt, dan seluruh peranakannya tiba-tiba dilarang di bawah atap itu. Atau diizinkan, dengan bayaran 10 dollar.

“Isi terus, isi terus sampai aku bisa beli truk baru,” Arthur mengejek saat dilihatnya Jeon memasukkan 10 dollar dengan tidak rela.

“FUCK.”

“20 bucks.”

“Damn.”

“30 bucks.”

“OKAY OKAY, SSS-SH—”

“40—”

“—SHAWKAY.” Jeon langsung lari ke kamar bawah, sebelum Arthur membuatnya kesal lagi hingga ia kelepasan mengumpat. Ia tidak sanggup membayar 200 dollar sehari demi 20 umpatan, jadi baiknya dia kabur sekarang.

.

.

.

.

.

“Sudah hampir dua minggu. Kau yakin tidak ingin aku menelpon anak itu?” Alfred meletakkan segelas kopi panas di hadapan Bruce.

No.  Diana sudah meresponmu?”

“Belum, Master Wayne.”

Bruce sibuk membolak-balik kertas yang dicetaknya dan diacaknya di atas meja, seluruh informasi yang bisa didapatnya soal lampu itu tertera di sana. Tapi tidak satupun membantunya menjawab bagaimana cara memutar kutukannya. Diana di sisi lain, menghilang tiga minggu sementara Bruce menunggu di dalam ruang kerjanya tanpa berbagi bebannya pada siapa pun. Alfred mungkin diizinkan jadi pendengar, satu atau dua kali. Tapi ada urusan yang tidak dibaginya pada siapa pun. Dan lampu itu kebetulan jadi salah satunya.

“Aku masih tetap pada pendapatku bahwa kau terlalu keras padanya,” Alfred bicara lagi, “…dan pada dirimu.”

Bruce tahu apa yang tengah dituju Alfred lewat ucapannya. Jadi dipotongnya buru-buru. “You know I can’t love him back.”

“Karena saat itu dia baru 18? We’ll he’s not anymore?”

Bruce mendesah, diturunkannya kertas dan ditatapnya Alfred. Pria itu menggeleng, sekali, dua kali. Seakan enggan pada awalnya untuk mengatakan ini, tapi kepercayaan diri di wajah Alfred membuatnya menjawab ketus,

“Because I’m cursed and he’ll pay for it. Like my parents. Like Greyson. Like Talia.” Bruce menelan ludah, “Like Fletcher.

Semua yang dicintainya berakhir mengenaskan. Kalau itu harus terjadi pada Jeon juga, maka Bruce memilih untuk membenci anak itu dan menunjukkannya terang-terangan. Mungkin alam akan mengampuninya, membelok kutukannya pada siapa pun yang dibencinya. Apa yang dicuri darinya hanya hal-hal yang berharga. Dan Jeon… Jeon tidak boleh jadi orang berharga dalam hidupnya.

It’s better to shoo him away rather than watching him die.”

“But you love him back anyway.”

Bruce tidak menjawab lagi. Dan itu juga yang mungkin jadi alasan atas semua hal yang terjadi pada Jeon pulang. Lampu itu, bayi abnormal itu. Sebesar apapun Bruce menunjukkan kebenciannya dan amarahnya, ada emosi membara yang makin sulit disembunyikannya sejak Jeon kembali. Ini akan jadi kesalahannya yang baru, kutukannya yang baru. Dan kali ini, Jeon yang akan jadi korbannya.

.

.

.

.

.

Arthur buat aku cup

Arthur buat aku cup

Reviews

  1. AuPembaca

    Tapi emang sih ya, Bruce kalok gak kejem ngehadepin Jungkook yang keras kepalanya minta ampun gak bakal mempan. Apalagi Gguk juga modelan anak yang gak kenal takut kayak at least i tru idc

Add a review
Beranda
Cari
Bayar
Order