Relentless /rɪˈlɛntləs/
unceasingly intense. harsh or inflexible.
.
.
.
.
.
.
.
Jungkook terbangun dengan perasaan kelu, pertama-tama terasa di wajahnya, lalu merambat ke bahu, kaki tangannya, dan yang paling parah ternyata berasal dari pinggulnya. Anak itu berbaring menyamping sambil merintih. Ia memegangi perutnya, perasaan melilit belum meninggalkannya, sama seperti yang diingatnya sebelum jatuh. Sepertinya ia tertidur cukup lama. Sudah berapa banyak waktu berlalu? Hitungan jam? Hitungan hari?
Saat membuka mata dan melihat Arthur duduk di dekatnya sambil menunduk menatapnya, teringat lagi kejadian sebelum ia hilang kesadaran dan itu membuat Jungkook termegap— hampir melontarkan makian.
Masih tergores jelas ingatan dalam benaknya, bagaimana cara Arthur duduk dengan angkuhnya, menatap dengan remehnya, sementara Jungkook dihajar habis-habisan dan dihina di tengah keramaian.
Sudah ada seribu kata tidak senonoh yang dipelajarinya dari Julien dan Martin, siap meluncur dari bibirnya. Tapi kemudian anak itu kehilangan kata-kata. Mulutnya termegap, menutup dan terbuka. Mungkin karena terlalu marahnya, atau mungkin karena ia tidak berani berharap apa-apa. Arthur bahkan membiarkannya dipukuli dan disoraki. Apa lagi yang diharapkannya?
“Aku tidak dibuang ke jurang sekalian?! Tidak dikubur hidup-hidup di gunung?!” serunya emosi, airmatanya berlinangan lagi. Ia mencoba bangun dan duduk, tapi urung saat sadar kepalanya terasa berat.
“I see what Jean means now.”
Suara wanita membuat Jungkook tersentak, baru sadar ia tidak hanya berdua di ruangan itu. Ada Jean… dan seorang wanita lagi. Mengenakan jas putih dokter berdiri di sisi pintu.
Wanita dewasa yang cantik, tubuh tinggi dan rambut cokelatnya yang panjang sebahu mengingatkan Jungkook pada rambut Arthur. Wanita itu tampak lebih dewasa dibanding Jean, wajah keibuannya dan senyum yang tidak lekang dari bibirnya membuat Jungkook termegap, tiba-tiba malu pada dirinya sendiri. Tidak seharusnya ia marah-marah dan berteriak dengan tidak sopannya di depan wanita ini.
“Kau mau es krim, birdie? Biasanya membantu sakit di bibir yang memar.” Jean menawari tanpa menunggu, langsung keluar sebentar dan kembali lagi membawa satu stik eskrim stoberi.
Jungkook kebingungan. Harus marah atau berbaring diam menunggu sakit di tubuhnya hilang. Ia ingin melampiaskan kekesalannya, tapi ruangan asing ini bukan kamarnya, bukan pula rumah Arthur. Dengan canggung anak itu menerima bantuan Jean untuk duduk, pelan-pelan, dipapah bangun selayaknya anak yang sedang demam. Karena itu juga Jungkook tidak bisa menolak saat Jean mengoper stik eskrim itu ke tangannya.
Agak bingung dijilatnya eskrim itu, yang kemudian membantunya menghadapi rasa tegang dipandangi tiga pasang mata. Tapi setiap kali matanya bertemu mata Arthur, hatinya seperti diiris lagi. Bahkan eskrim yang manis dan dingin tidak membantu.
“Kau mengaduku seperti anjing Arthur—” Jungkook terisak-isak, sambil menelan susah payah bulir eskrim manis yang sesungguhnya enak itu. Sebelah matanya berat, mungkin karena bengkak yang tidak bisa dilihatnya. Kini kedua matanya terasa lebih berat lagi karena airmata, dan memar di wajahnya merongrong pedih saat tetesan panas itu melintas di pipinya turun ke rahang.
“I hate you, Arthur.”
“Ikut aku, Dechlan.” Wanita berjas putih itu menarik Arthur keluar, dengan gaya memaksa yang belum pernah dilihat Jungkook sebelumnya. Belum pernah ada yang berani memerintah Arthur, seingat Jungkook— baru dirinya yang bisa melakukan itu. Itu pun saat Arthur merasa tidak ada orang lain yang menonton. Dan disini, wanita itu menarik lengan besar Arthur di hadapan Jean dan Jungkook, seperti ibu memerintah anaknya.
“I’ll stay here.” Arthur menolak awalnya.
“NO!” Jungkook berseru. “Jean can stay. You can not. I don’t want you here!“
Arthur mendelik. Dia bayar kau dengan eskrim dan posisiku langsung digantikan? Arthur sakit hati dan ditunjukannya terang-terangan. Rahangnya berubah kaku. Pria itu seperti mengerat giginya di dalam mulut, menahan amarah.
“Come on, little brother.” Wanita berjas putih itu menarik-narik Arthur lagi.
Saat sebutan akrab itu digunakan, dua hal terjadi; Arthur menurut bersedia keluar dari sana, dan Jungkook melongo tidak sadar sebulir eskrim menggantung di bibirnya.
“Little brother?” bisik Jungkook pada Jean, terlalu shock.
Jean tersenyum. Tahu jelas hal itu akan mengguncang Jungkook.
“Itu Angelina Dechlan. Bukan kakak kandung Arthur. Tapi tetap saja kakak.”
“Arthur punya saudara?!!!”
“Ya? Kenapa? Jangan bilang selama ini kau berpikir Arthur lahir dari batu gua?”
“Sesungguhnya iya.” Jungkook masih tidak habis pikir. Anak itu tidak bisa mengatup mulut saking kagetnya. “Dan wanita tadi seperti keponakan Arthur.”
Jean tertawa terpingkal-pingkal sampai tidak sanggup berdiri. “Oh, birdie!” sahutnya geli.
.
.
.
.
.
“Tell me about Jeon.” Arthur mulai tidak sabar. Angeline membawanya ke ruang kantor wanita itu, menyuguhi sebotol wine padahal tidak perlu.
“What?” Angel menyahut geli. Ia menggoyang gelas winenya, masih berniat menggoda. “You tell me about Jeon. Aku baru bertemu anak itu hari ini, kenapa jadi aku yang harus cerita?“
“Kau tahu maksudku, Angel!” Arthur menarik meja kerjanya setengah marah, sampai kayu berat yang besar itu bergeser maju.
Angeline mendengus, hampir menghela wine lewat hidungnya. Oh, betapa ia merindukan pria besar ini. Tempramennya belum berubah. Tapi kenapa rasa-rasanya ada otot bertambah di bahu dan leher adiknya. Arthur jadi tampak dua kali lebih mengerikan dari ingatannya, dan dua kali lebih tua. Kapan terakhir kali ia melihat Arthur? Dua tahun lalu? Saat pemakaman Lana?
“Kurasa kau pasti sudah tahu kalau anak itu punya dua—”
“Ya.”
“Kalian sudah berhubungan intim?”
“Ya.”
Angeline mendengus, agak terperangah saat Arthur menjawab seenteng itu.
“Berapa umurnya? 15?”
“Delapan belas,” Arthur menjawab marah. “Kau tahu aku tidak akan melakukannya dengan anak-anak!”
“Kau 80 dan dia 18, tentu saja dia anak-anak dibanding dirimu, grandpa.”
“Angel!”
“Sudah lama kau tidak main kemari. Apa aku harus berterima kasih pada Jeon ini? Karena sudah membuat Arthur ingat rumah kakaknya lagi?”
“Aku akan membawa kematian kalau sering-sering main kemari.”
“Stop blaming yourself, Arthur—”
“So what with the blood?” potong Arthur cepat-cepat.
“Kau mengadunya di duel cartelmu? That’s cruel. Jarinya bahkan lebih lentik dari jariku. Dengan siapa dia kau adu?“
“Angel, I need to know—”
“Anak itu keguguran, Arthur.” Angeline ganti memotong omongan pria itu. Wanita itu berubah serius, diletakannya gelas wine ke meja.
Arthur termegap. Kalau di ruangan itu ada orang lain, pria itu pasti menahan rahangnya tetap tertutup, menyimpan emosinya tetap di dalam mulut. Tapi disini —di depan perempuan yang hidup bersamanya lebih lama dibanding manusia manapun di dunia— pertahanan Arthur justru runtuh.
Arthur sontak bersandar ke bangkunya, bahunya yang tadi tegap kokoh kini melemas turun. Kapan? Hanya itu yang memenuhi benaknya sekarang. Ia selalu menggunakan pengaman. Sejak sebulan lalu saat mereka pertama kali melakukannya. Apakah di danau malam itu? Tidak. Tidak. Arthur ingat betul mengeluarkannya di luar. Di dapur? No. Saat mereka mandi bersama seminggu lalu? Tidak juga. Pria itu berpikir keras, berusaha mencari celah kesalahannya sendiri. Lalu teringat lagi olehnya Angeline bisa sejahil itu, jauh lebih parah dibanding Lana.
“It’s not funny,” geramnya dengan suara tertahan.
Angel yang sejak tadi diam saja menahan rasa geli akhirnya bisa tertawa, terbahak-bahak sambil memukul meja.
“Of course it’s funny! Kau harus berkaca, lihat ekspresimu, lil bro!” Angel memegangi perutnya, tersengal-sengal kehabisan napas karena tertawa.
Dua tahun Arthur menghilang dan sekarang kembali padanya membawa remaja yang bukan dipungutnya jadi anak— tapi dijadikan PACARnya! Siapa yang tidak terkesima? Saat mendengar pertama kali, Angel menyangka Jean sedang bercanda. Tapi hari ini Arthur muncul dengan remaja misterius itu. Menyampingkan kenyataan bahwa Arthur sendiri yang melempar anak ringkih itu ke arena duel— tetap mengherankan melihat Arthur menggendong anak itu dengan kelembutan yang belum pernah dilihat Angel sebelumnya, membaringkan Jeon di ranjang pasien dengan telaten, dan menolak pergi bahkan ketika Angel sudah mengusirnya.
“Aku sudah memastikan anak itu tidak akan hamil. Dia terlalu muda.”
“Setuju.”
“Now-what-with-the-blood?!”
Tawa Angeline berubah jadi senyum tipis. Kau masih Arthur lima belas tahun lalu, hanya dengan topeng lebih tebal. Dua dekade penuh kepahitan berhasil menempa remaja manis yang dikenalnya dulu jadi monster ini.
“Melihat cara panik kalian membawanya kesini— kusimpulkan ini pertama kali. Menstruasinya yang pertama, yes?”
“Itu normal atau tidak?”
“Buat seseorang yang punya rahim dan vagina? Tentu normal. Yang punya vagina sekaligus penis? Hmmm— let me guess? Sepertinya dunia harus berpikir itu normal atau mereka akan perang dengan Arthur Dechlan. Pilihan mengerikan! Aduh, aku takut. Jadi aku pilih normal saja.”
Arthur mendengus, sejujurnya tidak senang digoda tanpa henti. Tapi bagusnya tidak ada orang disini, jadi Arthur tidak perlu menunjukkan amarahnya lebih dari seperlunya.
“Kau terlalu sering mengobrol dengan Jean.”
“Jean belajar humor dariku. Kau yang terlalu bebal untuk belajar tertawa. Smiles a little bit, little bro.” Angeline berdiri, melintas di atas mejanya untuk meraih wajah Arthur. Dipaksanya pria itu tersenyum dengan menarik kumis di ujung-ujung bibirnya. “No— damn, not like that!”
“ANGEL!”
Angeline harus berhenti, sambil tertawa. Masih ada rasa takutnya, Angel tidak ingin membuat marah pria besar ini. Sekalipun Arthur adiknya.
“Bagaimana mungkin anak cantik itu betah dekat-dekat denganmu? Kau membuatnya babak belur, duh!”
“I had to.” Dan setidaknya bukan dengan tanganku. Arthur merenung, wajahnya kaku.
Angeline hanya menatap adiknya, seperti tahu apa yang ada di dalam benak pria itu. Arthur memang jarang bicara, itu sudah jadi kebiasaannya sejak mereka masih anak-anak. Tapi Arthur tidak pernah bisa menyembunyikan sesuatu dari Angeline, sekalipun pria itu tidak bercerita. Angel hanya perlu menatapnya sedikit lama dan ia akan tahu.
Ini caramu mencegah bencana Max terjadi pada anak itu? Angeline meringis sedih, memutuskan untuk tidak mengatakannya. Terlalu tabu jika dipikirnya lagi, jelas akan menggores luka lama.
“Kalau kata Jean— He’s a gift from God. Untuk Arthur yang berlumur dosa. Agar Arthur Dechlan ingat masih ada gereja yang sudah lama tidak dikunjunginya.”
“Stop it.”
“Kau tidak akan membunuh Jean, kan? Karena sudah cerita padaku?” Angel menyeringai, “No. Tentu kau tidak akan membunuh Jean, kubunuh kau lebih dulu.”
Arthur hanya melirik, “Jadi kau dan Jean—?”
“Hmmm~ Thanks to that little bird of yours. Karena dia, sekarang Jean cari pelarian seks yang lain.“
Arthur mengangguk-angguk, “Good… good… Though I never thought she’ll turn the wheel around 180 degree.”
“Dia tidak pernah straight, sejak dulu. Kebetulan saja merasa berhutang padamu—”
“Dia tidak punya hutang padaku.” Arthur membutuhkannya, Jean bersedia, dan Arthur membayarnya. Selesai sampai disana.
Tapi Angeline tidak sesederhana Arthur.
“Sudah waktunya Jean berhenti berpikir dia harus membayar seluruh dunia padamu. Wanita itu bukan anjingmu.”
“Sudah kukatakan itu padanya sejak jaman batu. Listen, just don’t toy her around, Angel.”
Angeline tertawa, rasanya gatal ingin memukul Arthur. “‘Mempermainkan’ Jean? Hoo, says someone who paid her for sex.”
“Aku tidak mau bertengkar denganmu, Angel.”
“Aku juga!” Angel nyaris berapi-api, lalu diingatnya lagi butuh hal besar untuk membawa Arthur kemari. Tidak, ia tidak ingin mengusir Arthur pergi dengan sikapnya. Wanita itu duduk kembali, tenang bersandar di kursinya. Ditatapnya pria itu lama, Arthur melakukan hal yang sama. Bermenit-menit berlalu dengan keduanya saling menatap dalam diam, itu hal yang mereka lakukan dulu saat bertengkar.
Tapi pasti sudah terjadi lama sekali, karena Angel merasa asing dengan rambut panjang beringas Arthur dan janggutnya yang tumbuh sampai ke leher.
“I miss you lot, little bro.” ujar Angel dari balik gelas wine.
Arthur tidak menjawab. Tidak terbiasa merespon pengakuan macam itu.
“Jadi tidak ada hal besar kan— selain yang kau jelaskan barusan?”
“No nope. Tapi biarkan anak itu menginap semalam agar asistenku bisa menjelaskan cara mengurus diri selama masa menstrualnya. Ini pasti akan terjadi rutin mulai sekarang, satu bulan sekali setidaknya.”
Angeline melirik saat Arthur samar menghela napas. Jelas bukan hal mudah menyeimbangkan posisi sebagai leader cartel besar dan kekasih remaja tanggung yang baru dewasa kemarin sore. Dua pekerjaan bersimpangan macam itu tidak pernah terjadi dimanapun. Baru hari ini dilihatnya bahkan.
“You need something better than condom after this.” Angeline menjilat bibir bawahnya untuk menahan senyum, masih geli membayangkan adiknya berpacaran dengan remaja. Sepertinya lebih mudah membayangkan Arthur memungut beruang betina dan dijadikan istri, ketimbang anak muda yang kini berbaring di kamar prakteknya.
“—and a better practice on patience, Arthur. Oh, Jesus! How on earth—” Angeline mendengus. “Teenager boygirlfriend in their period, good luck little brother.”
Angeline menutup mulutnya, tidak ingin membayangkan lebih jauh atau tawanya akan pecah lebih parah daritadi. Tatapan Arthur saat ini sudah sangat mengancam jiwanya.
.
.
.
.
.
Jungkook menyeruput milkshake di tangannya sambil menatap sekeliling. Ia berada di ruangan luas, mirip ruang VIP rumah sakit. Ada TV, lemari, sofa mewah dan jendela-jendela besar di sisi kanan dan kiri ruangan. Ia sendiri berbaring di ranjang pasien yang empuk dan luas. Apa ia sungguhan berada di rumah sakit?
Jean duduk di sampingnya, siap mengabulkan permintaan makanan dan minuman apapun yang diinginkan Jungkook. Agak geli wanita itu melihat Jungkook. Wajah putih anak itu masih basah oleh airmata, banyak memar gelap di tulang pipi dan rahangnya, di ujung kanan bibirnya. Sebelah matanya bengkak dan bulu matanya yang lentik basah oleh tangis. Ada lebih banyak memar di dalam tubuh yang terbalut seragam biru pasien itu, tapi yang terihat jelas adalah buku-buku jarinya, kini menggenggam gelas besarnya sambil gemetaran. Sendi-sendi jarinya ungu memar dengan sisa-sisa goresan darah, mengetuk-ngetuk gelas kaca sambil sibuk melihat sekelilingnya.
Jungkook pasti tidak sadar melakukannya.
Pemandangan itu terlihat menggelikan sekaligus menyedihkan.
“Kau mau lagi, birdie?”
“Kenapa aku harus minum milkshake?” Sudah habis gelas kedua es susu itu saat Jungkook melontarkan protesnya. Tiba-tiba tersinggung melihat cara Jean menatapnya— seperti menatap anak-anak yang harus dirayunya agar diam tidak menangis selagi ayahnya pergi.
“Kenapa? Kau mau Schorschbock lagi? Seperti pria dewasa, yes?“
“TIDAK.” Tolak Jungkook mentah-mentah sambil mengulurkan lidahnya jijik, seakan terecap olehnya pahit minuman keras itu.
“Atau mau milkshake Arthur, yaaaa? Agar awet muda?”
“Jeaaaan!” Jungkook merengek malu, wajahnya merah dari kening ke dagu. Ditambah memar di wajahnya, ia pasti tampak lebih menggelikan lagi. Terbukti dari cara Jean tergelak sambil menggaruk dagu Jungkook, seperti meladeni anak anjing.
Jean tertawa. Bangun sebentar untuk mengambil cookies di kulkas. Tapi saat kembali Jungkook menatapnya getir, gelas sudah berpindah ke meja nakas.
“Kenapa kalian mengaduku disana, Jean? Kau melihat semuanya. Kau, Julien, Martin. Kau tahu aku sudah kesakitan, kenapa tidak menolongku?” todong anak itu padanya.
Jean termegap. Wanita itu duduk pelan-pelan di bangkunya lagi sambil berpikir keras, berusaha menyusun kata-kata yang mungkin tidak akan melukai hati kecil anak ini, juga tidak memancing amarah Arthur.
“We have to, birdie. Biar Arthur yang jelaskan, oke? Ini bukan bagianku,” right, itu terdengar lebih seperti cuci tangan.
Jungkook sama tidak senang mendengar jawaban menggantung itu. Percuma. Arthur tidak akan menjelaskan. Begitu banyak hal disembunyikan darinya. Airmata Jungkook meleleh lagi, tapi dengan kasar dihapusnya.
“Bagaimana kalau aku mati disana?” bisiknya pilu.
“We know your limit. Kau lebih kuat dari dugaanmu, just give yourself a little faith, alright?”
Jungkook diam saja. Anak itu mengusap-usap bungkus cookies di tangannya, tidak berniat mengunyah apapun lagi.
“Bersabarlah padanya, birdie. Dia cuma anak hilang yang terperangkap di tubuh beruang.”
Jungkook melirik Jean, tidak mengerti.
“Sedangkan kau— kau anak hilang yang terperangkap di tubuh kenari. So small. So petite,” suara Jean jadi lebih lembut. “And so noisy! Kau ambil semua jatah bicara Arthur karena Arthur jarang menggunakannya. You chirp! And chirp! And chirp! Karena itu kalian pasangan yang serasi!”
Jungkook tertawa kecil sambil mengerutkan kening, bingung harus menganggap itu ejekan atau pujian. Tapi aneh, ia senang mendengarnya. Baru kali ini seseorang mengatakan dirinya serasi dengan Arthur. Biasanya Martin dan Julien menatapnya dengan skeptis, seperti tidak yakin Jungkook sanggup meladeni Arthur.
“Are you done?”
Jungkook dan Jean berpaling ke arah pintu, wanita berjas putih itu datang lagi. Kakak tiri Arthur.
“Let the husband met the wife, Jean. Come on.”
“I’m not wife!” Jungkook berseru, tidak terima disebut istri.
“Shut it, Angel.” Arthur ikut-ikutan jengkel.
“Come on!”
Jungkook membuka mulutnya, harusnya bisa lebih tegas dalam meminta Jean tetap berada disana. Karena ketika ia hanya berdua dengan Arthur disana, bibirnya jadi kelu.
“Kau tidak menolongku disana,” Jungkook langsung menodong begitu Arthur mengambil kursi Jean, matanya menatap benci selagi mengikuti gerak-gerik Arthur.
Arthur menghela napas berat.
“Aku menolongmu dengan tidak menolongmu,” ujarnya sembari meletakkan tangan di atas ranjang Jungkook. Pria itu berusaha meraih telapak tangan Jungkook, ingin melihat lebih dekat jemari lentik yang sudah dirusaknya hari ini.
“Jangan pegang-pegang! Aku masih marah!” Jungkook menampar tangan besar Arthur sambil terisak-isak, teringat lagi tatapan datar pria itu saat ia dipukuli di tengah arena duel. Sandiwara atau tidak, sungguhan atau tidak, karena ada cartel lain yang menonton atau tidak, Arthur tetap duduk diam di singgasana besarnya menonton penderitaan Jungkook.
“Kau tidak menolongku, Arthur…”
“Tsk!” Arthur mengerang, dengan jengah pria itu berdiri. Kursi yang didudukinya membanting jungkir balik, Jungkook sampai berjengit ketakutan melihat respon kasar pria itu. Tapi saat dilihatnya Arthur bermaksud pergi, anak itu memekik histeris. Jauh lebih takut ditingalkan daripada menghadapi amarah Arthur.
“KAU MAU PERGI?! SETELAH SEMUA INI???”
Damn it. Arthur langsung berhenti. Ia berpaling pada Jungkook dengan kaku. Dalam hati, pria itu berdebat dengan dirinya sendiri, untuk tetap tinggal disana meladeni drama remaja ini atau pergi saja sebelum ia merusak sesuatu. Bukan tidak mungkin ia refleks membalik ranjang tempat Jungkook berbaring hanya demi menghindari omelan beruntun anak itu.
“STAY!” Jungkook memukul kasur di sisinya, tapi langsung meringis memegangi tangan. “Aduh!” rintihnya.
Setelah selesai menjerit-jerit, baru anak itu sadar wajahnya juga sakit. Jungkook meringis memegangi pinggir bibirnya. Digunakan untuk bicara pun bibirnya masih sakit, apalagi setelah berteriak tadi. Baru disesalinya sekarang saat otot luka di bibirnya berkedut-kedut menyakitkan.
Melihat ekspresi kesakitan dan airmata berlinangan anak itu, agak terpaksa Arthur memutar balik langkahnya, mengembalikan kursi ke posisi semula dan duduk lagi disana. Ia memaksa menarik tangan Jungkook kali ini, memperhatikan sendi-sendi jari pucat dan lentik itu dengan seksama.
Digerak-gerakannya jari-jari itu, terlihat masih seluwes dan senormal biasa. Ada begitu banyak memar dan luka. Tapi tidak serius. Jungkook mengaduh-aduh saat Arthur menggerakkan melakukannya, tapi tidak melawan, tidak juga menampik tangannya lagi.
Entah darimana datangnya bisikan itu, Arthur tanpa sengaja mengangkat tangan Jungkook dan mengecupnya. Pria raksasa itu baru sadar melakukannya saat omelan Jungkook berhenti dan kini anak itu menatapnya dengan terkesima. Matanya yang basah berkedip-kedip bingung.
Cepat-cepat Arthur menurunkan tangan anak itu dan kembali memasang wajah kakunya.
“Aduh. Bibirku juga sakit, Arthur.”
Arthur mendengus, hampir tertawa.
“You want a kiss there too?”
Jungkook mengangguk-angguk dengan tampang sedihnya. Arthur tidak kuat lagi menahan diri, ditariknya tengkuk anak itu dan diciumnya pinggir bibir Jungkook lembut. Lebih sekedar menempel dibanding kecupan mereka biasanya. Terasa aroma alkohol dan antiseptik olehnya. Tapi merangkul Jungkook seerat ini dengan satu tangannya, Arthur sadar ia menyukai posisi ini.
Dikecupnya dagu kiri Jungkook sekali lagi.
“Jangan pergi! Diam disini dengarkan aku menangis!” tuntut anak itu.
“Fuck?“
“You hurt me, Arthur!” Jungkook melanjutkan curahan hatinya. Meski tidak sambil berteriak seperti tadi, airmatanya yang tidak pernah terkuras itu mengalir lagi.
Arthur tidak tahu mencoba menjalin hubungan asmara lagi akan jadi serumit ini. Kalau bisa dilepasnya pasti sudah dilakukannya sejak lama, demi kebaikan Jeon Jungkook sendiri. Tapi ia sudah menyeret Jungkook sejauh ini, sudah terlambat untuk menghentaknya pergi. Beberapa cartel lawan sudah menghela nama Jungkook, dan itu bukan hal baik. Mengusirnya pergi secara paksa juga akan menimbulkan kecurigaan.
“Mereka harus berpikir kau tidak lebih dari anggota cartel yang masih muda. Seperti Samuel. Seperti Jackson. Maybe next time, you need to deliver one or two package, just to let people think you’re a mere courier. Julien akan menemani.”
Jungkook sibuk mengusap tangan besar Arthur sambil bersandar di dada pria itu, meniti dengan telunjuknya gurat-gurat kasar itu, menghitungnya, membayangkan kejadian-kejadian yang berlalu setiap satu garis membekas disana.
Arthur membiarkannya, justru sengaja membuka telapak tangannya. Ia malah ikut-ikutan menekuri tangannya sendiri, mengikuti arah jari Jungkook yang tengah mengusap dan meniti kulitnya yang kasar.
Anak itu seperti tidak mendengarkan. Tapi setiap kata yang terucap dari bibir Arthur dihelanya dengan seksama, seperti bernapas, masuk ke paru-parunya. Lagipula pria itu memang sedikit bicara, tidak sulit mencari tahu apa maksud ucapannya. Yang lebih sulit justru saat Arthur memutuskan tidak mengatakan apapun sama sekali, apa yang diinginkannya? Apa yang dimaksudnya? Apa dia mengira Jungkook sanggup membaca pikirannya? Jungkook hanya ingin tahu, ia ingin mendengarkan.
“Dan kau menang kemarin, kiddo.” I’m so proud of you, birdie. Arthur menghela tubuh ramping itu lebih erat, dipeluknya pinggang kecil Jungkook dan dihirupnya rambut gelap anak itu.
“Apa— apa kau akan membiarkan kalau aku hampir mati dipukuli, Arthur?” Bagaimana kalau lawannya sekuat Damien? Jungkook mana mungkin menang. Dengan Samuel pun, Jungkook yakin sekali anak itu agak menahan diri. “Bagaimana kalau aku tidak bisa melawan?”
“I’ll kill them all first,” Arthur mencegkeram dagu anak itu, membuat Jungkook mendongak mengatapnya. Dikatupnya wajah ramping Jungkook dengan tangannya yang besar. Ia bicara dengan jarak begitu dekat di antara wajah mereka.
“Kepala manusia paling mudah dipecahkan saat dibanting ke dinding—sekuat tenaga. Leher juga mudah dipatahkan, hanya perlu diputar, melawan arah sendi dan tulang,”Arthur mengusap urat biru di leher bening anak itu. “Hal mudah, merebut nyawa orang,” suaranya jadi setengah berbisik.
Lebih sulit justru melindungi seseorang. Arthur merenung. Ia menurunkan tangannya dari leher Jungkook, tidak sanggup berlama-lama melihat urat terang anak itu terlihat tembus di bawah kulitnya yang porselen.
Jungkook menelan ludah, tidak ingin tersenyum. Tapi anak itu cukup puas mendengar jawaban Arthur.
“Kau tahu kau berdarah dari—bawah?”
Jungkook menggigit bibir, “Aku tahu sesuatu menyumpal di bawah sana.” Tapi aku malu bertanya.
“Angel bilang padaku darah ini… menstruasi pertamamu.”
Jungkook mengendikkan bahu. Sudah tidak aneh lagi hal-hal seperti ini terjadi padanya. Sejujurnya ia juga sudah lama berpikir dan menunggu, jika barangkali ia akan mengalami menstruasi, layaknya remaja wanita di luar sana. Tapi 18 tahun berlalu… Kenapa sekarang?
“Already told you I’m a freak. Apa kau sudah berniat meninggalkanku sekarang?“
“You have so little faith on me, aren’t you?”
Can’t help it. Jungkook menggigit bibir. Ia jauh lebih sering dibiarkan tidak mengerti daripada diberi penjelasan seperti ini. Malam ini pun baginya tidak cukup menjelaskan kelakuan jahat Arthur kemarin.
Jadi benar-benar sudah berlalu sehari setelah duel itu? Jungkook seperti masih bisa merasakan sisa bogem Samuel di wajahnya dan diperutnya.
“Kata Bibel, kita tidak boleh berhubungan seks selama vagina-ku berdarah. Itu kegiatan berdosa.”
“Sure. Aku bisa tunggu.”
“Jangan pergi cari pelarian.”
Arthur mendengus, ingin tertawa. Tapi buru-buru ia setuju sebelum Jungkook membuka mulutnya untuk mengomel. “Sure.”
“Arthur…”
“Hmmm.”
“Apa ini artinya aku bisa punya anak sendiri?”
“Ya.”
Jungkook menggeliat, menggigit bibir, menahan senyum. Ada imajinasi aneh berkelebat dalam benaknya. Ia mendongak, memutir janggut Arthur, tidak peduli lagi wajahnya babak belur dan sebelah matanya agak sulit dibuka.
“Denganmu bisa?”
“Ya.”
“Kau mau buat satu denganku?”
“Tidak sekarang.”
Hati Jungkook mencelos. Setengah kecewa bercampur marah ia melepaskan diri dari Arthur.
“Pussy.”
“Ulangi?”
“Pu—ssy.”
“You rascal—” Arthur menarik Jungkook, anak itu tergelak, memberontak tapi tidak berhasil membebaskan diri. Arthur merangkulnya erat-erat lalu menggigit hidung bangirnya gemas.
“Still not gonna get you pregnant. Sekolahmu belum selesai.”
“Pelajar hamil tidak dilarang masuk sekolah.” Apalagi kalau hamil anak Arthur. Pikirnya sambil berseri-seri. Siapa yang berani melarangnya lewat?!
“Let’s have a baby!”
Arthur menatap anak itu seperti Jungkook baru saja meminta bulan diberikan untuknya.
“No,” sahutnya datar. “Stop this nonsense. I’ll get you something to eat.”
“Kau bisa suruh Julien. Tetap disini, Arthur!” Jungkook meremas jaket Arthur. Tangis anak itu seperti akan pecah lagi. Kalau ini orang lain, Arthur pasti sudah akan memaksanya menelan sebotol obat tidur— agar mati sekalian.
Tapi Jungkook…
Geez. Arthur tetap duduk di bangku itu, membiarkan Jungkook menggunakan lengan dan dadanya untuk bersandar. Jungkook memeluk tangan kiri Arthur, seperti takut pria itu akan pergi, gilanya posisi itu tetap bertahan sampai anak itu terlelap karena kelelahan.
“Berhenti menguntit, Angeline.” Arthur menegur tanpa berpaling, tahu wanita itu berdiri melongokkan wajah sejak beberapa detik lalu di pintu.
“Aww, can I take a picture of both of you?”
“NO!” seru Arthur mengangetkan Jungkook dalam tidurnya. Anak itu tersentak, hampir bangun.
Arthur buru-buru diam, menjaga gerakannya sampai Jungkook tidak menunjukkan tanda-tanda akan terjaga. Mata Jungkook mengerjap-ngerjap sebentar sebelum ia memejamkannya lagi, masih sembari memeluk tangan Arthur sepenuh hati.
Angeline jelas tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Sialnya wanita itu lupa mematikan flash ponselnya.
Bunyi deting dan kilau flash kamera membuat dirinya dan Arthur terkesiap kaget. Angeline sampai terbatuk-batuk demi menahan tawanya. Wanita itu cepat-cepat pergi sebelum Arthur dapat kesempatan membaringkan Jungkook dan mengejarnya keluar. Ia harus mengirim foto itu pada Jean, sebelum Arthur membunuhnya.
.
.
.
.
.
.
Mereka akan mulai ekspansi bulan depan. Marco dan bawahannya. Mulai dari Seoul.
Arthur membaca pesan itu tanpa menyentuh tabletnya. Tidak berniat membalas. Benda besar itu diletakkan begitu saja di atas meja sementara ia berkutat dengan buku tulisnya. Buku itu sudah jadi perhatiannya sejak tiga bulan lalu. Ia menyusun banyak hal disana, angka-angka sederhana yang mungkin akan diartikan selayaknya buku tugas anak sekolah dasar. Belum ada yang menaruh curiga, mungkin karena Arthur mengambil kesempatan menyentuh buku sederhana ini saat tidak ada siapapun kecuali Jungkook. Anak itu sendiri tidak berniat bertanya, tidak tertarik sama sekali dan dipikirnya benda itu mungkin hanya oret-oretan tidak berguna lelaki tua seperti Arthur yang lebih suka menggunakan kertas lawas ketimbang catatan elektronik.
David sudah memulai ekspansinya. Entah akan berhasil atau tidak, Arthur senang Marco menawarkan diri untuk dijadikan pion pertama.
D.E.A tidak mengendus sama sekali. Mereka tidak tahu kita berencana menyentuh market Asia Timur. Biar saja FBI mengendus lebih dalam ke Amerika Selatan, sementara kita bergerak ke arah lain.
Begitu percaya diri Marco mengungkapkan rencananya beberapa bulan lalu. Arthur hanya mendengarkan, tidak berniat ikut campur. Kenapa D.E.A harus bilang-bilang jikapun seandainya organisasi pemerintah itu berhasil mengendus gerakan mereka? Sudah tentu FBI tidak akan menunjukkan diri sebelum datang waktu tepat untuk menyerang, mereka punya hidung berbahaya disana— Seorang teman lamanya. Arthur sudah sangat berhati-hati agar tidak bersimpangan lagi dengan orang itu.
Arthur juga menyiapkan dirinya sejak jauh-jauh hari. Jika sesuatu terjadi pada Marco, sesuatu di luar rencana mereka… Mata David akan beralih padanya.
Kau penyokongku yang terkuat.
Biar bagaimanapun David sudah menumpahkan banyak biaya untuk rencana ekspansi ini. Pria itu akan memperlakukannya seperti pion terakhir. Tapi sudah cukup ia mengorbankan orang-orangnya demi kehendak David. Jika pria itu tidak bisa ditolak, Arthur sudah berniat memberontak. Membelot jika perlu. Firasatnya membisikkan hal tidak baik sejak saat pertama David menyampaikan niat serakahnya ini.
David boleh terjun sendiri ke jurang. Arthur tidak berniat mengikuti.
“Arthur?”
Lamunan Arthur terusik. Jungkook berdiri di pintu kamarnya, selimut mengelilingi bahu. Wajahnya agak pucat, mungkin demam? Darahnya belum berhenti menetes? Apapun itu istilahnya. Hanya dua hari berselang sejak mereka kembali dari klinik Angeline. Tapi Arthur sedang terlalu serius untuk memusingkan anak itu dan rengekannya.
“I don’t feel good, Arthur.”
“Buat teh hangat. Angeline meninggalkan painkiller. Urus dirimu sendiri. Aku sibuk. “
Jungkook merengek, tidak senang diabaikan. Anak itu berjalan menghentak-hentak dan membuang buku di tangan Arthur ke samping. Ia memanjat ke pangkuan Arthur dan langsung menyandarkan diri di tubuh pria itu.
“Jeon.” Suara Arthur mengancam. Pria itu menahan napas agar amarahnya tidak menggelegar keluar. Tubuh Jungkook memang terasa panas di depan dadanya, itu juga salah satu alasan yang membuatnya tidak sanggup melampiaskan emosinya.
Arthur menghela napas, terpaksa membiarkan Jungkook berbaring disana. Diambilnya lagi buku tulisnya dan kembali ia berkutat disana. Kini Arthur harus menulis sambil melingkarkan tangannya di sekeliling tubuh anak itu.
“Aku tidak paham.” Jungkook tiba-tiba bicara, suaranya pelan.
Arthur mendengar, tapi mengabaikan.
“Malam itu kau bilang padaku, jangan terluka. Tapi kau mengaduku seperti ayam tarung.”
Arthur mendengus, tubuh Jungkook bergerak di depannya karena pria itu menghela napas kuat-kuat. Agak kasar ia menulis di bukunya. Angka-angka, koordinat-koordinat, sandi-sandi.
Kemarin anjing dan sekarang ayam tarung? Seingatku kita sudah bahas ini di klinik Angeline? Arthur hanya bisa menggeleng-geleng. Angeline sudah mengingatkannya ini akan terjadi, period syndrome yang akan meningkatkan drama biasa Jungkook jadi jauh lebih parah lagi.
“Arthur!” Jungkook makin jengkel, anak itu mendongak menatap Arthur, meminta perhatian.
“Apa harus sekali dibahas sekarang?”
Kalau tidak dipancing tidak akan pernah kau bahas. Jungkook memberengut.
“Pindah ke kamarmu sekarang, Jeon.”
“Aku mau disini!”
“Kalau begitu diam.”
Jungkook menggigit bibir, sudah ingin menyela lagi tapi wajah kaku Arthur tampak begitu seram saat itu. Ia menelan sejuta keinginan untuk memaki pria itu dengan membuang muka. Daripada disuruh pergi, anak itu memilih bungkam, memejamkan matanya menikmati sendiri pusing kepala dan lelah di tubuhnya.
Degup jantung Arthur membantunya tenang, sekalipun sakit di tubuhnya tidak langsung hilang. Jungkook memijat perutnya pelan-pelan, ingin rasa kelu dan mual disana segera pergi.
Arthur sadar pada kelakuan anak itu. Ia juga merasakan gerakan tangan Jungkook diantara tubuh mereka. Sampai anak itu berhenti melakukannya dan napasnya berhembus pelan. Bagus sekali. Anak itu tidur di depan dadanya seakan Arthur dan sofa sudah bersatu jadi satu benda yang sama.
Arthur selesai berpikir dengan buku kecilnya. Dilemparnya benda itu ke atas meja. Lalu pria itu merenung, menatap layar TV yang tidak menyala. Sudah lama Arthur tidak pergi jauh dari rumahnya, teringat ia memelihara burung kecil ini. Tapi dalam waktu dekat, ia harus mengecek gudang di utara. David akan membutuhkan hasil gudangnya. Damn. Menyuruh Marco dan menggunakan produk Arthur. Itu cara kotor David untuk melibatkan semua orang.
Arthur berniat mengantarkan benda itu. Tidak, David tidak boleh menjemput produknya kemari. Arthur tidak ingin mengambil resiko David melihat Jungkook. Walau ia sangat yakin pria itu sudah mendengar desas-desus soal anak ini.
Arthur menyapu helaian rambut Jungkook yang menjuntai di pelipisnya. Ada rasa tidak relanya membayangkan David memiliki foto Jungkook, tapi David jelas memilikinya, meski mungkin tidak punya kepastian soal siapa Jeon Jungkook sebenarnya. Ia harus membuat anak ini mengantarkan paket dalam waktu dekat, dan memastikan mata-mata loyal David melihat. Apapun akan dilakukannya agar David berpikir Jungkook bukan siapa-siapa.
Arthur mengusap pipi bening Jungkook, kulit wajah anak itu terasa kontras di pangkal jarinya yang kasar. Kulit yang begitu lembut. David tidak akan segan-segan meminta kalau pria itu sampai melihat anak ini. Dan Arthur… Arthur berhak menolak, kalau saja ia punya nyali mengakui siapa Jungkook sebenarnya. David tidak mungkin memaksa. Tapi kemudian David akan tahu—
Anak ini kelemahannya.
Saat itu juga David punya senjata untuk membuat Arthur bertekuk lutut, selayaknya anjing yang setia. Seperti Marco, seperti Benjamin, seperti Santiago, Matías, dan belasan pimpinan cartel besar di seluruh penjuru Amerika.
Arthur membungkuk, mengecup pipi itu dengan tidak rela. Rasa posesifnya menjalar membabi-buta, bercampur dengan ketakutan aneh yang meluap memenuhi dadanya. Arthur mengecup tiap jengkal wajah Jungkook, merasakan panas kulit anak itu di bawah bibirnya.
Jungkook menggeliat dan menguap, meremas kaus Arthur sambil mengerang tidak senang. Ia sudah bermimpi dan dibebaskan dari rasa sakitnya untuk sebentar saja, sampai Arthur dan ciumannya yang kasar berbulu itu membangunkannya.
“Aku sudah tertidur, kakek.“
“Tidak ada yang melarangmu tidur.”
“Janggutmu mengganggu!”
You usually like it? Arthur tersinggung. Tapi bahasa yang disampaikannya berbeda, “Kau boleh tidur di kamar kalau begitu.”
Jungkook menatapnya sambil cemberut, tapi tidak menjawab lagi.
“Alright, aku bisa kerja di meja dapur.” Arthur sudah bermaksud menurunkan Jungkook ke sofa saat anak itu buru-buru memeluknya.
“No! Stay! Do it again! I don’t care. I feel safe here, don’t go.”
Arthur mengecup kening itu, sesuai keinginan Jungkook. Dipeluknya tubuh itu agak longgar, agar Jungkook tetap nyaman untuk kembali terlelap. Arthur menyesap aroma rambut Jungkook, mata hazelnya berpendar waspada.
Kau merasa aman disini saat kenyataannya aku yang memasang tali gantung ke lehermu.
Betapa ironis.
.
.
.
.
Your votes and comments are so precious to me it help me update faster
❤❤❤❤
Sekali-kali yang aku pajang foto bening dedek.
Biar ga horror mulu kalian liat foto om tiap aku apdet
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Braven – 14. Credence
Author: Miinalee -
🔒 One Love 15-0 | 11
Author: _baepsae95 -
🔒 Code Name : V (NC)
Author: _baepsae95 -
🔒 Dunia Lain: Prolog
Author: Ipul RS
Reviews
There are no reviews yet.