12. An Eye for an Eye
Padahal ini jenis pekerjaan yang ditekuni Wayne, yang juga bermaksud diikutinya, berperang melawan monster. Tapi disini di situasi yang lebih nyata, Jeon menyadari ia tidak punya kualitas untuk jadi superhero. Dan mungkin dirinya akan mati disini, “Save the baby, save the baby!” pekiknya panik.
Jeon tidak akan minta maaf. Sekalipun Arthur menolak bersuara sepanjang perjalanan pulang mereka. Ada sekelebat mual datang dan pergi, mendorong-dorong kerongkongannya memohon ditumpahkan, tapi akan ditelannya paksa sambil menatap keluar jendela. Tidak sudi dan tidak berani memohon, ‘Arthur, berhenti sebentar.’
Jeon tahu, dengan akal sehat dan seluruh kesadarannya, kalau ini harus dibagi jadi rata, sudah pasti salahnya 70% lebih besar. Mereka menikmati dua minggu kebersamaan di rumah mungil Arthur. Sama-sama setuju untuk bermain peran, sekalipun sejak awal Jeon menyadari bahwa Arthur punya sesuatu untuknya. Bukan sesuatu yang dalam, tapi tentu akan menggerus makin berbekas tiap kali Jeon bersikap keterlaluan saat mendalami perannya sebagai istri.
Sekali sepanjang umur hidupnya, Jeon merasa bersalah.
Ia menyakiti banyak pria, meninggalkan wanita. Selama ini hal itu memuaskan hatinya, melihat ia bisa melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Bruce padanya.
Sekilas Jeon menatap pantulan wajah Arthur di spion, raut datar menatap lurus ke arah jalan. Itu ekspresi sama seperti yang dilihatnya saat mereka pertama berjumpa. Ekspresi seorang yang asing baginya.
Dua minggu lalu saat mobil ini melaju ke arah berlawanan, ada saja hal yang dikomentari Arthur demi membuatnya marah. Sekarang, mulut pria itu terkatup. Radio usang di mobil itu sudah mati sejak beberapa hari yang lalu, jadi kesunyian itu makin menyakitinya.
Berhenti mengabaikan aku, Arthur!
Jeritan itu hanya terlontar dalam benaknya. Sampai mobil tua Arthur mencapai halaman Wayne Manor.
.
.
.
Saat Jeon sudah mulai terbiasa, jalan mondar-mandir sambil mengunyah sesuatu, menggenggam piring di tangan kanannya dan mengusap perut dengan tangan kirinya… Orang-orang di Wayne Manor justru belum siap menyaksikan itu. Wayne masih menghindarinya seharian meskipun Jeon mencuri-curi kesempatan untuk bertemu dengannya. Alfred dan Victor melirik ganjil tiap kali memergoki Jeon mengusap perutnya. Dan Barry berpikir komentarnya akan memancing emosi Jeon, kadang-kadang pemuda itu ingin suasana riuh juga. Dikelilingi orang-orang yang hobi diam bisa membosankan.
Tapi Barry yakin sekali, sesuatu terjadi setelah dua minggu Arthur menculik Jeon. Santai sekali Jeon merespon komentarnya soal porsi makanan di piring itu, senyumnya manis saat Jeon berkata,
“Aku makan buat dua orang, nyam nyam,” Jeon mengecap-ngecap agak kuat, makin disengaja menyodorkan makanan di piringnya pada Barry. “Kau mau? Jangan banyak-banyak, anakku butuh nutrisi.”
Dalam sekali kerutan membentuk di kening Wayne saat tanpa sengaja pria itu mendengar komentar Jeon. Wayne berlalu masuk lima menit ke ruang pribadinya. Waktu singkat itu digunakannya untuk mencoba menghubungi Diana. Wanita itu menghilang, bagai ditelan bumi. Sedangkan Wayne disini, menunggu tidak pasti setelah ratusan pencarian yang ditemukannya soal lampu itu. Semua membawanya pada jalan buntu.
Sonografi pertama setelah Jeon kembali tidak diiringi dengan jeritan frustasi dan tampang moody. Di atas ranjang bedah itu setelah Alfred membantunya membersihkan perut, Jeon duduk termangu menatap potret hitam putih yang dicetak Alfred untuknya. Hasil scan-nya setelah lewat berminggu-minggu. Seongok sosok kini tampak begitu sempurna, meringkuk di sana lengkap dengan seluruh bagian tubuhnya.
“Dia punya kaki… dan tangan,” Jeon mengusap potret itu, lalu mendengus. Ada sekelebat geli melintas di dadanya, yang membuatnya harus menggigit bibir menahan senyum. “Dia seperti bayi sungguhan.”
“Dia memang bayi sungguhan.”
“Brian.”
“Brian?” Alfred menatapnya, sementara Jeon belum ingin mengangkat wajahnya dari potret itu.
“Namanya Brian.”
Barry juga ada disana, menonton sambil ternganga-nganga.
“You creep me out now, man. Tiga minggu lalu kau masih teriak-teriak ingin perutmu dibelah dan makhluk itu dikeluarkan.”
“Ya. Tiga minggu waktu yang cukup lama untuk mengubah pikiran seseorang,” Jeon mengendikkan bahunya. “Alfred bisa cetak yang lebih kecil untukku? Yang muat masuk dompet? Biar yang ini kupasang di kulkas. Kalau Master Wayne melihatnya sehari tiga kali dia pasti akan luluh juga.”
“Atau dia bakal beli kulkas baru.”
Jeon menjulurkan lidahnya, sambil melenggang pergi keluar ruangan.
.
.
.
Hari itu, tujuh usahanya untuk bicara dengan Wayne berakhir gagal. Biasanya Jeon akan tetap mencoba, sampai ke-tiga puluh, sampai ke-empat puluh, sampai jam berdeting menunjukkan pukul 12 malam dan waktu tidur datang. Keesokan harinya ia akan mencoba. Karena Wayne adalah seluruh dunianya, Jeon bersedia melakukan apapun untuknya.
Tapi hari itu, setelah kali ketujuh tidak diladeni oleh Wayne. Pemuda itu hanya mendesah, berbalik badan dan sibuk sendiri dengan sesuatu di ponselnya. Jeon akan mulai mencari-cari artikel tentang bayi, memilah-milah pakaian dan peralatan mungil, menonton video ‘babies for dummy’. Lalu pemuda itu bakal tertawa-tawa sendiri, membayangkan akan segera datang hari dimana akhirnya ia tidak akan sendiri. Hari dimana ia punya pilihan lain selain Wayne.
“Aku tidak menyuruhmu berhenti, tapi juga bisa pelan sedikit?” Jeon bicara, satu tangannya di perut dan matanya menatap ponsel.
Tapi justru Barry yang menyahut, duduk di sebrang sofa sambil menatapnya tidak enak. “Kau bicara padaku? Ingin kupelankan sedikit volume TVnya?”
“Ah, maaf. Aku bicara pada Brian.”
“Sekarang dia punya nama?” Victor yang baru datang bertanya, tidak sanggup menahan keingintahuan itu meski setengah otak mesinnya sudah melarang.
“Yep. Brian Jeon.”
“Bukan Brian Wayne?”
“Bagusnya dia pakai nama belakang orang yang jelas terima dia. Better safe than sorry.”
“Brian Kent kalau begitu? Atau Brian Curry. Kenapa kau tidak bisa pilih nama yang bagus sedikit, semua tidak cocok dipasangkan dengan Kent, Wayne, dan Curry.“
“Sengaja,” Jeon tertawa, hampir tersedak di tengah tegukan susu. “Omong-omong soal Kent, kemana orang itu? Dia datang buat mengaku-ngaku sudah menghamiliku sekarang entah hidungnya ada dimana.”
“Seminggu yang lalu dia datang. Kita bakal punya markas baru di tengah Gotham, kau sudah tahu?”
Jeon melirik, “Ada kursi untukku?”
Barry mengerjap-ngerjap, langsung sadar ia salah bicara. “Mungkin?”
Jeon hanya terkekeh, “Tak apa, Barry. Aku tahu aku bukan siapa-siapa. Tapi boleh pesan satu kursi untuk Brian? Dia supe juga. Sesuai kualifikasi, kan? Mata laser dan tenaga ekstra? Taruh kursinya dekat dari Arthur, dia lebih nurut pada Arthur dibanding padaku. Ya, kan?”
Arthur tidak merespon. Malah mendengar Jeon menyebut namanya, pria itu memutuskan untuk berbalik dan melenggang pergi.
Jeon tidak tahan lagi. Tiga hari didiamkan oleh Wayne mungkin masih bisa diatasinya. Wayne mendiamkannya bertahun-tahun, meladeni hal itu seakan sudah mendarah dalam dagingnya. Tapi saat sikap dan situasi yang sama datang dari Arthur, Jeon harus menahan hangat mampir di matanya dan mencegah agar tidak tersedak oleh sesak napasnya sendiri. Jeon tidak menyukainya. Dan kerinduan akan sikap menjengkelkan Arthur kadang datang mengusiknya.
Pemuda itu bangun, jalan cepat namun hati-hati, menyusul Arthur yang keluar ke arah taman di sayap kiri. Pria itu pasti menyadari kehadirannya, tapi Arthur bersikap acuh. Dipungutnya kapak yang tergeletak di tanah dan dilanjutkannya kegiatan membelah kayu yang entah akan digunakan untuk apa. Mungkin itu caranya untuk melampiaskan emosi. Keras sekali suara hantaman kapak tajam menembus pinus.
Jeon berjengit mendengarnya.
“Kau sungguhan marah padaku?”
Arthur hanya meliriknya. Tidak langsung menjawab sampai Jeon menyerukan namanya,
“Arthur!”
“Kenapa aku harus marah?”
“Kalau begitu berhenti mengabaikanku!”
Arthur hanya mendengus,
“Arthur!” Jeon tersedak, bersiap maju tidak peduli Arthur menggenggam kapak di tangan. Setengah langkahnya terputus, sesuatu menyentak dalam perutnya. Bukan dengan cara biasa, kali ini bercampur dengan perih yang membuatnya tersandung dan jatuh terduduk. “Ahn!”
Arthur terkejut, sontak menjatuhkan kapak di tangannya dan berlutut di sisi Jeon. Dipapahnya pemuda itu pelan-pelan, yang merintih memegangi perut. Arthur ikut mengusap
“Kenapa?”
Jeon menggeleng bingung, menatap perutnya lalu menatap Arthur. Teringat lagi olehnya ucapan Arthur tempo hari. Akan datang waktunya bayi itu mencari jalan keluarnya sendiri. Bulu kuduknya meremang. Tapi secepat datangnya, cepat pula sakit itu menghilang.
“Let’s go back inside.”
“No!” Jeon meremas tangan besar Arthur, mata gelapnya yang besar bulat bergetar. “Let’s stay here for a while, just us. Jangan abaikan aku lagi, Arthur.”
“Kita masuk ke dalam.” Arthur sudah memberi aba-aba akan menggendongnya, tapi Jeon memeluk tangannya, menatapnya
“I’m sorry,” bisiknya pelan, tulus. Hangat di matanya sudah tidak bisa dibendung lagi, dua tetes meleleh di pipinya, menggantung di dagu. “Aku tidak bisa menjanjikan apapun yang terlalu serius, Arthur. Wayne still my whole world. But I like you, I really do. Please don’t leave.“
“Aku tidak akan pergi, tapi kau perlu memilih.“
Jeon menggeleng lemah dan Arthur menatapnya kecewa. Pria itu bermaksud bangun dan setengah ketakutan Jeon memeluk lengan dan meremas kemejanya.
“Aku tidak akan memaksamu memilih, kid. Tapi aku juga bukan opsi cadangan, so I take ‘no’ as a ‘no’.”
“Beri aku waktu, dammit! Wayne tujuan hidupku selama delapan belas tahun, kau berharap aku memutuskan dalam waktu seminggu? Kau gila?”
“Kau menyedihkan. He doesn’t want you. Kalau aku jadi kau, aku bakal pergi sejauh-jauhnya. Bukan tinggal disini bertingkah bagai anak anjing yang terluka. Kau punya kesempatan untuk menyelamatkan hatimu dan kau tidak mengambilnya. Aku tidak mau jadi dirimu.”
Jeon meremas bahu pria itu. “Stay until I’m sure.”
“No.”
Tangisnya pecah. Betapa memalukan. Terpekur menangis di atas rumput basah di taman Wayne, menggenggam lengan besar Arthur dengan kedua tangannya sendiri.
“At least stay for my kid if I die.”
Arthur tidak menjawab habis itu. Kedatangan Wayne dan Diana menyela drama mereka. Dua orang itu menghambur keluar terburu-buru.
Jeon terpekur memeluk tangan Arthur dan Arthur setengah berjongkok mencoba bangkit sambil melepaskan cengkraman Jeon. Kalaupun penampakan itu mengejutkan keduanya, Bruce dan Diana tidak mengatakan apa-apa.
.
.
.
Diana berlutut di depan meja, dua tangannya mengatup lampu emas yang jadi fokus mereka selama berminggu-minggu terakhir. Ada kertas-kertas dengan gurat huruf-huruf asing, berserakan di atas meja. Terabaikan.
Raut wanita itu tampak tegang, kelebat di matanya menunjukkan ketakutannya, berasal dari memori masa lalu yang mungkin belum berhasil dikuburnya sampai sekarang.
“Aku pernah bertemu benda yang sama, dengan nama dan bentuk yang berbeda. The Dreamstone. Benda itu memberi ilusi, menyanggupi permintaan apapun dengan bayaran sepandan. Satu permintaanmu harus dibayar dengan hal yang paling berharga. Dan benda ini… punya kendali yang sama jahatnya. Tapi yang ini bekerja dengan lebih sederhana. An eye for an eye, dia akan meminta hal yang sama sebagai ganti,” katanya sambil melirik Jeon.
“Nyawa baru harus dibayar…” Diana menelan ludah. “Dengan nyawa lainnya.”
“Kita butuh upacara kurban? Dengan kerbau bisa?” Jeon menggigit-gigit kukunya gugup.
“Kemungkinan besar nyawamu yang harus jadi bayaran. Dia akan minta bayaran sama dan sepadan.“
Jeon mendelik, berusaha mencerna ucapan itu. Lalu pemuda itu mengerjap-ngerjap. Posisi duduknya tidak berubah, masih bersandar nyaman di sofa. Lalu pelan ia menjawab, “Oke. Jadi nyawaku sepadan dengan bayi supe? Cool.” katanya.
Diana merangkak padanya, membawa lampu itu dan meletakkannya di atas pangkuan Jeon. Lembut wanita itu membimbing Jeon untuk mengatup benda itu.
“Kita harus mencoba lagi, kau harus lebih sungguh-sungguh saat ini. Seperti kau sungguh-sungguh meminta pada lampu ini, untuk membantu Wayne dengan cara apapun. Bayangkan hal yang serupa saat kau meminta waktu itu, lampu ini harus merasakannya, kenapa kau menginginkan penangguhan. Beri dia alasan kuat dan tulus.“
Jeon memegangi benda itu setengah enggan. “U-um… Kubilang oke, artinya aku berkenan. Aku mau bayi ini hidup.”
“KAU GILA?” Wayne yang menonton sejak tadi berseru berang. Pria itu mengambil alih posisi Diana dan memaksa Jeon meremas lampu itu dengan lebih kencang. “Pegang lampu itu dan minta dengan sungguh-sungguh. Kau tidak serius saat melakukan ini tiga minggu lalu, so do it right this time.” Sebelum makhluk ini membunuhmu.
Hampir gemetar Bruce membayangkannya. Kutukan yang bertahun-tahun dihindarinya, sungguhan datang dan menagih nyawa baru. Berkali-kali menyaksikan hal yang sama tanpa mampu mencegahnya, tidak akan dibiarkannya hal ini terulang lagi. Meski harus dipaksanya Jeon Jungkook, meskipun harus disakitinya pemuda ini. Lebih baik daripada menyaksikannya mati.
Ukuran tangan mereka berbanding kontras. Bruce dengan kekuatan penuh, menekan tangan Jeon, menghimpitnya, meremasnya hingga tidak ada ruang tersisa di antara lampu itu, telapak tangan Jeon, dan telapak tangannya sendiri. “Do it now.”
“Kubilang…” Jeon mendesis, “I want him alive,” Jeon hampir menjerit saat menarik tangannya paksa dari cengkraman Bruce. “Even if it cost my life,” ujarnya mutlak.
Hampir tumpah lagi tangisnya disana. Tapi bukan hanya Arthur yang menyaksikan, jadi mati-matian Jeon menahan emosinya.
Pemuda itu berdiri, santai menepuk-nepuk pahanya meski tidak ada debu disana. “Good day everyone, see you at diner time.”
Senyum terakhirnya kecut, Jeon sempat melambaikan tangan sebelum melenggang pergi.
.
.
.
.
.
Kalo dibikin sad ending, apakah aku akan dibegal rakyat ArtKook dan BruceKook?
Sogok dulu gak?
.
.
.
.
.
.
.
Jeon bisa melihat betapa semua orang berusaha. Kerja sama yang sungguh luar biasa, tapi mengingat apa tujuan mereka, Jeon mengerang jengkel.
Baru pagi ini Diana menanyakan lagi, dengan cara lebih halus dibanding semua orang, bila dirinya benar-benar yakin dan tidak ingin menarik ucapannya kembali. Jeon masih bisa meladeni wanita itu dengan lebih ramah. Menolak, tentu saja.
Victor yang biasanya jarang bicara, tiba-tiba memberinya 1001 fakta biologi yang mungkin akan terjadi padanya menjelang kematian. Nanti, saat bayi ini memutuskan untuk keluar.
Tubuhmu bukan dibuat untuk menampung manusia lainnya, otot-otot akan meregang dan tulang-tulang akan retak demi memberi ruang. Tapi kau bisa mencegahnya sekarang.
Dan Barry jadi korban pertama yang dibentaknya. Setelah pria itu mengingatkan betapa dirinya ngotot ingin membunuh makhluk ini beberapa minggu sebelumnya.
“Aku berubah pikiran sekarang, so what?!” pekiknya sewot, sambil berlalu keluar ruangan dan sembunyi di kamarnya seharian.
Hanya Arthur yang tampaknya memahami apa yang diinginkan Jeon dan tahu pemuda itu tidak ingin diganggu. Terutama soal bayi dan soal menarik kembali ucapannya sambil memegang lampu. Arthur tidak memintanya memegangi lampu sambil memohon, tapi pria itu juga sudah berhenti membahas persoalan bayi, tidak sama sekali menyentuh perutnya lagi, atau bahkan memulai obrolan dengannya… yang sejujurnya, membuat Jeon merasa sedikit kehilangan.
Dan di atas segalanya, cara Bruce yang paling mengguncang emosinya.
“Kau memintaku menyelamatkan hidupmu tiga minggu lalu. Kuhabiskan waktu untuk mendapatkan jawaban, sekarang setelah kudapatkan caranya kau memutuskan bunuh diri? Pegang benda ini dan ulangi doamu waktu itu! Don’t be a brat! Cabut permintaan itu!”
Jeon memekik, sungguhan menjerit. Separuh karena kesakitan dan separuh karena sakit hati. Ia menarik tangannya dari cengkraman paksa Bruce yang berusaha membuatnya memegangi lampu emas itu.
“Belasan tahun aku tidak berguna, master Wayne. Sekarang saat aku bisa memberi sesuatu, kau tetap tidak bisa apresiasi aku sedikit saja?!”
“Aku tidak mau bantuanmu. Pegang. Benda. Ini. Ucapkan mantranya!“
“Bilang kau cinta padaku dan kau bersedia memberi kesempatan untukku, baru akan kupikirkan soal lampu.”
“Kau sinting.”
“Ya atau tidak?!”
“Tidak.”
Hampir tersedak Jeon oleh airmatanya yang ditahannya mati-matian. “See?! Aku cuma mengetesmu. Kau bilang iya pun, aku tidak mau menyentuh lampu itu lagi. Bayi ini milikku,” serunya ambil berdiri, tergopoh-gopoh menghindari Wayne.
Saat dilihatnya Wayne nyaris meraih tangannya, Jeon memekik ketakutan. Nyaris menghantam dinding karena tidak melihat jalan. Arthur harus ikut campur dan jadi tameng untuknya sebelum Bruce menyesali perbuatannya.
Pria itu merangkul Jeon dan memasang tangan di depan Bruce. Dan Jeon, yang sudah berada di ujung emosi, menolak disentuh siapa pun. Pemuda itu menghindar panik.
“Leave me alone!”
.
.
.
.
Di satu sembarang malam, Kent datang di hari ketiga setelah Jeon mengibarkan bendera perang pada siapapun yang berani membahas persoalan lampu. Pria itu tiba-tiba berdiri di luar balkon kamarnya. Jubahnya hitam gelap berkibar di belakang bahunya yang kekar dan besar. Pria itu mengenakan kostum yang khas merekat erat, kostum yang kerap dilihat Jeon di beberapa video dan pemberitaan televisi. Seluruh siluet megah proporsi tubuhnya saat berdiri tampak makin jelas lagi.
Kedatangannya menyela lamunan Jeon, yang sejak tadi hanya termenung menatap layar laptopnya membiarkan netflixnya menyala.
Jeon selalu mengabaikan pria ini dulu, tidak peduli betapa besar ketertarikan Bruce pada sosok ini. Tapi sekarang melihat Kent berdiri hanya tiga meter dari tempatnya duduk di atas ranjang, Jeon termegap. Mulutnya mengatup lalu menganga. Hendak berkomentar panjang tapi akhirnya yang keluar dari bibirnya hanya,
“Nice suite. Wow. Jadi dari situ sebutan Superman berasal?” ujarnya sambil menunjuk dada Kent.
“Ini bukan S, ini simbol keluargaku. Artinya harapan.”
Caranya yang amat serius itu saat bicara membuat Jeon terkekeh geli, terhibur sedikit setelah berhari-hari mengendap di kamar ini. Dan teringat lagi olehnya, cara lucu pria ini yang memaksa mengakui bayinya. Tergopoh-gopoh Jeon turun dari ranjangnya menghampiri Kent.
“Oh, Mr. Kent… Kau masih ingat beberapa minggu lalu kau bilang bayi ini anakmu? Kau belum berubah pikiran kan?”
“It is mine… And not mine,” kening pria itu mengernyit sambil memandang lama pada perut Jeon, tampak seperti tengah menerawang. “Jadi Bruce ingin dunia punya Superman, dan kau memohon pada lampu itu untuk mewujudkan keinginannya. Aku tidak tahu harus berkomentar apa. Ada baiknya kau mencabut permintaan itu.”
Jeon mengerang tidak percaya, pria yang paling ngotot mengakui bayi ini sebagai darah dagingnya, kini ikut memaksanya melenyapkan bayi ini. “Not you.”
“Sesuatu yang diawali dengan cara begini mungkin akan berakhir nahas.”
Jeon hampir membentak pria itu. Tapi pemuda itu berbalik, sebelum amarahnya naik ke mata.
“Pergi. Kumohon.”
.
.
.
.
.
Hari selanjutnya, Jeon memutuskan ia tidak akan bisa bertahan lebih lama disana.
Empat tahun dirinya menunggu agar diizinkan pulang ke Wayne Manor. Dan saat ini, Jeon akan melakukan apapun demi menghindari tempat ini. Mengindari orang-orang yang tiba-tiba meramaikan istana sepi itu.
Pagi tadi saat tidak seorangpun menyadari —kecuali mungkin, Victor—, Jeon membawa satu mobil dan angkat kaki dari tempat itu. Mungkin untuk sementara waktu baiknya ia tidak tinggal disana. Sampai bayinya lahir. Yang kemudian juga jadi tanda tanya besar. Bagaimana caranya? Akan lahir dari mana?
Pemuda itu membuka layar ponselnya, sembari menunggu agen apartemen meletakkan kunci di atas meja dan keluar dari unit barunya. Dan potret Bruce memenuhi layar itu, dalam balutan setelan formal dan wajah tanpa senyum. Mata gelap pria itu menatap balik padanya. Ada perih menyelinap bersama sesak, yang dihelanya begitu berat sembari memilah isi galerinya untuk mengganti tampilan layar itu.
Pria ini masih jadi dunianya. Jeon masih bersedia melakukan apapun untuknya. Tapi saat ini, hatinya seperti terbelah dua.
Aku juga akan melakukan apapun untukmu. Katanya sambil mengatup perut. Disentuhnya lembut. Dan saat gesturnya dibalas oleh tendangan halus. Pemuda itu tersenyum tipis.
“Ini rumah sementara kita sampai mereka berhenti bicara soal lampu,” ucapnya dengan tangan masih bertetengger di depan perut. Pemuda itu duduk di sofa, sebentar tersenyum, lalu termenung sendiri. Menatap layar hitam TV di sebrang ruangan.
Unit ini terlalu sederhana, dibanding apartemen yang ditawarkan Alfred demi mengusirnya dulu. Hanya dua kamar, satu dapur mungil, satu kamar mandi, dan ruang santai digabung dengan ruang makan. Cokelat perabotan beraroma tua, membuatnya teringat kembali pada rumah dua tingkat milik Arthur. Tapi pemandangan yang bisa dilihatnya di balik jendela adalah jalanan kumuh Gotham. Aroma yang terendus adalah sengak polusi dan suara yang terdengar olehnya adalah deru lalu lintas memekakkan telinga.
“Kupastikan masa depanmu aman. Kalau tidak dapat warisan Wayne, rumah Arthur juga nyaman untuk hidup,” katanya sambil menepuk-nepuk perut
Berapa ia rindu terbangun oleh suara lembut deburan ombak dan terlelap oleh angin laut di malam hari. Terpikir olehnya untuk mencuri-curi berkunjung ke rumah Arthur lagi saat pria itu tidak menyadari. Apa Arthur akan marah? Atau baiknya dihubunginya saja pria itu? Hanya Arthur yang tidak menagih untuk menarik doanya pada lampu sialan itu.
Tapi bukan berarti pria itu tidak akan mencoba?
Jeon berdiri gelisah, melangkah mondar-mandir dan berhenti di depan meja makan. Digenggamnya botol selai nanas sambil menatap layar ponsel, sudah ada sebaris kalimat mengantri di kolom chatnya, menunggu dikirim.
“Tidak mau gantian bertamu ke rumahku?”
Jempolnya gemetar, melayang tepat di depan tombol kirim. Dalam hati pemuda itu menghitung kemungkinan yang akan terjadi. Akan menguntungkannya kah mengundang Arthur kemari? Atau pria itu akan membawa serta lampu sialan itu dan seluruh geng superheronya kesini?
“Bantu aku berpikir!” serunya sambil menghentakkan sebelah kakinya karena jengkel. Kelakuan refleks itu sontak disesalinya.
Sedetik kemudian sengatan perih datang dari bawah perutnya, menjalar bagai api dan menyentak seluruh otot dan sendinya. Pemuda itu terenyak, tidak sanggup mengaduh dan jatuh terduduk di sisi meja. Dikeratnya perut sambil membungkuk, menahan sakit yang menghantamnya, berdenyut-denyut hingga ke ubun-ubun.
Susah payah pemuda itu mengatur napasnya. Pikirnya, itu akan membantu mengusir sakit ini. Tapi makin waktu berlalu, denyut sakit itu membuat dua bulir airmatanya mengalir saat mencoba menahannya. Saat suaranya kembali, Jeon mengerang kuat-kuat, mengaduh sambil meremas perut.
“I-I’m sorry okay!” serunya tersendat, jengkel. Ia menunduk, sambil menahan sakit, berniat mengomeli bayinya saat pemuda itu menyadari basah dan panas dari bawah tubuhnya. Ada bercak lengket berasal dari tempatnya duduk,
“S-shit…” umpatnya, setelah mengusap bawah tubuhnya dan menatap darah di ujung tangannya.
.
.
.
.
.
Arthur datang hampir menghempas pintu rontok dari dinding. Jeon yang berbaring di lantai bersandar di tangan sofa hanya menatapnya malas.
“Ini baru hari pertamaku disini, Arthur. Dan kau sudah rusak pintunya?”
“Nanti kubenahi.”
Persetan soal lampu dan anggota geng baru Bruce Wayne, saat melihat darah di ujung tangannya dan Jeon tahu dari mana darah itu mengalir, pemuda itu langsung meminta Arthur datang kemari. Tidak peduli jika pria itu bermaksud datang beramai-ramai. Tapi Arthur muncul seorang diri, setelah nyaris melepas pintu, langsung menghampirinya dan berlutut di sisinya bermaksud membopongnya bangun.
Jeon harus menyeret tubuhnya demi pindah ke dekat sofa, dan pemuda itu tetap tidak sudi membaringkan dirinya di atas sofa, khawatir bercak darah mengotori alas linen itu.
“Not the bed, Arthur!” Jeon menarik-narik kerah Arthur dalam gendongan pria itu. Setengah panik saat sadar Arthur berusaha menggendongnya ke arah kamar.
“Yea, kau mau kutaruh dimana? Balkon biar sambil kau hirup udara segar Gotham?”
Jeon hampir tertawa di tengah rasa sakitnya. “It’s white cotton. I’m going to ruin it.”
“I’ll wash it, dumb ass.”
Jeon mendengus dalam bingungnya, tidak tahu harus malu atau tersanjung. Arthur membaringkannya disana, begitu hati-hati. Pria itu juga yang membantunya menanggalkan celana, membasuh kaki dan celah diantara kakinya menggunakan handuk hangat. Separuh tubuhnya telanjang di bawah tatapan menelisik pria itu. Dan Arthur membersihkan tubuh polosnya dengan raut datar tanpa berkomentar.
“Menurutmu dia minta keluar sekarang?” Arthur bertanya, suaranya amat pelan sampai Jungkook mengerutkan keningnya.
“I don’t think so. Kalau mereka benar soal aku harus mati demi bayi ini, sekarang rasanya belum seperti orang sekarat jadi… Not now.”
“Akan lebih mudah kalau kau—”
“—Ah! Ah!” Jeon langsung memotong, mengatup bibir Arthur sebelum pria itu selesai bicara. “Aku masih butuh kau disini, Arthur. Jangan buat aku mengusirmu.”
Arthur mendengus dan menggeleng. Tapi pria itu menurut untuk tidak melanjutkan komentarnya.
“Kalau aku berdarah artinya dia bisa lahir dariku, kan? Ada jalannya?” sambil berbaring Jeon mengintip-ngintip bawah tubuhnya sendiri. Arthur yang membantunya mengenakan boxer longgar, tangan besar pria itu mengusap pinggulnya samar sambil berkomentar.
“You crazy dumb fuck.”
“Ada dua kamar disini Arthur, jangan pulang.”
“Rude,” ujar pria itu. “Kau kuundang ke rumahku dan tidur di kamarku.”
Jeon mendelik, memasang raut jengkel dibuat-buat. “Kau boleh tidur disini, tinggal minta. Jangan drama.”
“Baru beberapa minggu, aku sudah kenal tabiatmu. You just finding a way for the baby, not for me.”
“Ya. Bisa dibilang begitu.”
Jeon tersenyum puas, melihat Arthur tidak menjawabnya lagi membuat pemuda itu sadar ia memenangkan Arthur. Setidaknya untuk hari ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sehari berlalu tenang. Arthur menginap semalam dan kunjungan hari pertamanya diawali dengan penuh pengertian. Pria itu sama sekali tidak berusaha memancing emosi Jeon. Tapi itu hanya bertahan semalam. Esoknya, ada saja komentar Arthur yang membuat Jeon ingin melempar pria itu keluar dari jendela… bila tidak mengingat tubuh Arthur tiga kali lebih besar darinya.
“Kau tahu aku tidak akan segan-segan mengusirmu dari sini, kan?”
“Rumah ini cuma sepetak. Kau merasa keren mengusirku dari tempat begini?”
“Tetap saja. Rumahku istanaku!” Jeon nyaris kelepasan tertawa, ditimpuknya Arthur dengan sebotol besar vodka, yang ditangkap gesit oleh pria itu dan dibuka lalu diminumnya.
“Kau tahu orang hamil dilarang minum alkohol, kan?” sempat-sempatnya Arthur berkomentar lagi, setelah nyaris lenyap setengah isi botol itu.
“Itu milik tenant sebelumnya! Dasar jorok! Entah bibir siapa yang pernah menempel disana!”
“Who cares. Good shit a good shit.”
Jeon bersedia terang-terangan bilang Arthur menyebalkan, karena itu juga kenyataan. Tapi jauh di lubuk hatinya, pemuda itu juga tidak bisa memungkiri bahwa keberadaan pria itu membantunya menjaga waras di tempat kumuh ini.
Pria kasar itu, yang biasa bergerak sambil merusak sesuatu, pada kenyataannya lebih paham untuk tidak membuka mulutnya dan mengomentari hal yang dibenci Jeon akhir-akhir ini.
.
.
.
.
.
Jeon membayar unit apartemen buluk itu dengan uang yang cukup seberapa. Jumlah uang yang mungkin biasanya tidak akan dipikirkannya, tapi melihat baru saja empat hari berlalu dan separuh dinding apartemen itu runtuh karena ledakan, respon pertama yang naik ke ubun-ubunnya adalah amarah.
“Why they can’t fucking leave me alone!”
Dan ketakutan baru datang lima detik setelahnya.
“Alien lagi, kan?“ serunya panik.
Arthur tidak menjawab, pria itu refleks menyeretnya dengan satu tangan, dan trisula teracung di tangan lainnya. Sedangkan Jeon dalam rengkuhan besar pria itu, kesulitan mengumpulkan seluruh nyali untuk berdiri tegak di sisi Arthur.
“Move, kid!” Arthur berseru sambil mengayun trisulanya, menebas leher makhluk bersayap yang terbang entah dari arah mana dan nyaris saja menyambar mereka. Langit tampak jelas karena dinding runtuh itu sepertinya merusak tiga lantai sekaligus.
Jeon ternganga, masih dalam keadaan bingung saat semenit yang lalu pemuda itu duduk santai meneguk teh hangatnya dan kini puluhan makhluk buruk rupa bersayap berterbangan di langit dan melesat ke arah mereka.
Mereka berada di lantai tujuh belas. Tangga dan lift jelas bukan pilihan, dan bila harus terjun dari lantai setinggi ini, Arthur mungkin bertahan. Tapi dirinya? Satu-satunya jalur kabur yang terbayang olehnya adalah… “Kau tau nomor telpon Kent?” bisiknya ketakutan.
Arthur tampak tegang, ada panik samar melintas di kilap emas bola matanya. Kalau sekadar perkara nyawanya sendiri, mungkin situasi ini akan lebih mudah dihadapi. Tapi ada Jeon dalam rengkuhannya, dengan perut buncit dan dua kaki yang belum bisa diajak kompromi.
“Peluk aku. Sekarang.”
“Kau tidak bermaksud terjun, kan dickhead?”
“Sekarang, Jeon!”
Jeon terenyak oleh bentakan Arthur, melihat betapa serius pria itu membuat ketakutannya merayap lagi. Mereka berdua melawan begitu banyak lipas terbang yang tidak cukup mati setelah ditebas sekali? Nightmare.
“I hate roaches,” bisiknya dengan suara mungil kelewat gemetar, “Don’t let them take me, Arthur.“
“I won’t,” balas pria itu sambil memeluknya makin erat, satu tangan menjaga tengkuk Jeon, “I won’t,” ulangnya.
Ketakutan kelewat manis Jeon di situasi yang kurang tepat itu membuat Arthur lengah sesaat, hingga satu makhluk melesat terlalu dekat, nyaris menyentuh Jeon.
“Fuck!” Arthur memutar tubuh menjadikan dirinya tameng, senjatanya mengacung tepat waktu menembus dada makhluk itu dan Arthur menghempas bangkainya menghantan dinding.
Tapi mereka terlalu banyak. Melesat dari berbagai arah. Arthur masih sanggup menghalau mereka, tapi yang bisa dilakukannya hanya melawan. Kabur bukan pilihan saat tidak ada jalan.
Satu waktu saat serangan yang datang melambat, Jeon menyadari saat mengintip dari bahu Arthur, monster-monster berdiri menunggu disekeliling mereka, mengitari mereka bagai menunggu waktu.
“Give us the baby, human.”
Jeon menatap makhluk itu, kening ke kaki, lalu kaki ke kening, naik dan turun berkali-kali. Ingin sekali dilontarkannya kalimat keren setengah mengumpat untuk membalas makhluk itu. Tapi melihat betapa mengerikan wajah itu yang menatap langsung ke dalam matanya, dengan geliat urat dan serangga-serangga kecil mengerubuti wajahnya, masuk dari bola mata dan keluar melalui lubang hidung, Jeon hanya bisa menganga.
“Cut him open.”
“Arthur!” Jeon memeluk Arthur, nyaris berlinang sebulir airmatanya karena ketakutan merongrong di kerongkongannya. Padahal ini jenis pekerjaan yang ditekuni Wayne, yang juga bermaksud diikutinya, berperang melawan monster. Tapi disini di situasi yang lebih nyata, Jeon menyadari ia tidak punya kualitas untuk jadi superhero. Dan mungkin dirinya akan mati disini, “Save the baby, save the baby!” pekiknya panik.
“Darkseid will have the baby whether you like it or not.”
“Bayi siapa yang kau minta?” suara itu muncul tiba-tiba, dari atas kepalanya begitu familiar hingga Jeon memekik histeris.
“Mr. Kent!
“It’s mine. You’ll have it over my dead body.“
.
.
.
.
.
biar ga lupa sama cerita ini wkwkwk
apa udh pada lupa? wkwkwk
Reviews
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Braven – 29. Fractured
Author: Miinalee -
🔒 Braven – 9. Synthesis
Author: Miinalee -
🔒 Kamu & Aku: Satu
Author: Ipul RS -
🔒 Dunia Lain: Prolog
Author: Ipul RS
cein97 –
Reread this masterpiece again 🥰