Tiny Toes – 12. Love at the First Sight

Author: Miinalee

Love at the First Sight

Young Arthur~

Young Arthur~

.

.

.

.

.

Harusnya ini jadi perang biasa. Perang yang hanya melibatkan tembakan, darah, mayat bergelimpangan, dan bungkus-bungkus kokain yang jebol.

Cartel Koral sudah dua tahun jadi pemberontak di wilayah Sinaloa, dan keluarga Dechlan yang berkuasa sudah mulai jengah pada Cartel yang tidak pandang bulu saat berbisnis itu. Dechlan juga bengis soal bisnis, tapi mereka masih punya aturan dan tata krama turun temurun yang masih dijalani. Cara hidup liar membunuh dan merampas tanpa alasan seperti yang dilakukan Koral jadi ancaman sekaligus penghinaan bagi Dechlan. Jadi setelah rencana matang yang disusun berbulan-bulan, proses eksekusi dijalankan malam itu.

Jebakan mereka berhasil mengumpulkan seluruh pimpinan Koral di satu gudang produksi, dan disana juga mereka melakukan eksekusi. Perang tembak tidak terelakkan, mayat bergelimpangan dari dua belah pihak. Meski dengan pasokan manusia dan senjata lebih mumpuni, Cartel Dechlan jelas bertahan jadi pemenang.

Arthur muda berjalan melangkahi mayat-mayat, dan berlutut tiap kali ia mengenal wajah anggota Cartelnya berbaring tanpa nyawa di lantai.

Rest in peace, mahalo,” katanya sambil mengatup mata-mata mati yang masih membelalak.

Pemuda itu masih delapan belas, tapi ia sudah mampu memimpin serangan-serangan kelas berat macam ini mewakili ayahnya.

Hari itu rencana seharusnya berakhir dengan mereka membawa pulang mayat-mayat saudara se-Cartel dan membawa pasokan Kokain yang sanggup ditampung truk dan jeep mereka. Tidak semua, hanya sebagai bentu simbolis kemenangan Dechlan atas Koral. Tapi yang kemudian mereka temukan ternyata bukan hanya kokain.

Ada suara riuh redam terdengar berasal dari belakang gudang. Begitu ditelusuri, terdapat sepasang pintu besi terikat rantai. Tembakan bertubi-tubi ditujukan untuk menghancurkan rantai besi itu. Tapi tiap satu tembakan melecut, makin melengking suara yang terdengar dari dalam. Suara yang begitu muda. Saat pintu dibuka, ketakutan mereka terpampang nyata.

Puluhan anak-anak disekap disana, laki-laki dan perempuan bercampur, menangis dan meraung ketakutan karena mendengar suara tembakan.

Angel menurunkan senapannya dan menguncinya ke posisi aman. Wanita itu masuk dengan langkah pelan-pelan, merasa riskan melihat wajah-wajah ketakutan itu dan tubuh-tubuh mungil bermaksud menyingkir selagi ia berkeliling.

Di satu sudut ruangan, wanita itu menemukan sesuatu yang membuatnya terkesiap.

“Arthur. It’s a fucking baby,”  Angel berlutut, memungut tubuh mungil itu dalam rengkuhannya. Bocah-bocah di sekelilingnya menyingkir ketakutan, tidak peduli untuk menyelamatkan bayi itu meski seandainya Angelina bermaksud membunuhnya disana.

“Well, well. Cartel busuk ini tidak hanya berbisnis kokain rupanya,” Albert muda ikut masuk kesana, senjata di tangannya juga sudah dikunci aman. Tawa tegarnya tadi tidak bisa lagi bertahan melihat wajah-wajah mungil itu mati-matian menahan tangis.

“Apa yang harus kita lakukan pada…” Angel menghitung sekeliling dengan matanya lalu menyerah.

Puluhan mata mungil menatap balik padanya, sebentar, sebelum menunduk ketakutan atau menata kemana-mana. Usia mereka tampaknya beragam, dari lima tahun sampai dua belas. Wajah-wajah itu juga campuran dari beragam ras.

“Kita bawa pulang?” Arthur mengangkat bahu kirinya sambil menelengkan kepala, tidak yakin. Mengeksekusi pria dewasa lebih mudah daripada ini.

“Kau gila? Dalam tiga jam FBI pasti sampai kemari. Lebih baik kita tinggalkan mereka disini!”

“Mereka sudah melihat wajahmu, Angel. Meninggalkan mereka bersama FBI bukan pilihan tepat. Pops should know what to do.

Or pops will kill us.”

Arthur hanya mengendikkan bahunya, “So be it.”

Angel mengerang kesal. Meski membenarkan ucapan adiknya. Digendongnya balita itu, yang mungkin baru berusia d elapan bulan, menuju Arthur.

“Kalau begitu kau gendong yang ini, karena ini idemu. Kau tanggung jawab pada saranmu sendiri.” 

Arthur terenyak, refleks menjatuhkan senapan panjangnya ke lantai karena Angel tahu-tahu mengoper bayi itu padanya.

Seumur-umur, Arthur belum pernah menggendong bayi. Ia termuda di marganya. Dan kemenakan-kemenakannya yang masih muda lebih memilih untuk menjauhinya. Paman Arthur yang seram. Tidak ada yang berminat mengajaknya bercanda dan Arthur lebih senang begitu.

Tapi sekarang diharuskan menggendong bayi… yang diangkatnya lewat ketiak dengan posisi sengaja dijauhkan dari wajahnya sendiri… Arthur melongo bingung. Mata bulat dan basah itu menatap padanya, mengerjap-ngerjap dengan genangan sisa airmata. Suara tembakan yang berhenti seakan memaksanya untuk tenang juga. Tapi sisa-sisa ketakutan masih tampak dari pipi gembilnya, yang bergetar-getar, merah gemuk merona dan basah oleh liur bercampur airmata.

Dan anehnya… melihat balita menahan tangis dengan cara yang aman menyedihkan itu, kenapa justru tampak manis sekali….

“F-fuck?”

Tangis balita itu meledak begitu Arthur mengumpat. Padahal suaranya pelan tadi. Dan alhasil, Arthur justru lebih panik daripada bayi itu sendiri. Cepat-cepat ia melangkah keluar bermaksud kembali ke jeepnya.

“S-sorry? Maaf kid, maaf,” katanya sambil mengayun-ayun bayi itu dalam gendongannya, yang kaku dan mungkin menyakiti bayi itu. Berkali-kali Arthur mengangkat bayi itu di depan dadanya memastikan ia tidak menekuk sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Jadi akhirnya seperti ide yang diberikan Arthur, mereka memindahkan semua anak-anak itu. Dan Arthur seperti diberi tugas negara, hanya bisa menggendong balita itu di depan dadanya. Sebisa mungkin tidak bergerak, karena susah sekali membuat balita itu tenang. Jadi begitu balita itu memutuskan airmatanya tidak perlu digunakan lagi,  makhluk mungil itu bernapas tenang sambil bersandar di dada Arthur.

Sedang Arthur, tanpa sadar menunduk menatap makhluk itu dengan mulut menganga. Hingga si makhluk kecil menyadari perhatiannya dan mendongak, mata bulat besar bergulir ke-kanan ke-kiri memperhatikan wajah Arthur dalam diam.

“Nomm?”  ujarnya tiba-tiba, suara mungilnya membuat Arthur mendelik seketika, bingung harus menjawab apa.

N-nomm?” katanya lagi, kali ini sambil mengulurkan tangan, telapak mungil itu hinggap di ujung hidung besar Arthur dan membuat pemuda itu menunduk menatapnya makin ternganga-nganga.

Sampai di Mansion Dechlan, Arthur harus ditepuk di pipi untuk menyadarkan pemuda itu bahwa mobil mereka sudah sampai tujuan. Bila tidak, pemuda itu pasti lanjut beradu pandang dengan balita dalam gendongannya.

Mereka hanya menampung seluruh anak-anak tanpa identitas itu selama seminggu. Pops marah bukan main, tapi juga membenarkan bahwa ide Arthur mungkin yang terbaik. Kalau mereka meninggalkan anak-anak itu di gudang malam itu, saat ini FBI pasti sedang memburu mereka dengan bantuan pelukis dan mata-mata kecil itu jadi pengarah.

Selama dua minggu juga, diam-diam Arthur tidak bisa berhenti memikirkan sepasang mata dengan pupil hitam, bulat besar menatapnya dengan bulu mata yang basah tergenang tangis. Sampai-sampai terbawa dalam mimpinya dan Arthur diam-diam mengendap di malam hari untuk mengunjungi kamar-kamar yang digunakan sebagai penampungan sementara anak-anak itu. Tujuannya hanya satu, si balita bermata boba. Terlalu malu untuk mengakuinya, Arthur hanya melotot dan mengancam Maria, salah satu perawat di rumahnya, saat wanita itu memergoki Arthur tengah menimang Jungkook sambil bergumam-gumam kecil mencoba menyanyikan sesuatu di bawah napasnya.

Cuma kau yang tahu atau kukirim kau menghadap Tuhan.” katanya pada wanita paruh baya itu, yang jelas ketakutan dan setuju langsung saat itu juga.

Malahan akhirnya, Maria yang membantunya mengajari bagaimana menggendong balita itu agar lebih nyaman dan bagaimana memahami bahasa anehnya.

‘Nom’ berarti ‘Apa?’

Owy’ berarti ‘Hungry’

‘Tty’ berarti ‘Arthur’

Kalimat ketiga itu mungkin lebih banyak terjadi dalam benaknya karena Maria sering menatapnya bingung tiap kali ia mengaku Jungkook menyebut namanya.

Jeon Jungkook. Nama itu menjelaskan asal wajah oriental mungil yang menatapnya bahagia tiap kali Arthur datang tengah malam mengunjunginya.

Mereka tahu nama satu demi satu anak itu sejak hari pertama mereka membawanya pulang. Dan panti asuhan di bawah naungan keluarganya, yang didirikan di Nevada, akan jadi tujuan jangka panjang bagi anak-anak terlantar itu.

Hari terakhir mereka berada di mansion Dechlan, Arthur tengah menjalani pertemuan bisnis di luar kota. Saat pria itu kembali berniat tidur agar tengah malam bisa mengendap ke kamar Jungkook lagi, baru sampai di depan pintu dan Arthur menyadari betapa senyap mansion besar keluarganya.

“KALIAN TIDAK BILANG HARI INI HARI TERAKHIR JEON JUNGKOOK DI RUMAH INI!”

Wow, kenapa marah sekali bro.”  Albert menatapnya bingung. Hanya Angelina yang meliriknya separuh tahu, membuang muka sambil menahan tawa. Saat ruangan sepi, barulah wanita itu menghampiri adiknya.

“Dia cuma dikirim ke Nevada, dan itu panti asuhan milik pops. Kenapa panik sekali? Kau baru kenal anak-anak itu dua minggu dan kau bisa mengunjunginya kapan saja. Atau kita jemput dia nanti saat dia dewasa, oke? Lima belas tahun, cukup?”

Arthur hanya menjawab ketus, terlanjur malu. “No.”

“Kita ambil dia lagi kalau keadaan sudah aman?”

No,” katanya lagi. Terdengar lebih jengkel tiap Angel makin keras berusaha bicara padanya.

Angel sungguhan menyangka Arthur akan mengunjungi anak-anak itu, atau setidaknya… balita yang tiba-tiba akrab dengan adiknya hanya dalam kurun waktu dua minggu. Tapi Arthur menunjukkan egonya lebih tinggi dari Burj Khalifa.

Lima belas tahun berlalu dan tidak satu kali pun pria itu bersedia memijakkan kaki di Nevada. Entah apa yang ingin dibuktikannya, atau pada siapa, karena sejujurnya tidak ada yang peduli sekali pun Arthur memutuskan untuk berkunjung tiap tahun, tiap bulan, atau tiap minggu. Sampai semua orang terlupa pada anak-anak yang mereka pungut tiba-tiba belasan tahun lalu. Hanya Angel yang menyadari betapa Arthur rajin memeriksa dokumen panti asuhan itu, mengumpulkan foto-foto, dan menghabiskan banyak waktu membaca surat-surat kecil yang dibuat di kelas-kelas anak-anak itu.

Cinta pada pandangan pertama, katanya.

Angel tidak percaya. Sampai Arthur satu hari menghampirinya,

“Sudah lima belas tahun. Ayo kita jemput sekarang.”

“Hah? Siapa?”

“Jeon Jungkook.”

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Tiny Toes – 12. Love at the First Sight”
Beranda
Cari
Bayar
Order