14. Extra 1 (M)

“Aku melihatnya, Arthur. Matanya yang biru, kulitnya pucat… seperti aku. Tangannya… aku bisa genggam hangat tangannya. Rasanya setiap pagi masih bisa kukecap di ujung-ujung jari. Betapa tampan dia, Arthur. Betapa lembut. He such an angel. When I finally think I made something so sweet and so kind,“ katanya sambil mengusapi airmata, meski gagal karena tangisnya masih berlanjut hingga membasahi kemeja Arthur.

Author: Miinalee

Separuh Gotham nyaris rata dengan tanah hari itu seandainya Clark Kent tidak datang untuk ikut campur. Mereka membawa pulang kemenangan, dan Jeon… Jeon duduk utuh di mansionnya saat Bruce pulang. Entah apa yang dilakukan Arthur untuk membuat pemuda itu menarik ucapannya. Namun disana pemuda itu duduk, hidup dan bernapas, dan makhluk yang menumpang di perutnya lenyap entah kemana. Saat teringat pengakuan yang terpaksa dilontarkannya siang ini, Bruce merasa sudah tidak ada gunanya lagi berpura-pura. Pria itu berderap maju, merengkuh Jeon dalam pelukannya.

“Kau baik-baik saja? Ada yang sakit? Ada yang luka?”

“Ya,” pemuda itu hanya menjawab. “Ya. Disini.” katanya sambil tersenyum tipis dan mengatup dada. Masih ada sisa-sisa sembab di wajahnya, tapi Jeon sudah terlalu lelah untuk menangis lagi. “Tapi tidak apa-apa, aku cuma butuh waktu, Master Wayne. Boleh aku kembali ke kamarku?”

Biasanya, harus Bruce yang memintanya pergi, hanya demi Bruce tidak melihat batang hidungnya di sini. Kali ini pemuda itu berbalik sendiri, tidak menunggu izin Bruce dan menghilang ke lantai dua.

Bruce menyadari pasti, yang pulang hari itu adalah Jeon yang berbeda.

Pemuda itu mengurung diri berhari-hari, dan keluar dengan amat tiba-tiba di satu pagi.

Sudah dua hari tidak seorang pun anggota Justice League datang ke rumahnya. Jadi hanya ada empat orang disana. Dirinya, Alfred yang ditugasinya mengecek keadaan Jeon setiap saat, Jeon sendiri, dan Maria.

Jadi saat Jeon muncul pagi itu dengan pakaian amat rapi dan tersenyum begitu manis, Bruce menghentikan aktifitasnya sebentar, demi menatap pemuda itu saat Jeon menyapanya.

Morning, master Wayne.” 

Bruce menatapnya bingung. Dua hari lalu ia menghampiri kamar pemuda itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Mengetuk pintu, meski tidak berhasil membuat Jeon keluar dari kamarnya. Sekarang saat pemuda ini muncul tiba-tiba, Bruce kebingungan harus memulai obrolan apa.

You feel good today?” akhirnya pria itu berkata, meski suaranya pelan karena ragu.

“Ya. Ya. I feel great,” jawabnya, tersenyum lagi sambil menuang kopi. “Kau mau kopi juga, Master Wayne?”

Dua minggu yang lalu, Bruce pasti menjawab tawaran itu dengan melenggang pergi. Sekarang, Bruce menghampiri Jeon dan mengangkat gelas kosongnya, “Sure.”

Pemuda itu tidak berhenti tersenyum, menunduk seakan menghayati tugasnya untuk menuang kopi ke dalam gelas Wayne. Ekspresi cerahnya justru membuat Bruce merasa canggung.

Bruce menelan ludah, merasa seakan denyut jantungnya berhenti sebentar saat ditatapnya wajah Jeon cukup lama, dari jarak sedekat ini disadarinya da gurat-gurat kedewasaan yang diabaikannya berminggu-minggu, menghapus garis kekanakan di wajah Jeongguk yang begitu familiar baginya dulu. Begitu banyak yang terlewat olehnya, begitu banyak kesalahan yang dibuatnya. Bruce tiba-tiba ingin menyentuh bahu pemuda itu dan mengatakan sesuatu, apapun, namun Jeon mendahuluinya;

“Aku sudah memutuskan untuk pindah.”

Bruce membuka mulutnya, dan mengatupnya lagi. Kopi dalam gelasnya tumpah sedikit saat pria itu mundur tiba-tiba sambil menatap Jeon bingung,

“Ke apartemen yang dicarikan Alfred?”

No, silly.” Jeon tertawa, diletakkannya pitcher kembali ke atas meja. Itu apartemenmu. Aku akan mulai hidup dengan hasil kerja kerasku sendiri. Aku akan lebih mandiri kali ini, sudah waktunya untuk memulai hidup macam itu.”

Tapi kau ingin jadi penerus Alfred dan hidup disini denganku? Bruce hampir menyela, tapi diteguknya kopi demi tidak latah mengatakan apapun yang salah. Tidak ada alasan baginya untuk menahan Jeon pergi. Sebulan yang lalu ia bahkan nyaris mengusir pemuda ini menggunakan tangan Alfred.

“Kau sudah dapat tempat?”

“Ya. Agak jauh dari sini, sih.” 

Bruce hanya ber oh, dan meneguk kopi lagi, pria itu diam amat lama, berembuk menyusun kalimat-kalimat yang tiba-tiba jadi tugas amat berat.

“Kau sudah pertimbangkan jabatan yang waktu itu? Biotech pasti membutuhkanmu.”

“Kalau boleh jujur, Master Wayne… aku tidak suka jurusan kuliahku. Jadi aku tidak ingin pekerjaan yang berhubungan dengan bisnis.”

“Oh,” lagi, Bruce bingung harus menjawab apa. “Akan kuminta Alfred mencarikan jabatan lain yang cocok untukmu.”

“Jangan repot-repot, master Wayne! Aku mau sesuatu yang agak mirip dengan hobiku, meski gajinya tidak seberapa. Aku sudah mencari satu-dua pekerjaan, kau tidak perlu khawatir oke? Arthur juga membantuku cari role yang agak menyenangkan.” Jeon tersenyum amat manis sambil meneguk kopinya. Hanya Tuhan yang tahu sebesar apa nyali yang dikumpulkannya berhari-hari, demi berdiri disini menatap Wayne sambil mengutarakan niatnya seakan hal macam ini tidak berarti sama sekali baginya…. pergi meninggalkan Wayne Manor dan Bruce Wayne… Bruce tidak perlu tahu soal itu. Bruce juga tidak perlu tahu bahwa Jeon bahkan tidak sama sekali menghubungi Arthur. Tidak ada yang diajaknya bicara sejak ia kembali hari itu, setelah kehilangan bayinya.

“Arthur punya banyak kenalan bartender, aku berpikir untuk mencobanya dari situ.”

Bruce tidak bisa menimpali lagi saat nama Arthur disebut. Pria itu hanya mengangguk-angguk kaku, lalu berbalik pura-pura sibuk dengan sesuatu di atas mejanya.

“Kau masih bisa memintaku datang kapan pun, Master Wayne. Kapan pun kau membutuhkanku. Cuma perlu unblock kontakku, oke? Aku belum pernah mengganti nomor ponselku.”

 

Bruce tidak diberi waktu untuk menyusun rencana agar Jeon tetap tinggal di mansionnya.

Entah disengaja atau tidak, Jeon sungguhan berpamitan saat Bruce tidak berada di rumahnya. Pemuda itu hanya mengirimkan pesan, menyampaikan terima kasihnya yang begitu panjang dan lebar tanpa membahas apapun soal pertengkaran mereka di pesawat siang itu. Tidak ada jejak-jejak perasaan dalam pesannya, hanya seutas kata-kata kosong penuh formalitas.

Bruce meletakkan ponselnya begitu saja ke atas meja. Ditariknya dasi yang mengikat di leher dengan jengah.

“Cari tahu dia kemana, Alfred.”

 

.

.

.

.

.

 

What?” Arthur berujar saat membuka pintu.

Jeon membalas sinis sambil menarik-narik koper besarnya.“What?” 

“Ngapain kau kemari?”

Aku tenant barumu, tolong ramah sedikit,” katanya sambil mendorong-dorong Arthur menggunakan pinggulnya agar pria itu menyingkir dari pintu. “Geser sedikit, Arthur. Kenapa pintumu kecil sekali, buat yang lebih besar biar kau bisa berdiri petatang-peteteng disini dan aku tetap bisa lewat.”

“Kau bilang pada Wayne akan menyewa apartemen sendiri,” Arthur berujar, lebih seperti menodong. Tapi pria itu tetap menyingkir, memberi jalan bagi Jeon tanpa berniat menawarkan diri untuk menarik koper besar pemuda itu.

“Ya. Aku akan sewa kamar disini. Kenapa? Tidak senang? Tawari aku bantuan untuk menarik benda sialan ini, bisa?!”

Arthur tertawa, memang menunggu pemuda itu untuk marah dulu sebelum ia maju dan mengangkat koper Jeon dengan mudahnya.

“Kau tidak punya pekerjaan, bagaimana caramu bayar sewa?”

“Berisik! Kau juga pengangguran, Arthur!”

“Aku kerja, walau serabutan.”

“Aku bakal bayar sewa, jangan khawatir!” Lalu suaranya berubah pelan, “Aku cuma tidak mau tinggal sendirian untuk saat ini.”

Arthur hanya mengangkat alisnya. Tidak menjawab, ia belum mengizinkan Jeon untuk tinggal di rumahnya namun pria itu juga tidak menyatakan penolakan. Dibiarkannya saja Jeon membongkar koper besarnya di ruang tamu. Pemuda itu bergerak sesuka hati, menyusun pakaiannya sendiri yang dicampurnya ke dalam lemari Arthur, di atas tumpukan pakaian Arthur.

Feel like home, eh?”

Jeon berbalik padanya, cengengesan sambil menjulurkan lidahnya. Betapa manis, Arthur berpikir. Bersyukur ia tidak latah mengatakan itu.

“Kau perlu tahu aku tetap pada pendirianku waktu itu.”

“Soal apa? Tidak mau jadi pelarian?”

Arthur tidak merespon. Mengobrolkan persoalan perasaan bukan hobinya, tapi dimainkan perasaannya juga bukan hobinya. Sikap diamnya membuat Jeon berbalik.

Pemuda itu mendesah sebelum menghampirinya, mengatup wajahnya dan tiba-tiba bicara dengan nada amat serius, “Aku memilih pindah dari Wayne Manor yang mewah ke gubuk reot ini, menurutmu apa artinya?”

“Terdengar seperti pelarian buatku.”

“Oke, suka-suka hatimu,” Jeon tergelak, lalu beralih ke dapur sekaligus mengganti topik. “Kau tidak mau menawari aku teh? Kopi? Wine? Tuan rumah macam apa kau ini?”

Aku tidak stok wine dan kopi sejak kau menumpang disini. Alkohol dan kafein tidak bagus untuk bayi. Arthur hanya komplain dalam hati. Pria itu ikut ke dapur dan membuka kabinet atas, menarik sekotak teh kemasan, “Buat sendiri.”

What a gentlemen,” Jeon mencibir. “Arthur, kau kenal pemilik bar di Ann Arbor itu, kan? Pakai sedikit kekuatanmu, biar aku bisa kerja di tempat itu.”

“Kau lulusan manajemen bisnis.”

“Ya! Dan aku bisa bantu bisnis bar, jadi bartender. Itu juga butuh skill bisnis.”

Arthur membuka mulutnya, bermaksud menolak. Tapi dilihatnya betapa riang Jeon bergerak, kesana kemari di dapur itu, meneguk teh, mengunyah biskuit, sambil berceloteh soal perjalanannya sebelum sampai kemari. Hatinya luluh sedikit hingga Arthur memutuskan bersandar di pintu menontoni pemuda itu. Ingin sekali Arthur menanyakan apa kabarnya, apa kabar hatinya. Apa sudah tepat waktunya untuk menyebut Brian lagi di depan pemuda itu. Namun Arthur tidak ingin bertaruh, mungkin ini cara Jeon menutupi luka hatinya dan Arthur bermaksud membiarkannya. Biar pemuda itu memulai sendiri saat ia sudah siap bicara.

Tapi keputusan sesaat untuk membantu Jeon bekerja sebagai bartender… yang refleks dilakukannya lima menit lewat panggilan telpon setelah luluh melihat kelakuan manis Jeon… segera disesalinya berminggu-minggu. Setiap hari, setiap malam saat ia menjemput Jeon pulang dari bar milik temannya, Arthur harus menonton betapa mesra Jeon melayani pengunjung-pengunjung bar.

Cuma butuh dua hari untuk Jeon jadi primadona di tempat itu. Tidak peduli wanita, pria, pengunjung, atau rekan bartendernya. Bisa dilihatnya mata-mata itu terpaut pada Jeon-nya, terpikat pada betapa supelnya dia.

Arthur duduk tepat di sebrang meja tempat Jeon bekerja, tidak menyela sama sekali obrolan Jeon dengan seorang pria. Arthur menyandarkan sikunya ke atas meja, menatap, dengan sorot tajam dan bibir terkatup, menunggu tenang hingga pria itu menyadari sendiri Arthur tengah mengawasinya.

Sup, man? Ada sesuatu di wajahku?”

Arthur membayangkan, betapa mudah baginya untuk menarik kerah pria itu dan melemparnya keluar bar. Cuma butuh sekali hentak. Tapi ditatapnya pria itu dengan sabar,  

“Boleh kupinjam bartendermu?”

“Lima menit, dude. Dan jangan naksir padanya, dia milikku.”

“Ha!” Jeon tertawa, sambil mengelap gelas. “You wish!”

Pria itu pasti mabuk berat, karena kalau tidak, otaknya pasti sudah bekerja dan menyuruhnya pergi setelah melihat cara Arthur menatapnya.

“Come on, hon!” 

“Kau sudah mabuk, Harry. Ada yang bisa kutelpon untuk menjemputmu?”

“Bagaimana kalau aku telpon dirimu, honey,” katanya sambil pura-pura memencet ponsel, “Ni nu ni nu? Berapa nomor telponmu?”

Jeon tertawa ramah. Rupa-rupanya pemuda itu punya bakat bawaan untuk pekerjaan macam ini, memikat orang hingga meninggalkan selembar 100 dolar sebagai tip hanya lewat senyum dan gombalan ringan. Pria itu sungguhan pulang, meski harus dibantu dengan seorang pelayan.

Setelah pengunjung itu, Arthur masih harus menyaksikan korban lainnya, temannya sendiri, Martin

“Arthur bukan pacarmu, kan? Because I’m trying my luck.

Jeon tertawa. Betapa banyak tawa manisnya ditebar hari itu membuat otot di ubun-ubun Arthur berkedut.

“Kau mau jawab pertanyaan itu, Arthur?”

Kau menguji kesabaranku, ya? Ingin sekali Arthur menodong Jeon dengan tuduhan itu.

“Dua menit. Kutunggu di luar,” katanya singkat.

.

.

.

Jeon membuka pintu mobilnya tidak lama kemudian, duduk di sisinya sambil memasang sabuk pengaman. Melihat betapa kaku wajah Arthur, Jeon berjuang untuk menahan tawanya, yang tersangkut tinggi sekali di kerongkongannya. Cepat-cepat Jeon membuang muka, karena melihat betapa tegang janggut Arthur lebih lama lagi mungkin akan membuat tawanya pecah.

I’m not fucking anyone, if you worry.”

I don’t care if you do,” oh, lancar sekali dusta itu meluncur dari bibir Arthur. “I won’t catch AIDS. It’s human disease, so you might.”

“Fuck you.” 

Arthur tersenyum pada akhirnya. Ia lebih senang melihat Jeon mengumpat daripada bersikap manis-manis macam tadi, apalagi jika diberikan untuk orang lain. Pria itu sudah akan menyalakan mesin mobilnya saat tiba-tiba Jeon menarik bahunya lalu memanjat ke atas pangkuannya.

The f—”

“I said fuck you.” Jeon menyambar bibirnya, begitu beringas sambil memaksa Arthur membuka kemejanya.

Untuk pertama kali seumur hidupnya, Arthur tergagap merespon. Bingung mana yang harus diladeninya dulu, bibir Jeon atau tangan pemuda itu.

“Wait? Here?”

“Yea.”

“You testing me, aren’t you?” 

Mobil ini terlalu sempit untuknya dan Arthur lebih suka ruang luas saat menyentuh Jeon. Tapi Jeon dengan tidak sabaran, tetap memaksanya melucuti baju dan celananya.

“Cepat lepas,”

You just need my dick, no shirtless needed. Atau kau memang suka melihatku telanjang, hm?”

“Fuck. Fuck,” Jeon bergerak tidak sabar, menarik-narik celana ketatnya turun hingga meninggalkan memar di pinggulnya. Arthur mengusapnya.

“Yea, fuck.” 

Saat pemuda itu duduk tepat di atas kejantanannya, menyatukan tubuh mereka, keduanya mengerang. Arthur tidak lagi pusing soal ruang sempit di dalam mobil. Yang jadi fokusnya hanya Jeon, menatapnya sayu, meremas bahunya dengan tangan gemetaran.

“Jangan bergerak dulu, Arthur. Jangan bergerak,” kata Jeon sambil terengah. Pemuda itu berusaha mengatur napasnya dan mencoba terbiasa. Sudah berminggu-minggu sejak terakhir kali mereka tidur bersama, dan ini terasa seperti pertama kali.

Well? Cuma kau yang bisa bergerak di ruang sesempit ini.”

I know!” Jeon berseru malu. “M-maksudku, tunggu, tunggu… Shit, kenapa kau harus sebesar ini.”

“Ada saran program diet untuk mengecilkan penisku?”

Jeon mendengus, berusaha menahan tawa ditengah perih, Tidak lucu, Curry. Penismu sedang nangkring dalam badanku, jadi jangan melawak dulu, please.” katanya sambil berpegang pada bahu Arthur, pelan-pelan ia mengangkat tubuhnya, “Beside… I like it b-big!” serunya sambil menghentak turun.

Arthur mengerang, refleks memegangi pinggul Jeon. Benar-benar tidak banyak yang bisa dilakukannya di ruang sesempit ini, jadi dibiarkannya Jeon bergerak sendiri. Sementara Arthur hanya bisa mengecupi wajah dan tengkuk pemuda itu, bermaksud meringankan perihnya. Tapi melihat ekspresi Jeon dan caranya bersuara, Arthur tahu pemuda itu sungguhan menikmati.

Sekali dua kali pemuda itu mengerutkan keningnya, seperti dilanda kesakitan, namun dinikmatinya dengan seksama.

“Berapa harus kutagih bill untuk service macam ini, hm?” Jeon menyeringai, sambil menghentak di atas pangkuan Arthur.

“Sewa dua minggu.”

Aku semurah itu?!”

“Tiga minggu.”

Jeon menjenggut janggut Arthur, dipagutnya bibir pria itu beringas, dan digigitnya hingga anyir darah terkecap baik olehnya dan Arthur juga.

Arthur mendengus, kalau Jeon berpikir kelakukan macam ini akan membuatnya marah, pemuda ini salah besar. Ditekannya tengkuk Jeon hingga pagutan mereka bergulat lebih dalam.

Pemuda itu mengalah saat kelelahan dan kehabisan napas, tidak sanggup untuk tetap menghentak naik turun sembari mempertahankan dominasi ciumannya. Dibiarkannya bibir Arthur berkuasa, sampai pria itu menggigit dagunya, terlalu kuat hingga Jeon mengerang.

Slow down, piranha.”

“Kau yang mulai duluan.”

 

Arthur memeluk pemuda itu dihentakan terakhir, digigitnya pipi kenyal Jeon saat klimaksnya memeleh panas di dalam tubuh pemuda itu. Jeon menerimanya, memeluk lehernya dan menyandarkan kepala di bahunya, merintih kelelahan.

Merasakan tubuh pasrah Jeon bersandar padanya, membuat rasa protektif aneh muncul tiba-tiba dalam dadanya. Arthur memeluk Jeon, dengan dua tangannya hingga tubuh pemuda itu separuh hilang dalam rengkuhannya. Disesapnya aroma rambut Jeon, yang masih menguarkan segar strawberry yang sama seperti pagi tadi.

Bet this is your wet-dream. Fucking hot lad like me in a car.”

Sering kulakukan saat di Oslo,” Jeon tertawa.

“Pamer,” ejek Arthur, meski sambil mengecup rambut pemuda itu, berkali-kali tanpa bosan. Arthur bisa merasakan bibir pemuda itu melengkung, tersenyum sembari menempel erat di lehernya.

Ini seks pertama mereka, setelah kekacauan yang terjadi di pusat kota Gotham. Setelah tragedi yang hanya mereka lalui berdua. Arthur berpikir apa sudah tepat waktunya untuk menanyakan hal yang ditahannya berhari-hari,

“Kau inga—”

Jeon memotongnya, “Bantu aku mengecat rambutku, Arthur.” Katanya sambil mengangkat kepala, matanya sayup menutup dan terbuka, “Aku sudah beli cat hitam.”

“Hitam?” Arthur tiba terlupa pada pertanyaannya sendiri. Ia memang bisa melihat akar rambut Jeon, tumbuh menunjukkan warna aslinya yang gelap.

“Ya. Aku tidak suka pirang.”

“Kalau begitu kenapa cat pirang?”

“Bruce suka.”

“Tidak suruh dia saja cat rambutnya?”

Silly. Maksudku, he loves blondes. Talia pirang, Grayson pirang. Bukan dia suka kalau rambutnya sendiri yang pirang,” Jungkook tertawa sendiri membayangkannya. Tapi Bruce berambut pirang… sepertinya tidak buruk juga? “Hanya kalau dipikir-pikir, warna ini tidak cocok saat kugunakan.”

“Apa kalau kau ganti warna rambut jadi hitam, tandanya kau bersedia move on?”

Baby step,” ujarnya sambil menepuk-nepuk pipi Arthur. Kau bersedia menuntun tanganku, kan?”

Arthur tidak langsung menjawab. Pria itu menatapnya. Warna emas di pupilnya membuat Arthur seakan menatap tidak ramah pada semua orang. Dan Jeon tidak senang ditatap begitu tanpa senyum di wajah Arthur.

“Arthur?” Jeon menatapnya khawatir. “Kau bersedia… kan?”

“Kau suka melihat orang berjuang untukmu, eh princess?

“Jawab!”

Well, baby step still a step.”

Jeon tersenyum, amat lebar hingga Arthur menyentuh ujung bibirnya karena gemas. Untuk beberapa saat keduanya bertatapan, bernapas di wajah satu sama lain, menikmati suasana dan aroma sisa seks mereka. Sampai tiba-tiba senyum Jeon berubah jadi ekspresi tegang.

“Tunggu. Aku lupa, shit, shit, kau tidak pakai kondom, Arthur!”

Why?”

“Whyyyy? Kau bilang Atlantean bisa menghamili pria? Lupa?!

“Oh, soal itu.”

“Arthur!” Jeon histeris, panik sambil menekan lubangnya menggunakan tisu seakan cairan Arthur yang terlanjur masuk ke tubuhnya bisa dibersihkannya dengan cara itu.

Arthur tidak bisa menahan tawanya melihat kelakuan pemuda itu, kejantanannya justru tegang lagi melihat panik di wajah Jeon dan tangannya bergerak sibuk membersihkan selangkangan.

Hey, hey, I might fuck you three more times if you don’t stop right now, Jeon.”

“Kau benar-benar punya fetish melihatku hamil, ya?!” katanya emosi.

I said stop,” katanya sambil menahan tangan bahu Jeon, dikecupnya pipi pemuda itu sebelum berkata, “Aku bicara pada Vulko, ternyata tidak bisa pada manusia. Dia bilang, spesifik, hal macam itu cuma bisa terjadi pada duyung atau Atlantean lain. And I’m not planning to fuck any half fish half man. So, no worries.”

Jeon menatapnya dengan mulut terbuka sambil ber-“Oh.” Suaranya bahkan terdengar kecewa. “Syukurlah,” katanya setengah hati.

Keduanya dilingkupi kesunyian canggung selama beberapa detik.

S-So…” lanjut pemuda itu, “Bahkan kalau kita berencana… punya? Kau tahu?”

Arthur hanya mengangkat alisnya, pura-pura tidak mengerti. Saat yang ditunggu-tunggunya datang juga. Mungkin memang harus melalui seks dulu sebelum Jeon siap membicarakan persoalan bayi. Entah bayi fiktif di masa depan yang kini rasanya tidak mungkin mereka miliki bersama, atau bayi yang hilang darinya beberapa minggu lalu.

“Punya apa?”

“Kau tahu…” Jeon menelan ludah, menggigit bibir, meremas-remas kemeja Arthur gugup. Sulit sekali kalimat itu keluar dari bibirnya.

“Tahu apa?”

Don’t make me say it!”

“Say what?”

“If we want to have kids!”

“Kau bisa menghamili wanita, aku bisa menghamili wanita.”

Jeon merengut jengkel. “Forget it. So stupid.”

Arthur mengatup pipi Jeon dan mengusap-usap dengan jempol besarnya, “Aku tahu masih ada yang tersisa disini,” katanya sambil menyentuh dada Jeon. “Katakan.”

Jeon meliriknya, tampangnya tiba-tiba berubah sendu. Pemuda itu tidak langsung bicara. Dihelanya napas, sekali, dua kali, lalu ia mengendikkan bahu.

“Aku masih sering memimpikannya, kau tahu?”

“Aku tahu.”

Jeon melongo, “Kau jadi cenayang sekarang?”

Arthur mendengus, diusapnya pipi Jeon sayang. “Kau mengigau. Kau menyebut namanya. Setiap malam tanpa absen.”

“Wayne?”

“Brian.”

Jeon meringis. Pemuda itu menunduk malu sambil meremas-remas ibu jarinya sendiri.

“Itu mimpi buruk? Kau mau kubangunkan kalau terjadi lagi?”

“Tidak. Jangan. Itu bukan mimpi yang jelek, kok,” katanya sambil tersenyum tipis. Ada kilat kecil di matanya, emosi yang ditahannya, tegar yang dibuat-buatnya.

I seen you naked. No need to hold the tears, princess.”

Luruh sudah pertahanan Jeon, pemuda itu meratap. Matanya bergulir ke kanan, ke kiri, meneteskan airmata berantakan kesana-kemari.

“Aku melihatnya, Arthur. Matanya yang biru, kulitnya pucat… seperti aku. Tangannya… aku bisa genggam hangat tangannya. Rasanya setiap pagi masih bisa kukecap di ujung-ujung jari. Betapa tampan dia, Arthur. Betapa lembut. He such an angel. When I finally think I made something so sweet and so kind,“ katanya sambil mengusapi airmata, meski gagal karena tangisnya masih berlanjut hingga membasahi kemeja Arthur.

“Kau punya kesempatan untuk menyelamatkannya waktu itu, kau cuma perlu mengorbankan aku.”

Jeon menunduk, meremas-remas jari sambil menatapi tangannya sendiri, airmatanya jelas menetes-netes ke atas jari.

So why?”

Kau nyata. Dan dia…” Jeon menelan ludah, “Bagaimana kalau lampu itu berbohong dan aku harus kehilangan dia, dan kau juga?”

We live by our choice, so no regret,” kata Arthur sambil mengusap sebulir airmata di wajah Jeon dengan jempolnya. “Kau menyesal?”

Jeon menggeleng cepat-cepat, “Tapi sejujurnya… kupikir… mungkin… kalau kau mau… dan aku siap…”

“Kita bisa culik anak lumba-lumba.”

Jeon melongo, dengan sambil berlinangan airmata membuat Arthur harus berjuang keras untuk tidak mengecup wajahnya.

“Ide bagus,” kata Jeon setengah bingung, sambil mengangguk-angguk, “Ide bagus.”

 

Reviews

  1. kyuuchan

    Si adek akhirnya menyerah akan bruce ? 🤔

Add a review
Beranda
Cari
Bayar
Order