friction /ˈfrɪkʃ(ə)n /
conflict or animosity caused by a clash of wills, temperaments, or opinions.
.
.
.
.
.
.
Chapter yang rate M bisa diakses di website, dan ada cerita baru bisa dicek di profil akuuu
.
.
.
.
.
.
David sudah berada di ruangannya begitu Arthur sampai di markas besar. Pria itu duduk di atas meja, memandangi lukisan minyak kota Indah Sicily yang tergantung tepat di belakang kursi kerja Arthur. Terakhir kali Arthur teringat kepala David dipangkas nyaris plontos. Itu enam tahun lalu, saat David bebas dari penjara. Kini rambut lebatnya tumbuh gelap dan ditata rapi.
Jas hitam yang digunakannya hari itu menjuntai menyentuh pinggiran meja. Tidak ada bodyguardnya disana. Tidak ada siapapun. Kalau sebelumnya Marco datang membawa selusin penjaga, David tahu betul ia hanya perlu membawa batang hidungnya kemari.
Pria ini sudah lama menghilang, memerintah di balik layar, menggerakkan leader-leader cartel yang sudah bersumpah setia padanya— termasuk Arthur. Entah apa yang dilakukannya, entah dimana ia menyembunyikan dirinya selama ini. Arthur tidak ambil pusing. Meladeni permintaan dan perintah David pun sudah cukup menjengkelkannya, dan sekarang melihat pria itu muncul lagi tiba-tiba di tempat ini?
Arthur tahu sesuatu mengusik David.
“Tempat ini jadi lebih luas dari yang kuingat,” komentar pria itu saat Arthur berdiri cukup lama tanpa bersuara di pintu. Mereka belum saling tatap, tapi David sadar pada kehadiran Arthur sejak pria itu muncul semenit yang lalu.
“Marco sudah membawa barangmu dua minggu lalu, apa yang membawamu kemari?”
“Arthur—” David tertawa sambil berbalik, lesung pipinya melengkung dalam, “Selalu curiga padaku, hm?”
Cahaya ruangan agak temaram, tapi Arthur bisa melihat seringai David. Wajahnya kini tampak lebih tua. Ada banyak kerut merut usia tergurat disana, seakan bukan sekedar 6 tahun yang berlalu.
“Rambut barumu bagus juga, kau jadi terlihat muda.”
“Dan kau tambah tua.”
David tergelak. Pria itu bangun dan melangkah untuk menjabat tangan Arthur. Mereka berdiri berhadapan. David tidak sekekar Arthur, tapi tidak kalah tinggi. Pria itu hanya mendongak sedikit saat ia bicara, senyum tidak lekang dari bibirnya.
“Aku akan menjenguk adikku minggu depan, kau mau ikut? Sekalian menengok mantan istri dan anaknya— beri salam sedikit.”
Beri salam. Arthur membayangkan, dengan senjata api dan belati.
Lagipula apa urusannya denganku?
“Itu masalah keluarga. Jangan libatkan aku.”
“Come on. Kau kakak angkatnya di Afganistan dulu. Tidak rindu padanya?”
“Aku tidak mau ikut campur urusan keluargamu.”
“Kau akan ikut campur kalau hidung adikku mengendus sampai kemari. Pilihanmu siaga dari sekarang atau tunggu saat itu tiba.”
“Kalau begitu kita tunggu sampai saat itu tiba.” Putusnya mutlak.
Arthur sudah mendengar desas-desus itu. David yang bertanggung jawab pada kehancuran rumah tangga adiknya sendiri. Dalam hati, ada sesal kecil sempat melintas di benaknya ketika ia mendengar apa yang terjadi pada pria itu. Biar bagaimanapun, Arthur pernah peduli pada adik mereka. Mungkin kalau ditanya, Arthur lebih memilih pergi daripada menghancurkan hidup pria itu.
Tapi David—
David berbeda. David dan Daniel yang terikat darah, tapi rupanya ikatan sesakral itu tetap tidak sanggup menghapus dendam apapun yang dimiliki pria ini untuk adiknya.
Kalau David menginginkannya memimpin pasar Jepang setelah kesuksesan Marco di Korea Selatan, Arthur akan mencari alasan dan berusaha menolak. Jika terpaksa, akan tetap dilakukannya dengan fokus terbagi dua.
Tapi lain hal jika David berniat perang dengan Daniel, Arthur menolak ikut campur. Dan akan ditekannya penolakan itu sejelas tinta hitam ditoreh ke atas kertas putih.
Daniel bukan musuh biasa, bukan lawan cartel yang remeh, bukan competitor mereka di pasar Asia. Ada organisasi raksasa bertameng pemerintah, berdiri di belakangnya, melindunginya, mendukung penuh keputusannya jika pria itu menginginkan wilayahnya atau wilayah Marco digeledah paksa.
Dan Arthur tidak ingin memberi alasan bagi Daniel untuk datang kemari.
“Di mana burung kecil itu?”
Arthur menatap pria itu, tiba-tiba lidahnya kelu. Secepat ini? Ia yakin David sudah tahu sejak lama soal Jungkook. Tapi dengan mendeklarasikan di depan Marco, Arthur juga memberi izin bagi David untuk menodong pertanyaan yang sama seakan-akan Jungkook sudah dikenalnya begitu lama.
“Di rumah,” Arthur menjawab datar. Memutuskan untuk tidak menutup-nutupi lagi. Ia masih bisa melindungi Jungkook, menggunakan cara yang berbeda dari sebelumnya. Sekarang saat semua orang terlanjur mengetahui keberadaannya, akan lebih baik untuk mengakui Jungkook sebagai pelacurnya. Mainan ranjangnya.
Banyak leader cartel punya hal sama, dan tidak seorangpun pelacur diusik dari sisi majikannya. Pelacur bukan ancaman mengerikan. Beda halnya dengan bayi yang dihadirkan secara sepihak oleh hasrat sesaat anak itu—
Arthur hampir mengeram jika teringat lagi. Kalau David sampai tahu…
“Dia sungguhan mainanmu, Arthur? Atau kau serius padanya? Aku tahu dirimu— kau bukan tukang main wanita,” David mengucapkannya dengan nada bercanda. Tapi matanya menatap serius.
Arthur menatap David lama. Apa dengan mengiyakan akan cukup memuaskan David? Tidak. Pria ini datang kemari memang untuk dua hal. Daniel dan Jungkook.
“Jawaban mana yang akan menyenangkanmu?”
David tertawa, melangkah menuju sofa dan duduk di sana. Arthur tidak berniat mengikuti. Pria itu tetap berdiri, menujukkan jelas ia tidak ingin mengobrol lama-lama dan menunggu saat-saat David berpamitan pergi.
“Kau begitu fokus— setelah Lana. No, aku tidak bermaksud mengatakan kematian partner-mu hal yang baik. Tapi dua tahun ini… sangat bagus. Kita hampir menyusul Katarina. Sebentar lagi. Sedikit lagi. Kau tidak akan merusaknya gara-gara seekor burung gereja, kan? Apa perlu kukirim orang-ku untuk menjemputnya? Dia bisa tinggal denganku sampai bisnis kita stabil. Aku jadi penasaran seenak apa dia digunakan di atas ranjang.”
Bibir Arthur bergerak, ingin mengulas senyum namun otot-otot bibirnya kaku tertahan.
“Aku menyukainya. Kau boleh ambil setelah aku bosan. Kalau. Aku. Bosan. Yang jadi pertanyaanku, kenapa tiba-tiba? Apa aku pernah menawar pelacurmu sebelumnya? No. Never,” Arthur mendengus, sudah menahan-nahan diri untuk mengatakan ini sejak tadi.
“Kau takut pada anak ini, David? Teringat masa lalu?”
Kini giliran David yang kehilangan senyum. Rahang pria itu kaku.
Arthur tahu pancingannya berhasil. Jokes soal Katarina masih belum gagal mengusik David. Padahal sudah 10 tahun berlalu. Bagus hal ini keluar dari bibir Arthur. Kalau orang biasa yang mengatakannya, David tidak akan segan membunuh orang itu dengan tangan kosongnya.
Jungkook tidak akan tumbuh sekuat dan semengerikan Katarina…. Kan?
Atau itu mungkin terjadi?
Mungkin Jungkook bisa digemblengnya jadi sekuat Katarina? No. Arthur sudah bersumpah untuk tidak melibatkan Jungkook sedikitpun dalam bisnis kotor ini, lebih-lebih mengajarinya untuk turun tangan. Meski ada gelitik dalam hatinya membayangkan David menggigit bibir kalau suatu saat Jungkook sungguhan tumbuh jadi orang yang sama kuat seperti Arthur, tanpa harus mengkhianati suaminya sendiri.
Jungkook tidak akan berkhianat padanya— paling parah mungkin, mencoba kabur demi seongok nyawa dalam rahimnya. Jungkook bukan Katarina. Anak itu terlalu muda, pikirannya pendek dan keinginannya sederhana. Jungkook hanya perlu diyakinkan kalau Arthur tidak akan meninggalkannya.
“Aku tidak mau hal yang sama terjadi padamu,” David akhirnya bicara.
“Lana tidak bisa berkhianat dan merebut bisnisku. Wanita itu sudah mati, lupa?”
“Aku tidak membicarakan Lana— geez. Kau masih dengar bisik-bisik orang?”
Arthur tidak diam tidak menjawab.
“Kau tahu aku tidak punya alasan untuk membunuh gadis-mu.”
Mungkin? Tidak ada yang bisa menebak isi kepalamu. Kecuali Katarina.
“Ya. Aku tahu itu.”
“Dia mati mengiris tangannya sendiri, masih berpikir ini salahku?”
Tapi putraku tidak mati bunuh diri. Alasan itu juga yang mengirim Lana pada keputusan untuk mengakhiri hidupnya. Wanita itu merasa Arthur tidak bisa menolongnya, atau menolong putra mereka. Semua ini bukan dimulai dari kecelakaan. Seseorang sengaja mengawalinya. Siapa yang punya alasan paling kuat?
Cartel lawan yang menginginkan kehancuran Arthur?
Atau orang dekat yang ingin perhatian Arthur terfokus hanya untuk bisnis haram ini?
Semakin lama Arthur tampak berpikir, David dibuat makin tidak sabar.
“Aku tidak peduli kau sibuk pada mainanmu. Just keep your head in line.“
Arthur mengangkat kepalanya.
….seseorang yang menginginkan fokusnya tidak terganggu.
“Sure, bos.”
“Kau ingin aku pergi? Tampangmu seperti mengusirku sejak tadi.”
“Ya. Aku sibuk.”
“Alright.” David tertawa dan bangun, ia membenahi jasnya. Saat berjalan menuju pintu melewati Arthur, pria itu menepuk bahu besar Arthur dan berpesan terakhir kali,
“Kita mulai Jepang dua bulan lagi.”
Arthur tidak mengantarnya pergi, tidak juga menatap punggung David saat pria itu menghilang di balik pintu. Arthur terlalu sibuk menahan diri, tangannya terkepal.
Dua bulan lagi.
Kerajaannya belum siap.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Setelah Arthur pergi, Jungkook sudah kehabisan stok airmata untuk ditangisi. Anak itu duduk di atas ranjang, memeluk perut seperti takut kalau-kalau Angel datang membawa alat kuret untuknya. Matanya awas, menatap kesana-kemari, mencari celah untuk menyelamatkan diri.
Keputusannya untuk berhenti menangis memang pilihan tepat, karena energi Jungkook terkumpul lagi. Otaknya sudah bisa dipakai berpikir jernih dan kakinya sudah siap berlari. Tapi lewat mana ia harus pergi kalau satu-satunya pintu keluar dihadang oleh pria setinggi Julien?
Julien berdiri di pintu, menatapnya seperti penjaga kerajaan.
“Lihat apa?!” seru Jungkook jengkel. “Sana hadap pintu!”
“Nanti kau keluar lewat jendela…”
“Kalau begitu kunci pintunya dan berdiri hadap jendela!”
Julien bingung, tapi daripada menerima lebih banyak amarah birdie, pria itu memutuskan untuk menurut. Mengunci pintu di belakang tubuhnya, membawa kunci itu, lalu melangkah menuju jendela.
“Aku benci padamu!” Jungkook berseru saat pria itu melewati ranjangnya.
Julien menatapnya terluka. Memang dibanding Martin, James, Damien, dan Jean— Julien yang tampak paling muda. Itu mungkin alasan pertama yang membuatnya dekat paling cepat pada Julien. Tapi teringat lagi olehnya kesetiaan Julien sepenuhnya berada di pihak Arthur. Sekalipun mereka dekat, saat ditanya akan menuruti perintah siapa antara dirinya dan Arthur, Julien pasti tidak memilihnya.
Jadi memelas pun tidak berguna. Apalagi menggunakan airmatanya. Jungkook dipaksa memutar otaknya. Tiap kali memikirkan Angel tengah menyiapkan ruang operasi untuk membunuh bayinya, kakinya berubah lemas lagi. Tapi masih ada waktu. Tidak banyak orang di rumah ini kecuali Julien dan Angel, kan?
Jungkook melirik Julien, ditatapnya punggung pria itu lama. Lalu satu ide muncul dalam kepalanya. Apa yang bisa membuat Julien keluar dari kamar ini tanpa mempedulikan kunci? Ah—
“Aduh!” pekiknya sambil menjatuhkan diri ke lantai. Jungkook berlutut, memeluk perutnya sambil menangis dan merintih kesakitan.
Julien berbalik dan mendelik, pria itu langsung meraihnya dan memapahnya pelan-pelan.
“B-birdie? Mana yang sakit?“
“S-Sakit!” Jungkook memeluk perut dan duduk menyentak-nyentak, berusaha menunjukkan dirinya berada dalam kesakitan yang amat sangat.
Julien menatap agak lama, memastikan sesuatu. Jungkook menggigit bibirnya saat Julien justru memegangi bahunya, bukan keluar mencari pertolongan tapi malah menatapnya setengah tidak percaya.
“Panggil Angel!” paksanya jengkel.
“K-kau tidak pura-pura, kan?”
Jungkook mengerang. Tangisnya hampir pecah lagi karena rasa putus asa. Namun dengan dua tangan memeluk perut, terasa jelas bengkak daging di bawah kausnya —bayinya, yang kini berada di ambang bahaya— dan Jungkook seperti didorong bertindak tanpa berpikir. Anak itu memukul perut Julien, tepat di bawah rusuk menggunakan kepal tangan yang dibuat runcing, seperti yang diajari sensei-nya.
Julien terenyak, tidak sempat mengeluarkan suara saat ototnya dipaksa tegang dan seluruh rasa sakitnya berpusat di bawah rusuk. Pria itu tidak bisa bergerak, tangannya membeku di depan perut saat Jungkook merogoh-rogoh sakunya mencari kunci dan ponsel Julien.
“Kwan-sunbae yang mengajari. Makan tuh!” Jungkook cepat-cepat bangun sebelum Julien pulih. Berkali-kali anak itu menengok kebelakang sambil memutar kunci ke pintu, takut Julien bangun dan menjagalnya. Begitu berhasil keluar dari sana, masih sempat-sempatnya Jungkook mengunci pintu itu dari luar, dibuangnya kunci dan ponsel Julien ke tong sampah.
Dijalannya menuju pintu keluar, Jungkook berpapasan dengan Angel. Wanita itu berdiri diujung ruang tamu, masih dalam balutan jas dokternya, mungkin mendengar jerit Jungkook saat ia berpura-pura kesakitan tadi.
Setelah Julien, Jungkook diharuskan melawan wanita ini? Tidak mungkin Angel bisa dibohongi semudah Jungkook membohongi Julien. Angel pasti berhasil mencegatnya disini, bila mau.
Jungkook merintih tanpa suara, kakinya mundur selangkah saat disadarinya dua tangan Angel sudah terbungkus oleh sarung tangan operasi.
“P-please,” Jungkook memelas, memeluk perutnya dengan tangan gemetaran.
Angel menatapnya sedih, dua kening wanita itu bertaut, lama dia diam seperti tengah memutuskan harus berbuat apa. Sampai akhirnya Angel menyingkir dari muka jalan, memberi ruang menuju pintu.
“Keluarlah, anggap aku tidak lihat.”
Jungkook terenyak, tapi tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Anak itu langsung lari menuju pintu.
“Birdie…”
Jungkook tahu seharusnya ia pergi saja, tapi mendengar Angel memanggilnya begitu lirih, mau tidak mau Jungkook berpaling padanya.
“Arthur tetap akan menemukanmu bagaimanapun caranya.”
Jungkook menggertakkan giginya menahan amarah.
“He can go to hell!” serunya sebelum berlari keluar dari rumah praktek Angel, menolak berpaling lagi sampai tubuh rampingnya menghilang di kegelapan jalan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kabur tanpa rencana jelas bukan keputusan bagus. Hal pertama yang dihadapinya setelah keluar dari rumah Angel dan menemukan transportasi untuk pergi jauh-jauh adalah; mencari tempat tinggal sementara.
Dimana ia harus menginap?
Hotel. Hotel pilihan tepat. Jungkook terpikir. Tapi saat masuk ke salah satu hotel di pinggiran kota besar Detroit, Double Tree, Jungkook ditampar kenyataan keras.
Di dompetnya hanya ada lima lembar 100 dollar, kartu debit yang dibuatnya dulu saat masih bekerja jadi pembantu, dan black card yang dibuatkan Arthur untuknya.
“200$ per-malam untuk kamar Deluxe, dan 500$ untuk Suites,” karyawan di meja resepsionis memasang tampang bosan saat Jungkook hanya menatapnya sambil memegangi sesuatu di depan dadanya. Anak itu termegap, mungkin kaget mendengar harga kamar yang baru saja disebutnya itu. Tapi untuk apa datang kemari menanyakan harga sewa kamar kalau tidak menyiapkan uang lebih dulu? Dan apapun yang dipegangnya di depan dada tertutup oleh meja keramik diantara mereka.
“Anda ingin kamar lainnya?”
Tidak! Jerit Jungkook dalam hati. Kenapa mahal sekali?!
Jungkook bisa menginap disini selama apapun jika menggunakan kartu kreditnya. Tapi menggunakan benda ini… Jungkook menatap kartu hitam di tangannya dengan perasaan berat— dengan menggunakan benda ini sama saja seperti mengundang Arthur kemari. Menggunakan tabungan lamanya yang berisi tidak lebih dari 2000 dollar atau lima lembar 100 dollar di dompetnya jelas bukan pilihan tepat. Ia harus berpikir panjang— seandainya ia mesti pergi lebih jauh lagi dan memulai hidup baru. Batinnya meringis membayangkan itu.
Dua ribu lima ratus dollar untuk memulai pelariannya dari monster seperti Arthur—
“Aku tidak jadi ambil kamarnya, maaf.”
Jungkook bahkan meninggalkan ponselnya di rumah, dan itu bagus juga. Jungkook yakin Arthur memasang pelacak disana.
Jungkook keluar dari Double Tree dengan langkah lunglai. Ia juga tidak ingin mengambil taksi. Terlalu mahal. Terlalu mahal. Pikirnya.
Disusurinya trotoar besar Detroit sambil menahan sesak di dada. Jungkook melangkah di bawah lampu-lampu jalan. Menatap kesana-kemari dengan waspada. Tubuhnya kecil, jadi mudah baginya bersembunyi jika ia melangkah dekat di jalan-jalan blok. Kalau sesuatu terjadi, kalau orang-orang Arthur melihatnya disini, ia tinggal lari masuk ke lorong yang gelap. Lari terus sampai kakinya tidak sanggup lagi dipakai berdiri.
Teringat lagi saat terakhir kali, ketakutan menjadi-jadi justru membantunya kabur dari Jinwook. Ia datang pada Arthur saat itu. Dan sekarang…
Jungkook kabur dari Arthur…
Berapa lama ia bisa sembunyi?
Arthur punya uang dan kekuatan untuk membeli nyawa seseorang. Betapa murah harga nyawanya sekarang jika dipikirkan.
“We can do this, we can do this,” rapalnya bagai mantra sambil mengatup perutnya. Seperti membagi motivasi setengah frustasi itu pada bayinya.
Jungkook menemukan hostel kecil yang agak terselip di belakang gedung-gedung pencakar langit Detroit, hostel yang harus dilewati dengan berjalan kaki karena jalan menuju kesana begitu mungil dihimpit pagar-pagar gedung lain.
15 dollar semalam untuk sebuah kamar ukuran 4×3 dengan kamar mandi di dalam.
Jungkook memberikan lembar uangnya dengan berat hati, ditukarnya jumlah itu dengan sepasang kunci kamar. Baru sekarang disadarinya jumlah uang itu begitu besar. Dulu sebelum mengenal Arthur mungkin Jungkook pun berat dalam mengeluarkan 5$ sekedar untuk menginap. Arthur membuatnya melupakan banyak kesusahan, tapi dalam semalam juga pria itu menyadarkannya kalau Jungkook selama ini dibeli. Seperti seongok barang, seperti sebongkah boneka. Cantik, enak jadi teman tidur, lebih bagus dijaga dan dipelihara tetap seindah benda, tidak boleh dibiarkan mengandung.
Punya bayi mungkin merusak tubuhnya, dan menurunkan kesempatannya untuk didaur ulang. Punya bayi juga akan semakin menyulitkan Arthur membuangnya ketika pria itu sudah bosan padanya.
Jungkook terisak setelah mengunci pintu di belakang tubuhnya, dipasangnya gerendel pintu atas dan bawah lalu diceknya apakah jendela juga terkunci. Ia merasa begitu paranoid, tapi sadar betul ruangan kecil ini tidak cukup untuk melindunginya dari Arthur.
Peduli setan.
Menyerah tanpa usaha dan membiarkan bayinya direbut paksa? Jungkook harus mati dulu sebelum itu terjadi. Ia memimpikan keluarganya sendiri, sudah sejak belasan tahun lalu. Sekarang saat ia punya kesempatan untuk memiliki sanak famili yang tidak akan meninggalkannya karena perkara bosan atau karena ada dua genitalia di antara selangkangannya, Jungkook menolak menyerahkan kesempatan itu dengan sukarela.
Akan diperjuangkannya bayi ini sekalipun Arthur menolak memberikan tangan untuk membantu. Kalau ini jadi perjuangan hidup-mati melawan Arthur, akan dijalankannya juga tanpa pikir dua kali.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ini lebih berat dari yang dibayangkannya kemarin. Seminggu pertama hidup sendiri di dalam kamar murah dan sempit ini, Jungkook masih bisa menyombongkan diri. Merasa bangga sudah berhasil sembunyi dari Arthur 7 hari lamanya tanpa berpindah tempat. Ia masih banyak menimbang akan kemana langkah lanjutan yang akan diambilnya. Pergi ke luar negri kah? Jungkook ingat ia tidak punya paspor, tidak pernah bepergian dengan pesawat sebelumnya. Apa sebaiknya mengincar pedesaan terpencil? Tapi dimana ada desa di Negara Bagian sebesar Michigan?
Lalu masalah lain datang.
“UHNGGGH!” Jungkook mengatup mulutnya dan lari cepat-cepat menuju kamar mandi. Terseok ia berlutut di hadapan kubang toilet dan menumpahkan seluruh rasa mualnya disana. Meski tidak ada yang keluar dari kerongkongannya selain bulir saliva. Matanya panas, kerongkongannya perih, dan semakin ia mencoba memuntahkan sesuatu semakin besar rasa mual mengembang di perut sampai ke rusuk.
Hampir 45 menit setiap pagi dihabiskannya begitu, berjuang memuntahkan sesuatu yang kasat mata. Ketika kelelahan dan tersengal, Jungkook hanya sanggup membaringkan wajahnya di dudukan toilet. Terengah-engah, liur mengalir di sudut bibir yang basah. Sudah tidak dipedulikannya lagi dudukan toilet menempel di wajahnya.
“Aku mau daddy,” Jungkook merintih meremas perutnya, airmatanya meleleh di pipi, jatuh berlinangan ke dalam toilet. “Tapi dia tidak menginginkan kita, baby.”
Jungkook menggigit bibir dan mengusap perutnya. Rasa sayang dan sesalnya bercampur jadi satu. Di tengah dunia yang begini kejam bayinya harus lahir. Diburu oleh ayah sendiri, untuk dibunuh sebelum sempat bernapas.
Jungkook memeluk perutnya lebih protektif.
Dipandanginya keramik putih dinding. Pantulan dirinya tampak samar, duduk terpekur menjadikan toilet sebagai bantal.
Jungkook senang ditatap saat menangis, ditunggui saat menumpahkan emosi. Biar orang tahu apa yang mereka perbuat sudah melukai hatinya. Karena itulah meski jarang merespon airmatanya, Jungkook merasa Arthur sering menatapnya dengan cara seakan-akan pria itu ikut terluka. Tapi disini sampai matanya merah dan pedas, keramik dinding di hadapannya tidak akan merespon tangisnya.
Apa Arthur masih suka padanya? Apa masih teringat olehnya rasa enak tubuh Jungkook saat digagahi? Tight young cunt, katanya.
Kini Jungkook menyadari ia memang terlalu muda. Sedangkan Arthur? Arthur melewati kehidupan yang panjang dan berbeda, delapan belas tahun lebih dulu darinya. Jungkook tidak bisa membaca apa yang diinginkan dan dipikirkan pria itu. Apakah Arthur benar-benar menginginkannya? Selayaknya manusia, yang dijaga perasaannya dan ditanya apa keinginannya. Bukan mainan dan pajangan, disimpan dalam rumah agar tidak tertempel debu dan dijaga fisiknya agar tetap enak dipandang.
“Fuck off with him!” Jungkook memutuskan dengan amarah menggebu-gebu begitu energinya pulih. Anak itu berdiri meraih jaketnya, satu-satunya benda yang dibawanya selain dompet dan baju menempel di badan. “Kau mau makan pizza, ya? Aku yang akan carikan,” katanya sambil memegangi perut.
Jungkook melahap satu kotak kecil pizza untuk dirinya sendiri, sambil jalan dengan kupluk jaket dikenakan agak tinggi. Ia menyusuri trotoar agak di pinggir, menghindari tatapan orang yang berlalu lalang. Lagipula kota ini begitu sibuk, sosok sekecil dirinya pasti tidak kasat mata. Kadang-kadang setelah puas dan kenyang melahap makanan yang diidamkannya, Jungkook teringat bayinya butuh nutrisi. Tidak peduli baik dirinya atau bayinya sendiri menolak menelan makanan sehat, Jungkook tetap membeli buah-buah dan sayur yang akan dikunyahnya pelan-pelan sambil menonton TV dan menangis tanpa suara. Tidak ada korelasi antara tontonan berita yang disaksikannya dengan airmata yang selalu saja meleleh tiap kali Jungkook jatuh melamun. Karena ada-ada saja situasi dan waktu yang membawa memorinya kembali ke pinggiran Detroit, ke rumah kecil Arthur; ke pekarangan sempit tempat mereka sering duduk berdua mengutak-atik mesin motor; ke ranjang kayu pria itu, tempat Arthur menindihnya, kulit bertemu kulit, dimana bisikan ‘so pretty for me’ dan ‘baby girl’ terdengar begitu tulus.
Menghadapi hati yang sesak bukan situasi yang mengenakkan mengingat Jungkook juga harus bertarung dengan rasa mualnya tiap pagi.
Jadi jika hari masih siang, Jungkook lebih senang menghabiskan waktu di luar hostelnya. Mengalihkan pikirannya. Duduk di taman memandangi orang melempar makanan pada burung-burung. Kegiatan yang tidak butuh uang, tapi cukup membantu mengusir Arthur sejenak dari benaknya.
Lembar uangnya menipis dan sebisa mungkin Jungkook tidak ingin menyentuh digit tabungannya. Apa ia perlu mencari kerja? Sementara sambil menyusun rencana?
Jungkook sedang menatap satu-satu toko yang dilewatinya, berbagai brand pakaian dan kosmetik terkenal saat anak itu berpapasan dengan toko berplang Tiffany & Co.
Jungkook menatap cincin putih bermata di jari manisnya, cincin kawinnya. Ia menekuri benda berkilau itu dan bergantian dengan plang toko perhiasan di depannya. Agak lama sambil berpikir.
52 ribu dollar sepasang, kenangnya.
Kalau bisa menjualnya dengan setengah atau sepertiga harga, Jungkook bisa menambah tabungannya untuk kabur.
Jungkook menatap plang toko itu satu kali lagi, seperti memutuskan perkara hidup dan mati. Ia sudah berjanji menjual nyawa dan jiwanya demi bayi dalam perutnya. Jadi cincin kawin yang dibelikan Arthur fucking Dechlan mungkin lebih bagus dijual saja.
Jungkook segera masuk ke toko itu sebelum rasa cintanya pada Arthur membuatnya berubah pikiran lagi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
’20 kilogram lagi ke Toronto. Kau yang antar, Arthur. Aku ingin mengenalkan seseorang padamu.’
Arthur meletakkan tablet besarnya pelan-pelan ke meja, meski sesungguhnya pria itu ingin sekali membanting gadget di tangannya sampai hancur berkeping-keping.
Dua minggu ini memang perkembangan yang bagus, bagi Marco dan David, bukan baginya. Mereka berhasil mengenspasi pasar Korea Selatan dan memperkuat posisi disana. David memang pernah menyebut seseorang, dengan nama Korea, yang dielukannya berhasil menggiring mereka menguasai pasar awal Asia Timur. Tinggal tunggu waktu sebelum menyentuh Jepang, dan bukan tidak mungkin pilihan selanjutnya akan jatuh pada Arthur. Pria itu masih enggan menyentuh pasar yang begitu jauh dari Amerika. Untuk apa?
Semakin jauh semakin menyulitkannya memantapkan kerajaannya sendiri. Ditambah lagi dengan kelakuan birdie akhir-akhir ini—
Martin menggebrak pintunya terbuka. Paras pria itu agak tegang, dipegangnya ponsel di atas tangan. Kalau ini situasi biasa, Martin pasti langsung kabur sambil tertawa sebelum bos besar mendampratnya. Tapi pria itu berdiri kaku di depan pintu seperti membawa informasi penting sekaligus sadar kelakuannya barusan membuat Arthur tidak berkenan.
“Soal birdie?” Karena kalau bukan, Arthur sudah berniat mengamuk. “Siapa yang pergi hari ini?”
“Cameron dan Lucy yang mengawasi hari ini.”
“Oke,” Arthur mengayun tangannya menyuruh Martin maju lebih dekat. Arthur memang menyuruh anggota wanita yang pergi memata-matai Jungkook, sekaligus mengawasi anak itu, menjaganya kalau-kalau ada mata lain mengincarnya di luar sana. Dengan mengirim wanita mungkin akan mengurangi kecurigaan Jungkook, karena biar bagaimanapun anak itu belum pernah melihat seluruh anggota cartelnya, yang sesungguhnya bukan berjumlah puluhan.
“Dia menjual cincinnya, bos.”
“What?!” Arthur mendelik. “Cincin yang mana?!” padahal dalam hati, Arthur sudah tahu. Tapi entah kenapa ia sakit hati mendengar Jungkook menjual cincin itu.
“Yang dia bilang hasil curian?”
“Itu cincin kawinnya,” Arthur mengeram, menggertakkan gigi dalam mulutnya menahan emosi. “Beli ulang benda itu sekarang, Martin.”
“Alright, boss. Kukabari Cameron untuk menebus cincin itu sekarang.“
“Kau membanting pintu ruanganku untuk itu?”
Martin menatapnya, jelas menelan ludah dan menghela napas dulu sebelum mulai bicara.
“Kenalanku bilang seseorang atas nama Jeon Jungkook memesan satu tiket ke Nevada, jadwal berangkatnya malam ini.”
Arthur diam saja, meski keningnya berkerut dalam.
Anak itu serius ingin kabur darinya. Tapi Jungkook tidak sadar Arthur bisa mengirim orang dan uangnya sampai ke ujung dunia. Anak itu boleh kabur sampai puas, janinnya tetap bisa digugurkan meski usia kandungan sudah menginjak lima bulan. Lagipula Arthur butuh Jungkook berada jauh-jauh darinya untuk saat ini.
“Ikuti saja. Jangan sampai ketahuan. Kirim anggota wanita, jangan wajah-wajah yang dikenal birdie.”
“Tapi—” Martin maju lebih dekat, menunjukkan beberapa deret foto yang diterimanya sore itu. “Kau harus lihat ini, bos.”
Tujuh tiket dengan tujuh nama berbeda. Tapi Arthur langsung menyadari kejanggalan yang dimaksud oleh Martin.
Ketujuh tiket itu punya jadwal yang sama. Malam ini ke Nevada.
“Kau kenal mereka?”
“Orang-orang David. Apa berlebihan kalau aku curiga sejauh ini…?”
“Tidak,” Arthur menggeser layar ke kanan dan ke kiri, alisnya bertaut dan keningnya berkerut lebih dalam. David tidak punya urusan di Nevada. Itu wilayah Abel. Apapun alasannya, sekalipun untuk main-main dan berjudi, agak tidak mungkin 7 orang bawahan David pergi bergerombol ke tempat itu… tepat saat Jungkook juga memutuskan untuk melarikan diri kesana.
Arthur meraih ponselnya dan melangkah menuju pintu, “Siapkan mobil dan orang sekarang.”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa setor votes dan comment, ini pake perjuangan lho ngetik di hp </3
Jangan lupa juga baca ff Arthur x David 3 author lain yang udah aku list di reading list aku yahhh <3
Selamat malam mingguaaaannn
Nih om unch unch mau jemput dedek dulu
Dan dedek unch unch ga mau dijemput om
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Braven – 13. Enamour
Author: Miinalee -
🔒 Muscular Hands
Author: _baepsae95 -
🔒 Braven – 29. Fractured
Author: Miinalee -
🔒 Sky Above
Author: _baepsae95
Reviews
There are no reviews yet.