Sepuluh menit berlalu sejak Jungkook masuk ke kamarnya, duduk di depan cermin menatapi diri sendiri. Arthur bahkan tidak meresponnya dengan deheman seperti biasa. Pria itu menatap Jungkook dengan dua alis bertaut.
“Ini benar-benar membingungkan,” pemuda itu berdecak, menggeleng-geleng kepala, tanpa mengalihkan pandangannya dari kaca. Sambil ditatap wajahnya sendiri, pemuda itu berkata, “Kenapa bisa aku lahir dengan wajah setampan ini?”
“Jesus Christ,” Arthur mengumpat pelan, menyesal mengalihkan perhatiannya sebentar tadi untuk meladeni Jungkook. Pria itu bergeleng-geleng sambil menunduk, sibuk mencatat sesuatu lagi di atas bukunya.
Tapi Jungkook disana, apa yang dilakukan pemuda itu dan apa yang dikatakannya, membuat Arthur lagi dan lagi mengangkat kepala. Tubuhnya tidak pernah bisa diajak kerja sama bila menyangkut Jeon Jungkook.
“Ya Tuhan, lihat dia…” Jungkook terkesiap sambil mengatup dadanya dramatis.
“Kau ganti kesibukan sekarang? Bukan klub basket lagi? Biar kutebak, klub drama?”
Jungkook mengabaikan, kali ini pemuda itu mengusap pantulan wajahnya di cermin. “God gives more time for this face, daddy.”
“Yea, yea, sure.” Arthur menjawab bosan. Ada pekerjaan yang harus diselesaikannya dan mungkin akan makan lebih dari dua jam. Baiknya ia mulai mengabaikan Jungkook dan entah apapun drama yang direncanakan pemuda itu di luar kepala. Niat itu sudah akan di mulainya, sampai Jungkook berdiri dramatis hingga kursi rias di belakangnya jatuh jungkir balik.
“Oooh,” seru pemuda itu, “Tuhan benar-benar kurang kerjaan. Buang waktu lebih banyak cuma buat menciptakan aku. Mungkin kalau Dia biasa buat satu manusia dalam satu detik, dia pasti makan sepuluh menit cuma untuk merencanakan tampang semenawan ini.”
“Bird, Julien knows Shakespeare better, why don’t you—“
“Dan badan ini, Daddy,” Jungkook berbalik padanya, tahu-tahu kancingnya lepas dari leher hingga ke pusarnya.
Arthur hampir melongo melihatnya.
Sepasang tulang selangka mencuat di atas dada mulus, pucat dan mengilap. Arthur tahu usaha besar Jungkook untuk membentuk tubuh macam itu, tiga pasang otot kencang di atas perutnya seakan dipahat sempurna. Pun bila tubuh macam itu tampak kontras dibandingkan dengan wajah Jungkook, Arthur tetap tidak akan mengeluh. Lebih-lebih saat Jungkook menatapnya dengan raut dramatis sambil menarik kemejanya lebar-lebar, bagai Romeo menawarkan jantungnya pada Juliet.
Dalam hal ini, Arthur tidak keberatan dianggap Juliet.
“Jeez! I’m a hot papa. Can you believe God created life inside this frikkenly gorgeous belly?” ujarnya sambil mengusap-usap belahan six packnya. Kali ini Arthur bingung, mungkin pemuda itu sungguh-sungguh terpesona pada tubuhnya sendiri, pada hasil usahanya berminggu-minggu untuk membentuk tubuh macam itu.
Membayangkan betapa kesombongan macam ini akan dirusaknya dalam waktu tiga minggu, Arthur tidak sanggup konsentrasi lagi. Pria itu duduk bersandar di kursinya, menyeringai.
“Jadi kau buat Nymeria denganku atau dengan Tuhan?”
“Tangan Tuhan, lewat kau.”
“Lewat aku.” Pria itu berdiri, ikut-ikutan membuat kursi besarnya jatuh jungkir balik.
Jungkook nyengir begitu lebar saat Arthur menangkap tubuhnya dan mengangkatnya hingga selangkangan mereka bertemu.
“Tunggu, aku baru ingat kau banyak pekerjaan, daddy….” Jungkook menahan dada Arthur, tampang seriusnya dibuat-buat saat ia berkata, “Bukannya gara-gara itu kau harus mengabaikanku? Busy-busy daddy is busy.”
“Work worth wait for.” Arthur berbisik, sambil melahap cuping telinga Jungkook. Diangkatnya pemuda itu hingga Jungkook duduk di atas meja rias, lalu dikulumnya tengkuk lembut itu.
“Wear condom, mister.”
“You have your pills, why worries that much?”
Jungkook terengah, mulut besar Arthur melahap lehernya, menyesap sekuat tenaga.
“Ohn—kayh—”
Ya kan? Apa yang perlu dikhawatirkan?
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Braven – 29. Fractured
Author: Miinalee -
🔒 Dunia Lain: Prolog
Author: Ipul RS -
🔒 Hidden Chapter 15-0
Author: _baepsae95 -
🔒 Sugar, Baby – Special Ch
Author: Narkive94
Reviews
There are no reviews yet.