Braven – 17. Cul De Sac

Author: A Little Bits of Everything

cul-de-sac /ˈkʌldəˌsak,ˈkʊldəˌsak/

a route or course leading nowhere

an end of a road or passage from which no exit is possible

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ia tidak boleh menghabiskan lebih banyak uang dan waktu.

Itu yang melintas di benak Jungkook di tengah perenungannya siang itu di taman kota Detroit. Jika bertahan lebih lama di kota ini, lambat laun seseorang akan menemukannya. Arthur punya banyak tangan dan banyak mata, mereka ada dimana-mana. Pelariannya selama seminggu ini pun mungkin hanya satu keajaiban yang tidak akan berlangsung lama.

Jadi di jalan pulang menuju hostel, Jungkook berbelok sebentar untuk memesan tiket. Tujuan yang dipilihnya cukup jauh, namun tidak butuh paspor untuk pergi kesana. Tempat itu masih bagian Amerika. Carson City, Nevada. Mungkin… Mungkin, Jungkook bisa memulai hidup barunya disana. Bersama bayinya. Melanjutkan kesempatannya untuk punya keluarga, darah dan dagingnya sendiri.

Jungkook memutuskan untuk check out dari hostelnya malam itu juga. Menginap semalam di bandara Nevada rasanya tidak masalah. Sekalian menunggu pagi dan mencari tempat tinggal yang baru. Barangkali Jungkook juga bisa menemukan kota terpencil yang bisa ditujunya untuk jadi tempat tinggal jangka panjangnya, sampai ia sanggup membuat paspor sendiri dan kabur lebih jauh lagi. Jungkook terpikirkan Bangkok, atau Korea Selatan sekalian. Wajahnya sepertinya lebih mudah diajak berbaur di Asia.

Tapi begitu sampai di bandara, kakinya berubah gemetar. Jungkook melangkah masuk ke gate keberangkatan domestik dengan rasa bimbang. Belum pernah ia pergi begitu jauh. Paling jauh ke Ohio. Itu pun… ditemani oleh Arthur. Mana ada orang berani menyentuhnya saat ia berjalan bersisian dengan pria sedominan Arthur?

Dan disini 30 kilometer dari Hillsdale, Jungkook justru berusaha mengambil jarak lebih jauh dari pria itu.

“Jang Cook, John?”

“Jung-kook, Jeon,” ralat Jungkook tidak berguna. Pegawai bandara mengetik namanya dengan benar, hanya tidak bisa mengeja dengan sempurna. Itu tetap menjengkelkan.

“Ada bagasi?”

“Tidak ada.”

Jungkook bersandar di meja besar check in sementara pegawai bandara mencetak tiket untuknya, anak itu menatap sekelilingnya. Malam sudah menjelang tapi tempat ini tetap sibuk tanpa kenal waktu. Alangkah baiknya jika ia bisa hidup jauh dari kebisingan ini, aman dari hingar-bingar, terlindung dari cecar mata Arthur yang menginginkan nyawa bayinya.

Belum lewat dua bulan ia mengira pria itu akan jadi pelarian terakhirnya. Tempatnya berlindung. Tempatnya pulang. Rumahnya. Tapi nyatanya mimpi itu terlalu berlebihan. Jungkook tidak punya apa-apa untuk ditukar, selain tubuhnya yang pasti menua dimakan usia. Tidak selamanya ia akan jadi remaja.

Arthur terlalu mewah untuknya. Memimpikan pria itu menginginkannya tanpa pamrih sama seperti pungguk memimpikan bulan.

Tidak apa. Jungkook menghibur diri. Ia sudah dapat sebagian dari pria itu untuk memulai hidup dan keluarganya sendiri. Ia tidak butuh hal lain lagi. Ia takut jika mengharapkan lebih banyak dari Arthur justru akan membuatnya kehilangan segalanya.

Jungkook menahan napas, menghela emosinya yang hampir tumpah lagi. Ia menekan tangan ke perutnya. Akan ditemukannya tempat yang jauh dari bandara. Tempat yang harus diraih dengan kendaraan biasa. Ia pasti aman disana… kan?

Dilihatnya sekali lagi tempat itu, ini lokasi terakhir yang akan diingatnya tentang Detroit.

Empat pintu masuk besar terpisah tiap tiga ratus meter, tempat tiap menit orang masuk menyeret koper dan troli bagasi. Orang-orang sibuk melanjutkan perjalanan mereka, melanjutkan kehidupan mereka. Semua orang terlalu sibuk dengan diri mereka sendiri, Jungkook merasa begitu kecil di tempat ini. Tidak seorangpun meliriknya lebih dari sekali… Kecuali mungkin, bagi seorang pria yang berdiri lima belas meter darinya.

Mata pria itu bertemu dengannya. Kalau saja pria itu tersenyum dan membuang muka dengan santai, Jungkook mungkin akan mengabaikan perasaan aneh di dadanya. Tapi melihat cara pria itu buang muka secepat kilat dan pura-pura sibuk dengan ponselnya membuat perasaan Jungkook berdesir. Anak itu cepat-cepat mengambil tiketnya dan berbalik, menuju jalan yang berlawanan sambil terus mengawasi keadaan di belakang tubuhnya, berharap pria itu menghilang dan semua ketakutan ini hanya halusinasinya.

Saat berpaling sekali, pria bertopi itu melangkah di belakangnya, agak terang-terangan menunjukkan diri tengah mengikuti Jungkook. Dua orang lain muncul, menghimpitnya, mengangkat kaki ke arah yang sama. Menuju Jungkook.

Pesawatnya berangkat dua jam lagi. Terlalu lama!

Sialan.” Jungkook mengumpat, langkahnya berubah setengah berlari. Kenapa sekarang?! Padahal sudah tujuh hari ia berhasil menyembunyikan diri. Agak kasar dihapusnya sebulir airmata yang meleleh di pipi, kalau dibiarkannya airmata itu akan menularkan rasa takut dan memancing gemetar sampai kaki.

Jungkook berusaha mencari jalan ramai, tempat orang berlalu-lalang. Saat dilihatnya sosok penjaga gerbang berdiri di gate 3, Jungkook berusaha meraih pria berseragam putih-hitam dan bertubuh besar itu.

Tapi lima meter sebelum mencapai pria itu, Jungkook membaca bibirnya, pria itu bicara pada walkie-talkie-nya sambil menatap Jungkook.

‘Gate 3. Dia disini.’

Jungkook terenyak. Hampir menjerit disana. Ia nyaris terpeleset jatuh saat memaksa langkahnya berputar 180 derajat. Anak itu berlari, mencari jalan lain yang tampak oleh matanya. Koridor besar international arrival dijaga ketat. Hanya ada lorong lain, lebih kecil, menuju ruang pegawai dan toilet. Dalam benaknya, Jungkook tahu mencari jalan sempit bukan pilihan yang tepat. Tapi di tempat seramai ini saat penjaga bandara pun kongkalikong dengan Arthur?! Pilihan apa yang dia punya?

Kakinya gemetar. Sekuat apapun ia menahan rasa takutnya.

Tidak ada siapapun yang berpapasan dengannya saat Jungkook memutuskan untuk masuk ke satu pintu exit. Tapi ia mendengar suara derap boots yang berat, tepat di belakangnya. Matanya mencecar, kesana-kemari berusaha mencari senjata yang bisa digunakannya untuk melawan.

Di ujung jalan, tiga pintu menghadangnya. Dua terkunci. Saat Jungkook setengah panik berusaha meraih kenop pintu ketiga, suara boots sudah terlalu dekat darinya.

“Bilang pada Arthur, aku tidak akan kembali lagi ke Hillsdale!” pekiknya tanpa berbalik. Tidak berani mengecek sama sekali kalau-kalau ditemukannya Martin atau Julien yang ternyata mengikutinya sejak tadi.

“Bilang langsung pada Arthur.

Kaki Jungkook berubah lemas saat suara familiar itu yang muncul di belakang tengkuknya. Ia berbalik dengan gemetar, dua kakinya hampir menyerah.

Arthur berdiri di belakangnya, membawa-bawa ekspresi yang sama seperti terakhir kali mereka saling tatap di rumah Angelina. Paras pria itu kaku keruh, seakan Arthur masih bersikeras menagih nyawa dalam perut Jungkook.

Jungkook memutar otak, mati-matian memikirkan jalan keluar. Buntu. Sebuntu jalan yang ditutup tubuh besar Arthur.

“Fuck you!” jeritnya dengan airmata berlinangan. Kakinya tidak jadi menyerah. Jungkook justru berjinjit, melotot pada Arthur dengan sorot merah basah dan airmata berlinangan. Rahangnya kaku, seperti menahan lebih banyak emosi yang sebenarnya menggebu-gebu untuk ditumpahkan.

Kenapa?

Aku mencintaimu

Kau main-main denganku

Bilang kau menyesal

Cium aku, sialan!

Ia seperti berada dalam mimpi. Jungkook menampar dirinya sendiri dalam hati. Arthur tidak akan pernah membalas cintanya. Pria itu hanya menginginkan tubuhnya.

“Kau menutup jalanku, minggir bajingan!”

Kau pintar mengumpat sekarang?”

FUCK YOU!” ulang Jungkook lagi dengan kemarahan menjadi-jadi.

Arthur mengeram, meraup Jungkook dan mendorong anak itu masuk ke pintu ketiga. Toilet wanita. Kosong dan kotor seperti tidak digunakan.

Arthur hampir mengangkat Jungkook agar lebih mudah memaksa anak itu bergerak sesuai keinginannya. Tapi bukan Jungkook jika anak itu menurut. Jungkook justru menggunakan seluruh tenaganya, mengerahkan gerakan yang dipelajarinya dari Kwan untuk membuat Arthur minggir sedikit saja.

“Lepaskan aku!”

Arthur bisa dengan mudah menutup pemberontakan itu, tapi juga sangat mungkin menyisakan luka yang tidak akan pernah hilang. Jadi pria itu mati-matian menahan diri, mengeram, mencengkeram bahu Jungkook dan mengangkat anak itu masuk ke satu kubik toilet. Mereka tidak bisa sembunyi disini. Terlalu sempit— pikirnya, sambil memokuskan diri mencari suara yang mungkin muncul menyusul mereka. Sudah terlambat untuk keluar dari sini. Ia tidak bawa senjata.

JANGAN SENTUH AKU, SIALAN!” Jungkook menghentak marah saat Arthur mengangkatnya. Ia menghantam perut Arthur menggunakan lutut, berhasil membuat pria itu mengerang, tapi tidak cukup untuk membuat Arthur mundur. Lututnya sendiri mati rasa setelah melakukan itu.

Arthur mendelik padanya, seperti mengancam.

Diam.

“Kubilang minggir!” pekik Jungkook sambil menarik kepala Arthur dan melahap telinga pria itu. Digigitnya sekuat tenaga sampai Arthur meraung dan menghempas Jungkook ke dinding toilet.

DIAM!” Arthur membekap mulut Jungkook dan mencengkeram pinggang anak itu. Tangan besar pria itu melingkari hampir setengah diameter perut Jungkook, menekan cukup kuat di atas gumpalan daging yang berkedut-kedut dalam rahimnya.

Diam atau kuremas dia sampai remuk.”

Jungkook membatu, punggung dan belakang kepalanya menghantam dinding di atas toilet. Pandangannya berkunang dan setengah badannya merintih kesakitan. Ia gemetaran. Mengingat cara Arthur menghantamnya dan melihat cara pria itu menatapnya… Jungkook terlalu takut untuk mengangkat tangan dan mengatup perutnya sendiri.

Ujung daun telinga Arthur sobek, darah mengalir deras mengotori pipi dan tengkuknya, terus mengalir turun menyusuri guratan tato di lehernya.

Beberapa detik mereka diam disana. Arthur seperti mengumpulkan fokusnya dengan menatap lantai. Jungkook memungut keberaniannya yang berserakan. Tapi tangan Arthur membekap mulutnya, mulut itu senjata andalannya. Dan Arthur mencengkeram perutnya— lokasi yang kini jadi kelemahan terbesarnya. Jungkook tidak bisa bergerak, selain membiarkan airmatanya berlinangan membasahi tangan besar Arthur.

Pintu di luar didobrak terbuka. Jungkook berjengit. Arthur mendelik padanya, menyuruhnya diam tidak bergerak menggunakan tatapan mengerikan itu.

“Aku mendengar suaranya—”

“Seseorang mengikutinya juga— mungkin orang-orang Arthur? Arthur tahu kita kemari?”

“Mungkin?”

Martn’?”

“Tidak. Pria itu terlalu besar.”

“Arthur?”

“Tidak mungkin. Rambutnya pendek.”

Mereka melihatnya masuk ke lorong ini tapi tidak mengenalinya. Arthur bersyukur. Mata Jungkook mengikuti gerak-geriknya. Tidak paham sama sekali.

Diam.

Arthur bicara tanpa suara. Bibirnya bergerak-gerak pelan, agar Jungkook yang gemetar dan ketakutan setengah mati dalam jagalannya mengerti.

Mereka bukan orang-orangku. Diam.

“Seseorang disini.”

Arthur berdiri lebih awas. Cengkramannya di perut Jungkook mengendur.

Benar. Mana mungkin sembunyi di tempat ini. Jungkook mungkin bisa duduk di atas toilet dan mencegah seseorang menyadari kakinya lewat sela-sela kubik. Tapi Arthur? Arthur terlalu besar, bukan sosok yang sepantasnya sembunyi.

DARR!

Arthur tidak memprediksi ini. Satu tembakan dilepas, menembus pintu toilet dan menghantam dinding keramik. Tiga sentimeter di sisi pipi Jungkook. Serpihan dinding dan cat menghambur mengotori bahu dan wajah anak itu. Jungkook mendelik, terlalu kaget untuk merespon apapun.

KAU GILA?!”

“BOS MAU ANAK ITU HIDUP-HIDUP!”

Arthur mengerang, tangannya berubah gemetar membayangkan peluru itu nyaris menyentuh Jungkook. Pria itu mendelik marah dan menghantam pintu di belakang tubuhnya sampai terlepas dari engselnya. Diraupnya satu wajah paling dekat, dan dihantamnya ke dinding sebelum siapapun dapat kesempatan untuk menyadari keadaan. Lagipula hanya dua suara yang didengarnya. Jadi saat satu tumbang dengan tengkorak kepala belakang pecah, Arthur hanya perlu melawan satu sisanya.

DARR

Satu tembakan dilepas lagi, berhasil menembus bahu Arthur, tapi tidak cukup menghentikannya. Senjata yang tergeletak di lantai di sisi korban pertamanya punya daya hantam yang lebih besar, dan senjata itu pasti digunakan untuk menembus dinding toilet barusan.

Tapi kaliber kecil peluru yang baru saja menembus dagingnya… Tidak. Tidak cukup melumpuhkannya. Tapi lebih dari cukup untuk membuat Arthur bergidik— Sadar peluru cantik dan mungil itu sengaja dibawa untuk baby girl-nya.

Arthur menarik tangan pria itu dan menahan tengkuknya, diarahkannya tangan yang bersenjata itu ke atap. Dalam ketakutan, pria itu melepas tembakan 6 kali berturut-turut hingga revolvernya kehabisan amunisi.

You done?”

A-Arthur— Aku tidak tahu kau yang—”

Arthur menghantamnya kepala itu ke wastafel keramik di sisinya. Tidak berniat mendengar apapun.

Satu kali, hantaman itu dibuat agar lawannya tidak sadarkan diri.

Dua kali untuk mematahkan lehernya.

Tapi kali ketiga, keempat, kelima, keenam sampai kepala pria itu hancur, bukan lagi karena insting untuk melawan. Wastafel keramik yang tebal itu pun sampai remuk dan lepas dari dinding, basah kotor oleh darah dan serpihan otak.

Arthur masih berniat menarik bahu mayat itu dan menghantamnya berulang lagi— tapi suara tangis Jungkook menghentikannya. Rintihan tertahan anak itu membuat Arthur berpaling… lalu menyadari kekacauan di sekelilingnya.

Dua mayat. Satu terduduk dengan jejak darah terseret di dinding, dan satu lagi dengan kepala hancur di sisi wastafel yang remuk.

Shit.

“Kita harus pergi sekarang.”

Arthur meraih tangan Jungkook tapi anak itu menampiknya. Dan matanya— caranya menatap Arthur membuat pria itu melengos. Ada ketakutan tersirat disana, pupil hitam besar itu bergetar. Jungkook bersikeras menolak sentuhannya—

“Aku bisa jalan sendiri,” ujarnya pasrah sambil melangkah keluar, wajah terangkat tinggi untuk menghindari penampakan merah di sekelilingnya.

.

.

.

.

.

Jean, Martin, dan Julien sudah menunggu mereka di mini bus yang terparkir di samping bandara, di bawah penerangan temaram dan jalanan sepi. Jungkook melangkah lunglai ke dalam mobil itu. Airmatanya masih jatuh berlelehan walaupun ia tidak lagi bersuara.

“James dan Ivan yang bereskan kekacauan itu, bos.” Martin melapor sambil ikut naik dan menutup pintu mobil di belakang tubuhnya.

Good.”

“Lord— mereka melukaimu, bos?” Jean langsung bergerak, membantu Arthur melepas jas dan kemejanya. Wanita itu meringis melihat lubang merah di bahu Arthur, cepat-cepat diambilnya kotak obat dan dibersihkannya luka itu. Wanita itu mengerutkan hidung, merasa agak aneh setelah sekian lama tidak melihat luka di tubuh Arthur.

“Angelina bisa jahit ini.”

“Sekarang saja, keluarkan pelurunya, Jean. Kau bisa bersihkan. Cuma kaliber kecil. Bukan masalah.”

“Telinga juga? David harus ganti rugi.” Jean mengusap luka sobekan di daun telinga Arthur dan membebatnya menggunakan perban.

“Aku yang gigit.” Jungkook mengangkat wajahnya, berusaha terlihat sombong. Tapi airmatanya tidak bisa ditahan. Masih terbayang olehnya cara Arthur menghantam kepala manusia itu ke wastafel toilet. Seperti memecahkan bulir kelapa langsung dari pohonnya. Darah menghambur kemana-mana, bercampur dengan cairan otak dan tengkorak.

Membayangkannya lebih lama membuat perutnya mual. Anak itu merintih terang-terangan sekarang, tangannya memeluk perut. Mati-matian ia menghindari tatapan Arthur.

“Kenapa masih menangis?” Jean membuatnya menyentuh kaleng cola yang dingin, sambil menatap mencari-cari luka. Tidak ditemukannya apapun selain memar kecil di sudut bibir Jungkook.

“Kau utuh begini setelah menggigit telinga leader kami? Besok kudaftarkan namamu ke Guinness Records, alright?

No…” Jungkook mencicit. Meremas cola sejuk itu ke perutnya. Jean membuka mulutnya tapi kehilangan kata-kata saat ditangkapnya anak itu merapalkan ‘You okay, you okay baby.’

Jean sudah dengar perkara ini dari Angel, dalam hati juga bingung harus memihak pada siapa. Tapi ia merasa keputusan Arthur ada benarnya. Mereka sudah terang-terangan memburu Jungkook. David jelas tidak percaya pada isu bahwa Jungkook cuma mainan bos mereka. Dan ditambah kehadiran bayi dalam situasi pelik ini? David bakal makin yakin Jungkook bisa digunakan untuk mengendalikan Arthur.

“Kita ke markas dulu?” Julien bertanya dari bangku depan.

“Tidak. Langsung ke Angelina.”

Jungkook terenyak mendengar itu. Nyaris tidak percaya… pada dirinya sendiri yang terlalu berharap setidaknya… Setidaknya Arthur akan mengajaknya bicara dulu.

“Kau tidak punya hak, Arthur!”

“Apa urusanku soal hak? Kalau kubilang bayi itu tidak boleh lahir, itu yang akan terjadi.”

That’s enough, bos,” Jean harus menengahi, diselimutinya Jungkook menggunakan selendang cokelatnya. Anak itu menggigil, dan Jean tidak tega melihat wajah Jungkook yang seperti bersedia melompat keluar dari mobil tidak peduli kendaraan ini masih bergerak 80 kilometer perjam. “Kita lanjut bertengkarnya saat sudah sampai, alright?”

Arthur bersikeras menginginkan bayi itu dibunuh, tapi pria itu juga menunjukkan terang-terangan dia ingin menyentuh Jungkook. Digiringnya anak itu masuk ke dalam rumah Angel sekalipun Jungkook berkali-kali menyentak bahu dan menampik tangannya.

“Jangan pegang-pegang!” Jungkook mengeram tiap kali Arthur berusaha merangkulnya.

Arthur menghela napas. Memilihkan ruangan di lantai bawah lagi. Ruangan yang berbeda, kali ini dengan penjagaan lebih aman dan personel lebih banyak mengelilingi rumah Angel.

Jean langsung pergi mencari Angel sementara Julien dan Martin meninggalkan Arthur berdua saja dengan birdie, memberikan privasi.

“Dia cuma bayi, Arthur,” tangis Jungkook hampir pecah lagi. Begitu digiring masuk ke kamar tamu, ia langsung mencari sudut terjauh dari Arthur. “Hidupnya tergantung padaku,” dan hidupku tergantung padanya.

Arthur duduk di sofa dan menghela napas. Ia menyentuh luka di bahunya satu kali. Teringat lagi olehnya peluru yang menghantam dinding, tiga sentimeter dari wajah birdie. Kalau perkara bayi harus dibayar dengan peluru menembus wajah istrinya, maka lebih baik bayi itu segera dilenyapkan.

“Kalau berita ini terdengar sampai cartel lawan, kau tidak punya kesempatan untuk bunuh diri. Mereka yang akan mengorek janin itu langsung dari perutmu.” Mereka tidak akan membiarkan ada Arthur lain.

“Apa mereka tahu?” Jungkook bertanya pelan-pelan, sambil memaksakan senyum. Barangkali… jika diajak bicara dengan style yang berbeda. Arthur akan mendengarkannya. Mungkin Arthur akan lebih mengerti jika ia bicara lembut begini. “Aku akan berhenti sekolah. Aku tidak akan pergi kemana-mana, tidak akan ada yang melihatku, tidak akan ada yang melihat baby. Kau punya uang dan kekuatan untuk melindungi kami, Arthur. Tidak berniat mencobanya dulu?”

Arthur menatapnya.

Dan bertaruh nyawamu sekalian? “Tidak,” putusnya tegas.

Jungkook tersedak airmatanya. Mulutnya mengatup dan terbuka. Tapi ia tidak punya daya dan kata-kata tersisa untuk diucapkan. Panjang lebar ia berusaha, memutar otak, mencoba— Tapi keputusan Arthur tetap tidak akan bisa diganggu-gugat.

“Silakan menangis sampai airmatamu berubah jadi darah.”

“Oke,” jawabnya sambil tersenyum getir. Ia menghisap nostrilnya dan berusaha sekuat tenaga menghentikan airmatanya.

Arthur menatapnya dengan kening bertaut. Hendak bertanya pada jawaban ambigu Jungkook saat anak itu melanjutkan dengan lebih jelas.

“Kita gugurkan bayinya. Tapi biarkan aku bicara dengannya, please? Untuk yang terakhir kalinya?”

Arthur termegap. Sejak seminggu lalu menginginkan bayi itu dibunuh, tapi sekarang saat Jungkook setuju… rasanya…

Janggal.

Just let me talk to her for a second, alright?”

Arthur menatap anak itu sekali lagi, berusaha membaca maksud Jungkook.

Anak itu tersenyum manis padanya, wajahnya basah oleh airmata tapi parasnya begitu pasrah.

“Jangan coba hal bodoh. Jendela itu dijaga dari luar.”

“Aku tahu.”

Arthur tidak puas.

“Kalau kau coba hal bodoh lain—”

“Kau akan memburuku— Ya. Ya. Aku tahu. Out please? Beri aku waktu delapan menit dengan putriku? Aku ingin berdoa untuknya. Jangan ganggu. Delapan menit saja.”

Arthur menatap Jungkook ganjil. Putri. Delapan minggu belum cukup untuk menentukan gender bayi. Tapi Arthur menurut, pria itu keluar menutup pintu, meninggalkan Jungkook delapan menit saja.

Tapi cukup untuk Jungkook bergerak cepat ke kamar mandi dan mengunci dirinya disana.

Ia tidak akan pernah bisa lari dari Arthur. Dan bayinya tidak akan pernah dapat kesempatan hidup. Jungkook— menolak menjual murah nyawanya dan nyawa bayinya pada pria seperti Arthur….

Jadi anak itu memutar pandangan, ia melihat pisau cukur. Diraihnya benda itu dan dipretelinya hingga silet terpisah dari gagang. Buru-buru dinyalakannya air di bath tub. Masih lengkap dalam bajunya, Jungkook merendam dirinya disana, silet dijepit di ujung jari.

Ingatannya mematri kalimat dari laman pencarian Google.

Along the road not cross the street.

Jungkook mengiris kulitnya sedalam mungkin, dimulai dari pergelangan tangan dan turun lurus menuju siku. Darah kental merembes dari luka terbuka itu. Tangan Jungkook gemetar saat ia bergantian mengiris tangan kirinya. Dua luka mungkin akan mempercepat misinya.

Tuhan ampuni aku.

Bisiknya.

Dosa ini mungkin sama beratnya dengan membiarkan bayinya dibunuh paksa. Tapi setidaknya, Jungkook tidak perlu melewati harinya menyesali kesempatan yang ia punya untuk menemani bayinya. Tidak. Jungkook menolak hidup sendiri, ia menolak menyerahkan kesempatan lain untuk memiliki keluarganya sendiri. Sudah delapan belas tahun. Tuhan tidak boleh menuntut kesabarannya lebih lama lagi.

.

.

.

.

.

.

Hayolo hayolo

Kabur ahhhh

*CLING*

*CLING*

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Braven – 17. Cul De Sac”
Beranda
Cari
Bayar
Order