Tiny Toes – 17. Second Chance

Author: Miinalee

Jungkook mempersiapkan seribu satu skenario yang akan dihadapinya begitu ia pindah dari Nevada. Lima belas tahun tumbuh besar sambil memboyong beban kenyataan bahwa cartel paling ditakuti di seluruh dataran Amerika akan datang untuk mengadopsinya…

Kalau bukan nyawa, ginjal, keperawanan, apa lagi yang mungkin diambil darinya?

Jungkook duduk canggung di dalam mobil itu, dikatupnya kaki rapat-rapat dan diusahakannya untuk tidak melirik kemana pun. Arthur, pria besar mengerikan yang sempat membentaknya tadi, menggunakan mobil yang lain. Dan disini Jungkook duduk bersama seorang wanita, yang memberinya ruang juga kebebasan untuk melamun sepuasnya.

Wanita ini mungkin, yang bisa memberinya secercah jawaban. Soal kenapa cartel paling mengerikan di Amerika susah-susah menjemputnya ke Nevada.

“Organ tubuhku cocok dengan seseorang di tempat ini? Apa yang perlu diganti?” suaranya terdengar pelan sekali.

Angel menatapnya bingung. “Kenapa kau bertanya begitu?”

Jungkook menelan ludah, makin gugup dan hanya bisa mengendikkan bahunya.

No other reason for you guys to pick an orphan like me?”

Angel mendengus menahan tawa.

“Ah… Soal itu akan dijawab oleh Arthur,” katanya cuci tangan.

“Boleh kau saja yang jawab, Angelina? P-pria itu menakutkan.”

“Percaya padaku, dia anjing jinak. Tepuk-tepuk kepalanya sedikit kalau dia kelihatan galak, oke?”

Jungkook membuka mulutnya lagi, bermaksud menjawab. Tapi pria itu nyaris 2x lebih tinggi dariku???

Habis itu, keduanya tidak lagi bersuara. Angel sibuk dengan sesuatu di ponselnya dan Jungkook yang tidak punya apa-apa untuk mengalihkan pikiran. Anak itu hanya bisa melirik kesana kemari, menatap ke luar jendela, dua kaki mengetuk-ngetuk lantai mobil.

Saat tiba di tujuan dan melihat mobil berhenti di depan mansion besar, kecurigaan dalam hati Jungkook makin menjadi. Mungkin jantungnya, atau ginjalnya, atau organ terbaik di tubuhnya sudah dirancang sejak lama untuk diambil dan dicangkok ke tubuh seorang pria tua nyaris mati di tempat ini. Ia banyak melihat hal macam itu di film-film yang ditontonnya selama hidup di panti.

“Angel…” Jungkook sendiri tidak yakin wanita ini bisa membantu. “Kapan kalian akan melakukannya?” bisiknya pelaan sekali.

“Melakukannya?” Wanita berpaling padanya, keningnya berkerut-kerut. Angel membuka pintu untuknya, ke dalam satu kamar luas di lantai dua.

“Operasi organnya? Kau belum jawab organ apa?”

Angel tersedak ludahnya sendiri, hampir kelepasan tertawa. Satu sisi dalam hatinya merasa tidak tega, ingin sekali diyakinkannya anak ini bahwa mereka tidak akan melakukan hal semacam itu. Hell, Angel tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi kalau anak ini lecet barang sebaret saja. Apa yang mungkin dilakukan Arthur pada pelakunya?

Disini, Jungkook menatapnya dengan mata bulat bergetar, ketakutannya begitu kentara seakan-akan sesuatu yang besar dan buruk memang menunggunya di tempat ini.

Besar dan buruk. Tidak salah juga untuk mendeskripsikan Arthur.

Karena itu Angel tidak berniat membuang kesempatan mengerjai Arthur begini secara cuma-cuma. Jadi agak dramatis ia menghela napas, memasang wajah sedih dan berkata “Soal itu… kau tanya Arthur, okay? Kamarmu disini, panggil siapa pun kalau kau butuh apapun.”

“J-jadi untuk pria besar itu? Jantungku pasti beda ukuran, Angel. K-kau tahu, jantung harus sepadan untuk memompa darah ke tubuh sebesar itu. Milikku pasti tidak cukup!” Hampir menangis anak itu menatapnya, dan Angel hampir tertawa. “Kalian tidak bisa cari volunteer lain?”

Angel hanya berkata, “Arthur, okay?”sebelum menutup pintu kamar.

.

.

.

.

Jungkook berkeliling kamarnya setengah panik, melirik ke dalam kamar mandi mencari sesuatu untuk bisa disimpannya demi membela diri, lalu menatap keluar jendela. Tempat ini berada di lantai dua tapi bisa dilihatnya tanah begitu jauh di bawah sana. Berapa ketinggian harus dilaluinya demi bisa lari dari tempat ini. Dan lebih penting lagi, bagaimana kalau orang orang itu sudah memasang chip ke dalam tubuhnya??? Di luar sepengetahuannya?

Jungkook mengusap tengkuknya, bergidik.

“Kau mau lompat dari sana, kid?” satu suara menyelanya dari belakang. Kalau sebelumnya Jungkook hampir melompat dengan niat kabur, sekarang anak itu nyaris terjungkal karena kaget.

Jungkook berbalik ketakutan, nyaris mengira Arthur berdiri di belakangnya. Tapi justru, seorang pria tinggi bermata biru dengan gerak-gerik canggung menatapnya khawatir.

“Jangan, please. Ini giliran jagaku, kalau kau lecet bisa mati aku.”

“Kau datang untuk membawaku kan?”

“Hah?”

“Kalian sudah selesai menyiapkan ruangannya? Untuk operasi?”

Makin melongo pria itu menatapnya. Jungkook melirik-lirik ke sisinya, memperhitungkan harus sekeras apa ia mendorong pria tinggi itu agar bisa lari dan kabur melalui pintu. Tapi harapannya pupus sudah melihat tubuh besar lain muncul di belakang pria itu. Laki-laki raksasa yang menjemputnya di panti pagi ini… Arthur Dechlan.

“Ada apa?”

Suara besarnya membuat Jungkook mundur ketakutan lalu terantuk dinding. Dua kali pemuda itu membuka mulut, bermaksud bersuara. Memohon agar Arthur tidak mengambil jantungnya, atau ginjalnya, atau apapun yang mungkin membuat tubuhnya jauh dari sempurna.

“P-plea—”

“Jean bilang kau tidak mau makan? Kenapa? Makanannya tidak enak?” Arthur menatapnya, dengan tampang yang mungkin hanya dimengerti Angelina bahwa pria itu tengah berusaha melembut-lembutkan ekspresinya. Yang dipahami oleh Jungkook justru sepasang mata tajam menagih jantungnya.

Tangisnya pecah saat selangkah kaki pria itu maju.

“Kumohon jangan,” katanya sambil berlutut, sambil menangis. Sebisa mungkin mengalirkan airmata sebanyak-banyaknya. Hal macam ini biasanya membeli nyawanya, kan? Satu dua menit setidaknya. Ia pernah dengar pria macam ini lemah pada airmata. Jadi sebisa mungkin Jungkook menangis disana, berlutut, mengatup wajahnya karena takut airmatanya tidak cukup terlihat melodrama.

“Aku bisa kerja apapun, sir. Apapun. Jangan ambil jantungku, aku masih perlu. Berapa pun hutangku, akan kubayar, kumohon, sir,” katanya sambil berlinangan airmata.

What the fuck?”

“Please don’t huaaaa!”

.

.

.

.

Butuh Angelina dan Jean meyakinkannya satu jam penuh, bahwa Jungkook tidak punya hutang apa-apa untuk Arthur Dechlan. Dan pemuda itu masih saja tidak percaya.

“Tapi kalian membantuku enam belas tahun lalu? Aku harus bayar sesuatu kan? Dengan organ tubuhku kan?”

“Dengan organ tubuh, ya, ya. Tidak salah, sih.” Angel mengangguk-angguk. Tingkahnya membuat tampang Jungkook tegang lagi.

Babe!” Jean menyikutnya.

Di kamar bertiga saja tanpa keterlibatan Arthur, Jungkook tidak mengandalkan airmatanya lagi. Pria besar itu meninggalkannya buru-buru hanya membuktikan teorinya bahwa airmatanya memang sukses mengusir Arthur. Kali ini pemuda itu hanya menatap Jean dan Angelina skeptis, alis tebalnya mengerut nyaris bertemu.

“Tempat ini jauh di dalam hutan, percuma aku kabur, kan?”

Angel duduk bersandar ke belakang, mengusap ujung hidungnya, makin lama menikmati hasil kejahilannya.

“Ya. Percuma kabur.”

BAAAABE!” Jean mendelik padanya, sebelum berbalik pada Jungkook. “Dengar, kid. Kau tidak ingat tempat ini?”

Jungkook melirik ruangan itu dari sudut-sudut matanya, ke kanan, ke kiri, lalu mengendikkan bahu. Ia harus ingat sesuatu soal tempat ini?

“Kau tidur disini enam belas tahun lalu, setelah Arthur dan Angelina menyelamatkanmu. Kau dan teman-temanmu hampir dibawa ke Brazil waktu itu, entah untuk apa, mungkin untuk transaksi organ sungguhan? Tapi kau sudah aman dari problem itu, kiddo. Kau aman disini bersama kami.

“Ya. Terus?” Jungkook mendengar cerita itu berulang-ulang, sampai hal itu rasanya tidak mengherankan lagi. Diculik saat bayi dan hampir diselundupkan bagai barang. “Aku harus apa? Jadi motivator di acara TV?”

Angelina kelepasan tertawa. “Jesus!” katanya. “That cute baby turns into you? Worth it!”

“Kau cuma mau tidur kalau Arthur yang datang menggendongmu, waktu itu… tentu kau tidak ingat. Tapi Arthur tidak mungkin bisa lupa, kid. Dia janji padamu, untuk menjemputmu saat kau 16 tahun, dan kau akan genap 16 beberapa hari lagi.”

“Aku tidak minta dia janji begitu. I’m a baby that time, remember?” 

“Kau lebih aman disini, that’s all. Di bawah pengawasan Arthur.”

“Jadi dia ingin mengadopsiku… jadi anak?”

Angelina hampir tertawa terguling-guling dari sofa. Wanita itu memeluk perutnya, menahan geli merayap berkali-kali saat membayangkan Arthur berlagak bagai orangtua bagi Jungkook.

“Kenapa dia tertawa?” Jungkook memeluk dirinya, tiba-tiba ketakutan. “Apa yang lucu?” desaknya panik. Lalu bayangan lain terngiang dalam benaknya, obrolan-obrolan sok dewasa rekan-rekannya di gereja. Soal betapa liar kehidupan di kota-kota, prostitusi dan bujang-bujang diperjualbelikan bagai barang.

“Jadi bukan organ? Sungguhan bukan organ? Dia mau keperawananku? Shit, this is even worse,” katanya nyaris menangis, makin panik kali ini. “Dia dua kali usiaku!”

“Kau enam belas, dia tiga puluh tiga. Itu lebih dari dua kali.

Jean mencubit perut Angel, “Babe, diam! Kau tidak membantu!” katanya sambil bisik-bisik. “Dengar, kid. Arthur bahkan tidak pernah bilang apa-apa soal adopsi atau soal memacarimu. Jangan terlalu paranoid, oke? Dia cuma ingin kau disini, aman dan kelihatan batang hidungmu. Kenyamananmu nomor satu. Kalau kau tidak mau dia datang ke kamarmu seperti tadi, akan kusampaikan padanya, apa itu cukup membantu?”

Jungkook ingin menuntut hal lain, boleh aku tinggal di tempat lain jauh dari sini? Tapi yakin sekali tidak akan terkabulkan. Jadi pemuda itu mengangguk-angguk, cukup puas membayangkan Arthur tidak berdiri menutupi pintu kamarnya seperti tadi.

.

.

.

.

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Tiny Toes – 17. Second Chance”
Beranda
Cari
Bayar
Order