Tiny Toes – 18. New Home

Author: Miinalee

Di minggu ketiganya, Jungkook memutuskan ia menyukai tempat ini. Ada banyak benda-benda canggih yang belum pernah dilihatnya selama tinggal di panti, ada TV sebesar dinding yang bisa digunakannya tanpa harus berbagi, ada kolam renang luas di tengah bangunan, dan lapangan luas di samping mansion tempatnya bermain futsal bersama Samuel dan Julien.

Tempat apa ini kalau bukan rumah impian? Mungkin dugaannya soal harus menjual keperawanan tidak sepenuhnya benar. Mungkin orang-orang ini menjemputnya untuk jadi anggota cartel, tidak mustahil, kan? Jungkook berkenan mengantar sebungkus dua bungkus narkoba demi bisa tinggal enak di tempat macam ini. Makan lezat tiga hari sekali, bisa mencoba snack apapun yang diinginkannya, dan teman-teman dewasa yang tampaknya tahu soal segalanya.

Hari ini, Jungkook pertama kali memegang PSP di tangannya, mencoba bermain Tekken dalam satu putaran, ketagihan, sampai Samuel memberitahunya bahwa ada lebih banyak game disana. Lebih banyak.

“Kau harus coba Good of War, Monster Hunter, GTO, WWE.”

Yang mana? Yang mana? Pelan-pelan, aku bingung,” seru anak itu panik, bercampur semangat, lima kali ia berubah posisi duduk di atas sofa sambil menggenggam PSP milik Samuel di tangannya. Samuel terlalu cepat menjelaskan, satu ronde masih di laluinya dan Samuel sudah menceritakan soal game lain, membuat Jungkook ingin buru-buru memenangkan rondenya agar bisa mencoba game lainnya. “Wait wait wait wait, almost there almost there. Kau tidak keberatan kupinjam dulu, Sam?”

“Take your time, man. Take your time. Kupinjamkan dua hari untukmu.”

“Berapa banyak game di dalamnya?”

Not sure, hampir 1000?”

No way!” seru anak itu, matanya membulat kaget dan tangannya menggenggam PSP erat-erat. “Benda sekecil ini? HAMPIR SERIBU?”

“Ya. Kudengar keluaran terbaru akan punya hampir dua ribu.”

BOLLOCKS!”

“…termasuk rilis terbaru Tekken dan GTO.”

Jungkook makin melongo. Baru saja ia tahu ada 19 jenis Tekken yang berbeda di dunia dan Samuel mengatakan akan rilis versi terbarunya… segera.

“Berapa harga benda ini, Sam?”

“Tidak mahal, 600? 700 buck? Sekali antar paket aku bisa beli yang baru.”

Jungkook menghela napas, jempol-jempol masih bergerak lincah di atas tombol-tombol tapi tampangnya layu. “Aku harus menabung berapa lama? Aku tidak punya penghasilan. Kapan aku bisa mulai antarpaket seperti kalian?”

Samuel baru sadar ia kelewatan bicara saat Jungkook bertanya begitu, pemuda itu hanya menelan ludah. “Soon, man, soon.”

Agaknya, hanya Jungkook sendiri yang belum paham kenapa dirinya dibawa ke tempat ini. Satu dua kali saat berinteraksi dengan Jeon Jungkook, orang-orang macam Samuel dan Julien harus sekali berhati-hati. Bermain dan mengajari bocah sepolos Jungkook menyenangkan, tapi harus dilakukan saat Arthur tidak ada di sekitar mereka. Jarang sekali Samuel bisa punya teman yang nyaris sebayanya di tempat ini. Semua orang bersikap seakan mereka punya pengalaman 1000 tahun lebih banyak darinya. Dan Jungkook membuatnya merasa besar hati, karena apapun yang dibawanya kemari, pemuda itu pasti ternganga, terpesona, terkesima. Segala hal baru menyenangkan bagi Jeon Jungkook.

Tapi saat ada bos besar, tidak ada yang berani mendekati Jungkook. Dan betapa ceroboh Samuel hari itu, tidak menyadari sama sekali Arthur mengawasi mereka dari pintu belakang sejak tadi. Satu waktu Samuel berpaling ke arah TV dan layar gelap benda itu memantulkan sosok tubuh besar Arthur, Samuel sontak berdiri, kelakukannya mengagetkan Jungkook, sekaligus menyadarkan pemuda itu juga pada apa yang dilihat Samuel di pantulan TV.

Whoaaa! Aku ingat masih ada kerjaan di luar. See you, man.”

“Aku mau bantu!” katanya ikutan bangun dan buru-buru mengekori Samuel. PSP tergeletak terlupakan di atas sofa. Tapi Samuel menutup pintu tepat di depan wajahnya.

Nay, you stay, Gguk,” pemuda itu berseru dari luar, melambai-lambai dari jendela dan buru-buru pergi, berjuang setengah mati mengabaikan tampang malang Jungkook.

Jungkook terlalu gugup sampai salah memutar kenop pintu dan berakhir membuat dirinya sendiri terjebak di sana, dengan Arthur berdiri tiga meter di belakangnya.

“Jeon.”

Jungkook berjengit kaget mendengar suara berat itu. Terlalu dekat. Kalau dirinya lari, Arthur pasti marah padanya nanti. Jadi takut-takut pemuda itu berbalik, dengan senyum terpaksa, dan satu tangan melambai di atas dada.

“U-ung… Hi, sir.”

Cara Arthur menatapnya… begitu tajam dengan sepasang mata menakutkan, membuat Jungkook ingin bertaruh apa yang mungkin terjadi bila ia terang-terangan lari menghindari pria ini. Tapi kalau bayarannya nyawa sekaligus kesempatan untuk memainkan PSP lagi… sekuat tenaga Jungkook menahan senyumnya.

“Ada yang bisa kubantu, sir?”

“Kau butuh ini.”

Mata Jungkook membulat. Arthur mengulurkan kotak putih dengan logo apel di atasnya. Jelas sekali pria itu menahan jaraknya.

Pemuda itu bingung. Harus menolak atau menerimanya. Ia ingat ponsel itu yang dielu-elukan Samuel sejak seminggu yang lalu. Pemuda itu tengah menabung, katanya, dan mungkin baru bisa membelinya setelah berhasil mengantar tiga paket ke luar kota. Yang artinya, benda itu hampir seharga 3000 dollar.

Jungkook menelan ludah. Tahu betul menolak benda itu sama seperti menghina Arthur, jadi diterimanya benda itu. Telunjuk mereka bertemu di bawah kotak, dan Jungkook hampir jatuh berlutut karena kaki yang gemetar.

“T-thank you?” katanya takut-takut, mata melirik, berusaha membalas tatapan Arthur. Tapi saat nyalinya terkumpul untuk mendongak, pria itu sudah berbalik pergi. Hal terakhir yang diucapnya hanya,

“Ok.”

Jungkook mana tahu kalau jantung Arthur berdebar lebih heboh dari miliknya. Pria itu segera berbalik untuk menghindar sebelum ia mempermalukan dirinya lebih jauh. Mungkin saja Arthur ikut bicara terbata-bata sebagaimana Jungkook ketakutan meresponnya. Jadi lebih baik ia mempersingkat ucapannya tiap ada kesempatan. Di sisi lain, Arthur juga ingin terus-terusan muncul di depan pemuda itu, meski ujung-ujungnya tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Betapa bagus punya janggut selebat ini menutupi wajahnya, sudah jelas rona di wajahnya tidak akan bisa dilihat siapa pun. Terutama saat situasi segenting ini.

.

.

.

.

penampakan koo kalo dongak liat om:

penampakan koo kalo dongak liat om:

.

.

.

.

.

Saat Arthur datang lagi beberapa hari kemudian, membawa PSP yang rilis terbaru minggu itu dan menyerahkannya pada Jungkook tanpa sejumput kata pengantar, Jungkook tidak tahan lagi. Bibirnya terlalu gatal untuk bertanya, seloroh itu keluar begitu saja lebih cepat dibanding napasnya sendiri.

“Kapan aku mulai mengantar paket?”

Hah?”

Kapan aku mulai bekerja?”

“Bekerja?”

Your brain must not be as big as your muscle, you know that?” Itu seloroh kecelakaan lainnya. Saat melihat Arthur meresponnya dengan tampang tegang, Jungkook menyesali ucapannya. Tapi terlambat sudah.

The fuck?”

I-I’m sorry I didn’t mean that.”

“Aku bertanya, baik-baik, apa maksud ‘bekerja’?” pria itu menatapnya, menolak membuang muka. Itu kali pertama ia mendengar Arthur mengatakan 7 kata beriringan dalam satu kalimat.

Bibir Jungkook mengatup dan terbuka. Mungkin ini saat tepat untuk menangis. Terakhir kali dilakukannya, Arthur langsung pergi meninggalkannya dan tidak muncul di mansion itu tiga hari berturut-turut. Tapi sekarang di saat genting begini sekuat apapun Jungkook berusaha membayangkan adegan di film Hachiko, airmatanya menolak dibendung.

“Apa maksudnya bekerja?” pria itu mendesak.

“A-aku juga bertanya,” pemuda beringsut mundur. Suaranya berubah pelan. “Aku tidak tahu, karena itu aku bertanya.”

“Siapa yang bilang soal bekerja?”

Jungkook mengendikkan bahunya, “Tidak ada. Tapi… Tapi–” katanya sambil memutar pandangannya, kesana-kemari karena gugup.

It’s yours.” pria itu menunjuk dengan dagunya, pada PSP mungil yang digenggam Jungkook dalam kebingungan. “Kau dibawa kemari bukan untuk bekerja. Sudah tiga minggu, mulai Senin kau akan mulai sekolahmu lagi.”

Lalu pria itu pergi. Sekali lagi meninggalkan Jungkook dalam ketakutan dan kebingungan.

.

.

.

.

.

“Kau meninggalkanku untuk mati, Sam! This is betrayal!

“Aku tidak berkenan mati walaupun buat teman, dude.”

SAAAM!”

Dengar, kalau kau mencium bau bos di dekat kita, coba untuk duduk jauh-jauh dariku, oke?”

What the fuck is wrong with you guys?” Jungkook memekik frustasi. Bukan hanya Sam yang melakukan ini padanya. Julien dan Martin pun selalu kabur meninggalkannya sendiri saat bos tiba di rumah. Seakan-akan semua orang memang berkonspirasi agar Jungkook diperkosa. Ditinggal berdua saja dengan Arthur yang selalu datang membawa bingkisan ini dan itu untuknya?

Paket macam apa yang harus diantarnya untuk membayar semua ini? Pekerjaan macam apa yang harus dilakukannya?

“Jangan bilang aku akan dididik jadi pembunuh bayarannn??? Pekerjaan apa lagi yang bayarannya lebih mahal dari kurir paket haram? Cuma pembunuh bayaran kan?”

Samuel menatapnya terheran-heran.

Atau aku benar-benar bakal jadi mainan ranjangnya? Kalau tidak, buat apa lagi dia bawa aku kemari? Kalau bukan organ, bukan untuk antar paket haram seperti kalian? Buat apa?!” Jungkook berdiri, mondar-mandir di ruang TV mengitari meja. Belum sempat Samuel menjawabnya, pemuda itu sudah bicara lagi. “Ah, tidak. Tidak mungkin. Mana mungkin Arthur tertarik begitu padaku. Dia pasti punya banyak simpanan wanita. Hartanya berlimpah, untuk apa cari orang seperti aku? Pasti alasan lain. Shit, tapi apa?”

“Kau mengumpat sesering ini di Nevada?”

Never!” Jungkook berseru tidak terima. Lima puluh push up jadi hukuman kalau satu umpatan terlontar dari bibirnya. “Bantu aku berpikir, Sam. Jangan komentar yang tidak penting.”

I have no says in this, man.”

“Arthur membuatmu ikut sekolah denganku, apa dia sedang dalam misi amal derma? Dia sedang mengumpulkan anak-anak yatim piatu di dunia? Program pendidikan?”

Samuel hampir tertawa, tapi sambil kebingungan juga. “Ya? Mungkin?”

“Tapi kenapa tidak semua? Kenapa hanya aku yang dibawa?”

“Karena kau cantik?”

“Samuel!” Jungkook melotot geram.

“Aku tidak bisa berpikir, man. Kenapa kau pusing-pusing? Cepat duduk kita lanjutkan lagi game yang tadi.”

“Tapi kalau tidak kupikirkan sekarang, aku bakal overthinking nanti malam!”

“Kalau kau pikirkan sekarang apa kau lupa nanti malam?”

“Tidak.”

See? Cepat duduk. Simpan untuk overthinkingmu nanti malam.”

Jungkook menghela napas, tapi dalam hati pemuda itu setuju pada komentar Samuel. Ada benarnya, sebelum ia jatuh depresi karena tidak berhenti memikirkan ini, sebaiknya ia duduk dan melanjutkan game mereka yang terpotong tadi. Urusan Arthur akan dipikirkannya lagi nanti malam.

.

.

.

gini adek pas pertama dipungut:

gini adek pas pertama dipungut:

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Tiny Toes – 18. New Home”
Beranda
Cari
Bayar
Order