Braven – 18. Wretched

Author: A Little Bits of Everything

Wretched  /ˈrɛtʃɪd /

in a very unhappy or unfortunate state

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Angel sudah membicarakan ini dengan Jean sebelumnya. Dan mereka berdua— sesungguhnya, setuju pada keputusan Arthur untuk menggugurkan bayi itu. Situasi mereka belum pas menerima kehadiran nyawa lain di sekeliling Arthur yang mungkin akan dimanfaatkan untuk mengendalikan pria itu. Angel tahu sebesar apa tekanan yang diterima cartel mereka saat ini, dan kelahiran seorang bayi hasil darah Arthur jelas bukan berita bahagia. Kabar akan menyebar secepat tetesan nila merusak susu, sebesar apapun Arthur mengerahkan kekuatan untuk menutupi keadaan. Cartel-cartel lawan akan mendengar… Arthur punya keturunan baru.

Tidak. Tidak. Jelas bukan jenis berita bagus untuk disebar.

Tapi di sisi lain, Angel sama tidak setuju dengan cara adiknya merespon situasi di depan Jungkook.

Anak itu masih terlalu muda. Yang dipikirnya hanya mencari cara bagaimana mengikat Arthur tetap bersamanya. Padahal Arthur sudah ditali sejak lama. Semenjak Angelina pertama kali melihat Jungkook, wanita itu tahu anak itu bukan sekedar pengganti Lana. Jungkook mungkin, perpaduan antara Max dan Lana. Remaja yang datang mencari perlindungan dan kasih sayang— anak sekaligus kekasih, dua hal yang direbut paksa dari Arthur dua tahun lalu.

“Kau yakin ingin melakukan ini, Arthur?” Angel menghampiri adiknya lagi, ruang operasi siap digunakan. Yang tidak diyakininya sudah siap untuk menjalani operasi ini justru hati Arthur dan Jungkook.

Arthur hanya menatapnya seakan pertanyaannya terlalu konyol untuk diutarakan.

Tidak ada jalan lain. “Ya.”

“Mana birdie?”

Dia minta 8 menit untuk berdoa.”

“Kau meninggalkannya sendirian?” Angel menatapnya tidak percaya.

Arthur menatap balas saudaranya tanpa mengatakan apa-apa. Sepersekian detik kemudian, kejanggalan yang menderanya sejak tadi seakan menamparnya telak di pipi. Pria itu membanting langkah mendobrak pintu kamar. Tidak ditemukannya Jungkook di manapun. Padahal seharusnya, anak itu berlutut di sisi ranjang jika ia benar-benar sedang berdoa.

Jantungnya berpacu, seperti dilecut cambuk.

Suara air di kamar mandi terdengar hingga keluar. Tapi tidak ada suara lain, tidak ada tanda-tanda seseorang beraktivitas di dalam sana.

Fuck, Arthur!”

Angel berseru dari belakangnya, lebih dari cukup untuk membuatnya panik. Arthur menghantam pintu kamar mandi itu, terkunci hingga mengharuskannya mendobrak paksa menggunakan kekuatan lebih dari semestinya. Pintu terbuka, mungkin hampir terlepas dari engselnya. Arthur mana peduli, seluruh Detroit boleh diratakan jadi tanah tapi ini—

Pria itu tercekat, napasnya seperti direbut paksa.

Tubuh Jungkook berbaring di dalam bath tub, masih mengenakan kaus biru dan celana jeansnya. Untuk sesaat tadi bulumatanya yang lentik dan basah tampak bergetar, tapi matanya terpejam, tidak menunjukkan tanda-tanda akan bergerak seperti kaku tubuhnya yang terbenam dalam air merah muda. Tangannya yang ramping itu menjuntai keluar, satu garis panjang dan dalam melintasi pergelangan tangan turun ke sikunya. Luka baru itu meneteskan darah, mengotori keramik putih, mengaliri pinggiran bath tub. Sedang satu tangan lain terambang di dalam air, sama-sama melelehkan darah, menguarkan jejak merah pekat yang memudar larut bersama air.

Aku mau berdoa.

Terbayang lagi suara pasrah Jungkook, lima menit sebelumnya. Arthur tahu seharusnya ia lebih percaya instingnya saat itu. Cara Jungkook mengatakannya lebih seperti curahan putus asa, terngiang lagi pertengkaran kecil mereka di Ohio beberapa waktu lalu.

‘Kalau kau pergi—’ anak itu berkata sungguh-sungguh. ‘Aku bisa mati.’

Arthur jatuh, berlutut, gemetaran di sisi bath tub saat meraih Jungkook.

NonononoNONONONONO!” Direngkuhnya Jungkook erat-erat, barangkali jika tahu Arthur berada sedekat ini, Jungkook akan tersadar dan bangun.

Bagaimana mungkin anak ini sungguhan berpikir dirinya akan pergi? Jungkook harusnya khawatir tidak bisa pergi meninggalkannya. Jika Jungkook berusaha kabur darinya, Arthur sudah berniat memburunya kemanapun. Tidak akan dibiarkannya anak itu lari. Tapi bagaimana kalau maut yang ikut campur? Kalau sampai kematian yang memisahkan, harus kemana dikejarnya anak ini?

“Baby— don’t do this to me— nonono!” Arthur memapah Jungkook, berusaha membangunkannya meski sia-sia.

Arthur! Arthur!”

Arthur menarik Jungkook keluar, tidak didengarnya lagi panggilan Angel dan usaha wanita itu untuk memisahkan Jungkook darinya. Dikecupnya wajah basah Jungkook, ditekannya luka di kedua tangan anak itu, barangkali luka terbuka itu akan lengket kalau ia bersungguh-sungguh.

No, baby no. 

Darah masih mengalir. Sekeras apapun usaha Arthur mendekap luka itu dalam genggamannya. Kulit putih anak itu berubah pucat, nyaris transparan. Tubuhnya lunglai, ikut kemanapun Arthur mengayunnya, menimang tubuh ringkihnya dalam pangkuan.

Tidak ada lagi perlawanan, tidak ada lagi percobaan lari. Masih ada desau napas yang tersisa, lemah dan tersengal. Kulit Jungkook berubah dingin, wajahnya hilang warna.

No—baby— Lana— I’m sorry. I’m so sorry.”

“Dia bukan Lana!” Angel harus berseru di depan wajah Arthur, ditamparnya pria itu sekali untuk mendapat perhatiannya. Arthur tersengal, tapi menolak melepas Jungkook. Anak itu justru direngkuhnya makin kuat. Terakhir kali Arthur datang terlambat, ia kehilangan Lana, untuk selamanya. Membayangkan hal yang sama terjadi dua kali membuat asthma yang sudah sembuh sekian dekade lalu seperti menderanya lagi.

“K-kita harus memotong tangannya, Angel— Angel…” Arthur tergagap, suaranya berubah pelan. “—Sebelum terlambat.”

“Dengar— kita masih bisa menyelamatkannya, berikan padaku, oke? Percaya padaku. Baringkan, baringkan. Jangan dipeluk. Dia tidak boleh terima banyak tekanan— darahnya bisa keluar lebih banyak.”

Angel menggigit bibir, ikut-ikutan sesak napas melihat paras pucat adiknya. Tubuh besar Arthur berlutut kaku, dua tangannya terangkat gemetar sambil membimbing tubuh lemas Jungkook ke dalam dekapannya. Monster besar yang dilihatnya berdiri di depan pintu kamar beberapa menit lalu hilang entah kemana. Angel seperti melihat Arthur-nya yang lama, saat mereka masih remaja, sebelum Arthur ditempa jadi sosok berbeda. Sekarang Arthur itu dimunculkan lagi, dengan cara yang sangat tidak manusiawi.

Keadaan. Ini salah keadaan.

“Lepaskan dia. Beri ruang, dik. Dia butuh ruang. Percaya padaku, alright?” Angel berusaha bicara selembut mungkin, sambil mencungkil Jungkook dari rengkuhan Arthur. “Kita tidak terlambat menemukannya, dia masih bernapas. Masih. Masih. Jangan ambil ruang bernapasnya, mundur sedikit, alright?

Butuh Jean, Julien, dan Martin untuk memisahkan Arthur dari Jungkook. Meski pria itu tetap tidak bisa dipisah lebih dari lima sentimeter dari Jungkook. Arthur masih bersikeras menyentuh Jungkook, seperti sejengkal saja jarak memisahkan mereka mungkin akan merebut Jungkook untuk selama-lamanya.

Di tengah kecipak air merah Jungkook dibaringkan. Di atas lantai toilet. Darah anak itu mengotori pakaian semua orang, mengaliri keramik yang basah. Nadinya berdenyut lemah, terlalu lemah. Angel hampir mengerang tapi bersikeras bersikap tenang, pura-pura keadaan yang terjadi tidak separah kenyataannya.

Angel berusaha menutup luka itu simetris sesuai sayatan besar yang tergores lebar, lengan ke siku. Dibebatnya kuat, tidak terlalu kuat. Tapi cukup untuk membuat dua kulit yang menganga kembali lengket dan darah berhenti mengalir.

Tapi desau napas Jungkook berubah, dari pelan jadi hilang.

Fuck.

Angel hampir melempar tinju ke wajah adiknya sendiri.

Beri dia ruang, Arthur! Atau dia akan mati! Minggir!

God help me.

Angel mengangkat tangan anak itu sedikit lebih tinggi, selembut mungkin, mencegah otot Jungkook menerima terlalu banyak tekanan. Ia mendekap dada Jungkook dan hampir menangis merasakan degup jantung anak itu berdetak makin jarang, lima detik tiap waktu.

“Adrenaline, Jane! Aku butuh adrenaline!”

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tidak ada yang bisa mengajak Arthur bicara. Pria itu tidak membiarkan seorang pun bertanya padanya. Ia bahkan tidak mendengar kata-kata Angel. Dua hari dihabiskannya mendekam di dalam kamar rawat Jungkook, menunggui anak yang terbaring tidak sadarkan diri lebih dari 48 jam terakhir. Arthur menolak pindah, tidak mengganti pakaiannya, dan mengunyah makanan seperlunya. Yang dilakukannya hanya duduk di sisi ranjang, memandangi Jungkook tanpa ekspresi, tangan terlipat di depan dada. Arthur begitu sibuk merenungi sesuatu hingga siapapun yang masuk kesana tidak digubrisnya.

Angel tahu sekuat apa daya tahan tubuh Arthur, tapi wanita itu tetap tidak senang melihat adiknya menyiksa diri sendiri.

“Merenung juga butuh tenaga,” Angel meletakkan senampan makanan di atas meja.

Arthur hanya menjawab ‘hm’

Menunggui birdie butuh energi. Kau perlu kafein dan protein.”

Barulah Arthur meraih sepotong roti dan menyumpal mulutnya hingga penuh. Ditegaknya kopi panas pelan-pelan, sambil menatapi Jungkook di atas ranjang. Barangkali jika ia berpaling sebentar saja tubuh ramping itu akan hilang dari sana.

Butuh usaha ekstra untuk mengembalikan denyut nadi dan napas Jungkook senormal semula. Bukan karena situasi bunuh diri anak itu, tapi justru Arthur yang sulit diajak kompromi dan enggan diminta melepaskan diri dari Jungkook.

Bagus mereka menemukannya tepat waktu. Seandainya Arthur sungguhan menunggu hingga 8 menit berlalu, mungkin sekarang Arthur sudah akan berperang dengan David di atas mayat Jungkook.

Arthur akan butuh seseorang untuk disalahkan. Setelah Lana. Sekarang begitu anak itu berhasil diselamatkan, Arthur makin berani menunjukkan perlawanannya terhadap David. Arthur menolak menerima panggilan David dan Marco, pria itu juga terkesan melepas total tanggung jawabnya dari cartel dua hari penuh. Julien dan Martin harus pontang-panting berjuang jalan tanpa arahan atasan.

Jungkook yang terbaring di atas ranjangnya, dua hari dua malam, tidak sadar kekacauan apa yang baru saja dibuatnya setelah percobaan bunuh diri itu.

“Jangan dipeluk dulu, Arthur. Jangan,” Angel mewanti-wanti terus tiap kali kembali dan dilihatnya Arthur duduk terlalu dekat dari Jungkook.

Angel tahu segatal apa Arthur ingin menyentuh little birdie, tapi Arthur mungkin lebih tahu dirinya tidak akan cukup sekedar menggenggam tangan kalau ia sampai menyentuh kulit Jungkook.

Ingin sekali dikecupnya wajah itu, direngkuhnya, dirasakannya desau napas dan denyut nadi masih sempurna. Tapi luka di tangan Jungkook masih terbuka, sedikit tekanan akan memperlama proses penyembuhan. Jadilah Arthur hanya bisa menunggu, menjaga jarak, memandangi wajah Jungkook.

Arthur menghabiskan banyak waktunya, merenungi keputusan-keputusan dan kejadian-kejadian.

Teringat lagi olehnya ucapan Jungkook waktu itu.

Along the road not cross the street.

Akhirnya berguna juga usahanya mencari cara bunuh diri yang baik dan benar lewat internet.

Arthur merasa dirinya akan segera gila. Ada atau tidak ada bayi, ia tidak siap kehilangan birdie. Ia pernah melihat manusia terbelah, pinggang ke pinggang. Pernah menyaksikan kepala dipenggal, tubuh terbakar… Tapi membayangkan darah meleleh dari sayatan panjang di lengan dalam Jungkook? Arthur tidak ingin melihatnya lagi. Kalau memang harus perang, akan ditabuhnya genderang sekarang.

Ada telpon untukmu, bos.” Julien masuk ke ruangan, membawa ponselnya yang sesungguhnya sengaja ditinggalkan di luar. Arthur menghindari gangguan apapun. Ia butuh tenang, ia butuh waktu.

“Aku tidak mau terima panggilan siapapun.”

“Ini David, bos.

“I don’t care.”

Baik Martin atau Julien sama-sama tidak berani memaksa bos besar menerima telpon yang sudah dua kali ditolak itu. Kalau disuruh pilih mana yang lebih menakutkan antara David dan Arthur, keduanya sama-sama setuju untuk memilih Arthur. Tapi David juga punya kuasa, dan sangat mungkin tiba-tiba tidak berpihak pada mereka.

Harus Jean dibantu Angel yang masuk kesana memaksa Arthur menerima ponsel itu, sambil membentaknya setengah marah.

“Lain kali David yang akan mengiris tangan birdie kalau kau tidak angkat telponnya!”

Fuck off, Jean.” Arthur sama marahnya, tapi akhirnya diterimanya ponsel itu sambil berlalu ke luar kamar.

“Apa lagi, David?!”

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Dedeknya dedek diselametin kagak nih?

Aku beneran sibuk ga boong. Ini ngetik di hp. Jangan lupa sama plotnya plisss maapin akuuuuuuu.

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Braven – 18. Wretched”
Beranda
Cari
Bayar
Order