Braven – 19. Antagonistic

Author: Miinalee

Antagonistic /anˌtaɡəˈnistik/

showing or feeling active opposition or hostility toward someone or something.

.

.

.

.

.

.

Capa kangen dedek Jungoo?

Capa kangen dedek Jungoo?

.

.

.

.

.

.

Kalau boleh bilang, rasanya Jungkook mulai bosan. Ia bahkan mulai menghapal rasa situasi yang kini menimpanya. Kelu di sekujur tubuh dan tidak kuasa menggerakkan sendi juga ototnya meski sedikit saja. Ia sudah beberapa kali mengalami ini. Terbaring, terlelap, terbangun, setelah dipukuli sampai babak belur. Sudah berapa kali dirinya habis dihajar sejak kenal Arthur?

Terakhir kali saat duel itu, ya. Masih terbayang olehnya bengkak di setengah wajahnya sampai saat bicara pun rahangnya tidak bisa digerakkan.

Dan sekarang… sekarang…

Hal apa lagi yang membuatnya berakhir pingsan di atas ranjang? Waktu seperti sudah berlalu berhari-hari. Saat mencoba membuka mata sembari mengingat-ingat kejadian terakhir yang dialaminya, cahaya terang dan ruangan putih membuat silau dua kali lebih menyakitkan mata.

Jungkook teringat.

Bandara…

Ia berlari di bandara, menghindari orang-orang asing yang mengejarnya. Terbayang olehnya tubuh besar Arthur dan darah mengalir di pelipis pria itu. Lalu denging hantaman peluru. Arthur membunuh orang -pertama kali di hadapannya-

Dan…

Dan…

“Bayiku!”

Jungkook tersentak bangun, hampir duduk tapi tubuhnya yang lemah membanting lagi ke atas ranjang. Lehernya kelu, kepalanya pusing, tapi yang lebih menyakitkan lagi berpusat di dadanya. Jantungnya berdetum-detum, memicu paru-paru memompa oksigen kelewat cepat. Kaki dan tangannya terasa dingin, tapi matanya panas.

Arthur berdiri di dekatnya, seperti menjaga jarak namun tetap saja…

Hanya dirinya dan pria itu berdua di ruangan putih ini.

Jungkook gemetar.

Ia mengangkat tangannya dan menatap benci pada perban yang membebat lukanya. Kenapa?! Kenapa tidak berhasil?!

“Kau membunuhnya, Arthur?!” pekiknya sambil memeluk perut. Dua tangannya diperban hingga ke siku dan gemetar, bukan karena perih kulit yang masih luka, tapi Jungkook tidak siap kehilangan gumpalan yang sudah cukup besar dan masih dirasakannya… berapa lama? Dua hari lalu? Seminggu lalu.

“Menurutmu?”

Jawaban pendek itu membuat Jungkook termegap, airmatanya berlelehan di pipi. Apakah ia sudah gila? Tapi gumpalan itu masih ada, kalau bukan halusinasinya , masih berdenyut di bawah kulitnya. Atau itu kulit otot tangannya yang gemetar sampai kelu?

“Kau tidak membunuhnya?” Jungkook masih tidak percaya.

“No.”

Jawaban Arthur tidak melegakan, Jungkook justru marah. Kalau ia bisa bangun pasti sudah disambarnya Arthur dan digigitnya telinga kanan pria itu. Kali ini hingga putus.

“Kau mau bayiku mati? Potong nyawanya langsung dari leherku,” ancamnya sungguh-sungguh.

Arthur mengatup bibirnya rapat-rapat. Tidak ingin memulai pertengkaran. Bayangan tubuh Jungkook dalam genangan darah masih belum hilang dari benaknya. Tidak. Arthur tidak sanggup menyaksikan hal yang sama terjadi lagi. Tiga kali.

“Kau benar-benar menginginkan bayi itu?”

Jungkook mengatup mulutnya rapat-rapat, enggan menjawab lagi. Posisinya begitu siaga sambil melindungi perut. Ditatapnya Arthur penuh benci. Tubuhnya masih sangat lemah, tapi kalau Arthur bermaksud membunuh bayinya lagi, Jungkook sudah mencari-cari celah untuk membenturkan kepalanya sendiri. Cari senjata jelas bukan pilihan, Arthur pasti sudah menyingkirkan semua median untuknya mencoba bunuh diri lagi.

“Dia mati, aku mati. Masalah selesai. Go try me,” tantang anak itu.

Arthur hanya menatap Jungkook, matanya tidak terbaca. Tapi sebentar tadi bibirnya bergerak, mengatup dan terbuka, hampir-hampir terlihat bergetar. Seperti menahan alasan, yang sudah nyangkut di kerongkongan tapi tidak jadi dikeluarkan karena cara Jungkook menatapnya saat itu benar-benar berbeda. Ada kebencian jelas disana. Kalau selama ini Jungkook menatapnya seakan Arthur adalah seluruh dunianya, kini Jungkook menatapnya seperti siap berpisah dengannya kapan saja. Sekalipun cara memisahkan diri itu harus dengan kematian.

“Ada caranya— Ya. Ya,” Arthur bergumam, jalan mondar-mandir di dalam kamar seperti orang ling-lung sebelum pergi keluar membawa ponselnya dan menghilang.

Jungkook dengar pria itu bicara sambil lalu.

“Pasti ada.”

Jungkook ditinggalkan dalam kebingungan. Tidak paham pada sikap aneh Arthur. Pria itu sudah berhenti membicarakan keinginan untuk membunuh bayi mereka, tapi itu belum cukup. Jungkook memeluk perutnya sendiri lebih protektif.

Akan dilindunginya nyawa rapuh ini, sekalipun ia harus berperang dengan Arthur fucking Dechlan.

.

.

.

.

.

.

.

Jungkook sudah memulai perangnya sejak ia memutuskan untuk melawan Arthur di hari ia sadarkan diri. Kalaupun perang fisik bukan pilihan, Jungkook masih bisa menunjukkan perlawanannya dengan mengingkari semua yang diinginkan Arthur.

Pria itu ingin memindahkannya ke rumah baru. Lokasi yang lebih aman menurut Arthur, jauh dari endusan David. Tapi kenyataannya setelah hampir sebulan berlalu, Jungkook masih tinggal di rumah praktek Angelina, menolak dipindahkan kecuali jika Arthur membiarkannya pergi mencari tempat tinggal sendiri- yang lebih tidak mungkin terjadi.

Jungkook dibiarkan tetap tinggal di rumah Angelina, sampai rasa-rasanya Julien, Martin, Jean, dan Arthur sendiri juga sudah pindah kesana.

Awalnya, Jungkook ingin sekali memusuhi semua orang. Satu-satu ditatapnya tiap mata seakan sambil bicara ‘kalian mengkhianati aku!’, dijudesinya tiap orang yang berusaha membantu, atau sekedar memenuhi kebutuhannya. Jungkook menolak dipapah, memilih melangkah sambil berpegang pada dinding, menampik dan menatap benci kalau salah satu dari orang-orang itu bermaksud membantunya dengan agak memaksa.

Tapi lama-kelamaan anak itu sadar ia butuh orang lain di rumah ini. Jadi pertama-tama, ia mengampuni Angelina. Tadinya ia menolak dibantu mengganti perban tangannya, tapi kalau sakit luka itu sudah tidak tertahankan lagi, Jungkook membiarkan Angel membebat tangannya tanpa bicara, tanpa mengatakan terima kasih juga.

Paling mengerikan adalah mencoba untuk makan, setelah lepas dari asupan infus, Jungkook diharuskan menelan nutrisi dari makanan normal. Padahal dua tangannya hampir-hampir tidak bisa dilipat terlalu tinggi, tidak mungkin digunakan untuk menyuapi dirinya sendiri. Anak itu mencoba, tentu saja, demi mempertahankan kesombongan dan gengsinya, ia berusaha menyuapi diri sendiri. Yang berakhir membuat bulir-bulir nasi dan lauk jatuh berantakan di pangkuannya. Sambil menangis kesal, pertama kali, Jungkook membiarkan Jean menyuapinya.

Martin jadi orang ketiga yang diampuninya, semata-mata, karena Jungkook merasa ingin. Paling mudah memusuhi Arthur dan Julien, sekaligus paling menyenangkan. Dua pria itu yang paling sering berusaha membantunya tapi juga paling sering ditolak olehnya. Sampai suatu waktu, Jungkook terpikirkan untuk memusuhi satu orang saja di rumah ini.

Arthur. Karena Arthur yang paling menjengkelkan dari semua orang.

Jadi ia mulai menyuruh-nyuruh Julien, yang dengan senang hati menuruti semua keinginannya tanpa bertanya. Arthur yang sadar betul dikucilkan oleh Jungkook, pura-pura tidak mengalami hal buruk dan masih sering mencoba mengajak Jungkook bicara. Usahanya itu lebih sering dibanding saat mereka masih akur dulu. Dua hari lalu bahkan Arthur bertanya soal cuaca padanya. CUACA! Untuk apa? Ada badai atau petir pun Arthur tetap akan pergi keluar rumah jika pria itu merasa perlu.

Arthur baru pulang hari itu, setelah hampir empat minggu dianggap tidak ada oleh Jungkook. Awalnya, Jungkook hanya akan diam tidak merespon jika Arthur bertanya padanya. Pria itu diperlakukan seperti hantu. Lalu minggu kedua, Jungkook hanya akan meliriknya benci sambil buang muka. Di minggu ketiga dan keempat, Jungkook punya cara baru untuk menyakitinya.

Tapi belum seharipun Arthur menyerah mengajak anak itu bicara.

“Kau sudah makan?” Pria itu baru pulang setelah transaksi di luar kota. Tujuan kendaraannya bukan lagi ke markas, tapi langsung ke tempat ini. Ditaruhnya jaket panjangnya begitu saja di sofa single di sebelah markas kecil Jungkook. “Kau ingin sesuatu?”

Jungkook bersedekap tanpa menjawab. Mata masih lurus terarah ke TV yang menyala. Siaran telenovela sedang berlangsung. Luka di tangannya sudah bisa diajak kompromi. Kakinya bersandar nyaman di atas meja. Martin dan Jean menyusunkan bantal di kanan kirinya dan di alas kakinya. Tadinya, anak itu tidak begitu memperhatikan acara TV, Jungkook lebih senang memegangi perutnya. Sampai Arthur datang dan tiba-tiba ia merasa harus terlihat sibuk.

Julien berdiri di dapur, tapi Jungkook masih bisa melihat punggungnya. Pria itu berjarak sekitar 10 meter darinya sedangkan Arthur berada tidak lebih dari lima jengkal di sisinya.

“Julien, boleh tolong ambilkan remote tv untukku?”

Arthur yang bergerak, jelas karena ia yang paling dekat. Pria itu mengambil remote di sisi TV dan menawarkannya pada Jungkook.

Jungkook melipat tangannya di depan dada, menolak menatap Arthur dan menolak menerima remote itu. Sekalipun Arthur sudah meletakkan remote itu ke atas pangkuannya, Jungkook masih bersikeras meneriaki Julien.

“Julien?! Ambilkan?”

Julien tergagap di pintu dapur, enggan bergerak karena ada Arthur.

“Ambilkan, Julien!” Jungkook berseru marah.

Julien melangkah dengan terpaksa. Barulah saat Julien meraih remote dari pangkuannya dan diberikan ulang ke tangan anak itu, Jungkook bersedia menerima.

“Thanks.” Jungkook memijit-mijit benda itu, mengganti channel tak tentu. “Aku mau macaron dengan nutella,” perintahnya. Dan lagi-lagi Arthur yang merespon lebih dulu. Pria itu meraih jaket bulu Jungkook yang tergeletak di atas meja, diletakannya di sisi anak itu.

“Pakai jaketmu.”

Jungkook bergeming.

“Atau kau mau menunggu disini saja?”

“Anda siapa ya?”

Arthur mengeram, mengerat giginya di balik mulut. Kalau dilepasnya emosi yang menyesakkan dada itu, Arthur pasti sudah meraung, seperti singa.

“Kucarikan sekarang.”

“NO! Coba saja. Tidak akan kumakan. Masih bagus makan jari orang.”

“Kau bilang menginginkannya!”

“Biar Julien yang cari!” Jungkook marah, pertama kali hari itu dibalasnya tatapan Arthur, tapi dengan mendelik. “Julien ayah bayiku. Carikan aku sepack macaron, Julien! Dengan nutella, please Ju-daddy?”

Arthur menggerung, hampir-hampir menyamai suara binatang. Pria itu meremas remote tv di tangannya sampai remuk. Serpihan plastik dan metal benda itu luruh mengotori lantai. Julien dibuat tergagap menyaksikan bagaimana Arthur berdiri disana, meremas remote plastik campur besi di tangannya, dan seakan-akan ada aura gelap mengelilinginya.

Julien belum mau mati, sumpah.

“Berani sumpah, bos!” ujarnya gagap.

“Pergi. Carikan untuknya.” Arthur berbalik, membanting sisa remote yang remuk ke lantai dan hilang keluar rumah.

Kadang-kadang, Jungkook menggunakan kalimat lain untuk melukai Arthur.

“Bayiku yatim. Tidak punya ayah. Batu yang membuahi sel telurku dulu.”

“Kau menyukai ini, kan? Mengerjai Arthur. Kau sudah mengabaikannya sebulan penuh, birdie,” Angel berkata waktu mengganti perban tangannya malam itu, “Dia sedih, dan kau sadar itu.”

“Peduli amat.”

“Kau tidak bisa tinggal lebih lama disini, Arthur ingin mengajakmu ke rumah baru.”

“Aku punya uang sendiri untuk cari tempat tinggal baru.”

Angel menempel mengikat ujung-ujung perban dan mengusap tangan Jungkook pelan-pelan. Wanita itu mendesah, tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi pertengkaran aneh antara Jungkook dan Arthur. Tidak ada yang berani ikut campur, Jean sekalipun. Apalagi mencoba mengajak Arthur bicara. Celah satu-satunya, mungkin membuat Jungkook sedikit melonggarkan emosinya dan berdamai dengan Arthur.

“Dia sedang cari cara untuk melindungi kalian berdua.”

Jungkook mengerat giginya di balik bibir, menolak menjawab karena memutuskan untuk tidak percaya. Ia tahu Arthur berusaha melindunginya. Tapi ia tidak yakin Arthur akan melakukan hal yang sama pada bayi mereka. Kenyataan itu yang membuatnya sulit sekali menerima Arthur kembali dengan tangan terbuka. Sekalipun kadang-kadang rasa sesak di dadanya begitu menggebu-gebu, menggodanya untuk menyambar Arthur, memeluk dan mengecup pria itu, melimpahkan seluruh rasa cintanya.

Tapi Jungkook tidak bisa melakukannya.

Mungkin saja kalau disentuhnya Arthur, pria itu akan menganggap gesture Jungkook sebagai izin untuk membunuh bayi mereka.

Mungkin saja kalau disentuhnya Arthur, pria itu akan menganggap gesture Jungkook sebagai izin untuk membunuh bayi mereka

Berantem terus ih :”

Berantem terus ih :"

.

.

.

.

.

.

Arthur sanggup meladeni drama Jungkook kalaupun anak itu bermaksud melanjutkannya hingga tahun depan, sampai tiba waktu yang cukup aman untuk membawa Jungkook keluar ke permukaan. Lagipula dengan ngambek membuat Jungkook tidak pergi kemana-mana, hampir sebulan bolos dari sekolah, dan tidak merengek pada siapapun untuk dibawa ke markas besar mereka. Anak itu jadi tersembunyi, aman di dalam rumah Angelina.

Meski menjengkelkan dan sesungguhnya enggan, tetap diladeninya seluruh drama Jungkook karena hal ini dianggapnya sebagai bentuk pengampunan dosa. Diabaikan siang malam, dipaksa menyaksikan kemesraan Jungkook dengan bawahannya sendiri, tidak diizinkan menyentuh kulit porselen Jungkook sedikitpun, dan masih banyak kegiatan menjengkelkan lainnya. Arthur kadang-kadang hampir kelepasan dan membanting Julien atau Martin ke dinding, kalau satu-dua kali ditangkapnya Jungkook memanggil keduanya dengan sebutan daddy.

Arthur juga tidak bisa sering-sering datang kemari, walau sesungguhnya ingin sekali dikeruknya tanah rumah Angelina dan dipindahkannya seluruh bangunan ini agar dekat dari markasnya. Terdengar gila, dan tidak mungkin dilaksanakan. Jadi dengan terpaksa Arthur menyelipkan waktu-waktu aman demi berkunjung kemari, dan sisanya dihabiskannya di markas untuk menghindari kecurigaan timbul. Ia hanya menunggu laporan dari Jean dan Julien tentang semua kegiatan Jungkook yang tidak bisa diawasinya sendiri, kemajuan kondisi badannya, luka di tangannya, semuanya. Meski merepotkan, semua itu masih bisa dijalani. Sampai satu hari, Martin datang padanya membawa kopian tiket pesawat…

Atas nama Jeon Jungkook.

Tujuan Austria.

Baik Jean dan Angelina sama-sama tidak bisa menahan Arthur, mereka tahu pria itu datang membawa emosi buruk, terlihat dari ekspresi keruhnya. Arthur langsung menyambar pintu kamar Jungkook dan membantingnya sampai tertutup.

Pintu itu tidak dikunci. Tapi tidak ada yang berani masuk dan ikut campur. Apapun yang diinginkan Arthur setidaknya mereka tahu Arthur tidak akan menyakiti Jungkook…

…kan?

Jungkook yang tadi sibuk dengan ponselnya sambil duduk di atas kasur hampir menjatuhkan gadget mahal itu ke lantai. Arthur datang-datang mengagetkannya sambil menodong selembar kertas. Jungkook diam-diam menelan ludah, samar sekali, sambil menutupi rasa gugupnya. Jantungnya hampir mencelos keluar.

Darimana Arthur menemukan benda itu? Wifi sialan. Pasti anjing-anjing Arthur menyadap ponselnya.

“Apa ini?!”

“Tiket.”

“Untuk apa?!” suara Arthur menggelegar.

Jungkook berjengit samar, bohong kalau bilang tidak takut. Walau rasa sombongnya menutupi sebagian besar ketakutan yang ia punya.

“Untuk naik pesawat. Sejak kapan tiket pesawat jadi catatan belanjaan?”

“Jangan main-main denganku, nak.”

“Aku tidak main-main. Sama seperti waktu kuiris dua tangaku, tidak main-main kan?”

Arthur meledak setelah itu. Emosi yang ditahannya berminggu-minggu tumpah ruah disana. Tahu-tahu ia sudah menyambar dagu Jungkook, sampai anak itu terantuk ke belakang. Bagus anak itu jatuh di atas kasur. Tapi Jungkook jadi terjebak, tidak bisa bergerak apalagi kabur kalau tubuh besar Arthur mengukungnya begini.

Arthur menatapnya dengan cara mengerikan, matanya berkilat-kilat dan rahangnya tegang. Jungkook hampir menangis karena ketakutan, tapi dikeratnya gigi-gigi satu sama lain demi menghindari setitik celah bagi tangisnya untuk tumpah.

“Aku bisa cari cara menghidupkan orang mati. Berapapun biayanya. Aku punya uang. Setelah hari itu harusnya kau sadar, kau tidak bisa lari dariku, Jeon Jungkook.” Arthur mencengkeram wajah anak itu, Jungkook sampai merintih di luar sadar. “Ke neraka pun akan kukejar.”

“Kalau kita mati—” kata Jungkook saat suaranya kembali, “Aku ke surga, kau ke neraka. Tidak akan bertemu.”

Arthur meraung, tepat di depan wajahnya. Saat itu juga Jungkook tidak sanggup lagi menahan ketakutannya, anak itu terisak-isak. Karena cengkraman Arthur di dagunya makin kencang dan karena suara mengerikan Arthur diserukan tepat di depan wajahnya.

“Dengar baik-baik. Kau tidak bisa pergi dariku, nak. Tidak bisa,” Arthur mendesis, Jungkook gemetar dan terisak-isak. Meski lemah, Jungkook mencoba melawan. Menarik-narik tangan Arthur agar lepas dari wajahnya.

“Ya, menangis terus, menangis yang kencang. Tidak akan ada yang datang. Kau pikir apa yang membuat orang-orang itu tidak bergerak di luar sana? Mereka di pihakku. Apapun yang kumau akan dikerjakan tanpa pertanyaan. Termasuk memasung kakimu, atau memotongnya kalau perlu. Ada tidak ada bayi, kau tidak bisa lari. Aku membiarkanmu melakoni segala jenis drama. Tapi ini— tidak akan ada drama kabur-kaburan lagi.”

Jungkook menjerit, ingin menghentak-hentakkan kakinya tapi tahu itu akan menimbulkan terlalu banyak tekanan ke pinggul dan perutnya. “Lepaskan aku, Arthur! Biarkan aku pergi atau mati sekalian! Aku bukan benda!”

Really? Kau menyerahkan dirimu padaku dua tahun lalu, lupa?” Arthur menyambar kerah kaus Jungkook, disobeknya dari leher turun ke bawah. Karena bahan baju yang lebih tebal dari biasa, tarikan paksa itu menyisakan sebaris gurat memar di leher Jungkook, turun ke dadanya.

Jungkook memekik, marah dan ketakutan. Sekarang agak bertenaga dipukulnya wajah Arthur, dicobanya untuk mencekik leher besar pria itu. Namun nahas, dua tangannya bahkan tidak sanggup melingkari leher Arthur.

“Lepas, sialan!” Jungkook menangis terang-terangan, bibirnya gemetar. Kadang racauan yang keluar dari sana, kadang saat cukup berani, cacian dan seruan yang keluar.

Arthur hampir menelanjanginya, menarik paksa celana panjangnya dan kini tangan besar pria itu mencengkeram pinggulnya yang hanya dilapisi celana dalam. Jungkook yakin sekali, Arthur menyentuh sedikit buncit di perutnya. Tapi pria itu tidak merespon apa-apa.

Setelah ratusan candaan soal perkosa, Jungkook baru ditampar kesadaran. Tidak. Ia tidak menginginkannya. Dengan Arthur sekalipun, diperkosa tetap akan terasa diperkosa.

Jangan! Jangan! Please-please-please Arthur!” Jungkook berusaha mendorong pria itu, tapi malah berakhir memutus kancing-kancing kemeja Arthur.

No. No!” Aku tidak mau diperkosa. Tidak lagi. Jangan lagi.

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Braven – 19. Antagonistic”
Beranda
Cari
Bayar
Order