Tiny Toes – 2. Baby Birth

“Dia anakku, kan?” Jungkook masih bertanya, entah pada siapa. Saat Nymeria menguap dengan bibir mungil merah menunjukkan sebaris gusi tidak bergigi, Jungkook terkesiap berlebihan. “Anakku,” putusnya tanpa bertanya lagi. “Mine, mine, mine!” 

Author: Miinalee

Padahal cerita ini bisa tamat langsung seandainya dedek shareloc ke daddy. Hmmm.
Tapi kurang drama gitu kan ya. Yaudah anggep aja GPH nya masih manual kudu dilem di
hp dedek pake aibon. Terus saking pinternya dedek, dibongkar dah tuh GPS lol.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

“KAU SUDAH GILA?!” bentakan Arthur menggelegar memenuhi seisi kafetaria.

“SUDAH KUKATAKAN RATUSAN KALI KENAPA KAU MEMBUTUHKAN PELACAK ITU DAN KAU MELEPA—”

Stop screaming at him!” Angel merebut paksa ponsel Arthur. Tangannya hampir melayang menampar wajah adiknya sendiri.

“Kembalikan ponselku, Ang—”

Shut up!” Angel mendelik, satu tangannya menahan dada Arthur.

Dua kakak beradik yang sama tinggi itu mendelik satu sama lain, hampir bergulat disana demi merebutkan benda yang menyambungkan mereka dengan Jungkook.

“Kalau kau cuma ingin teriak, cari korban lain, Arthur. Kau tidak membantu, so fuck off.”

Arthur mengeram. Tapi dalam diam pria itu tahu Angel benar. Jadi ia mundur, membiarkan ponselnya dipegang oleh Angel sementara sambungan mereka diubah ke mode loudspeaker.

Baby? Baby, ini Angel. Shush, it’s okay. It’s okay. Arthur bisa kirim 100 orang untuk keliling mencarimu. Ya— Ya. I know, I know. Kami sudah berpencar. We will find you fast, I promise.”

Jungkook bernapas terengah di sebrang panggilan. Suaranya bercampur dengan isak, anak itu menghela oksigen berat-berat. Angel menghitung temponya, memperkirakan berat tekanan yang diterima anak itu saat ini, situasi apa yang menimpanya. Angel kenal Jungkook sejak anak itu masih setinggi pinggangnya, dan ia tahu daya tahan anak itu lebih bagus dibandingkan rata-rata anak seusianya. Namun tanpa video call, Angel tidak bisa memutuskan pasti. Tapi Angel membayangkan, Jungkook meringkuk di dalam ruangan tertutup, di bawah tanah. Suara dan helaan berat napas Jungkook membuatnya seolah-olah tidak punya banyak udara.

“Aku kan sudah bilang tidak mau pindah! Aku tidak mau tinggal di Baltimore lagi!”

I know baby, I know. Kita pindah segera setelah kami menemukanmu, okay? Kau tidak perlu datang ke sekolah ini lagi. Sekarang tarik napas— ya. Pelan. Hembuskan. Tarik. Kau lihat sesuatu yang bisa jadi petunjuk?”

Jungkook merengek di sebrang panggilan. Angel tahu itu bukan pertanda bagus.

Nooo?”

“Apapun? Kau lihat benda-benda di sekitarmu? Ada sesuatu?”

“Tidak ada apa-apa disini.”

“Lemari? Jendela? Pintu?”

“Cuma ada pintu. Tidak ada apapun disini, Angel! Cepat!”

Angel dan Arthur saling tatap. Mereka bicara dalam diam. Mendengar cara anak itu mendeskripsikan tempat di sekitarnya, Jungkook sangat mungkin berada di luar lingkungan sekolah. Tapi keduanya pun masih yakin Jungkook berada dekat, di sekitar mereka. Tapi ruang mana di dalam sekolah yang tidak digunakan dan dibiarkan kosong begitu saja? Jerit Jungkook di sebrang panggilan menyadarkan keduanya lagi.

“It hurts! Cepat, daddy!”

“FUCK!” Arthur berseru marah, berputar mencari wajah yang bisa didampratnya. Lima orang bawahannya berkumpul dekat di pintu, bersama Takada. “Apa yang kalian lakukan?! Aku mau birdie sekarang atau kuratakan tempat ini.”

Angel mengatup telinga kirinya dan pergi keluar kafetaria, demi menghalau gelegar amarah Arthur.

“Sesuatu sakit? Perutmu? Apa kau bisa berdiri, baby?”

Jungkook tidak menjawab, tapi anak itu merintih.

“Aku tidak mau dia lahir disini!” 

“Kami akan menemukanmu, birdie.

“It hurts, Angel. It hurts so much!”

“Apa yang mereka lakukan padamu?” suara Angel berubah serius.

“They rape him?” Arthur mengekor padanya, “I swear, Angel. I swear it— if they did, I’ll let my men rape them. All hundreds of my men— before I skinned them alive.” 

“Arthur!” Angel melirik, banyak mata menatap mereka. Sementara Arthur menyerukan ancaman itu tak acuh, di dekat kafetaria sekolah.

“Kubantu kau menyiksa mereka tapi diam dulu— ingat kita ada dimana.”

“A-angel?”

“Birdie? Apa yang mereka lakukan, baby?”

“Aku— Obat— Pros-Pros— tadis?” 

“Prostaglandins?”

“Y-Yea?” 

“Narkoba?” Arthur menatap Angel.

“Pemicu kontraksi,” suara Angel begitu tenang. Arthur tidak paham bagaimana cara wanita itu menahan emosinya saat Arthur sendiri sudah ingin mengirim 100 barrel
bensin untuk diledakkan disini— Seandainya tidak ingat Jungkook masih terkurung entah
dimana.

“Aku mau nama.” Pria itu menatap sengit, pada Angel lalu pada Takada. “Aku mau nama atau kuputuskan kau yang bertanggung jawab soal ini.”

Mr. Takada berdiri gemetar. Tiga kali membungkuk pria itu mengucapkan maaf, lalu buru-buru pergi mencari tambahan kaki dan mata untuk membantunya menemukan Jeon Jungkook dengan segera.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Jungkook berusaha mengatur posisi duduknya. Tapi skema apapun yang dipilihnya tetap membuatnya tidak nyaman. Tidak ada apapun disana, selain dinding untuk dijadikan sandaran. Ia bisa merasakan basah diantara selangkangannya, mengalir pelan-pelan, hangat. Anak itu tersedak, nyaris menangis. Tahu betul air apa yang baru saja mengalir membasahi bagian bawah tubuhnya.

“Angel…”

Copy.”

Hampir setengah jam merengek dan menjerit, Jungkook sadar energinya terkuras. Suaranya berubah begitu tenang saat ia berkata,

“My water broke.”

Jungkook bisa mendengar suara Arthur, menggelegar di belakang suara Angel. Semua nama diteriakinya, mulai dari Julien hingga Takada. Anak itu ingin tertawa dan menangis sekaligus, seandainya situasinya sendiri tidak sesulit ini.

Bagus mati daripada anakku harus lahir disini, pikirnya sambil mengatup kaki rapat-rapat.

Membayangkan putrinya harus lahir disini… di tempat sekotor dan segelap ini… Jungkook merintih. Putri seorang Jeon fucking Jungkook seharusnya lahir beralaskan sutera, bukan di atas lantai basah di dalam gudang tertutup antah berantah. Walaupun Jungkook enggan disebut tuan muda, ia tidak bersedia membiarkan kulit putrinya menyentuh lantai kumuh ini pertama kali.

Jungkook meremas pahanya, mengatup kedua kaki seakan itu bisa membantunya mengusir rasa sakit pergi. Ia menghitung jarak waktu sakit itu, sesuai seperti yang diajarkan Angel.

Hanya lima menit Jungkook diberi jeda untuk bernapas lega, lalu rasa sakit selanjutnya datang bergulung-gulung. Seperti menyentaknya mulai dari pinggul dan terus naik hingga ke jantung.

Tenaga yang dikumpulkannya lima menit harus dikuras lagi. Jungkook terengah, merasa akan segera kehabisan oksigen

“Angel kalau aku mati disini,” Jungkook tahu ini terdengar terlalu dramatis, tapi ia tahu kalimat barusan memancing lebih banyak gelegar amarah Arthur. Anak itu ingin tertawa, ingin sekali, tapi yang keluar dari bibirnya justru rintihan. “Jangan biarkan Arthur menikah lagi, swear it to me, Angel!”

Setengah mati ia menghadapi rasa sakitnya disini, merelakan seperempat ruang tubuhnya untuk menampung hasil perbuatan Arthur… Tidak akan dibiarkannya Arthur menikah lagi seandainya ia mati. Akan dihantuinya pria itu bila perlu.

“Berapa jaraknya, baby?”

Limat menit.”

Jungkook bisa mendengar Angel mengumpat pelan di sebrang panggilan. Lima menit. Jungkook menggunakan pencahayaan terendah agar daya ponselnya sanggup bertahan lebih lama, tapi matanya tidak berhenti menatap ke widget jam, tepat di bawah kolom panggilan. Ia sudah mempelajari ini, satu minggu sekali dipaksa mengikuti yoga bersama Angel dan Jean, Jungkook sesungguhnya dipersiapkan pada kondisi terburuk seandainya putri mereka harus lahir di tengah gempuran senjata dan serangan cartel lawan. Hanya saja, Jungkook tidak menyangka hasil latihan yoganya sungguhan akan digunakan di kehidupan nyata. Di tengah perang mungkin terdengar lebih keren, tapi disini di ruangan sekumuh ini?

“Baby, aku butuh kau bersiap seperti yang kita pelajari.”

Jungkook sudah menduga akan mendengar kalimat itu. Tidak dihadapkan pada pilihan lain, ia menatap ke bawah dan melepas sepatu kanannya menggunakan kaki kiri.

“Kalian tidak bisa datang lebih cepat?” Jungkook mengerang, meremas perut bawahnya sambil berbisik pelan “Please wait baby.”

Sekarang, baru Jungkook menyesal mengingat betapa ngotot ia mengingkan bayi mereka lebih mirip dirinya. Karena bayi ini keras kepala, tidak sabaran, seakan kalau dia bisa bersuara Jungkook bisa mendengar, ‘I wanna out, I wanna out, I wanna out now now nowwww!’

Jungkook mengerang lagi. Merasa tubuhnya seperti dibelah dua, otot-otot tubuhnya menegang, tulang pinggulnya dipaksa melebar, dan dorongan untuk mengejan semakin menjadi-jadi. Ia menduga-duga bila kepala bayinya mulai bergerak turun, sekuat tenaga Jungkook mengirit airmatanya, untuk mengatur napas saja sudah menyulitkan. Ia ingin Arthur disini, agar pria itu bisa melihatnya menderita, dan Jungkook bisa membuatnya ikutan menderita juga. Tapi sekarang, bayi ini yang berkuasa. Dan Nymeria menginginkan untuk lahir kedunia saat ini juga.

“Angel… I need to push.

Do what you need baby, like we practice, yes? Breath in, breath out. Give her the way.”

“Tapi lantainya kotor!” Jungkook berseru frustasi, masih berada di ambang pengingkaran, mungkin efek sakit yang hilang timbul tiap satu menit. Saat waktu di jarum ganjil, pemuda itu tidak peduli dan yang diinginkannya hanya mengejan, tapi saat waktu di jarum genap, ia berubah pikiran lagi dan tersadar ini bayi Arthur Dechlan yang akan digiringnya lahir ke dunia.

‘Harus lantai emas. Kain sutera.’ pikirnya sembari bersandar ke dinding, terengah-engah tidak jadi menanggalkan celana panjangnya. Keringat dingin sudah membanjiri leher hingga dadanya. Jungkook menatap ke luar lewat ventilasi udara. Bayang-bayang cahaya menyelinap masuk lewat dahan-dahan yang bergoyang. Lalu kesadaran melingkupinya, suara Jungkook gemetar.

“Angel…”

“Yes, baby?”

“Aku lihat pohon maple.”

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

“Aku lihat pohon maple.”

Arthur dan Angelina saling bertatapan tepat saat Martin datang dari luar kafetaria, setengah berlari menuju mereka.

“Ada gedung kosong di belakang sekolah, boss. Dekat kebun maple. Damien dan Jo sudah lebih dulu kesana,” pria itu menawarkan ponselnya, yang tersambung panggilan dengan Damien.

“Bawa aku kesana.” Arthur mengeram.

“Mereka butuh kunci untuk masuk.”

Who need the fucking keys?” geram Arthur sambil melangkah besar-besar. “Gunned the fucking door down.”

.

.

.

.

.

Tempat itu sungguhan berada di sekitar sekolah, lima puluh meter di belakang bangunan utama. Gedung olahraga lengkap dengan kolam renang kering yang sepertinya tidak digunakan bertahun-tahun lamanya. Siapapun yang membawa istrinya kemari, memang berniat untuk melukai Jungkook.

Baby, menjauh dari pintu.”

“Aku lima meter dari pintu.”

Arthur melirik ke atas. Pada ventilasi udara kecil berjajaran tepat di atas pintu. Ia bisa mendengar suara Jungkook dari sebrang panggilan memantul dari suara pelan yang berasal dari dalam.

“Menyingkir dari sana. Duduklah di sudut.”

Jungkook mengerang, sudah akan merengek dari sebrang panggilan tapi Arthur bisa mendengar suara rintihan pemuda itu selagi ia merangkak. Begitu erangan berganti dengan helaan napas panjang, Jungkook berkata lagi,

“Cepat, Dechlan.”

Arthur mundur, lalu mengangguk pada Martin yang sudah mengangkat MG-08, dua tangan di depan dada. Pria itu mengambil jarak aman, agar tidak ada serpihan besi terpantul ke arahnya, dan agar pintu itu tidak membanting dengan suara letupan berlebihan. Satu tembakan, dan kenop beserta pengunci itu hancur menyisakan lubang menganga. Arthur langsung mendorong pintu itu, menghambur masuk. Ia disuguhi pemandangan Jungkook duduk bersandar di sudut ruangan, kesakitan dan gemetaran. Melihatnya saja membuat Arthur tidak sabar ingin segera mencari biang keladi kekacauan ini. Akan disimpannya orang itu, dan akan dimulainya pelan-pelan, satu jari lebih dulu.

“Daddy…” melihat Arthur berdiri di dalam ruangan bersamanya, rengekan Jungkook berubah manja, ia mengangkat dua tangannya. Arthur menyambutnya ke dalam pelukan hati-hati.

Angel mengangkat sepatunya, melihat darah bercampur di antara genangan ketuban, mulutnya terbuka.

“Kita harus memeriksa sejauh mana obat itu berefek, Arthur. Martin, tinggalkan kami bertiga. Tutup pintu dari luar.”

Arthur menatap Angelina, tidak percaya. Tapi wanita itu memerintah Martin keluar sambil menutup pintu, “Kau tidak bermaksud membuatnya melahirkan disini.”

Itu bukan pertanyaan, Arthur tahu Angelina sudah memikirkannya. Apalagi saat kening wanita itu berkerut-kerut ketika memeriksa diantara selangkangan Jungkook yang terbuka. Arthur membantu pemuda itu menanggalkan sedikit celananya agar Angelina bisa memeriksa dan menyentuhnya.

“Terlalu jauh dari rumah.” Angelina bergeleng-geleng, lalu menggunakan telunjuknya untuk mengecek lebih lanjut.

“Rumah sakit?”

“Tidak akan sempat. Kita tidak bisa memindahkannya, Arthur. Harus dilakukan disini karena aku bisa menyentuh kepalanya. Terlalu berbahaya untuk bergerak terlalu intens sekarang…”

No.” Jungkook menggerung, geram. Lebih tidak setuju untuk melahirkan disini dibanding siapapun.

Baby, kau tahu resikonya.” Angel menatapnya sedih. Jungkook ingin berteriak, dan menolak, lalu berteriak lagi, sambil menjenggut cambang Arthur. Tapi di tatapnya wajah Angel dan ia tahu wanita itu serius. Lebih yakin lagi saat sedetik kemudian rasa sakit yang menguasainya kembali. Bergulung-gulung bagai ombak bermaksud menenggelamkannya.

Sambil mengeram, anak itu meremas tangan Arthur. “Suruh semua orang melepas jas mereka. SEMUA. Termasuk mantel baru Damien.”

Ia ingat pria itu begitu sombong datang dengan mantel baru merah marun yang dibuat khusus untuknya, oleh desainer ternama Perancis. Kalau harus melahirkan disini, Jungkook mau dia berbaring di atas mantel itu.

Jungkook mendapatkan hal yang diingkannya dalam dua puluh detik. Jas-jas mahal campuran beragam merek ternama itu ditumpuk jadi alas dadakan untuknya. Arthur membaringkannya ulang disana, dan pria itu menawarkan diri jadi sandaran punggungnya, yang bagus… karena dengan posisi itu Jungkook bisa mencengkeram tangan dan menggigit Arthur dengan lebih mudah.

Jungkook tidak tahu, bahwa rasanya akan sesakit ini. Bila ia tahu lebih dulu, sudah pasti bujuk rayu Arthur untuk memiliki bayi akan ditolaknya mentah-mentah dari awal. Biar saja pria itu membuat bayi dengan badak hutan, atau beruang madu. Sekarang sadar dirinya yang harus menanggung sakit di antara batas hidup mati demi hasrat Arthur, membuat pemuda itu meremas kedua lengan Arthur dengan sekuat tenaga. Ia berusaha mengejan, sekaligus berniat menyakiti Arthur, tapi pria itu tidak mengeluh sama sekali, tidak tampak kesakitan sedikitpun meski kuku-kuku tajam Jungkook menusuk kulit lengannya. Dan hal itu membuat Jungkook makin kesal dan menderita sehingga ia berpaling dan menggigit lengan atas Arthur.

“RRR-y-yea!” Arthur hampir menggerung karena gigitan tiba-tiba itu, tapi buru-buru ia beralih untuk menyemangati Jungkook. Dibiarkannya pemuda itu menggigit lengannya hingga berbekas rongga dan bebercak darah. “Push baby, push.” 

I AM TRYING YOU DIMWIT!!!” Jungkook terisak-isak, di antara rasa sakit dan kesal yang bercampur sampai dia sendiri bingung mana yang harus diladeni lebih dulu.

I know you can do it, baby.” Arthur mencoba mengusap keringat dari surai rambut Jungkook, yang justru direspon dengan jeritan penuh amarah.

“JADI KAU BERPIKIR AKU TIDAK BISA?!”

“Bukan itu yang ku-“

“KAU BUKAN DADDY-KU LAGI! B-BAYIKU AKAN JADI HAMMER! NYMERIA HAMMER, KAU BOLEH BUAT BAYI BARU DENGAN BERUANG. MASA BODO!”

But baby-

I swear, Dechlan. I will kill you after this.” Jungkook mengeram dengan nada yang jarang digunakannya, suara berat pria. “Aw! Aw! AWWWILL KILL YOU, DECHLAN! “

Arthur mendapatkan jejak-jejak luka cakaran dan memar gigitan di sepanjang bahu hingga pergelangan lengannya. Proses barbar itu berlangsung selama tiga puluh menit berturut-turut, rambut Jungkook sampai basah kuyup.

Jungkook sudah nyaris menyerah, napas dan energinya terkuras dalam hitungan jam saja. Tapi begitu mendengar suara teriakan lain bergabung bersama mereka di ruangan itu, suara tangis mungil yang dalam dua detik berubah jadi lengkingan memekakkan telinga. Airmatanya mengalir tanpa suara, Jungkook menghela napas dan membanting tubuhnya pada Arthur.

Mungkin suara tangis bayinya terdengar hingga ke luar ruangan karena begitu suara itu muncul, orang-orang bersorak dari luar.

Angel membersihkan bayi itu dengan kaos hasil rampasan, lalu membungkusnya dengan kaos katun putih lainnya. Dua tangan Jungkook sudah terulur, tidak sabar meminta tubuh mungil yang menggeliat dan menendang itu segera diserahkan padanya.

“Kita bisa pulang sekarang?” Arthur bertanya pada Angel, tapi ia menunduk, menatap lekat pada tubuh mungil di depan dada Jungkook.

“Biarkan birdie bernapas sebentar.”

Jungkook malah lebih sibuk menatap tubuh mungil itu. Ia tidak punya apapun untuk ditawarkan sebagai makanan pertama bayi itu, jadi ia menghisap dan membersihkan jempolnya lalu menawarkan jempol itu ke bibir mungil Nymeria. Jungkook menatap Nymeria menghisap jempolnya, dua tangan mungil itu memegangi tangannya. Jungkook menganga, kelewat terpesona. Betapa jauh perbandingan ukuran tangan mereka, jauh lebih parah di banding perbandingan ukuran tangannya dengan tangan Arthur. Dengan gemas dikecupnya kening Nymeria dan tangan mungil bayi itu, yang masih beraroma anyir ketuban dan darah. Tapi Jungkook tidak peduli. Hilang sudah perih dan sakit yang dirasakannya lima menit sebelumnya.

Kenapa dia seperti kentang?”

Angel hanya mendengus mendengarnya. Wanita itu membantu Arthur membalut tubuh bawah Jungkook dengan mantel milik Damien, lalu membuka pintu. Arthur bangkit dengan amat hati-hati mengingat ada dua orang di dalam gendongannya.

“Warnanya merah, Angel.”

“Semua bayi begini, baby.” 

Kau yakin tidak apa-apa, Angel?”

“Tidak apa-apa, baby. Kita cek ulang kondisinya di rumah, alright? Dengan peralatan lebih lengkap.”

“Dia tidak mirip aku.” Jungkook begitu terpesona, tapi juga terheran-heran. Betapa mungil makhluk dalam rengkuhannya itu. “Tidak mirip Arthur juga.”

Tidak ada yang menjawabnya. Arthur lebih sibuk memperhatikan jalan seakan-akan satu kerikil saja mungkin membuatnya tersandung. Ketakutan terbesarnya sekarang adalah menjatuhkan Jungkook dan Nymeria. Direngkuhnya tubuh Jungkook, kuat namun hati-hati, sembari melihat jalan memastikan tanah rata yang dipijaknya.

“Dia anakku, kan?” Jungkook masih bertanya, entah pada siapa. Saat Nymeria menguap dengan bibir mungil merah menunjukkan sebaris gusi tidak bergigi, Jungkook terkesiap berlebihan. “Anakku,” putusnya tanpa bertanya lagi. “Mine, mine, mine!” 

Kami menemukannya, boss.” Julien melapor sebelum Arthur masuk ke dalam mobil.

Arthur melirik Jungkook, ia bersyukur istrinya lebih sibuk menatapi Nymeria dan tidak menyadari ucapannya sama sekali.

“Bawa dia. Kuurus nanti malam,” ujar pria itu, ditatapnya Julien dengan ambigu. “Tapi kalian boleh mulai lebih dulu.”

Arthur senang Julien langsung mengerti dan tidak bertanya lagi.

.

.

.

.

.

.

Tamat…. ya.

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Tiny Toes – 2. Baby Birth”
Beranda
Cari
Bayar
Order