Braven – 2. Gesture

Author: Miinalee

Gesture /ˈdʒɛstʃə/

a movement of part of the body, especially a hand or the head, to express an idea or meaning

.

.

.

.

.

.

Satu atau dua kali Jungkook sempat terpikir untuk mengecek bengkel Kirk, sekedar memastikan apakah pria itu baik-baik saja. Di sisi lain ia tahu sebaiknya tidak melakukannya. Lagipula ia tidak pernah mengenal pria itu sebelumnya, dan Kirk bahkan tidak seramah itu saat Jungkook datang padanya mengemis pekerjaan.

Tapi jauh di dalam hatinya, anak itu tidak bisa mengusir bayangan wajah Kirk hari itu. Wajahnya yang ketakutan… Pria paruh baya yang mungkin hidup sebatang kara, bengkel itu hartanya satu-satunya, rumahnya— berdasarkan apa yang dikatakannya hari itu. Apa yang dilakukan orang-orang cartel itu pada pria tua seperti Kirk? Mati kah pria itu hari itu? Kehilangan lehernya? Kehilangan jarinya? Jungkook sering dengar orang-orang cartel gemar sekali mengoleksi jari manusia. Bayangan jari pria tua itu dipotong dan dikoleksi oleh Damien, pria botak bertato swastika, sungguh horror dalam benaknya. Hampir sama horrornya seperti bayangan dirinya menggelandang di jalanan Detroit.

Kalau sampai ia tidak juga dapat pekerjaan setelah keluar dari kehidupan Gereja, cepat atau lambat Jungkook juga akan jadi sasaran geng kriminal itu. Hidup di jalan dengan tubuh seringkih ini? Paling bagus seseorang menculiknya dan menjual ginjalnya sekedar untuk bisa beli narkoba.

Jungkook menghela napas berat sembari merapikan pakaiannya. Bayangan hidup di luar gereja sungguh mengerikan untuknya. Kirk yang punya tempat tinggal saja bisa jadi bulan-bulanan kelompok mengerikan, bagaimana dengan dirinya? Habis sudah.

Dalam dua minggu ia harus keluar dari Gereja ini. Sebenarnya bapa sudah mengizinkan waktu tenggang dua bulan lagi sampai Jungkook benar-benar menemukan pekerjaan dan hostel untuknya hidup. Tapi Jungkook tetap tidak enak hati mengambil tempat yang seharusnya bisa digunakan oleh anak lain, bayi terlantar lain yang mungkin bisa dititipkan di Gereja ini.

Sebulan yang lalu Hoseok menawarkan agar Jungkook tinggal bersamanya dulu, sampai Jungkook bisa mendapatkan pekerjaan untuk dirinya sendiri. Mereka bersahabat sejak lama, dan Jungkook tidak punya banyak teman. Jadi diterimanya dengan berat hati tawaran itu. Orangtua Hoseok juga jemaat setia Gereja tempatnya tinggal, jadi mungkin bapa yang secara implisit meminta mereka membantu Jungkook di masa-masa sulit ini.

Begitu sulit pekerjaan datang padanya. Bahkan setelah Jungkook menawarkan bayaran yang begitu rendah. 15 tahun hidup disini dan terus-terusan gagal mendapat orangtua angkat, membuat Jungkook tidak heran saat ia terus-terusan ditolak begini. Mungkin ini memang jenis kutukan yang dibawanya. Tidak diterima dimana-mana.

Apa sebaiknya ia jadi pendeta saja? Jika begitu, Jungkook bisa tinggal disini terus tanpa mengkhawatirkan tempat tinggal lagi.

Anak itu mendesah begitu tersadar pada niatnya sendiri. Tidak ada keikhlasan dalam mengabdi sebagai pendeta, jika niat awalnya bukan untuk mengabdi pada Tuhan tapi untuk dapat tempat tinggal…

Tuhan ampuni aku.

Rasanya ingin menangis saja. Betapa memalukannya. Sudah ada satu keluarga berniat menampungnya sampai Jungkook bisa mendapatkan pekerjaan. Seharusnya ia bisa bersyukur sedikit saja. Tapi tetap saja, Jungkook merasa dirinya belum pernah benar-benar diterima dimanapun.

“Jeon?” seseorang mengetuk pintu kamarnya.

Anak itu mendongak, teralihkan dari pakaian-pakaian yang sedang disusunnya ke dalam carrier besar. Ia melangkahi kasur teman-temannya, meski seorang diri hari itu, Jungkook tidur di kamar ini bersama 4 orang lain. Dan teman-teman sekamarnya masih berusia 12 hingga 14, masih harus menjalani sekolah minggu saat libur begini.

“Ya?” Jungkook tersenyum pada pastor Phillip, lelaki muda yang sudah mengabdi pada gereja satu dekade lamanya.

“Bapa memanggilmu. Ada tamu menunggu. Datanglah sekarang ke aula besar Gereja.”

Pria pendek itu tersenyum hambar padanya, Jungkook sama sekali tidak menyadari ekspresi aneh di wajah pria itu saat ia menutup pintu di belakang tubuhnya.

“Tamu?” Jungkook bingung. Tamu mana yang datang mengunjunginya ke gereja? Hoseok bahkan tidak sebaik itu untuk bertamu begini.

“Kau sudah rapi, tidak perlu ganti baju lagi,” pastor Phillip berjalan mendahuluinya, tangannya bergerak-gerak menyuruh Jungkook melangkah sedikit lebih cepat.

“Dari mana kau mengenalnya, Jeon?”

Jungkook mendengar pastor bertanya padanya dengan suara pelan sekali, hampir seperti tidak berniat mengutarakannya.

“Ya? Siapa?”

Pertanyaan Jungkook tidak terjawab, sekalipun anak itu menatap pastor Phillip setengah menunggu. Mereka sudah sampai di pintu besar aula. Lima belas meter dari altar dan meja sakramen, Bapa berdiri bersama seorang pria, begitu besar dan tinggi untuk terabaikan dalam sekali lirikan. Ada dua orang lagi berdiri di belakang mereka, mengenakan jas dan celana panjang yang rapi persis penjaga.

Butuh lima langkah lebih dekat untuk menyadarkan Jungkook siapa pria itu, tentu Jungkook tidak akan mudah melupakaannya. Postur raksasa itu, rambut klimis sebahu dan janggut lebat bertemu dari telinga ke telinga, dan wajahnya… wajah yang langsung menyerukan ‘kriminal’ dalam sekali lihat.

Arthur.

Jesus!

Jungkook refleks berhenti, hampir-hampir melangkah mundur.

No no no no no. Apa yang dilakukannya disini?

“Jeon Jungkook, hm?” pria itu menggumamkan nama Jungkook dengan ejaan yang sempurna. Kalau saja cara itu keluar dari bibir orang yang berbeda, Jungkook pasti sudah memasang senyum termanisnya dan merasa bangga. Tapi pria ini…

Beri salam pada donatur baru Gereja kita, nak,” Bapa mengulurkan tangan, memintanya mendekat.

Jungkook mematung, mulutnya terbuka lama. Kelakukannya membuat penjaga di belakang Arthur tertawa, dan pria itu… pria itu menyeringai padanya!

“Arthur Dechlan,” Bapa merangkul Jungkook. “Jeon Jungkook.”

Mereka tidak saling berjabat tangan, hanya bertatapan. Karena Arthur tidak berniat mengangkat tangannya dan Jungkook terlalu gemetar untuk menawarkan lebih dulu. Dibalik janggut lebatnya Jungkook melihat jelas pria itu menaikkan ujung bibirnya dan menatapnya tanpa berkedip.

“Kau akan mengantar Tuan Arthur berkeliling gereja dan melihat tempat-tempat yang perlu direnovasi.”

“T-tapi biasanya bukan aku— P-pastor Phillip?” Jungkook berpaling, meminta bantuan. Tapi pastor Phillip hanya menatapnya kaku dengan dua tangan di belakang punggung, sikap diam dan defensif pria itu memaksa Jungkook kembali menatap bapa, setengah tidak rela. “A-aku tidak pandai menjelaskan…”

“Hari ini jadi tugasmu, nak. Lakukan untukku, ya?” suara Bapa begitu lirih memohon, Jungkook menyadari pendeta tua itu sama takutnya seperti dirinya.

“T-tapi bapa ikut?”

“Kau mengantarkan Tuan Arthur. Aku, Pastor Phillip, dan dua gentleman ini akan mengurus surat-surat donasi di ruanganku. Kau bersedia membantuku, nak?”

Jungkook menatap ke dua gurunya mengharapkan bantuan, tapi ia tahu sudah tidak diizinkan menolak, dari cara semua orang menatapnya.

“Baiklah bapa,” jawabnya pelan sekali.

Jungkook ingin sekali menarik ujung kasula bapa untuk menahannya pergi. Ia tidak ingin ditinggal berdua saja dengan Arthur!

“Mulai dari mana?”

Jungkook menelan ludah, menahan mati-matian gemetar di tangannya saat menunjuk ke bagian kanan aula, menuju sayap kanan asrama.

Mereka berjalan berdua, beriringan, Jungkook sebisa mungkin menjaga jarak dan pandangannya. Saat berjalan bersebelahan begini, tinggi anak itu tidak lebih dari dada Arthur.

Damien yang seharusnya datang hari ini, tapi cartel mereka di utara membutuhkan Damien hingga Arthur terpaksa mengirim pria itu kesana lalu menggantikan Damien sendiri untuk datang kemari. Damien benar-benar sudah mengincar anak ini, tidak mungkin tidak. Mereka biasa mengoper dana ke gereja San Paulo, 30 kilometer dari sini. Untuk apa tiba-tiba mengubah kebiasaan yang sudah dilakukan bertahun-tahun?

Arthur melirik remaja di sisinya dan berpikir macam-macam.

“Sampai pagi tadi aku masih bertanya-tanya kenapa Damien memilih gereja ini— dia memasang namamu dengan tinta tebal, personal guide.”

Jungkook menggerakkan kepalanya, harus agak mendongak saat menatap pria itu ketika Arthur bicara. Ia tidak ingin menatap pria itu, tapi sungguh tidak sopan jika Jungkook tidak melakukannya.

“Rupa-rupanya dia sudah mengincarmu. Berapa minggu lagi kau dewasa, nak?”

Jungkook ingin sekali mengumpat. Jika berdosa saat menggunakan kata biasa, ia ingin menyebut nama Jesus Christ dan mendelik pada Arthur. Agar pria itu tahu Jungkook masih tidak rela jalan bersejajaran dan bicara dengannya.

“Berapa minggu lagi kau dewasa, nak?” Arthur menaikkan nada suaranya, kali ini pertanyaan itu terdengar memaksa.

Aku mungkin kehilangan jari jika tidak menjawab.

“Dua minggu,” Jungkook menjawab pelan.

“Hmm,” Arthur tidak bicara lagi setelah itu. Mereka berjalan dan melihat-lihat lebih seperti syarat.

Jungkook juga tidak berniat menjadi guide yang baik. Sepanjang jalan mengelilingi sayap kanan lingkungan gereja, anak itu hanya menunduk, sesekali tanpa sengaja melihat tangan besar Arthur dan berpikir buruk. Tato menyembul dari lengan panjang jasnya, urat-urat besar dan ukuran telapak tangan pria itu membuat Jungkook merinding. Kalau mau, pria itu bisa saja membunuhnya dengan tangan kosong. Begitu besar kekuatan yang dianugerahkan Tuhan pada pria ini, tapi Arthur menggunakannya untuk berbuat dosa. Memikirkannya saja membuat Jungkook bergidik.

Anak itu masih tidak habis pikir bagaimana bisa pria kriminal ini jadi donatur gereja mereka.

“Kami biasa melakukan charity ini, setahun sekali,” ucapan tiba-tiba pria itu seperti membaca pikiran Jungkook.

Anak itu mendongak, mata besarnya membulat.

“Untuk membersihkan pengeluaran dan pemasukan yang terpaksa ditabung di bank nasional. Bukan untuk pahala.”

Jungkook ingin marah sekali saat mendengarnya.

“Kau bisa mengadu juga pada bapamu, soal ucapanku barusan.”

“Lalu apa? Kau mau mengancam memotong lidahku?”

Arthur tertawa, diam-diam senang karena akhirnya mendengar suara sombong itu juga.

“Tidak. Untuk apa? Tidak ada yang peduli pada kicauan burung gereja kecil sepertimu.”

Jungkook terkesiap, tiba-tiba rasa takutnya tadi meluap, kalau bisa berubah jadi asap pasti sudah mengepul di atas kepalanya.

“Aku bukan burung gereja!”

“Kau kecil, banyak omong, berisik, dan tinggal di gereja. Harus kusebut apa? Burung gereja paling pas.”

“Kita sudah sampai di ujung!” suara Jungkook agak tinggi. Ia seharusnya membawa Arthur ke gedung asrama, tapi melihat pria itu tidak tertarik sedikitpun pada sekelilingnya, Jungkook punya alasan untuk tidak membawanya.

“Oke, kita kembali ke aula.”

Jesus! Mereka harus melangkah lagi berdua sama jauhnya seperti perjalanan sebelumnya. Demi kembali ke aula. Jungkook setengah menghentak-hentak saat memutar langkah kembali menyusuri jalan yang sudah mereka lewati tadi.

Arthur bergeleng kecil, menyeringai menahan rasa gelinya sendiri.

“Berapa tinggimu, nak?”

“Seratus tujuh puluh dan masih bisa tinggi!” Aku bisa tinggi dan besar sepertimu, kalau aku mau! Sombongnya dalam hati.

“Tidak. Kau pasti lebih boncel dari itu.”

Dibandingkan dirimu? Tentu saja aku mendadak boncel. Jungkook menggerutu dalam hatinya. Berapa tinggi pria itu? 210 centimeter? Setidaknya pria itu pasti hampir 2 meter.

“Kita sudah sampai di aula, aku harus kembali ke asrama.”

Mereka berhenti di tempat yang sama, di hadapan altar dan meja sakramen. Tidak ada siapa-siapa, hanya satu dua jemaat yang duduk di bagian belakang bangku. Jungkook sungguh hanya ingin cepat-cepat pergi.

“Dua minggu lagi Gerejamu akan mengadakan pemberkatan, banyak anggota cartelku diundang untuk datang. Termasuk Damien. Menginaplah di rumah temanmu, jangan tinggal di Gereja selama perayaan itu.”

Jungkook hanya menatap pria besar itu dengan alis naik. Jauh di dalam hati sesungguhnya merasa takut. Itu peringatan untuknya. Ada Damien disana, pria itu mengincarmu. Tapi Jungkook juga merasa tersinggung diperlakukan seperti pengecut. Gereja ini rumahnya, hanya bapa yang boleh mengusirnya dari sini.

“Dengar, kid.”

Arthur menariknya tiba-tiba, mencengkeram lengan Jungkook untuk mendapat perhatian penuh anak itu. Jungkook terlalu kaget, besar tangan pria itu melingkari lengannya, mencegahnya pergi. Jungkook tidak yakin apakah dengan berusaha sekuat tenaga bisa membebaskannya dan cengkraman sekeras itu.

“Ini bukan urusan ‘aku meremehkanmu’ atau ‘Damien meremehkanmu’.”

Jungkook tertegun. Apa pria itu benar-benar bisa membaca pikiran?

“Kau akan menginap di rumah temanmu dua minggu lagi. Kalau aku masih lihat batang hidungmu saat perayaan itu, akan kupotong sampai kau tidak punya batang hidung untuk ditunjukkan lagi.”

Arthur melepasnya dan langsung pergi keluar begitu saja, Jungkook hampir jatuh berlutut disana saking gemetarnya.

Dua minggu lagi.

Apa ia harus menghubungi Hoseok secepatnya?

.

.

.

.

Selamat dinikmati, ga dinikmati yowes ojo diboco.

Selamat dinikmati, ga dinikmati yowes ojo diboco

Nih, asupan om lagi wkwkkwkwkwk

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Braven – 2. Gesture”
Beranda
Cari
Bayar
Order