2. One Night Stand(s)
“Dia tidak peduli, Arthur.” Jeon berbisik, bertanya-tanya sendiri apakah suaranya barusan terdengar terlalu bergetar. Wajah mereka terlalu dekat, lidah saling bertemu, tidak mungkin Arthur menyadarinya, kan? Tapi terlambat dicegahnya saat dua tetes airmata meleleh, membasahi pipinya dan ikut menempel di pipi Arthur. Dalam hati, Jeon berharap, semoga Arthur terlalu terbawa suasana untuk menyadari itu.
Guis sekedar mengingatkan bahwa Arthur Dechlan dan Arthur Curry punya personality yang berbeda. Arthur Dechlan personalitynya original bawaan Braven, kalo Arthur Curry ikut personality DC ya. Tapi tetep tampannns karena sama-sama Arthur juga <3
.
.
.
.
.
Jeon mengusap bolak-balik layar pad di pangkuannya, menatap datar pada potret unit-unit apartemen yang diberikan Alfred padanya.
“Master ingin mengusirku lagi? Apa dia belum memaafkanku soal waktu itu, Alfred? Apa lagi yang harus kulakukan? Aku sudah menurut dengan tidak pulang, empat tahun. Harus berapa tahun lagi sampai dia memaafkan aku?”
“Bukan mengusir, dia mau kau belajar lebih banyak lagi. Kau baru saja lulus kuliah, bekerja di Wayne Biotech mungkin akan menambah pengalamanmu.”
“Aku tidak ingat pernah tanda tangan kontrak dengan Wayne Biotech, jadi aku tidak akan pergi. Kalau Master Bruce ingin aku pergi, dia sendiri yang harus mengusirku dari sini.”
Pemuda itu menatap kemana-mana, tapi menolak mendongak padanya.
“Dia tidak sepenuhnya mabuk waktu itu, aku yakin.” Jeon hampir berbisik saat mengatakannya. “Kalau dia sungguhan mabuk, dia pasti tertidur saat itu, bukan malah menyelesaikannya.”
Alfred berdehem, agak kuat. Diambilnya pad dari tangan Jeon sambil berujar pelan, “Aku akan pura-pura tidak dengar soal ini. Dan kau tidak boleh mengatakannya di depan Master Wayne. Ini bukan rumahmu. Kau dan aku, kita bekerja untuk Wayne. Kau tidak boleh berharap lebih dari itu.”
Jeon tahu. Mungkin lebih tahu dari siapa pun. Bruce Wayne masih bisa bersikap manis pada pelayan lain, tapi pada Jeon? Ia sudah tidak ingat kapan terakhir kali Bruce membuka obrolan lebih dulu saat bersamanya. Saat-saat terburuk kadang membisikinya kenyataan bahwa Bruce memang menganggapnya tidak ada, tapi lebih banyak waktu Jeon menyemangati dirinya sendiri. Mereka sebatang kara, dirinya dan Bruce. Bisa bertemu dan tumbuh besar bersama sudah pasti jalan takdirnya.
“Master pasti sudah pulang, aku akan menyambutnya dulu.”
“Dia tidak mau kau turun—”
Jeon sudah terlanjur melenggang pergi. Kalau pun ia mendengar seruan Alfred, pemuda itu tidak peduli.
.
.
.
.
Jeon tahu akan banyak tamu, ia bahkan bisa menduga siapa-siapa yang akan berdiri disana. Bukan orang-orang biasa… Young Master sudah mengawasi orang-orang ini sekian lama, dan Jeon dalam satu malam saja membaca setidaknya setengah dari hasil investigasi Bruce Wayne. Sekarang melihat mereka secara langsung begini, pemuda itu turun tangga sambil menganga. Terlupa sudah kenyataan bahwa dirinya bahkan tidak boleh ketahuan telah mengintip arsip rahasia Bruce.
“Biar kutebak— Flash! Aku Jeon.” ujarnya saat melihat wajah paling muda, rambut dipangkas pendek tidak benar-benar serupa foto yang dilihatnya dua hari lalu.
“Y-yea?” pria berwajah kotak itu meliriknya canggung, alis hitam tebalnya melengkung. Lalu pria itu melirik Bruce dengan tampang menuntut seakan berkata ‘Kau jualan data kami, dude?’ tapi dua detik kemudian ia memutuskan Jeon mungkin bisa jadi teman tambahan baginya, yang sedang dalam misi memperluas circle pergaulannya. “Ooola, friend. Panggil Barry saja. Kita sebaya, kan? Kupikir cuma aku yang paling muda di geng om-om ini.”
Bruce membuka mulutnya, sebelah tangannya terulur bermaksud mengusir Jeon pergi. Tapi anak itu berkeliling cepat sekali, menyapa orang satu per satu tidak peduli sikapnya membuat enam pasang mata melirik Bruce bertanya-tanya.
“Aku asisten Master Bruce.” ujarnya bangga.
Itu tidak cukup menjawab kebingungan orang-orang, karena sekarang Arthur melirik Bruce sambil mendengus. “Kau mempekerjakan anak di bawah umur, man?”
“Dia dua puluh tiga,” Bruce menyela tidak terima, sebelum melirik Jeon. Membuktikan sekali lagi bahwa dirinya masih tidak sanggup menyentuh anak itu, tangan yang semula terjulur ditariknya turun. “Pergi temui Alfred, Jeon.”
“Aku baru bertemu Alfred, kok.” Jeon menjawab tanpa berbalik, anak itu mendongak saat berdiri di depan pria besar yang duduk di atas Batmobile. “Aquaman! Jadi kau bisa ngobrol dengan ikan?” katanya sambil menjulurkan tangan.
“Arthur,” koreksi pria itu. Keningnya berkerut, dan senyumnya tertahan. “Dan ya. Soal ikan. Kadang-kadang, kalau mood.”
“Wow. Cool. Tolong jangan duduk disana, Aquaman-sir,” cepat sekali Jeon beralih, kini berdiri di depan satu-satunya wanita di dalam ruangan itu,
“Dan k-kau, umm?” hanya separuh dokumen yang terbaca olehnya, ia tidak ingat wanita ini. Sosok cantik itu berdiri begitu anggun dalam balutan jumpsuit dress hitam ketat.
“Diana Prince.” akhirnya wanita itu meladeninya, menawarkan tangannya pada Jeon.
“Dan…?” Jeon melirik pria terakhir. Agak sulit menahan diri agar keningnya tidak berkerut, melihat separuh wajah pria itu tertutup besi? Mesin? Atau itu bagian dari wajahnya? Jeon ingin sekali bertanya, tapi sadar diri mungkin tidak seharusnya. “Jeon, sir.” pancingnya sambil mengulurkan tangan.
Pria terakhir tidak menjawab, malah melirik Bruce dengan raut kaku. “Kau menjajakan dokumen pribadi kami?”
“Kalian cukup terkenal, Aquaman maksudku… dan Flash. Sering muncul di TV.” Lancar sekali Jeon berdusta, padahal baru semalam ia mencari tahu soal Aquaman dan Flash sejak saat ia melihat foto dua pria itu di ruangan Master Bruce. “Jadi bukan salah Master Bruce, tenang saja. Dokumen kalian aman.”
“Jeon, lebih baik kau bereskan barangmu dan siap-siap untuk pindah.”
“Aku sudah memutuskan tidak akan pindah. Aku akan jadi penerus Alfred, bukan karyawan perusahaanmu. Jadi aku akan tinggal disini.”
“Aku yang akan memutuskan—”
“Apa? Soal aku kerja di Wayne Biotech? Kalau kau jujur bilang benci padaku dan tidak ingin melihatku lagi, baik aku akan pergi selama-lamanya. Tapi tidak, kan? Tidak mungkin.” Jeon hampir ketakutan Bruce akan menjawab, pria itu sudah membuka mulut jadi cepat-cepat ia menimpali lebih dulu. “Ooh! Kalian butuh minum, kan? Akan kubawakan teh, dan kopi, dan biskuit. Tunggu disini.” lalu anak itu buru-buru pergi, menutup kesempatan bagi Bruce untuk mengatakan apapun.
“Kemenakanmu? Tampangnya seperti artis Korea. Blackpink, kau tahu?” Barry bersenandung kecil, mengingat ala-kadarnya lirik Boombayah di luar kepala. Saat tidak ada yang meladeni, pemuda itu berdehem dan melirik sekeliling. “Oh tidak tahu? Oke, baiklah.”
“Aku hampir mengira kau punya simpanan remaja, apa istilahnya sekarang? Sugar baby?” Arthur menyeringai, masih belum mengampuni Bruce dari tatapan tajamnya sejak saat Jeon memperkenalkan diri sebagai ‘asisten’ Wayne. “Atau memang simpananmu, Wayne?”
“Dia pelayan disini.”
“Ho. Tampangnya lumayan juga. Boleh digoda?”
Bruce tidak meladeni Arthur. Meski mendengar, seperti banyak waktu, pria itu memutuskan untuk mengabaikan.
“Hati-hati dengan benda itu, kid.” tegurnya saat melihat Barry sibuk dengan mesin di dekat meja.
.
.
.
.
Jeon tidak diizinkan kembali, pun bila ia yang membuat minuman dan menyiapkan camilan. Alfred bersikeras membawakannya dan Jeon mau tidak mau harus menurut. Master Bruce memberi perintah khusus, hanya Alfred yang diizinkan kembali ke lantai bawah. Jadi Jeon menunggu, dekat dari pintu depan jika barangkali Master Bruce memutuskan untuk pergi malam itu. Ia sudah punya SIMnya sendiri dan mahir mengendarai mobil. Akan diantarnya sang tuan muda bila perlu sampai ke ujung dunia. Tapi yang kemudian berjalan menuju pintu keluar malam itu, tepat pukul 12, adalah Arthur dan Barry. Diane, Bruce, dan Victor tidak tampak dimanapun.
“Kami akan keluar, minum sebentar di dekat sini. Kau mau ikut?”
Jeon mendesah lesu, bahunya yang tegap lemas turun. Sangat mungkin Bruce akan menghindarinya berhari hari berikutnya. Apa baiknya dilanggarnya perintah Bruce dan dikunjunginya saja pria itu di labtai bawah?
“Master Bruce akan ikut?”
“Menyusul, mungkin bersama Diana.”
“Oke, aku ikut.” Jeon langsung setuju, buru-buru diambilnya jaket, kunci mobil, dan topi sebelum mengekori Arthur dan Barry.
.
.
.
.
Pada akhirnya hanya mereka bertiga yang bertahan di bar hingga hampir pukul 3 dini hari. Barry sudah jatuh tertidur berbantalkan lengan, tidak sanggup menanggung empat shot vodka dan tetap sadar. Arthur membiarkannya, beruntung mereka tidak hanya datang berdua, karena rupanya Jeon yang mengekor punya toleransi alkohol yang luar biasa.
Mereka sudah coba banyak hal malam ini, katanya, sambil menunggu Diana dan Bruce datang. Tapi hingga lewat tiga jam tidak ada personel tambahan menghampiri mereka. Barry yang paling ribut menantang Jeon untuk minum, justru tumbang lebih dulu. Dan Jeon yang sebelumnya masih senang-senang saja meladeni obrolan Arthur dan Barry, mulai kehilangan suaranya, bukan karena mabuk, tapi karena alasan lain.
“Kau sudah mabuk?”
“Hm mm.” Jeon hanya mengangguk-angguk kecil, sambil melamun, tapi Arthur tahu itu bukan respon orang yang mabuk.
Arthur menyadari. Dari cara anak itu bersandar ke belakang, tidak lagi mengangkat gelas untuk minum, dan hanya memandang jauh menembus dinding di sebrang meja. Pipinya agak bersemu merah, meski tengah melamun seserius itu Arthur menyadari bukan alkohol yang jadi biang keladi.
“Badanmu menipu rupanya.” katanya sambil mengangkat satu gelas besar rum dan membenturnya pelan pada gelas Jeon. Pemuda itu hanya meliriknya, tersenyum tipis. Mengangkat lagi gelasnya dan melanjutkan minumnya meski hanya seteguk.
“Minum budaya orang Korea.”
“Kau sungguhan asisten Wayne?”
“Kenapa? Tidak cocok?”
“Bukan.” Arthur merutuk dalam hatinya, menyesal tidak sengaja melempar komentar yang terlalu personal.
“Tidak cocok karena aku tidak dianggap?” Jeon hanya mendengus, menutup tawa sedihnya dengan meneguk lebih banyak gin. “Apa Master Wayne mengabarimu? Soal kenapa dia tidak datang? Ada urusan mendadak?”
“Kau asistennya, harusnya dia yang mengabarimu.”
“Nomorku diblokir.”
Arthur hampir memutuskan sudah waktunya tidak merespon lagi. Mereka memang minum bersama, tapi belum cukup mabuk untuk saling berbagi cerita seintim ini.
“Kau tidak punya nomornya?” lalu suaranya berubah pelan sekali, “Aku bahkan tidak tahu kenapa datang kemari, kalau dia sendiri tidak datang, untuk apa? Jesus Christ! Kau bawa handphone? Bisa tolong hubungi dia?”
“Aku tidak pakai alat macam itu, nak. Alat yang rusak jika terkena air, merepotkan sekali.”
“Nak?” Jeon tertawa. “Kau tidak percaya juga kalau aku sungguhan dua puluh tiga?”
“Aku akan jujur- Kau lebih tampak seperti simpanan Bruce ketimbang asisten.”
“Kuharap aku simpanannya. Tapi tidak, mana mau dia berhubungan dengan orang seperti aku. Kami tidak se-kasta.”
“Apa ini?” Arthur bergeleng-geleng, “Kita baru bertemu hari ini. Kau yakin ingin aku jadi pendengar, nak?”
“Asal tidak kau sebarkan.”
“Tenang. Aku juga tidak punya teman. Kita sama.”
“Kata siapa aku tidak punya teman?”
“Tampangmu tampang orang kesepian.”
“Hei! Jumlah orang yang tidur denganku pasti lebih banyak dari jumlah usiamu, sir.”
“Orang tidur denganmu belum tentu teman, kan?”
Jeon langsung duduk tegap, tawa mirisnya tadi berubah jadi senyum geli. “Oke, tidak akan kudebatkan lagi. Dan ya, aku tidak punya teman. Dulu punya, dan sekarang dia memutuskan sebaiknya kami tidak berhubungan lagi.”
“Jangan sebut namanya.”
“Bruce Wayne.”
“Sudah kubilang jangan disebut-“
Jeon tertawa, pipi dan hidungnya makin merah efek hangatnya alkohol. Tapi sadarnya masih cukup penuh saat ia menatap Arthur.
“Mereka memungutku, delapan belas tahun lalu. Aku dididik untuk jadi penerus Alfred. Tapi sekarang aku tidak yakin lagi, mungkin mereka memutuskan sudah waktunya aku dibuang. Mungkin menurut mereka, aku bisa berdiri sendiri sekarang. Tapi seluruh hidupku berpusat untuk Bruce Wayne, kau tahu? Bagaimana caranya kalau dia memutuskan aku harus mengganti pusat duniaku.” Jeon berbisik. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana.”
“Kurasa kau mulai mabuk.”
“Belum.”
“Tambah lagi kalau begitu. Sampai mabuk.” Arthur mengisi gelas Jeon hingga penuh lagi. Anak itu tertawa, rona di wajahnya makin merekah, memancing senyum di wajah Arthur. Meski ini bukan hobinya, tapi menyenangkan juga saat Arthur menyadari ia bisa menghibur orang.
“Kau sering begini? Tidak punya teman tapi jadi pendengar keluhan orang mabuk di bar-bar antah berantah?”
“Ya. Kadang-kadang. Itu pekerjaan menyenangkan. Menyimpan gosip disana-sini, ya, ya. Seru juga, bahan blackmailku jadi menumpuk.”
“Kau boleh ancam aku kapan-kapan Arthur, bawa-bawa soal ini,” pemuda itu malah tertawa makin lebar, “Begini, biar kutambahi bahan blackmailmu. Kau mau tahu kenapa dia bisa sebenci ini padaku?”
“Aku tidak akan bertanya, tapi jadi pendengar boleh juga. Jadi, ya, oke? Lanjutkan?”
“Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu. Kemungkinan terbesar, karena kejadian empat tahun lalu.”
“Aku tidak akan bertanya, nak. Jadi lanjutkan.“
“Kami tidak sengaja tidur bersama. Kalau kau tanya -eh, kau tidak akan bertanya-, tapi sekedar info kalau… kalau aku tidak keberatan. Tidak sama sekali. Satu hal yang kubayangkan selama ini kalau harus melakukannya -seks- yang kubayangkan memang wajahnya, aku cuma mau dengannya. Tapi itu permintaan berlebihan. Dia majikanku. Harusnya hal itu cuma jadi angan-angan, yang tidak boleh seorang pun tahu. Hal itu terlalu tabu, setidaknya untuk Master Bruce dan untuk Alfred. Betapa tidak tahu diri anak pungut seperti aku kalau mengharapkan yang tidak-tidak, kan? Dan hari itu, dia mabuk sekali. Mungkin yang dibayangkannya adalah Talia, bukan aku.”
Kali ini Arthur yang duduk tegap, lalu bersandar ke belakang.
“Talia mantan tunangannya, mereka berpisah sudah lama tapi Master Wayne belum move on, sepertinya? Tapi aku tidak peduli waktu itu. Aku membiarkannyan membayangkan siapapun saat melakukan itu denganku, selama pengalaman pertamaku kulakukan dengannya. Itu kesempatanku. Dan kesalahanku. Tidak seharusnya aku memanfaatkan keadaan itu, apalagi saat dia mabuk.”
“Kau menyesal?”
“Aku menyesal kalau itu membuatnya membenciku. Kalau bisa kuulang waktu… pasti…” lalu Jeon tampak enggan sendiri menyelesaikan ucapannya, yang segera dialihkannya “Tapi kurasa, itu bukan alasan satu-satunya. Pasti bukan. Dia sudah berubah lebih lama dari itu. Lagipula, menurutmu, apa bisa orang semabuk itu sampai tidak menyadari siapa yang ditidurinya? Lihat temanmu, orang mabuk yang tidak sadar seperti itu.” Jeon menunjuk Barry yang pulas tertidur di sisi mereka, kali ini berbantalkan meja. “Tapi Bruce waktu itu… Dia menyelesaikannya, Arthur. Jadi kupikir, setidaknya, sedikit saja, dia ingat?”
“Jadi kau menyesal atau tidak?”
“Ini pertanyaanmu yang kedua, Arthur.”
“Whops. Tidak perlu dijawab kalau begitu.”
Jeon tertawa, sudah terlanjur jauh. Gin di gelasnya berkurang setengah, “Tambah lagi, isi juga gelasmu, sir.” ujarnya sambil ikut-ikutan menuangkan lebih banyak minuman ke gelas Arthur. Pemuda itu menunduk menatap buih putih di atas permukaan gelasnya, suaranya pelan melanjutkan,
“Aku selalu mengatakan kalau aku menyesal, tapi kurasa itu bukan pengakuan jujur. Kulakukan hanya agar Master Bruce memaafkanku, yang nyatanya tidak terjadi semudah itu.”
“Kurasa ini bahasan sensitif, kalau boleh jujur, aku tidak tahu kenapa kau merasa aman menceritakan ini padaku.”
“Aku tahu kau tidak akan cerita pada siapapun,” Jeon mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke mata Arthur. Ada sorot sendu di matanya yang disapu segera oleh senyum lembut, tipis. “Dan kalau boleh jujur juga, sir. Kau tipeku.”
“Aku ada niat menggodamu, tapi tidak menyangka kau lebih frontal dari tampangmu. Wajahmu benar-benar menipu.”
“Mau tidur denganku?”
Beruntung Arthur selesai meneguk minumannya saat tawaran itu terlontar dari bibir Jeon. Kalau tidak, pria itu pasti tersedak.
“Kau kuliah di Irlandia, kan? Statement tadi masih bisa kutawar, boleh tahu berapa angkamu…? Yang kau bilang lebih banyak dari usiaku?”
“Tidak pernah kuhitung. Tapi mungkin, empat puluh? Kau tidak mungkin lebih tua dari empat puluh kan? Tolong jangan bilang kau empat puluh tahun, walau tampangmu sepertinya setara usia itu, kuharap tampangmu juga menipu.”
Tawa Arthur meledak, pria itu membanting gelas kosongnya ke meja. “Anak muda jaman sekarang seambisius ini? Kau sedang mengejar sesuatu? Ada rekor dunia khusus perkara ini?”
“Kenapa? Jumlahmu kalah? Tidak sampai empat puluh, eh? Atau kau belum pernah coba dengan laki-laki?”
“Kalau kau besar sedikit, sudah kutempeleng kepalamu itu. Tapi lehermu kelewat ramping, tempeleng sedikit mungkin membuatmu cacat seumur hidup.”
“Atau mati? Kurasa, kalau aku mati, mungkin Master Wayne akan hidup lebih tenang? Tidak perlu susah-susah lagi berusaha menyuruhku pergi.”
“Aku bercanda, kid. Kenapa kau emo lagi? Rekormu lebih banyak dariku, ya, puas? So cheer up.“
“Kau tanya apa yang kukejar, kan? Aku ingin merasakannya lagi, seperti malam itu, empat tahun lalu dengan Master Wayne. Tapi kurasa bukan rasa yang membuatnya sama.” Jeon mengusap-usap embun dingin di gelasnya, setengah melamun saat mengatakan, “Dengan seratus orang pun, dua ratus? Tidak akan sama.”
“Jadi kau mengajakku supaya daftar emomu bertambah?” Arthur mengerutkan dahinya, menahan diri untuk tersenyum miris pada pemuda ini. Obsesi tidak sehatnya pada Bruce Wayne… Tapi cara Jeon melamun dengan sorot kosong itu, tawa luwesnya yang kadang-kadang menyembunyikan getir, terlalu pekat untuk diabaikan, bahkan oleh orang secuek Arthur. Ada yang salah dengan otak anak ini.
“Aku cuma bisa bilang satu hal saja, kid. Ringkasan dari cerita panjangmu hari ini… Kau tidak bisa memaksanya. Kalau dia menolakmu. Back off and move on.“
Jeon menatap Arthur dengan senyum tipis, menghabiskan minumannya tanpa menjawab.
“Kau mau mengantarnya pulang?” Jeon mengalihkan pembicaraan, ditunjuknya Barry menggunakan dagu.
“Aku bukan Wayne, mana kutahu rumahnya dimana.”
“Master Bruce sudah menyiapkan kamar untuk kalian. Aku bisa siapkan kamar-kamar itu.” Membayangkan majikannya menyiapkan tempat untuk orang-orang yang baru dikenalnya ini, dan di waktu bersamaan bersikeras mengirimnya pergi, menggores perih di dadanya. “Aku juga bawa mobil tadi.”
“Kau terlalu mabuk. Kita bertiga di dalam satu mobil dan kau yang berkendara, kalau terjadi sesuatu, kau yang mati duluan, kid.“
“Tidak perlu diingatkan, aku manusia biasa dan kalian meta-human. Kalau aku manusia super, mana mungkin aku cerita kisah emo padamu. Pasti aku sudah jadi anggota geng kalian, Superman, Batman, Aquaman, Wonder Womaaan. Akan jadi apa aku? Carikan aku nama superhero, Arthur. Barangkali suatu saat aku beruntung dan bisa gabung geng kalian,” ujarnya setengah mencemooh, sambil berdiri mengoper kunci mobil ke tangan Arthur. “Kau boleh nyupir kalau kau sekhawatir itu.”
Di sepanjang perjalanan pulang mereka tidak saling bicara. Hanya suara radio terdengar dan dengkuran kecil Barry dari bangku belakang. Tapi saat Arthur melirik, Jeon tidak tertidur sama sekali. Pemuda itu menatap keluar jendela dengan binar mata yang tidak bergerak kemana-mana. Bibirnya terkatup rapat dan entah apa yang dipandangnya. Setelah sampai, Jeon turun lebih dulu dan langkahnya tidak menunjukkan tanda-tanda pemuda itu akan limbung. Omongannya tadi bukan sekedar pengakuan besar kepala, pemuda itu sungguhan punya toleransi alkohol yang luar biasa.
Sementara Arthur membopong tubuh kurus Barry ke kamar tamu, Jeon sibuk dengan sesuatu di toilet lalu bergerak gesit ke sebrang kamar, membereskan ruang lain yang akan ditempati Arthur.
Saat Arthur menghampirinya, Jeon tengah sibuk menggelar seprai baru, sewarna putih sama pucat dengan tangan rampingnya yang cekatan memasang kaitan di ujung-ujung ranjang. Jaket yang membalut tubuhnya tadi sudah tanggal, tinggal kemeja putih tipis yang membalut tubuh ramping Jeon. Disengaja atau tidak, sosok yang berlutut sibuk di atas ranjang dengan maksud merapikan tempat itu, membuat Arthur memikirkan lagi ucapan Jeon setengah jam lalu.
Arthur menutup pintu dan melangkah masuk. Ditungguinya anak itu saat Jeon merangkak mundur. Saat Jeon turun dari ranjang dan bermaksud berdiri, Arthur langsung menangkap pinggangnya dan merengkuh tubuh itu agak intim.
“Tawaran tadi masih berlaku?” bisiknya di belakang tengkuk Jeon.
Jelas sekali Jeon tersentak. Tapi anak itu menguasai diri dengan cepat. Bukan marah, Jeon justru mendorong tubuhnya, menghabiskan semua ruang yang tersisa, hingga tubuh mereka menempel lebih rapat lagi. Digenggamnya tangan besar yang bertetengger di depan perutnya.
Bukan salah alkohol, Arthur masih sepenuhnya sadar. Tapi hawa kelewat hangat yang berhembus dan berbalas diantara napasnya dan napas Jeon, membuatnya tidak terlalu memusingkan hal lain lagi.
“Apa kau mabuk? Kau tidak mabuk, kan?” Jeon menoleh sedikit, baru sadar kepalanya bersandar tepat di dada Arthur. Presensi pria itu terasa lebih besar lagi saat mereka menempel seerat ini.
“Kau sendiri… mabuk?” Arthur mulai berani, merasa diizinkan, dikecupnya ujung cuping pucat Jeon. Tulang lunak itu terasa begitu lembut sekaligus dingin di bibirnya. Tangannya bergerak, mengusap perut. Jeon menyambut tangannya, menarik lebih turun ke arah yang lebih intim.
Berdua di dalam kamar terang benderang, mereka bergerak pelan bersama-sama bagai berdansa tanpa musik yang mengiringi.
“Aku sadar, Arthur.” Jeon menoleh dan berjijit, agak sulit, tapi ditariknya tengkuk Arthur agar pria itu membungkuk sedikit. Jeon berhasil menangkap bibir Arthur ke dalam satu ciuman tipis. Aroma gin terkecap pekat, membuatnya mengulangi lagi, kali ini disesapnya bibir Arthur dengan lebih berani. Janggut kasar pria itu menggesek wajahnya, tapi Jeon, terbawa suasana, justru memegangi wajah Arthur dan berjingkat lebih tinggi. “Dan aku mau,” bisiknya.
“Bruce?”
“Dia tidak peduli, Arthur.” Jeon berbisik, bertanya-tanya sendiri apakah suaranya barusan terdengar terlalu bergetar. Wajah mereka terlalu dekat, lidah saling bertemu, tidak mungkin Arthur menyadarinya, kan? Tapi terlambat dicegahnya saat dua tetes airmata meleleh, membasahi pipinya dan ikut menempel di pipi Arthur. Dalam hati, Jeon berharap, semoga Arthur terlalu terbawa suasana untuk menyadari itu.
.
.
.
.
kasih detail apa ga nih semutnya ArtKook wkwkwk
Nih nih ngomong sama bapaknya ikannn
Reviews
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Sugar, Baby – Special Ch
Author: Narkive94 -
🔒 Sky Above
Author: _baepsae95 -
🔒 Braven – 29. Fractured
Author: Miinalee -
🔒 Braven – 25. Bonding
Author: Miinalee
AuPembaca –
Tipical anak keras kepala ʕง•ᴥ•ʔง
Then, Have fun ArtKook, have a nice night wkwkwk ʕง•ᴥ•ʔง size different tho