Braven – 20. Serenity

Author: A Little Bits of Everything

Serenity /sɪˈrɛnɪti/

the state of being calm, peaceful, and untroubled.

.

.

.

.

.

.

.

Arthur sepenuhnya sadar. Saat ia menarik paksa sweater Jungkook, saat ditanggalkannya dengan kasar celana anak itu. Perbuatannya menyisakan gurat memar di atas tubuh Jungkook, dari bahu turun ke dada. Arthur tidak berniat untuk berhenti, sekalipun tangis dan jerit marah Jungkook melengking tepat di telinganya.

Beberapa kali Jungkook tampak nyaris akan menyerah, suaranya pelan memelas pengampunan.

“Lepas! Please— Please, Arthur please.

Jungkook berada di antara kesadaran tidak mampu mengimbangi kekuatan pria di atas tubuhnya sekaligus sadar— Arthur tidak akan melepasnya begitu saja. Jadi Jungkook menyentak tubuhnya ke atas, meraih kepala Arthur dan membuka mulut dengan marah.

“Lepas, bajingan!” Jungkook menggigit apapun yang bisa diraihnya, berharap telinga, tapi yang didapatnya justru pipi bawah Arthur. Digigitnya daging wajah Arthur dengan keratan gigi-gigi yang marah, hingga menusuk ke daging dan getir darah terecap oleh lidah.

Arthur mengeram, tapi membiarkan. Didorongnya bahu anak itu dan dibantingnya pemberontakan Jungkook kembali ke atas ranjang, di bawah dominasinya. Ditatapnya lekat-lekat sepasang mata merah dan basah itu, sekalipun Jungkook berusaha menghindar, Arthur mencengkeram dagu Jungkook untuk memaksakan perhatiannya.

“Aku tidak akan melepaskanmu— sampai kau menangis darah pun, sampai harus kupotong dua kakimu pun—”

Jungkook merintih, airmatanya makin deras berlinangan.

“Biarkan aku mati, please, please Arthur.” Aku tidak kuat lagi, rintihnya tidak kuasa.

No way.” Arthur membungkuk marah, digigitnya bahu Jungkook, terlalu kuat hingga menusuk daging, meninggalkan koyak. Darah mengalir turun ke ketiaknya, mengotori seprai putih.

Jungkook melolong, tubuhnya tegang sesaat, lalu gemetar hebat. Pasti ada luka, dalam dan buruk rupa. Jungkook bisa merasakan basah dan perihnya hingga ke ubun-ubun. Karena ketakutan yang menderanya bertubi-tubi, Jungkook makin liar melawan, memukul, dan menendang, menggerakkan otot yang bisa diperintah untuk membantunya membebaskan diri. Tapi makin besar perlawanan yang diberikannya, makin kasar Arthur berusaha menahannya disana. Satu waktu Arthur bahkan menahannya lewat leher, menekan cukup kuat agar ia tidak bergerak, hampir-hampir mencekiknya.

Bibir Jungkook gemetar dan merah oleh darah Arthur, sedangkan bibir Arthur terkatup tegang, pekat oleh darah anak itu. Jungkook berhasil memukulnya, beberapa kali. Rasa sakit yang ditinggalkan tangan Jungkook di pipi dan lehernya –anehnya— membuatnya bangga. Kalau ini situasi biasa, pasti sudah diraihnya tangan itu dan dikecupnya sebagai pujian. Tapi Arthur sedang menghukum Jungkook sekarang, sedikit belas kasihan di wajah akan membuat Jungkook besar kepala dan mencoba kabur lagi darinya.

Jungkook perlu tahu, bahwa Arthur punya batas kesabaran yang tidak bisa dilangkahi.

“Aku membiarkanmu melakukan apapun. Apapun. Apa lagi yang kurang? Memang tidak pernah cukup untukmu, hm?”

“Kau berusaha membunuh anakku!” Jungkook memekik, masih berjuang mendorong Arthur dari atas tubuhnya. Jungkook terbatuk-batuk, tersedak liurnya sendiri. Tangan Arthur mencengkeram lehernya.

“Apa aku masih mencobanya sekarang!?”

Tidak. Jungkook menelan ludah. Arthur tidak lagi menyentuhnya atau membahas-bahas soal bayi sejak insiden di kamar mandi sebulan lalu. Tapi bukan berarti Jungkook sudah lupa bagaimana mudahnya Arthur meminta bayi itu dibunuh paksa, semudah menggagalkan transaksi yang tidak ingin dihadirinya.

Ini bayinya, bukan bayi anjing. Sekarang ada di dalam perutnya, hidup dan bergantung padanya. Sudah punya jantung, sudah punya nyawa, dan mungkin sudah punya rasa. Jungkook tahu bagaimana sakitnya dipukuli, ditendang, atau jatuh dari jendela. Ia tidak mau bayinya merasakan sakit serupa.

“Kau tidak mengatakan apapun. Aku tidak tahu— bisa saja kau menunggu. Lima bulan masih bisa digugurkan, atau tujuh bulan? Delapan bulan? Sudah lahir pun masih bisa dibunuh, kan?!”

Arthur menghela napas tajam, tangannya pindah ke pinggang Jungkook, jarinya yang besar menyentuh sebagian gundukan di perut anak itu. Jungkook ingat cara mengerikan Arthur menelanjanginya tadi, tapi entah sejak kapan pria itu juga sudah bertelanjang dada. Arthur meraup Jungkook hingga dada bertemu dada. Pria itu merengkuhnya, mengukung tubuhnya, dan menindihnya disana.

Nononono!” Jungkook panik, berusaha melindungi perutnya dari berat bobot tubuh Arthur.

Arthur tidak bergeming, pria itu menggigiti lehernya, tangannya merogoh ke dalam celana. Mengusap bokong, mengusap selangkangan. Jungkook tidak terangsang. Sedikitpun. Fokusnya berada di tempat lain.

“Kau menyakitinya!” Jungkook tergugu, mencakar bahu Arthur dan berusaha memberi jarak diantara perutnya dan perut kekar Arthur. Tapi Arthur bergeming, masih mengecap, menggigit leher dan dada Jungkook. Pria itu seperti buta pada Jungkook yang hampir semaput disana. Arthur malah menarik kakinya, memposisikan diri sendiri di tengah selangkangan Jungkook. Pria itu masih menggunakan celana lengkap, tapi dengan sengaja ia menggesekkan gundukan kejantanannya tepat di depan kemaluan Jungkook.

Tingkahnya itu membuat Jungkook termegap, makin ketakutan. Jungkook terlalu tenggelam dalam emosinya sendiri untuk menyadari bahwa tidak ada tegang di antara selangkangan Arthur.

“Arthur!” Jungkook berseru, merinding mengingat ukuran Arthur yang sanggup merogoh kulit perutnya hingga jadi rongga. Dan sekarang ada bayi di dalam sana.

“A-Aku minta maaf— Aku tidak akan pergi. Tapi jangan… A-Angel bilang masih berbahaya untuk ini— Arthur please.”

“Diam,” Arthur memagut bibir Jungkook paksa untuk membukam, tangis masih tembus diantara ciuman sepihak itu. “Diam.” Perintahnya lagi sambil ngecup tengkuk Jungkook.

Ia merogoh kemaluan Jungkook, mengusap penis, mengusap vagina. Arthur tidak benar-benar ingin melakukannya. Tapi setelah sekian lama tidak bisa menyentuh Jungkook— pria itu sadar ia merindukan kulit hangat anak ini. Arthur hanya ingin mengusap. Kalau hal itu sekaligus menakuti Jungkook, mungkin ada baiknya.

Jungkook berjengit, tiap kali Arthur menyentuh bagian paling sensitif, satu dua bulir airmata meleleh di pipinya.

D-Dia bisa mati, Arthur,” Jungkook memelas, tenaganya sudah habis untuk melawan, “Kita coba lewat belakang, kita belum pernah coba, kan? Ya, kan, daddy?” bisiknya frustasi. Suaranya jadi serak, hampir habis.

Arthur membatu mendengar tawaran putus asa itu, bibirnya berhenti di tengkuk Jungkook dan diam cukup lama disana. Didengarnya dengan khusyuk semua rintihan anak itu. Tidak ada lagi perlawanan. Tapi respon seperti ini yang justru membuat Arthur tidak sanggup menggerakkan sendi-sendinya untuk menakut-nakuti Jungkook lagi.

Penisnya hampir merespon sikap submisif Jungkook, namun Arthur menahannya mati-matian. Jangan. Jangan sekarang. Jungkook tidak tahu sebesar apa Arthur memagari dirinya sendiri agar ia hanya menyentuh anak itu disini. Tidak lebih. Tidak boleh lebih. Jungkook tidak tahu, seperti yang sering terjadi.

Please, daddy.” Jungkook mengatup wajah Arthur dan memaksakan senyum termanisnya. Tapi dengan wajah pucat, mata sembab, dan bibir penuh darah, anak itu justru menyuguhkan pemandangan menyedihkan di hadapan Arthur.

“Kau boleh lakukan dari belakang, pasti sama sempit.” Jungkook tidak sadar lagi kalimat macam apa yang keluar dari bibirnya, ia hanya ingin Arthur tidak memasukinya lewat jalur yang akan melukai bayi mereka.

Arthur mengeram, tidak ingin Jungkook membalas, ia hanya ingin menakut-nakuti. Tapi di dalam ketakutannya, Jungkook malah mengecupi pipi suaminya memohon pengampunan.

I’m so sorry, Daddy. I’m so sorry. Let’s do it backways, it’s still tight cunt I promise.”

“Shush!” Arthur melonggarkan kukungannya, direngkuhnya bahu Jungkook agak lembut kali ini. Diusap-usapnya pipi basah anak itu dengan jempol. Jungkook masih terisak-isak, suaranya hampir hilang, tapi masih belum bosan ia menawarkan Arthur lubang belakangnya.

“Diam, baby girl.”

“D-daddy?”

Jungkook agak terbata-bata. Seperti bingung harus menuruti keinginan Arthur atau tetap mencoba menawar jalur soal bagaimana Arthur akan memperkosanya. Tapi melihat wajah Arthur cukup serius, tanpa gurat amarah semengerikan sebelumnya, Jungkook memilih untuk diam. Bibirnya masih gemetaran, Arthur mengusap darah di pinggir-pinggir bibirnya menggunakan jempol.

“Good girl.”

P-please Arthur—”

“Diam.” Arthur mengingatkan lagi.

Jungkook sontak membungkam mulutnya. Tangisnya sudah hampir pecah tapi ditahannya mati-matian. Bagaimana takdirnya sekarang?

“Kulepas sekarang tapi jangan lari. Kau cuma pakai celana dalam.”

Jungkook mengangguk cepat-cepat. Arthur mendengus, senang tidak mendapat perlawanan lagi. Pria itu membaringkan Jungkook kembali, sebelum ikut berbaring di sisinya. Ia tidak berusaha menindih anak itu lagi, tidak bahkan sekedar menyilang kaki di atas kaki Jungkook. Tapi Arthur masih memegangi lengan Jungkook, masih belum percaya Jungkook tidak akan mencoba melakukan apa-apa.

Agak lama mereka bertatap-tatapan tanpa bersuara. Padahal baru beberapa menit lalu keduanya bertengkar sampai saling gigit hingga berdarah-darah. Jungkook masih memasang alisnya agak tinggi, bingung, hampir ling-lung. Arthur menatapnya dengan tampang biasa, ekspresi gelap dan mengerikan yang tadi menguasai wajahnya sudah redup. Tangan kanannya hampir mati rasa karena digenggam cukup kuat.

“….and?” Jungkook menatap suaminya bingung.

“Kita tidak perlu melakukan apapun, kau tidak menginginkannya.”

Hah? Jungkook melongo, ditatapnya Arthur dengan mulut terbuka.

“Kau tidak boleh pergi. Tidak. Aku sudah mengizinkan bayi itu hidup tapi kau minta macam-macam.”

Jungkook berjengit saat Arthur menarik tangannya untuk mendekat. Tapi ucapan Arthur barusan terngiang-ngiang terus dalam benaknya. Ingin sekali ia meminta Arthur mengulang ucapannya barusan. Sekedar memastikan. Jangan-jangan dia salah dengar?

Tapi pria itu menatapnya serius, seperti sudah berniat bicara sejak sebelum ia masuk ke kamar ini.

Aku akan melindunginya. Bayi itu. Aku sudah mengontak kenalanku di Rusia. She’ll know what to do. Jangan bilang Jean dulu, jangan bilang siapapun. Dan kau tidak boleh pergi. Jadi jangan macam-macam lagi.”

A-alright?

“Kita pindah ke rumah baru, alright? Setelah bayinya lahir, akan kupindahkan kau ke sekolah baru. Kau harus menyelesaikan sekolahmu. Tanggung sekali— tapi sekolah bisa menunggu.”

Jungkook termegap. Sepertinya lebih mudah membalas amarah Arthur dibanding merespon sikap lembut pria raksasa ini. Anak itu menatap kemana-mana, menyusun tenangnya satu-satu, ia belum terbiasa dengan sikap Arthur yang kelewat lembut begini. Jungkook jadi bingung harus bersikap bagaimana.

Lalu ia menyadari ada kalung melingkari leher Arthur, panjang hingga menyentuh seprai, bandulnya bergelayut dan tergeletak dekat dari bantal. Arthur tidak pernah pakai perhiasan. Bahkan setelah menikah di gereja Ohio, tidak pernah didapatinya cincin kawin mereka tersemat lagi di jari pria itu. Cepat juga disadarinya bandul ganjil yang dipasang pada kalung itu, bukan permata bawaan, melainkan dua cincin yang sangat familiar.

“Itu cincinku?”

Arthur menunduk, ke arah mata Jungkook menatap, pada kalungnya.

“Ya.”

“Tapi aku menjualnya.”

“Dan aku membelinya lagi.”

Jungkook bingung, harus marah atau senang.

“Kau menguntitku!”

“Lebih bagus daripada David yang menguntitmu.”

Jungkook hampir menangis lagi saat mendengar nama itu disebut-sebut. David juga alasan utama Arthur menginginkan bayi mereka digugurkan. Walaupun pria itu tidak pernah benar-benar menyatakannya.

“Kita tidak bisa punya anak. Tidak sekarang. Tapi kau begitu menginginkannya.”

Of course I want it. Aku butuh keluarga. Satu yang tidak berbohong padaku.”

“Kapan aku bohong?” Arthur tiba-tiba marah lagi. Jungkook termegap, hampir minta maaf. Tapi rasa kesalnya membumbung, ditambah rasa congkak karena baru saja diperlakukan begitu lembut oleh suaminya, membuat Jungkook memutuskan untuk bertengkar. Lagi.

Kau. Pada Marco di markas waktu itu.” Jungkook mengerat giginya geram.

“Bagian mana aku berbohong? Good fuck young tight cunt? Memang benar kan? Atau kau lebih pilih dibilang ‘lubang longgar grandma’ dan ‘tidak enak ditiduri’?

Jungkook hampir keceplosan tertawa, ditutupinya dengan mendengus. Ia mencubit bibir Arthur gemas.

“Kenapa tidak mengaku soal pacar?”

“Untuk apa? Kau bukan pacarku. Kau istriku.”

“Kenapa diam saja waktu aku dipukuli?”

“Kau bisa melawan. Kalau aku yang menolong, setelah hari itu potongan kepalamu akan dihargai 1 juta dollar. Harga yang kelewat murah dibanding pabrik Meth-ku, ingat? Tapi tetap banyak yang akan memburumu.”

“Aku tidak takut mati.”

Bulshit. Jadi apa yang kau takuti? Tuhan?

Ya…” Dan aku takut kau pergi. Jungkook tidak ingin mengucapkannya. Hatinya sendu, tapi mengingat betapa banyak hal ditutupi oleh Arthur darinya membuatnya ingat untuk tidak melakukan hal yang sama. Ia benci bagaimana Arthur bersikap tidak masuk akal akhir-akhir ini. Tapi Jungkook juga tidak ingin kehilangan Arthur. Ia ingin bayinya, dan ingin Arthur juga. Kalau itu pilihan yang serakah, sekali saja, Jungkook rela dianggap berdosa.

Jadi Jungkook memutuskan untuk jujur, “Dan aku takut kau pergi.”

Arthur menatapnya, rahang pria itu agak tegang.

“Aku tidak tahu harus menjamin paranoia-mu ini dengan cara apa lagi—” Arthur mengangkat tangannya untuk mengusap bibir Jungkook. Pria itu maju, memotong lebih banyak jarak di antara wajah mereka.

“Harusnya yang jadi kekhawatiranmu— kau tidak akan bisa pergi dariku birdie. Selamanya. Akan kuburu kemanapun.”

Jungkook senang diburu Arthur. Asal pria itu tidak bermaksud mencelakai bayi mereka. Arthur mencarinya sama artinya pria itu masih menginginkannya. Dan kesadaran itu membuat Jungkook tersenyum, tipis sekali.

Jungkook ikut-ikutan balas mengusap bibir Arthur. Ada darahnya disana, dan tiba-tiba ia sadar bahunya masih perih.

“Aku benci pria itu,” Jungkook berbisik, “Marco…”

“Sama.”

Jungkook bermain dengan janggut Arthur, hal yang sudah lama tidak dilakukannya. Anak itu sadar ia rindu mengusap janggut kasar pria itu. Jungkook masih cegukan, sepersekian menit sekali, sisa isak tangisnya tadi.

“Saat sudah tepat waktunya, kita penggal Marco bersama. Kau yang pegang pisaunya.”

Jungkook menyeringai pada tawaran itu. Matanya agak perih, tapi senyumnya merayap hingga ke mata sipit yang bengkak itu. Arthur merengkuh pinggang anak itu dan mengecup pipinya gemas.

“Aku masih ngambek.”

Lanjutkan.” Arthur mendengus, “Tapi kalau kau pakai drama-drama minggat lagi. Aku yang marah— dan kau tidak akan menyukainya.”

“Ya, daddy.” Jungkook tersenyum puas, dikecupnya bibir Arthur sebagai hadiah. Seandainya Arthur bisa sejelas ini mengatakan ia akan melindungi bayi mereka, Jungkook tidak mungkin menyia-nyiakan uang 553 dollarnya untuk membeli tiket ke Austria. Apalagi ia mengocek uang itu dari tabungannya sendiri.

“Kau tidak bisa tinggal disini lebih lama lagi.”

Yaaa.” Jungkook sudah malas membantah. Dengan senang hati ia memeluk Arthur, menghirup aroma pria itu lagi setelah sebulan lamanya harus menahan diri demi terlihat sombong.

Jungkook tanpa sengaja melihat selangkangan Arthur dan dibuat heran. Jungkook kenal Arthur, walaupun sering mengalah dengan mengurangi jatahnya sendiri di ranjang, Arthur pasti tetap tegang puluhan menit kemudian dan baru sembuh setelah pria itu mengendap di kamar mandi hampir sejam.

Apalagi sekarang… mereka belum melakukannya satu kali pun.

“Kau tidak tegang?”

“Bagaimana bisa tegang kalau kau meratap seperti tadi. Tikus juga lari.”

“Arthur!” Jungkook berseru geram. Tapi tadi? Apa pria itu hanya menakut-nakutinya? Jungkook memutuskan untuk tidak bertanya. Karena sejujurnya ia belum siap untuk melakukan lebih. Lewat depan ataupun belakang. Tapi dengan senang hati ia mau menghabiskan banyak waktu bergumul begini saja, saling pagut dan saling peluk.

“Aku rindu, Daddy.” Jungkook menyusup ke dada Arthur, sepenuhnya melupakan pertengkaran mereka barusan. Arthur menerima anak itu, merengkuhnya agak longgar sambil mengecup kepala Jungkook.

“Ya.” Aku juga.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

.

.

.
.

Suara lolongan Jungkook dan permohonan ampunnya terdengar memekakkan telinga. Jean di luar ketakutan setengah mati. Ingin sekali didobraknya pintu kamar Jungkook sambil membawa tongkat baseball. Julien dan Martin menunjukkan keinginan serupa. Kalau saja bukan karena larangan Angel, mereka pasti sudah melakukannya, sudah akan menyusun rencana bagaimana caranya membuat Arthur pingsan dengan mengeroyok pria itu bersama-sama.

“Biar mereka selesaikan sendiri. Ayo pergi.”

“Anak itu tidak akan diperkosa, kan?” Julien agak bergidik membayangkannya. Walaupun ia lebih menurut pada perintah Arthur, tapi membayangkan birdie disakiti juga bukan hal yang menyenangkan untuknya.

“Kalian kenal Arthur!” Angel mendesis, menarik-narik Jean dan memelototi Julien juga Martin. “Ayo pergi!”

Jean belum siap melihat Jungkook benar-benar kehilangan kaki, atau kehilangan satu jarinya karena amarah Arthur. Atau yang paling parah? Ia tidak mau kesehatan mental anak itu terganggu kalau Arthur sungguhan sampai memperkosanya di dalam sana.

Tapi Jean juga…

Tidak siap melihat kedua orang yang dikhawatirkannya itu tiba-tiba duduk berpangkuan di sofa ruang tengah rumah Angel. Pagi itu hal pertama yang diinginkannya adalah memastikan keadaan birdie. Tapi sebelum sampai kamar anak itu, Jean justru menemukan Jungkook sudah rapi sambil duduk di atas pangkuan Arthur dan mengulum lollipop kecilnya.

Jean tahu sebesar apa rasa sayang Arthur pada Jungkook. Tapi melihat bos besar membiarkan anak itu duduk di pangkuannya sambil bermain dengan janggutnya…di rumah Angel…..

Tidak. Mental Jean tidak siap.

Wanita itu bingung harus merespon bagaimana.

Dua orang itu pun seperti tidak sadar Jean memandangi mereka dari pintu depan. Arthur mungkin sadar, tapi pria itu diam saja dan tidak berusaha menyingkirkan Jungkook dari pangkuannya.

“Aku mau lihat New York, pasti banyak pusat game, banyak pakaian, banyak make up. Jangan lihat ponsel terus, Arthur!”

“Ini pengiriman penting, baby. Tunggu sebentar.”

“Dengarkan aku!”

“Aku dengar, lanjutkan.

Jungkook mengerang, sambil menghentak di atas pangkuan Arthur.

“Stop that.”

Bukannya berhenti, Jungkook malah memeluk leher Arthur dan mengecup kecil-kecil rahang Arthur. “Let’s go, let’s go, let’s go, let’s go.”

Kubilang berhenti, Jeon.”

“I’ll stop! Tapi taruh ponselmu.”

Jean berdehem, tidak sanggup lagi menonton kemesraan keduanya.

Well?”

Jungkook berbalik, melihat Jean berdiri di pintu wajahnya jadi berseri-seri.

Hi, Jean!”

“Kau sudah makan, birdie?”

“Yap! Angel yang siapkan.”

“Alright.” Jean kehilangan kata-kata lagi, bingung saat Jungkook bersikap seakan-akan tidak ada sesuatu apapun terjadi. Padahal Jean melihat memar di ujung bibir anak itu, sisa ruam di leher, dan ujung perban menyembul di bahunya. Arthur juga punya beberapa memar samar, di bibir dan di lehernya. Tidak mirip kissmark, lebih mirip hasil pertengkaran.

Tapi mungkin Angel yang benar dalam hal ini.

Mereka sudah menyelesaikan masalah sendiri, dengan cara mereka.

“Aku di ruanganku kalau kau butuh sesuatu, ya.”

Lebih baik pergi. Memastikan tangan dan kaki Jungkook masih pada tempatnya sudah cukup bagi Jean.

.

.

.

.

.

.

Banyak views baru tapi ga nambah votes apalagi comment :’)

Pijit votesnya dongggg, gratis kok ga bayar

Atau aku yang bayar deh nih pake foto om sama dedek

Atau aku yang bayar deh nih pake foto om sama dedek

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Braven – 20. Serenity”
Beranda
Cari
Bayar
Order