Braven – 21. Abode

Author: A Little Bits of Everything

Abode /əˈbəʊd/

a place of residence; a house or home.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

“Arthur! Arthur!”

Arthur menghela napas, refleks mengangkat tangan menyambut Jungkook, agak khawatir melihat remaja itu berlari-lari menuruni tangga dari lantai dua. Satu tangan Jungkook membawa-bawa majalah.

“Aku mau ini!” todong anak itu tiba-tiba.

Arthur langsung membenahi kacamatanya begitu menyadari cover majalah apa yang dibawa Jungkook.

Majalah properti.

“Kau mau jadi agen properti?”

“Arthur!” Jungkook berseru geram, sambil membanting diri di pangkuan Arthur.

Arthur hampir kelepasan mengerang saat bokong kenyal anak itu menyentak pangkuannya. Kalau tidak ingat Jungkook sedang mengandung, pasti sudah dibantingnya anak itu ke samping.

Please, daddy?”

“What?

Anak itu memelas sambil menunjuk-nunjuk sebuah bangunan rumah bergaya modern di tengah lembar majalahnya.

“Aku suka yang ini. Aku yang pilih rumah baru kita, ya! Please? “

What? No.”

Whaiyyyy???

“Karena rumahnya sudah ada.” Dan aku tahu isi kepalamu.

Arthur sudah 70% yakin Jungkook akan meminta rumah di New York. Tiba-tiba saja kota bising itu terus-terusan disebut oleh Jungkook, di sela obrolan pendek mereka, di tengah pelukan sebelum tidur, di saat sarapan. Di mana-mana. New York terlalu berbahaya. Terlalu banyak mata, dinding bisa jadi telinga.

“Kalau sudah ada kenapa tidak pindah sejak kemarin?!”

“Rumahnya baru siap ditempati besok.”

Jungkook bangkit dengan geram, dibantingnya majalah itu ke lantai sedramatis mungkin. Seharian ia memilah dan memutuskan rumah seperti apa yang diinginkannya dan ternyata Arthur sudah memilih lebih dulu.

“Selalu begini! Aku tidak pernah diberitahu! Apapun selalu disembunyikan dariku! Memang ya aku tidak pernah dapat kepercayaan sekali saja untuk memutuskan sesuatu. SEKALI SAJA!

Jungkook membanting pintu kamarnya setelah itu. Tidak ada siapa-siapa. Kalau ada penonton, Arthur pasti canggung setengah mati dibentak habis-habisan oleh remaja baru dewasa kemarin sore, suasana pasti menuntutnya untuk melakukan sesuatu. Beruntung tidak ada siapapun disana, bahkan Angelina. Semua orang sibuk soal transaksi dan Angelina sibuk di rumah sakit. Cuma Arthur yang mengawasi setiap pergerakan anggotanya lewat rumah ini (yang tiba-tiba jadi rumah keduanya setelah markas besar) hanya demi menunggui birdie.

Dan Jungkook memutuskan untuk merajuk padanya dengan mengurung diri di kamar sampai sore hari. Arthur tidak khawatir soal makanan, karena kamar anak itu sudah lengkap dengan dapur mini dan kulkas. Jean selalu memastikan ada makanan bergizi di dalam kamar Jungkook. Tapi yang jadi kejengkelannya hari itu adalah kelakuan Jungkook. Jungkook sengaja mengeras-ngeraskan suaranya agar Arthur tahu anak itu bolak-balik video call dengan Julien. Kadang-kadang Martin yang ditelponnya, kalau Arthur bersikeras menabrak panggilan Julien dan Julien akan—

Sorry kid, boss calling—”

Kalau Arthur memutuskan untuk memotong panggilan Martin, Jungkook akan mengalihkan pilihannya pada James. Setelah James ada Samuel. Setelah Samuel ada Abraham. Ada saja pilihan lelaki yang bisa ditelpon anak itu sampai Arthur membanting gadget di tangannya dengan geram. Itu gadget ketiga yang sudah dirusaknya bulan itu. Semata karena benda itu yang selalu ada di tangannya untuk dibanting.

Ada Arthur di rumah ini dan Jungkook memutuskan untuk mengajak bicara orang yang tidak bisa dilihat langsung dengan mata kepala.

Astaga.

Arthur tidak tahan lagi. Pria itu menggebrak kamar Jungkook hingga anak itu berjengit kaget, gadget terpeleset jatuh ke kasur. Bagus tidak jatuh tepat di atas wajahnya.

“Pakai cara lain kalau mau memanas-manasi aku.”

Jungkook memungut lagi ponselnya dan berbalik memunggungi Arthur, sebisa mungkin tidak memegang dadanya. Jantungnya berdegup gila-gilaan. Kalau Arthur ingin memulai lagi pertengkaran seperti malam itu, Jungkook tidak yakin mentalnya akan bertahan. Membayangkan kejadian malam itu saja masih cukup mengerikan baginya. Tapi mulutnya bergerak, lebih cepat dari degup jantungnya sendiri.

“Tidak mau. Cuma ini yang ampuh.”

Bagus sekali, Jeon Jungkook. Kalau Arthur marah dan memperkosanya disana— habis sudah. Dia dan bayinya.

Tapi Arthur mengeram, hanya berdiri di pintu meremas kenopnya. Jungkook agak khawatir benda itu lepas, sedetik lagi saja.

“Kupatahkan kaki Julien!”

“Masih bisa date dengan Martin.”

“Kupatahkan tangannya!”

“Ada Samuel.”

“Samuel sekalian!”

Jungkook bangun dengan geram. “Patah sini patah sana! Habis sudah pasukanmu!”

“Biar habis sekalian!”

“Pergi, Arthur.” Jungkook melempar bantalnya jengkel. Benda itu terempas agak jauh, hampir menyentuh sepatu kulit Arthur. “Aku mau sendiri. Dan jangan rusak pintunya! Aku tidak punya kamar lain!” Ini bahkan bukan kamarnya. Ini rumah Angelina.

Arthur menatapnya lama. Raut pria itu masih kaku, mungkin sedang berembuk dalam hatinya sendiri untuk tetap meladeni Jungkook atau menurut dan pergi. Dua-duanya sama tidak masuk akal bagi Arthur. Ia tidak senang adu mulut begini, seperti remaja saja. Tapi meninggalkan Jungkook sendiri juga bukan pilihan bagus, Arthur bisa merusak rumah Angel kalau sekali lagi mendengar tawa mesra Jungkook karena lelucon yang dilontarkan pria lain.

Jadi Arthur memutuskan masuk, diambilnya jaket yang tergantung di belakang pintu dan diletakannya dekat dari kaki Jungkook.

“Pakai jaketmu, kita cek rumah baru. Cuma 10 kilometer dari sini.”

“Aku masih mau rumah yang di majalah itu.”

“Sudah kubeli.”

Jungkook termegap dulu, sebelum rasa gembira datang bertubi-tubi. Padahal ia siap merajuk sampai besok sore. Tapi apa alasan untuk merajuk lagi kalau Arthur sudah menuruti keinginannya?

“Sungguh? Aku bisa tinggal disana sekarang?”

“Rumah itu tidak bisa ditempati. New York terlalu ramai.”

Jungkook memekik tidak percaya. “JADI UNTUK APA DIBELI?!”

“Kau menginginkannya?”

“Ya! Untuk ditinggali!”

“Kita bisa kesana, satu dua malam, tidak bisa tinggal lama. Tapi properti itu bisa jadi tabungan, suatu saat bisa dijual kalau kau mau.”

Jungkook ingin marah, mulutnya sudah terbuka untuk melontarkan omelan beruntun saat Arthur tiba-tiba memujinya.

“Rumah itu investasi bagus. Matamu jeli.”

Jungkook mengatup mulutnya, membukanya lagi, mengatup lagi dan membuka lagi, merasa tidak masuk akal jika ia tetap melontarkan amarah pada pria besar ini. Jarang sekali didengarnya Arthur memuji.

Thanks,” sambungnya masih dengan nada judes.

“Pakai jaketmu.”

Jungkook mendapatkan rumah impiannya, meskipun tidak bisa ditinggali. Rumah futuristik dengan nuansa putih dan abu itu. Jadi Jungkook mengenakan jaketnya, sebagai bentuk apresiasi pada Arthur. Ia berdiri, mengekori pria itu. Bersama mereka keluar menuju mobil yang terparkir di halaman luas rumah Angelina. Tangan Jungkook bergerak-gerak, agak gatal ingin meraih tangan besar Arthur dan menggandeng pria itu. Tapi tidak dilakukannya hingga mereka berdua duduk bersisian di dalam mobil. Meski sudah tidak marah, rasanya agak gengsi jika ia langsung meminta kemesraan Arthur.

Perjalanan itu tidak sungguh-sungguh berlangsung 10 menit. Hampir setengah jam dan Jungkook sudah akan melontarkan protes saat Arthur makin membawa mobil mereka menelusuri jalanan sepi dengan pohon tinggi di kanan kiri. Disangkanya Arthur akan membawanya ke dalam hutan. Begitu gatal bibirnya ingin berkomentar.

Masih ingin membunuhku ya?

Masih ingin membunuh bayiku?

Mau perkosa aku di tengah hutan?

Tapi agak ngeri kalau komentarnya kemudian jadi inspirasi bagi Arthur. Jadi dibungkamnya mulut rapat-rapat sambil bersabar mengawasi jalan-jalan disekelilingnya. Aspal yang mereka lalui begitu halus, seperti jarang dilewati kendaraan. Dan sesungguhnya tidak ada pemandangan apapun selain pohon-pohon pinus tinggi dan jalan yang hanya diterangi lampu sorot mobil dan cahaya bulan. Mobil mereka berbelok ke jalan yang jauh lebih sempit, melintas kurang lebih lima puluh meter lagi dan di ujung jalan itu berdiri pagar dinding tinggi.

Pintu besi hitam besar terbuka otomatis untuk mereka lalui. Jungkook langsung duduk tegap, mencari-cari penjaga yang mungkin barusan membukakan gerbang besar itu untuk mereka. Tapi jalan panjang di depan dan tidak ada seorangpun disana.

“Kau yang buka?”

“Ya.” Arthur memindah gadget kecil yang dipegangnya ke pangkuan Jungkook, layar gadget itu tengah membuka aplikasi sederhana dengan seluruh panduannya. Mulai dari pintu, gerbang, jendela, garasi, sampai atap. Atap? Jungkook bertanya-tanya apakah rumah barunya akan punya atap kaca yang bisa ditutup dan dibuka otomatis. Membayangkannya saja membuatnya makin bersemangat.

“Tutup lagi gerbangnya, kid.

Jungkook melepas sabuk pengamannya dan berpaling ke belakang sambil menekan tombol ‘gerbang’ kelewat antusias. Saat dilihatnya pagar besar itu menutup otomatis, Jungkook memekik senang.

Cooool!” serunya sambil berjingkat, tergoda untuk mengulangnya sekali lagi. “Rumah apa ini? Anti zombie?”

Arthur mendengus disisinya. “Bisa jadi.”

“Anti Damien juga?”

Arthur tertawa. Tawa sungguhan yang membuat Jungkook sontak berpaling pada pria itu dan menatapnya penuh rasa sayang.

“Orang kaya suka rumah jauh dari peradaban, ya?”

No. Buronan suka rumah jauh dari peradaban.”

Jungkook mengerutkan hidungnya, enggan meladeni.

“Aku akan mengganti settingnya ke manual. Terlalu berbahaya membiarkan benda sekecil itu punya kuasa membuka pintu dan gerbang.”

“Tapi ini keren, Arthur. Aku simpan satu ya?”

Hell no!”

“Aish!” Jungkook duduk kembali ke kursinya dengan jengkel. “Ada benda secanggih ini kau masih mau manual! Untuk apa beli beginian kalau tidak boleh digunakan?”

“Jawabannya tetap tidak.”

“Kelakuanmu sungguhan seperti kakek-kakek, kau tahu itu Arthur?!”

“Kau boleh menangis juga. Jawabannya tetap tidak.”

“Aku tidak secengeng itu!”

Ya. Kau secengeng itu.”

“Aku tidak cengeng!”

Jungkook menyentak kakinya marah. Arthur sudah menghentikan mobil mereka tepat di depan teras rumah dan keluar tanpa menunggu apalagi meladeni omelan Jungkook. Jungkook ikut keluar, dengan marah dan niat menggebu-gebu untuk membuat Arthur menarik kembali ucapannya soal ‘cengeng’ itu. Tapi begitu keluar dari rumah, Jungkook dibuat melongo.

Tadi ia sibuk mengomel sehingga tidak menyadari bentuk asli rumah yang kini berdiri di depannya. Pagar dan halaman yang luasnya keterlaluan pasti membuat ilusi dalam benak Jungkook, karena anak itu membayangkan akan melihat mansion megah. Rumah raksasa dengan puluhan jendela dan belasan beranda. Tapi yang kini ada di hadapannya…

Hanya bangunan rumah biasa. Tidak sama sekali mendekati ukuran vila, sekedar rumah dua lantai, pintu kembar dan teras sederhana menyambut mereka. Ada dua pillar putih di teras itu, menyangga beranda 3 x 4 dengan pagar putih super mainstream yang mungkin sering dilihatnya di film-film lama.

Dari luar, rumah itu lebih tampak seperti hanya punya delapan ruangan. Dua ruangan di lantai dua, tiga kamar bawah, satu ruang tamu luas, dapur, dan ruang tengah. Jungkook bahkan tidak melihat garasi saat jelas diingatnya ada tombol ‘garasi’ di gadget Arthur.

“Kupikir akan seluas istana.”

“Memang luas. Dibanding rumah lamaku, ini tiga kali lebih luas.”

Jungkook menatap pria itu dongkol.

“Kau tahu maksudku, Arthur.”

Arthur hanya tertawa kecil, didorongnya kepala Jungkook agar mereka masuk bersama ke rumah itu.

Rumah itu bagus, tapi tidak sampai membuat Jungkook terkagum-kagum sambil melongo. Tidak banyak perabotan, tapi terlihat rapi dan lengkap. Ada TV besar di ruang tengah, beserta perlengkapan game dan film. Jungkook mengangguk-angguk puas melihatnya. Tangga ada di sebelah pintu dapur.

Benar kan? Tiga kamar di bawah. Satu dapur. Satu ruang tengah dan ruang tamu yang luas. Dan dua ruangan di lantai atas.

“Ada danau di belakang rumah. Kita bisa berlatih menembak disana. Di atas ada ruang baca dan satu kamar lagi. Jean dan yang lain bisa gunakan satu kamar di bawah bergantian. Satu kamar untukmu kalau kau ingin ngambek. Dan kamar master untukku— dan boleh untukmu juga kalau sedang tidak ngambek.”

Jungkook menatap pria itu dengan bibir terkatup. Pasti maksudnya kamar mereka bersama, Arthur sengaja memutar-mutar omongannya untuk membuat Jungkook jengkel.

“Kau sedang mengejekku?”

“Tidak. Aku bicara fakta.”

“Kalau begitu aku pakai kamar ngambekku saja!”

Arthur mendengus gemas, diraihnya kepala Jungkook dan dirangkulnya anak itu erat-erat sebelum Jungkook kabur. “Jangan ngambek sebelum kutunjukkan semua bagian rumahnya,” ujarnya sambil mengecup kepala Jungkook.

Anak itu bersungut-sungut, tapi pipinya merona. Tangan Arthur di sekelilingnya, merangkul mesra.

Arthur membawanya masuk ke kamar master. Dibanding rumah terdahulu Arthur, kamar ini bisa dibilang lebih mewah. Dan lebih bersih. Tapi Jungkook tetap tidak kagum. Belum cukup kagum. Lalu Arthur membawanya masuk ke dalam kamar mandi, sempit dengan bath tub kecil dan sepetak ruang shower.

“Dan ini…”

“Apa? Kamar mandi? Tempat pipis?”

Arthur mengusap wajah Jungkook keras-keras dengan tangan besarnya untuk menghentikan kritik Jungkook, sampai anak itu memekik.

“Aku belum selesai bicara. Berikan tanganmu.”

Jungkook menggerutu, tapi tetap menyerahkan tangannya pada Arthur. Pria itu membimbing tangannya ke arah cermin. Dibuatnya Jungkook mengusap cermin itu, dari atas turun ke bawah. Jungkook hanya memutar bola matanya jengah, sambil mengejek anak itu berkata.

Mirror mirror in the wall, who’s the fairiest of—”

Omongan Jungkook terpotong, karena dinding di depannya tiba-tiba bersuara, bergeser seperti pintu dan tertelan ke dinding, membuka satu ruang besi seluas dua kali dua yang mirip sekali dengan kotak lift.

“GYAAAAH!” anak itu memekik kaget. Arthur tergelak, dipeluknya Jungkook segera sebelum anak itu lari ketakutan.

“Kenapa? Takut? Ingin pulang ke rumah New Yorkmu sekarang?”

Jungkook mendorong Arthur, tersinggung. “Ini lift kan? Ke mana? Ruang rahasia tempat simpan senjata? Ruang mayat?” katanya sombong sambil melangkah ke dalam sana. Arthur hanya tersenyum miring sambil ikut masuk ke dalam. Ia mengusap panel di sisi lift dan pintu di depan mereka tertutup, kembali seperti semula.

“Beberapa ruangan hanya bisa dibuka oleh tanganmu dan tanganku. Termasuk lift ini.”

“Oke?” Jungkook membusungkan dadanya, ingin terlihat datar. Padahal dalam hatinya, anak itu mulai terkesan. Tidak menyangka akan melihat lantai rahasia di rumah baru mereka.

Mereka hanya turun satu lantai. Jungkook melangkah keluar dari lift pelan-pelan. Di hadapannya ada ruang luas yang dibuat agak mirip seperti ruang berkumpul markas Arthur. Meja-meja dan bean bag bertebaran. Ada layar-layar CCTV, menunjukkan tiap spot di dalam dan di luar rumah, bahkan di jalan pinus yang mereka lewati dengan gelap-gelapan tadi. Di kanan dan kiri ruang luas itu ada delapan pintu. Membayangkannya saja membuat Jungkook menyadari lantai ini jauh lebih luas dari lantai utama di atas kepala mereka.

“Ada apa saja disini? Gudang makanan ada? Kau benar-benar menyiapkan rumah untuk kiamat, ya?”

Arthur tersenyum, diacaknya rambut Jungkook sayang.

“Ada gudang senjata, ya. Ada gudang makanan, benar. Satu pintu menuju garasi. Satunya ke ruang latihan. Satu ruang teknis dan listrik. Ada dua kamar tidur. Dan terakhir itu— ruang medis. Kau aman disini— asal tidak ada yang berhasil memutilasi tanganku untuk membukanya.”

Hanya Arthur yang tertawa pada candaan itu. Jungkook memelototi pria itu seakan-akan tangannya sendiri yang tengah dileluconkan akan dipotong.

“Disini agak panas, jadi harus selalu menyalakan pendingin. Ada satu lift lagi, di dalam kamar mandi kamarmu di lantai ini. Menuju lantai dasar.”

“Ada apa di lantai dasar? Bunker?”

“Ya. Ada detektor bom disini.”

“Arthur! Kau mau menakut-nakuti aku atau bagaimana, ya?”

Arthur tertawa, hanya ada mereka berdua disana. Ditatapnya Jungkook sayang.

Just in case,” katanya.

Jungkook mengendikkan bahu, untuk mencegah semburat pink meruam di wajahnya. Ditertawakan dan ditatap begitu oleh Arthur membuat bulu kuduknya meremang, bukan karena alasan buruk, tapi Jungkook tidak ingin sok-sokan mendorong Arthur dan bergulat sensual disini karena itu hanya akan membuatnya berakhir terpental.

“Oke. Tidak jelek.”

“Tidak jelek? Begitu saja? Ini seperti rumah Mission Impossible dan komentarmu ‘Tidak jelek’?”

“Yaaaa— gimana yaaaa.”

Arthur seperti akan marah, pria itu berbalik, seakan-akan berniat kembali ke lantai atas. “Alright. Aku harus cek pengiriman Julien.”

Daddyyy! Aku hanya bercanda!” Jungkook cepat-cepat meraih lengan Arthur dan bergelayut disana. “Neomu joahaeyo.”

Arthur berdehem. Tiba-tiba canggung. Ingin sekali dilarangnya Jungkook menggunakan bahasa Korea yang hanya sedikit-sedikit itu.

I love daddy so much.” Jungkook menggenggam tangan Arthur dan mencium jari-jari besar dan kasar itu dengan gemas. Arthur mendengus, menarik tangannya untuk digunakannya mendorong kepala Jungkook.

“Kau belum lihat kamar disini, kan?”

Jungkook beriringan dengan Arthur sekarang, sambil memeluk tangan pria itu mereka mengecek kamar baru. Kamar yang jauh lebih luas dibanding kamar master di lantai atas. Punya space untuk TV dan game sendiri lengkap dengan lemari buku dan disket. Singkatnya, ruangan itu seperti surga mini duniawi.

“Kau yakin ini bukan kamar ngambek-ku?” Jungkook terperangah. Kasur ‘O’ disudut ruangan diapit meja di kanan kiri. Tempat tidur itu besar sekali sampai rasa-rasanya bisa menampung tujuh orang sekaligus untuk tidur disana.

“Jangan ngambek disini. Kalau aku marah juga dan memadamkan sirkulasi udaranya bagaimana?”

“Bisa dipadamkan? Tempat ini bisa jadi oven sungguhan?”

Arthur mencubit dagu Jungkook, “Tidak. Bercanda. Mesin udaranya teknologi lama, tidak akan mati saat listrik padam. Khusus pintu ini punya pindai juga, pakai tanganmu dan tanganku. Kau boleh sembunyi disini. Tapi bukan dariku.”

“Jadi ini kamarku?”

“Ya. Sure.”

“Aku bisa pasang tenda di atas kasurnya!” Jungkook berlari antusias dan melempar diri di atas ranjang besar itu. Alas tempat tidurnya di rumah lama Arthur terbuat dari kayu sehingga berderit-derit menjengkelkan tiap kali mereka gunakan untuk hal ‘iya-iya’. Tapi kasur ini begitu nyaman, empuk, tidak bersuara sedikitpun saat Jungkook berjungkat-jungkit di atasnya.

“Kemari, daddy! Disini lebih empuk dari kasur rumah Angel!”

Arthur tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tapi…” Jungkook teringat, anak itu duduk di atas kasurnya. Rambut dan pakaiannya sudah berantakan. Penampilannya membuat Arthur ingin sekali menindih anak itu disana.

“Tidak ada pembantu?”

Arthur memandang Jungkook seakan pertanyaan yang baru keluar dari mulut anak itu terlalu aneh.

“No,” selain dirinya dan sejumput orang-orang terdekatnya, Arthur tidak ingin ada orang lain mengetahui lokasi rumah ini. Tapi Jungkook sepertinya mengkhawatirkan hal lain.

“Jadi siapa yang bersih-bersih?”

“Kau punya banyak waktu luang.”

“Ada bayimu di perutku dan aku masih harus jadi pembantu?!”

“Ini rumahmu. Kau yang rawat.”

“Rumahmu juga!”

“Rumah ini tidak besar. Dan mesin bersih-bersihnya lengkap. Jangan jadi pemalas, anggap olahraga. Bersih-bersih sehat untuk bayi.”

“Kata siapa???”

“Kataku.”

Jungkook mengerang jengkel. Tapi tidak membalas lagi dan beralih membanting diri di kasur empuk itu.

Lagipula…

Jungkook memandang atap putih di atasnya dengan perasaan agak berbunga-bunga. Ini pertama kalinya Arthur menggunakan bayi mereka sebagai bahan candaan. Biasanya pria itu bersikap seakan ia lupa ada bayi di dalam perut Jungkook.

Arthur melepas mantel besarnya dan meletakkan di atas kursi. Lalu pria itu ikut merangkak ke atas kasur.

“Tidak jadi cek pengiriman?” Jungkook mengawasi pria itu.

“Pasti sudah selesai sekarang. Akan kucek nanti.”

Mula-mula Arthur hanya berbaring di sisi Jungkook, lalu tangan pria itu terjulur, meraih pinggul Jungkook dan menarik anak itu keras-keras ke dalam pelukannya.

Yah!” Jungkook tergelak. “Hati-hati, Arthur!”

Arthur menyerang lehernya, bahunya, pipinya. Jungkook tertawa geli, menggeliat berusaha membebaskan diri, tapi makin keras usahanya makin erat juga pelukan Arthur di sekeliling pinggulnya. Sampai Jungkook menyerah dan pasrah membiarkan Arthur mengulum tulang rahang dan lehernya. Jungkook hanya memegangi dagu pria itu, membalas ciuman Arthur semampunya. Sampai ia ingat sesuatu—

“Arthur, dimana kamar bayinya?”

“Dia bisa tidur di kamarmu. Lagipula kita hanya pakai tempat ini sementara.”

Jungkook melongo. “Sementara??? Rumah semahal ini?”

“Aku sudah menyiapkan tiga rumah lain. Lebih aman jika kita berpindah-pindah.”

Jungkook terbengong membayangkan ia harus hidup berpindah-pindah. Seperti kelinci. Tapi kalau itu cara yang dipilih Arthur untuk melindunginya, untuk melindungi bayi mereka. Jungkook tidak akan menentangnya. Anak itu tersenyum tipis, mengusap-usap dagu berbulu Arthur dengan sayang.

“Daddy?” Jungkook berbisik manja. Suaranya berembus tepat di dagu Arthur.

“Hm?”

“Aku ingin rambutmu panjang lagi.”

What? Arthur mengerutkan kening. Tapi melihat cara Jungkook merenungi dagunya sambil mengusap-usap janggut pendek itu membuatnya tidak bisa mengatakan tidak.

“It’s gonna takes time.

That’s okay,” senyum Jungkook merekah. “Seperti ini tampan. Tapi daddy terlihat lebih mengerikan dengan rambut dan janggut panjang. Lebih kuat. Seperti papa-gorilla.”

Papa gorilla, ya?” Arthur jadi ikut-ikutan mengusap dagunya dan pura-pura berpikir, kelakukannya membuat Jungkook tergelak. Tapi saat mata emas Arthur bertemu dengan matanya, Jungkook tahu sekali— ia tahu harus kabur dari sana.

Gyah!” Jungkook bermaksud kabur, anak itu sudah merangkak menuju pinggiran tapi Arthur membantingnya kembali ke ranjang. “Arthur!” pekik anak itu geli.

Come to papa gorilla, baby girl.”

Jungkook tergelak, menjerit minta ampun. Besok pagi pasti ada garis-garis merah sisa goresan janggut Arthur yang digesek keras-keras ke leher dan bahunya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

“Kau punya rambut sekarang? Kupikir kalau kulit sudah ditato tidak akan bisa tumbuh bulu lagi.”

Itu komentar pertama yang didapat Damien saat ia menemui David. Bukan David yang berkomentar, melainkan Will. Pria yang akhir-akhir ini jadi kepercayaan David khusus di wilayah Toronto, Canada. Damien tidak meladeni, ia masuk ke ruangan itu untuk menemui David, bukan untuk bercengkrama dengan William.

David menyambutnya dengan senyum. Pria setengah asia bertubuh tinggi itu duduk di balik mejanya, membolak-balik kertas dan satu ponsel di tangan.

Welcome back, Damien.”

Damien hanya mengangguk. Belum sempat mengumpulkan seluruh keramah-tamahannya saat sejam yang lalu ia baru mendarat di tanah Amerika. David sendiri yang meminta kepulangannya setelah lebih dari sepuluh bulan pria itu mengirimnya untuk mengawasi pemasaran di Perancis.

“Kau suka Paris?”

Yea,” Damien mendengus. “Banyak bocah muda yang bisa ditiduri. Tanpa harus diburu dulu. Dan murah, aku masih betah disana kalau kau berniat memindahkanku ke tempat lain.”

“Arthur akan mulai ekspansinya di Jepang bulan depan. Dia pasti membutuhkanmu. Aku meminjammu terlalu lama, bosmu bisa marah.”

Damien hanya mengerutkan kening, “Kau juga bosku, David. Kau bos Arthur.” sanggahnya ringan. Lagipula Arthur belum pernah mencari-carinya selama lebih dari sepuluh bulan. Jadi pikirnya, Arthur pasti belum membutuhkannya. Dan Damien bisa bersenang-senang tanpa campur tangan Arthur.

“Duduk lah dulu, jangan berdiri begitu.”

Damien duduk di hadapan David. Ia mengabaikan Will sepenuhnya, walaupun pria itu kadang-kadang berusaha menyambung obrolan mereka. Ingin sekali diusirnya Will keluar.

“Kau mau aku menemani Arthur untuk menyentuh wilayah awam itu?” Damien sekedar memastikan, ia bukan memusuhi Arthur, walaupun hubungannya dengan pria itu agak renggang beberapa bulan terakhir sejak Jeon Jungkook tinggal di rumah bosnya. Bocah ingusan yang harusnya jadi mayat setelah Damien mencicipi tubuhnya, justru berakhir punya posisi kuat di tengah cartel mereka. Begitu banyak mulut membicarakannya, cartel-cartel lawan berusaha mengeja namanya. ‘Arthur menaruh perhatiannya pada seorang remaja’ bisik-bisik mereka terdengar sampai ke sebrang benua. Damien tidak menyukai hal itu sedikitpun. Bocah ingusan itu akan membahayakan cartelnya, dan mengancam nyawa Arthur juga. Seandainya ia bisa menyelesaikan hasratnya lebih cepat malam itu dan memberesi semuanya sebelum Arthur datang— hasilnya tidak akan serunyam ini. Jeon Jungkook harusnya sudah jadi tulang belulang, tertimbun tanah di puncak gunung Detroit.

“Ya, aku mau kau datang dengan Arthur. Menunggui wilayah itu cukup beberapa minggu. Hasil pekerjaanmu di Eropa membanggakan. Dua atau tiga tahun kalau usahamu berkembang, kau bisa punya cartel sendiri. Aku bisa kirim ke wilayah khusus, untuk diperintah di bawah kakimu sendiri.”

Terdengar menggiurkan, Damien membayangkan. Ia tidak mungkin menolak jika suatu saat David mengangkatnya untuk punya level yang sama seperti Arthur. Ia juga ingin punya wilayah sendiri untuk dikelola, meski Arthur sudah memberikan hal itu padanya— di luar sepengetahuan David. Tapi punya lebih banyak pabrik dan cartel sungguhan dengan dirinya jadi bos besar? Damien tidak akan munafik, ia akan menerimanya.

“Jadi aku pegang Jepang dan Perancis sekarang?”

“Kau hanya membantu jadi mataku, Perancis tetap prioritasmu.”

“Kau tahu aku tetap akan tutup mulut untuk hal-hal sensitif.”

“Aku tahu kau setia pada pria itu. Tapi kau tidak setia pada Jeon Jungkook. Kau tahu keberadaan anak itu terlalu berbahaya, Damien.”

Damien mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sudah berbulan-bulan ia enggan diajak bicara soal Jeon Jungkook. Bukan hanya sadar ini hal sensitif, tapi juga karena ia memutuskan untuk tidak banyak dengar. Tahu terlalu banyak akan menuntutnya harus berbagi pada David. Jadi lebih baik tidak dengar sejak awal.

“Tiba-tiba Julien dan Martin sulit ditanyai soal anak itu. Aku ingin kau menjaga fokus bosmu— dari anak itu.”

“Aku tidak mau membunuhnya, kalau itu maksudmu.” Damien berujar penuh sesal. Sebut nama lain dan dengan senang hati akan kubunuh untukmu. Tapi Jeon Jungkook? Damien tidak berani mempertaruhkan hubungannya dengan Arthur hanya demi menyingkirkan bocah ingusan itu. “Sudah terlambat sekarang. Kalau kau mau, lakukan sendiri, atau suruh orang lain. Jeon Jungkook memang bukan anggota cartel. Arthur menyukainya, Arthur menidurinya, cuma itu yang aku tahu. Mainan atau bukan, Arthur tetap tidak akan senang kalau anak itu direbut paksa. Kalau kau sungguhan berniat membunuhnya, lakukan lebih cepat. Sebelum Arthur sadar kau mengincar anak itu. Kalau sesuatu terjadi, Arthur tidak akan percaya pada alasanmu lagi kali ini. Tidak setelah kejadian Lana.”

David menatapnya lekat, bibirnya membentuk senyum miring. Tidak menyangka omongan Damien akan menyerempet pada masalah lama.

“Kau percaya pada gosip itu?”

Damien duduk gelisah di kursinya, berpikir apa ia bicara terlalu banyak dan agak menyesal karenanya. “Sedikit.”

“Satu hal—” David mengangkat tangannya ke atas meja. “Aku tidak membunuh Lana. Dan kedua, Arthur sudah sadar aku mengincar anak itu.”

“Dan kau tetap berniat membunuhnya?”

“Siapa bicara soal bunuh-membunuh? Aku cuma minta kau bantu Arthur menjaga fokusnya— tidak melulu dengan membunuh seseorang, kan?”

Damien mengerutkan kening dan memalingkan kepalanya sebentar, pria itu tampak berpikir dalam.

“Kudengar kau mengincarnya lebih dulu?”

“Ya.”

“Tidak berniat balas dendam?”

“Lain kali saja.” Damien mengerat giginya, agak tidak yakin dengan arah obrolan David. Tapi kalau prasangkanya benar—

“Masih banyak bocah lain yang bisa diperkosa. Tidak perlu bertengkar dengan Arthur.” Dan Damien juga tidak ingin bertengkar dengan pria itu. Kalau masih bisa mengalah, akan dilakukannya. Selain bukan lawan sepadan, masih ada batas moral dalam hatinya untuk tidak mengkhianati Arthur.

“Aku hanya bercanda, Damien. Aku tidak mau kau dan Arthur saling tikam.”

“Tidak akan terjadi. He saves my guts years ago, jauh sebelum kami kenal dirimu. Just like you save him. Dia tidak akan berkhianat padamu, David. Kalau itu kekhawatiranmu. Selama tidak diberi alasan untuk berkhianat, Arthur tidak akan melakukannya.” Damien lari kemari bukan menjual kesetiaan dan informasi, Damien hanya perlu bebas sedikit dari cengkraman Arthur, dan David membantunya, untuk bersenang-senang dan memanfaatkan uangnya sendiri tanpa campur tangan Arthur.

“Tetap saja— aku khawatir anak itu mengalihkan terlalu banyak fokus bosmu. That’s all.

“Tidak akan. Aku kenal Arthur.”

“Kau kenal perangainya sebagai orangtua?”

Damien diam, ditatapnya David dengan kening bertaut. Apa maksudnya?

David menyeringai padanya, senang Damien belum tahu. Memang sebenarnya, belum banyak yang tahu soal ini. Tapi melihat cara Damien menatapnya dengan ganjil begitu, membawa kepuasan tersendiri bagi David untuk melanjutkan—

“Anak itu sedang mengandung. Hampir empat bulan.”

Apa? Damien terenyak.

Another Max is in the way.”

“Kau bercanda.”

“Kurasa itu bukan hal tabu jaman sekarang? Anak laki-laki yang bisa punya anak juga?”

Damien menganga, saat sadar pria itu buru-buru mengatup mulutnya. Rahangnya berubah kaku. Ia tahu— rahasia di antara selangkangan anak itu. Dan Damien tidak yakin David mengetahuinya juga. Tapi memang kejadian-kejadian begini bukan lagi hal tabu. Yang membuat hal ini jadi mengerikan untuk dibayangkan adalah—

Itu bayi Arthur.

Fuck.

Damien benar-benar menyesal sekarang. Kenapa tidak dibenturkannya saja kepala anak itu dua tahun lalu. Masa bodo mayatnya tidak sempat dibereskan. Seandainya ia tahu akan begini pelik jadinya…

Semua ini— ini di luar kendalinya. Ini di luar bayangannya.

“Kim Taehyung ada disini. Aku ingin mengenalkan padamu,” David tiba-tiba mengubah topic obrolan mereka. Damien menatap pria itu ganjil.

“Untuk apa? Aku tidak punya urusan dengan mafia senjata.”

“Sebentar saja, Damien. Dia akan jadi partner lama kita—”

Damien mengatup mulut, tidak mengiyakan, tidak juga menolak. Pikirannya melayang-layang kembali ke Detroit.

Masih sempat kah?

….untuk dibereskan?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tanggal 14 kemarin aku ulang tahun lohhh *penting banget* *penting ga penting

Minta votes dan komen dan kado!

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Braven – 21. Abode”
Beranda
Cari
Bayar
Order