Kooky /ˈkʊki,ˈkuːki/
strange or eccentric
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Janji tinggal janji.
Jungkook pernah latah mengatakan dirinya bersedia menyembunyikan diri. Tidak sekolah, tidak keluar, menghilang dari peredaran kalau itu bisa menghentikan David dari mengendusnya lagi. Tapi bukan Jungkook kalau sanggup dikurung di dalam rumah tanpa bisa melihat matahari dan menertawai orang di jalan. Sejam saja dikurung, Jungkook akan mengatakan ia diperlakukan seperti barang. Begitu banyak kerewelannya hingga Arthur merusak beberapa perabotan sekedar menakut-nakuti Jungkook untuk membuatnya diam.
Jungkook diam.
Untuk beberapa jam.
Setelah itu Jungkook akan teringat lagi dirinya tidak takut mati, apalagi takut pada Arthur, dan yang dikhawatirkannya hanya nyawa bayi dalam perutnya. Lagipula sinar matahari tidak akan membahayakan nyawa seorang bayi -yang belum keluar pula dari perut ibunya.
Jadi pertama-tama… Jungkook merayu Angelina, menjelaskan bayinya butuh udara segar dan terutama sebagai calon ibu, Jungkook harus menghindari stress. Angel hanya memutar bola mata, menyarankan halaman dan danau pribadi di rumah baru mereka. ‘Rumah baru kalian lebih sehat dari taman kota’, begitu kata Angelina.
Saat itu Jungkook sadar Angelina bukan jenis wanita yang bisa dirayu, bukan Arthur meski mereka saudara. Jadi Jungkook berpaling pada Jean, yang juga tidak bisa dirayu, tapi agak iba melihat usaha Jungkook. Jean memberi saran padanya saat itu—
Sekolah.
Hanya itu alasan yang bisa digunakan di hadapan Arthur. Jungkook hanya perlu merengek untuk sekolah lagi dan Jean membantu dengan memberikan argumen logis. Menarik Jungkook secara total dari dunia luar jelas akan menimbulkan kecurigaan dan justru memancing David mengorek-ngorek dengan lebih ekstrem lagi.
Arthur mendengarkan, untuk pertama kali tidak menentang langsung permintaan yang selalu dihindarinya itu. Ia tidak mau Jungkook menarik perhatian lagi. Tapi ucapan Jean ada benarnya juga. David akan mencari tahu saat sadar Jungkook tidak lagi menunjukkan batang hidung di manapun. Antara Arthur bosan dan membunuhnya, atau Arthur menyembunyikan anak itu dengan sengaja. Keduanya akan tetap membuat David mencari bukti. Jasad atau tubuh yang masih bernyawa.
Arthur tidak menyukai keduanya. Sejak awal ia tidak suka ide untuk punya bayi dengan terburu-buru begini. Tapi dipikirkannya perkataan Jean dengan serius. Dua bulan lagi ujian kelulusan. Jungkook sudah meninggalkan kesempatannya untuk lulus tahun lalu, saat ia begitu sering bolos dari sekolah dan terpaksa tinggal kelas.
Walaupun Jungkook sudah begitu sering menghilang dari sekolah, Arthur tetap berpikir pendidikan Jungkook masalah utama. Bahkan mungkin pria itu berpikir pendidikan Jungkook jauh lebih penting daripada bayi mereka (yang ini kesimpulan Jungkook sendiri).
Jadi rencana awal diubah. Jungkook akan melanjutkan sekolahnya, dua bulan saja. Dalam dua bulan perutnya tidak akan terlalu menarik perhatian, sedikit mungkin, tapi masih bisa ditutupi dengan dusta. Dengan melanjutkan sekolahnya juga akan menghindari kecurigaan mata di sekitar mereka.
Dulu-dulu sekali Arthur super enggan menggunakan uang dan kekuatannya untuk ikut campur urusan sekolah, ia bahkan tidak ikut campur saat Jungkook merengek padanya untuk ‘dibantu’ lulus dengan cepat- Tapi kali ini pria itu menggunakan kekuatannya.
Jungkook hampir rutin membolos sepanjang tahun dan menghilang dari sekolah lebih dua bulan sejak kegiatan minggatnya itu. Tidak ada yang bisa menolong anak itu tetap diakui sekolahnya- kecuali uang dan pengaruh yang dimiliki Arthur.
Arthur hanya perlu membuat beberapa panggilan, yang diteruskan dan diurus oleh Martin, lalu kelar begitu saja. Jungkook diizinkan kembali seperti tidak terjadi apa-apa. Saat Jungkook datang lagi ke sekolah -meski dengan ogah-ogahan- mata teman-teman sekelasnya membelalak heran.
Mereka pasti berpikir aku menggelandang entah dimana. Melacur, cari uang, atau jadi kurir narkoba.
Bahkan jika Hoseok masih sekolah, Hoseok tidak akan bisa membelanya dari omongan jahat orang-orang.
Sudah banyak yang tahu Jungkook besar di Gereja. Tidak punya keluarga, tidak punya latar belakang yang menjamin kehidupan seronok. Meski Julien sering mengantar-jemput menggunakan mobil markas, orang-orang sudah tahu siapa Jungkook. Mereka pasti berpikir, antara ia bergabung dengan geng kriminal demi melanjutkan hidup, atau Jungkook menjual tubuhnya di luar sana karena tidak punya sanak saudara yang bisa menanggung biaya hidupnya.
Jungkook tidak berusaha menjelaskan. Tidak perlu. Ia memang tidak banyak punya teman di sekolahnya selain Hoseok dan segelintir nama lain. Dan Hoseok sudah lulus setahun lalu. Sementara Jungkook tinggal kelas dan terpaksa mengulang setahun lagi.
“Dude, kau bolos dua bulan dan tidak dikeluarkan dari sekolah ini?”
Kelas belum dimulai tapi sudah cukup ramai siswa-siswa keluar masuk ruangan. Jungkook baru saja duduk, anak di sisinya -Michael- sudah berusaha mengorek info.
“Aku tidak bolos! Aku karyawisata.”
“DUA BULAN? Dan kau karyawisata sendirian?”
Jungkook menghela napas jengah.
“Kenapa? Cari bahan gosip?”
“What noooo. Aku cuma khawatir, man. That’s all.”
Jungkook memandang dengan mata memicing. Michael menatap kemana-mana, kakinya berantuk-antuk di bawah sanggahan meja.
Jungkook tahu kemana arah mata Michael tertuju, anak itu mengawasi Josh yang berdiri seperti menunggu hutang di pintu kelas. Hal itu juga yang membuatnya jadi lebih kesal. Habis sudah niatnya untuk meladeni Michael ‘ala-kadarnya’. Anak macam begini memang harus dijudesi.
Jungkook ingin sekali mengawali hari pertamanya di sekolah dengan tenang setelah bolos bebulan-bulan. Setidaknya, tidak diajak bicara oleh orang-orang bodoh begini. Tapi Michael seperti terus mencari celah, melirik-lirik, mencari-cari bahan obrolan. Sampai mata anak itu terpaut cukup lama di pergelangan tangan Jungkook yang sedikit terbuka. Begitu sadar arah tatapan Michael, Jungkook menarik lengan sweaternya turun. Luka yang dulu itu memang sudah sembuh, tidak lagi perlu dibebat perban, tapi masih menyisakan ruam merah yang timbul dan mencolok di atas kulit pucatnya.
“Seseorang menyakitimu, man?”
“Brontosaurus menyakitiku! Stop talking to me, please? Kalau mulutmu masih bersuara, ini yang akan bilang ‘please’,” Jungkook mengangkat kepalan tangannya di depan wajah Michael.
Michael mengatup mulut, canggung direspon segalak itu. Tapi ia masih ingin cari tahu. Jeon Jungkook sudah jadi bahan pembicaraan seantero sekolah sejak tahun lalu. Seseorang pernah memergokinya dijemput oleh pengedar narkoba. Setelah tinggal kelas dan dua bulan menghilang… orang-orang makin gencar mencari-cari informasi soal Jungkook. Ada yang bilang anak itu mati dan dikubur di atas gunung, harga sepadan karena memutuskan bergabung dengan cartel raksasa Detroit di usia semuda ini. Ada yang bilang ia jadi mainan ranjang petinggi cartel, orang dari circle utama Arthur Dechlan. Michael bahkan baru mendengar nama Arthur sejak ia mengikuti geng Josh, ikut-ikutan dalam pesta narkoba mereka lalu saling tukar isu soal pasar gelap di Detroit
Sedangkan Jungkook digosipkan pernah main ke markas cartel raksasa itu karena tangan kanan Arthur memacarinya.
‘Tidak! Mana mungkin!’ ada saja yang berseru menyela saat gosip sedang panas dibicarakan.
‘Mungkin dia tidur dengan sopir Arthur.’ Itu lebih logis bagi orang-orang. Tapi yang paling panas dibicarakan adalah kemungkinan Jungkook habis dicincang karena pacarnya bosan. Bagaimana mungkin anak kelas satu ini -yang dulu rajin sekali menyebut-nyebut nama Yesus- kini berhubungan dengan orang-orang Arthur Dechlan, masih jadi misteri sampai sekarang.
Dari banyak gosip, satu yang paling diyakini kebenarannya; Setidaknya Jeon Jungkook sudah bergabung dengan cartel kriminal paling ditakuti di Michigan. Mungkin itu usaha Jungkook untuk bertahan. Untuk tetap melanjutkan sekolah dan dapat penghasilan. Michael tidak bermaksud menghakimi, tapi membicarakan Jeon Jungkook jadi hobi semua orang akhir-akhir ini. Apalagi sejak personalitinya seperti berubah 180 derajat.
Dulu saat dibully, Jungkook memang kebal dan tidak meladeni. Tapi sekarang? Tidak ada yang berani menggoda anak itu. Setidaknya tidak di depan Jungkook. Karena terakhir kali saat Josh memanggilnya “Pretty boytoy”, Josh dibuat babak belur sampai kepala sekolah harus turun tangan. Siapa sangka anak kelas dua seringkih Jungkook tahu bela diri? Josh menginap di rumah sakit 7 hari dan harus mengenakan gips selama sebulan karena dua tulang di lengan kanannya patah.
Begini saja… duduk sedekat ini dan mengobrol sok akrab begini, butuh nyali yang dikumpulkan Michael sedikit-sedikit. Josh menungguinya di pintu dan ia setidaknya harus mendapatkan sesuatu.
“Hari sepanas ini, tidak ingin buka sweater-mu, Jeon?”
Jungkook mendelik dikomentari begitu. Besar sekali keinginannya untuk mengatup perut, melindungi bayinya dari segala macam mara bahaya. Termasuk komentar implisit itu. Hell, Michael pun pasti tidak tahu soal bayinya. Tapi entah kenapa omongan anak itu membuat Jungkook berapi-api saat membalasnya.
“Berisik. Sana balik kanan! Sebelum kutarik kumis sejumputmu pakai gunting kuku!” Jungkook benar-benar bawa gunting kuku saat itu, yang ditunjukkannya pada Michael untuk meyakinkan ancamannya bukan mainan.
“Kau yakin tidak mau lihat catatanku? Kau tidak masuk dua bulan-y’know?“
“FUCK OFF, MICHAEL.”
Michael menyerah setelah itu. Anak itu bangun dan memilih bangku lain, agak takut Jungkook benar-benar melampiaskan amarah padanya. Dari bangku paling depan, Josh melirik-lirik mereka. Jungkook menatapnya segalak mungkin, sampai anak itu buang muka dan pura-pura sibuk dengan anak lain. Seseorang melintas di depannya dan dijegat oleh Josh.
“Oh, pretty boy-Kim!“
“P-please stop.”
Anak itu ditarik, kesana-kemari lewat tasnya. Tubuhnya yang ringkih dan wajah asianya membuat Jungkook melirik lebih dari sekali. Jungkook memang tidak kenal dekat dengan teman-teman sekelasnya, apalagi sejak ia tinggal kelas tahun lalu. Tapi ia tahu betul jika ada wajah baru, wajah yang belum pernah dilihatnya sebelum ia bolos berminggu-minggu. Dan Jungkook tidak ingat ada anak Korea lain di sekolah ini selain dirinya. Paling banyak keturunan tionghoa.
Anak itu pakai kacamata, begitu tebal framenya sampai kadang-kadang kacamata itu merosot dari wajahnya. Dan yang paling mencolok—
Rambutnya diwarna merah. Sejak kapan sekolah membiarkan murid mengecat rambut dengan warna-warni begini?
“Rambutmu seperti kimchi, you know that?“
Jungkook menghela napas. Memasang earphonenya berusaha tidak peduli. Tapi suara sorakan Josh dan teman-temannya tembus melewati lagu di earphone-nya. Dan saat anak itu didorong hingga jatuh tengkurap di dekat kakinya—
Jungkook tidak tahan lagi.
“Jangan ganggu dia, Josh.”
Sebut ini solidaritas satu ras. Jungkook tidak peduli. Alat tulis dan buku berserakan di bawah mejanya, anak itu merintih dan berusaha memungut semua barangnya. Sekilas tadi Jungkook melihat ponsel anak itu sedikit retak—ponsel mahal. Sial. Itu bukan ponselnya tapi Jungkook ikut berduka.
Jungkook tidak menyentuh anak itu sama sekali. Tidak membantunya berdiri, tidak juga menunduk menatapnya. Jungkook lebih memilih memandangi Josh setajam-tajamnya dengan senyum lebar terulas di bibirnya.
“Tanganmu sudah enakan, ya? Kau ke gym, I see,” agak sengaja Jungkook melirik lengan besar Josh. Ia tidak ingat anak itu punya banyak otot. Terutama ketika mereka berkelahi setengah tahun lalu.
“Fuck off, Jeon,” Josh mengumpat, tapi pelan sekali hampir tidak terdengar. Ia memberi isyarat pada Kevin dan Boyle untuk menyeret Kim keluar kelas. “Kita main diluar, Kim.”
“Lepaskan dia.”
Kevin dan Boyle ragu-ragu, tangan mereka terambang di udara. Agak takut-takut keduanya menatap Jungkook dan Josh bergantian. Berharap setidaknya Josh memberi bantuan dengan meladeni pelototan Jungkook sementara mereka menyeret Kim.
“Main denganku, mau?” Jungkook mengetuk-ngetuk mejanya menggunakan pensil. Josh bahkan tidak berani sekedar membalas tatapannya.
“MAU?!” Jungkook berdiri menggebrak meja.
Kevin dan Boyle tersentak, tidak jadi menyentuh Kim. Josh di pintu ikut berjengit, wajahnya sontak merah karena semua orang kini mengawasinya. Anak itu malu setengah mati, tentu saja. Tapi ia ingat betul bagaimana sakitnya berkelahi dengan Jeon Jungkook dan bayangan memalukan itu masih berkelebat dalam memorinya. Kalau ia mengiyakan tantangan Jungkook sekarang, dirinya akan berakhir dua kali memalukan.
“Chill, dude. He’s all yours. Kau bisa minta baik-baik.” Josh mengayun tangannya mengajak dua temannya pergi.
Mudah sekali mengusir mereka, Jungkook sampai heran sendiri. Tadi ia malah membayangkan harus berjalan menuju pintu sambil mengepalkan tangan untuk membuat mereka kalang kabut. Tapi tidak ada tenaga yang terbuang sia-sia. Jungkook cuma berdiri dan kini duduk santai lagi di kursinya.
Kim di atas lantai merangkak pelan-pelan, membenahi kacamata sambil mengulurkan tangan padanya.
“T-Thanks.”
Apa tidak bisa bangun dulu? Jungkook mengernyitkan keningnya. Menerima uluran tangan itu dengan tampang jijik, cepat-cepat ditariknya tangannya lagi.
“Taehyung. Kim Taehyung. Terima kasih sudah membantuku… Jeon?”
“Jungkook. Jeon Jungkook.”
“A-aku belum pernah melihatmu.”
Dan bahasa Inggrismu jelek sekali.
“Aku sering karyawisata— keluar negri. Kebutuhan Vlog dan endorsement.” Jungkook memutar bolamatanya saat mengatakan itu.
“K-Kau selebgram ya?”
“Ya,” jawabnya pendek.
Jungkook hanya melirik anak itu sebentar, tidak tertarik. Sekilas tadi dilihatnya kulit halus dan wajah yang sebenarnya lumayan manis. Jungkook tidak menyukainya dan refleks memegangi wajahnya sendiri. Apa wajahnya juga sehalus itu? Pasti ya. Martin tidak boleh melihat anak ini atau lelaki lupa usia itu akan bersikeras memacari Kim, lalu Martin akan mulai membawa Kim ke markas mereka, lalu Jungkook akan punya saingan sebagai sesama asia yang berkulit halus sempurna.
Jungkook tahu betul Arthur menyukai kulit halusnya—yang mirip pao. Ia pernah memaksa Arthur mengomentari wajahnya. Bagaimana kalau Arthur melihat anak ini? Apa menurut Arthur kulit Kim juga seperti pao? Tidak. Fuck no. Jauh sekali bayangan berkelebat dalam batinnya dan semuanya terasa horror bagi Jungkook.
“Boleh tahu username-mu?”
“Tidak!” bentaknya galak. Jungkook bersiap membuka bukunya dan memegang bolpoin saat guru masuk ke kelas. Anak itu menolak diajak bicara lagi sepanjang pelajaran berlangsung.
Tapi sepanjang waktu juga, Jungkook bisa merasakan sepasang mata mengawasinya. Jungkook melirik Kim pelan-pelan, matanya mendelik galak.
“Ada sesuatu di wajahku?”
“N-no.”
“Quit being creepy, then.”
Kim gelagapan dan berhenti memandanginya setelah itu. Tapi begitu bel istirahat bordering, anak itu mengekor di belakangnya, kesusahan membawa ransel dan buku-bukunya.
“Boleh aku makan denganmu?”
Jungkook mengerutkan kening dalam-dalam. Terheran-heran pada permintaan itu. Apa ini?
Jungkook bisa makan di taman sekolah, di bangku kayu yang menghadap langsung ke jalanan di luar pagar. Sendirian. Dulu bersama Hoseok sebelum anak itu lulus sekolah. Tapi walaupun menguasai meja panjang itu seorang diri, Jungkook tidak kesepian. Ia selalu merasa ditemani. Julien atau Lito biasanya berjaga di luar, balas-balasan chat dengannya, dan saling berkirim meme garing. Dan sekarang setelah sekian lama… seseorang meminta makan bersamanya. Apa anak ini sedang diancam mengikuti truth or dare? Harusnya Kim tahu reputasi Jungkook sebelum Jungkook menunjukkan wajah sekalipun. Anak-anak gemar bergosip di sekolah.
“Kau bisa duduk di sebrang mejaku,” putusnya.
“Tidak boleh disini?” Kim menunjuk bangku panjang di sisinya. Bangku kayu yang sebenarnya bisa digunakan empat orang sekaligus untuk duduk berjajaran.
“Boleh. Tapi jangan terlalu dekat. Agak jauh, shoo.“
Ting. Satu pesan masuk. Jungkook memeriksa ponselnya.
—Julien:
—Siapa dia?
Jungkook melirik keluar sekolah, tapi tidak melihat siapapun berdiri di luar. Ada van terparkir di dekat gerbang dan Jungkook menduga Julien mengawasi dari dalam.
—Koo Koo
—Cuma anak baru. Belum tahu aku. Biarkan saja.
—Julien
—Boss mau tahu siapa saja yang bicara denganmu.
—Koo Koo
—You fucking kidding me?!
Jungkook mendelik pada van itu, sambil memasang jari tengahnya di depan dada. Ia yakin Julien bisa melihatnya.
—Koo Koo
—Diam disana, jangan masuk. Awas kau ya!
Saat berpaling lagi ke meja, Kim baru selesai menyusun semua bekalnya. Jungkook tahu sekarang kenapa tas anak itu terlihat berat sekali. Ia membawa bekal seperti bermaksud memberi makan empat orang. Jungkook melirik makanan itu satu persatu. Ada sup merah dan tampak lezat, ada nasi yang digulung dan agak mirip sushi, potongan-potongan daging yang sepertinya dibumbui teriyaki, dan ada mieyang begitu tipis setipis jarum.
Jungkook tidak ingin komentar. Tapi jujur saja, ia tertarik mencicipi.
“Kau mau? Ibuku yang membuatkannya. Ini makanan Korea.”
“Hmm.”
Padahal ia bermaksud galak dan diam saja sepanjang makan siang. Tapi melihat makanan itu…
“Aku mau.” Jungkook langsung meraih satu. Sushi alike, dan melahapnya sebelum Kim bisa komentar apapun.
“Hmm. Good,” komentarnya pendek.
“Itu Gimbab. Kau suka?”
“Hmm.” Jungkook hanya bergumam. Tapi tangannya meraih lagi, kali ini mie yang setipis jarum.
“Japchae.”
Jungkook mengunyah pelan-pelan, menyesap rasanya dan tidak terlalu terkesan.
“Aku lebih suka gimbab.”
“Ambil, please. Semua untukmu.”
“You sure?”
Jungkook menatap Kim dan kotak gimbab itu bergantian sambil mengulum ujung garpunya. Anak itu tidak sadar ia baru saja melunakkan ekspresinya sendiri.
“Yes, please! Tanda terima kasih. Akan kubawakan lagi besok kalau mau.“
Tidak perlu, Jungkook bergumam dalam hati. Ia bisa minta pada Arthur dan Arthur bisa minta pada Jean dan Jean bisa minta agar Angelina membungkuskan gimbab yang sama enaknya. Walaupun prosesnya akan lama dan panjang karena Jungkook tidak akan pernah boleh keluar jauh-jauh dari rumah mereka, Jungkook merasa bisa menunggu demi makanan favoritnya yang baru.
“Aku jarang makan makanan Korea. Karena tidak ada restoran Korea yang enak disini, dan yang paling enak katanya cuma di Detroit city.” Dan Arthur sialan tidak pernah bersedia membawanya kesana.
“Aku bisa bawakan menu lain, kalau kau mau coba.”
“Hmmm.”
“Kau belum pernah ke Korea sebelumnya?”
“Belum.”
“Tapi kau asli keturunan Korea?”
Pikirmu dari mana nama marga yang aku punya? Jungkook memandangi Kim dengan alis bertaut. Tapi ia merasa segan untuk bersikap galak. Setelah semua gimbab enak ini dihabiskan olehnya sendiri.
“Ya. Mungkin? Entahlah. Tidak penting.”
Jean membekalinya semangkuk salad buah dan seporsi besar salmon kukus. Padahal Jungkook lebih senang yang digoreng. Tapi anak itu tetap melahap habis bekalnya, sambil mengganggu isi bekal Kim.
“Makanmu banyak ya.”
Jungkook merengut dikomentari begitu.
“Ya. Terus?” Aku makan buat dua orang, setan. Jangan komentar.
“Nonono, maksudku— itu hal yang bagus. Di Korea makan lahap itu seperti menghormati makanan. Y’know? Seperti berdoa kepada Tuhan.”
“Tidak paham.”
“Ada nasi di bibirmu.”
“Ya?”
Jungkook belum sempat bereaksi, ia baru akan berpaling saat Kim tiba-tiba mencondongkan wajah ke arahnya dan melahap nasi itu dari sudut bibirnya. Kejadian itu berlangsung terlalu cepat, terlalu lancang, dan mencengangkan.
Jungkook berdiri memekik, refleks menampar Kim sampai anak itu terjungkal jatuh dari kursi.
“Kau gila ya?!”
Jungkook mendelik. Berdiri gemetaran memegangi sudut bibirnya. Perasaan tidak familiar itu mengirim sengatan dari tengkuknya turun ke kaki. Hampir saja Jungkook jatuh lemas disana saking marahnya. Tapi kalau itu sampai terjadi, Julien pasti menggebrak masuk ke sana dan memperunyam situasi.
Cepat-cepat Jungkook memberesi bekalnya. Sebelum pergi ia masih sempat menunjuk wajah Kim sambil mendelik ancaman.
“Dasar sinting! Jangan dekat-dekat denganku lagi, awas kau ya!”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Perjalanan pulang terlalu hening. Tidak ada suara radio, tidak ada suara musik, tidak ada pertanyaan sok akrab Julien yang biasanya dilontarkan demi melenyapkan keheningan.
Julien meliriknya sekali-sekali dan Jungkook dibuat gugup, ia tidak takut pada Julien, hell, mungkin sebaliknya. Pria itu yang takut padanya. Tapi Jungkook takut sekali Julien akan mengadu. Ia tahu… Julien pasti akan mengadu.
“Julien.”
“Aku tahu kau mau bilang apa-aku tutup telinga.”
“Please jangan bilang Arthur. Mereka pasti sedang truth or dare, pasti bukan apa-apa sumpah. Kalau kau bilang pada Arthur, aku tidak akan boleh main keluar lagi,” Jungkook mengatup tangannya, memohon, dengan mata berkaca-kaca. Biasanya cara itu bekerja. Tapi Julien menghindari matanya jadi usahanya sia-sia.
“So sorry kid. Anak itu melecehkanmu-disana-saat ada aku. Bisa mati aku kalau tidak lapor bos besar.”
“Damn it, Julien!” Jungkook menendang ke depan dengan jengkel, sampai storage di depan lututnya membanting terbuka dan dibiarkannya begitu saja. “Kalau Arthur tahu aku bakal disuruh home-shooling!”
“Enak kan? Kau bisa nyemil sambil belajar.”
“Sekarang juga bisa!” pekiknya marah, siapa yang berani menegurnya kalau Jungkook memutuskan makan di kelas? Cari mati? “Aku masih mau main keluar rumah!”
“Halaman rumahmu lebih luas dari sekolah.”
“I hate you so fucking much, Julien.”
Jungkook menjerit kesal, tangisnya hampir pecah disana. Matanya sudah basah dan ditahannya mati-matian untuk tidak menganiaya Julien. Pria itu sedang mengemudi, ia dan bayinya bisa mati kalau diganggunya Julien sekarang. Jadi Jungkook memutuskan untuk menyentak ke belakang, bersandar kesal di bangkunya sambil melipat tangan di depan dada. Anak itu memberengut sepanjang jalan, menunjukkan diri akan memusuhi Julien sampai akhir hayatnya, sampai pria itu mengemis-ngemis kembali pertemanan mereka dan Jungkook sudah siap menjudesinya.
Lalu mata basah Jungkook menatap sesuatu, di dalam storage mobil yang terbuka.
Sebuah buku. Bagian bindingnya menghadap padanya. Warna gelap cover buku itu membuat judulnya yang dicetak dengan font putih jadi terlihat jelas. Jungkook meraihnya dengan terheran-heran.
“Kau baca Wuthering Height?”
“Hei! Taruh benda itu!”
Jungkook buru-buru menyembunyikan buku itu jauh-jauh dari Julien. Pria itu tidak bisa merebut, kecuali berani berkorban menghantam mobilnya ke sisi jalan.
“Ini lebih parah dari telenovela! Tunggu sampai Arthur tahu.”
“Kiiiiid!”
“Tunggu sampai satu markas tahu, Julien,” ancamnya licik. “Martin pasti paling senang. Biar kuberi copy buku ini pada semua orang.”
“Alright-alright.” Julien hampir memekik, ketakutan membayangkan satu cartel tahu ia membaca novel melodrama Emily Brontë itu. Buru-buru ia memarkir mobilnya di sisi jalan. Wajahnya memelas saat ia menatap Jungkook. “Kembalikan bukuku, birdie, please? No words about Wuthering Height and no words about the kiss.”
“Deal.” Jungkook menyeringai menang, dikembalikannya buku itu pada Julien. “Senang berbisnis dengan Anda, Mr. Julien.”
Julien hanya meringis, kali ini memutuskan meletakkan buku itu di bawah bangku kemudi. Mungkin berbohong sedikit tidak berbahaya. Mungkin. Mati karena buat perjanjian setan dengan Jungkook mungkin lebih bisa ditanggungnya, daripada harus mati karena dibully rekan cartelnya habis-habisan.
“Julien.”
Kenapa? Ancaman apa lagi yang akan didengarnya? Julien melirik Jungkook dengan putus asa.
“Kenapa tiba-tiba?” anak itu menautkan alisnya, menatap bertanya-tanya, tapi ujung bibirnya naik dengan cara yang begitu licik. “Jane Eyre dan Gone with the Wind lebih bagus, tahu?”
Julien hanya berdehem.
“Kau sedepresi ini ya? Apa cartel Arthur akan segera tutup?”
“That means Arthur death, y’know. Cartel ini nyawanya. So, no. Cartel Arthur masih sukses, kid. Kau masih bisa jajan, jangan khawatir.”
“Kalau begitu kenapaaa tibaaaa-tibaaaa?” Jungkook masih ngotot mendapat jawaban.
Kalau ini bukan siapa-siapa, Julien pasti memilih untuk melempar anak ini ke pinggir jalan. Tapi ini Jeon Jungkook, anak yang mungkin bisa memancing perang berdarah antar cartel di Michigan. Kalau anak itu menginginkannya, Jungkook hanya perlu memintanya pada Arthur. Jadi Julien tahu ia tidak bisa menghindari pertanyaan Jungkook.
“Kalau kuberi tahu, jangan bilang siapa-siapa?”
Jungkook tersenyum penuh maksud.
“Janji?” Julien mengulurkan kelingking kanannya.
Jungkook menatapi kelingking panjang Julien dengan alis bertaut. Heran.
“Oke oke. Janji.”
“Aku sedang melanjutkan mimpi terpendam,” Julien menghela napas dalam-dalam saat mengatakannya. The fuck. Hampir saja ia menggigit lidahnya setelah mengucapkan kalimat dramatis itu. Ia membayangkan Jungkook akan menjerit padanya, sambil tertawa, sambil menghina. Tapi anak itu justru tersenyum lebar sekali, sampai terlihat mengerikan.
“Jadi Heathcliff? Nyicil rumah? Cari istri?”
“KIIIIID!” Julien berseru jengah. Bagaimana mungkin Jungkook juga hapal pada karakter novel drama itu, jadi misteri baginya. Pikirnya Jungkook hanya akan tahu soal Diablo dan Captain Prince, game yang dimainkannya berulang-ulang. Tapi rupanya mata awas Jungkook sudah merambah ke dunia sastra juga.
“Mimpiku jadi penulis, kid. Aku ingin jadi penulis sejak jaman sekolah. Tapi belum kesampaian sampai aku masuk infanteri dan sekarang jadi preman. Kalau aku mulai sekarang dan ketahuan orang-orang, bisa habis aku dibully.”
“Fuck noooo.” Jungkook bingung, harus melongo dulu atau tertawa dulu. Ia geli sekaligus kaget.
“Language, birdie.“
“No way, Julien.”
“Yes way.”
“Nooo wayyyyy!”
“Yessss.”
“Arthur harus tahu!”
“Kau sudah janji!”
“Aku mau pakai credit card Arthur buat beli 1000 eksemplar. Kapan dicetak?”
“Nanti kalau dapat ilham.”
Jungkook mendengus, hampir menyemburkan ludah menahan tawa.
“Tidak akan kupublish dengan nama asli. Harus pakai nama samaran. People do that all the time, right?”
“Right. Pakai nama MacTavish!”
“Ini bukan Call of Duty! OKE SUDAH SAMPAI. Turun, kid. Tukar ke mobil selanjutnya,” Julien sampai turun dan membukakan pintu di sisi Jungkook, demi membuat anak itu berhenti menggodanya dan segera turun dari sana.
“Tapi kau belum selesai cerita!”
“Kapan-kapan kita lanjutkan.”
“Harus janji, Julien. Awas kau ya!”
Jungkook tidak berhenti tersenyum saat ia turun dan naik lagi ke mobil yang berbeda di persimpangan jalan. Martin sudah menunggunya disana. Hilang sudah gundahnya karena dicium tiba-tiba. Sekarang yang dibayangkannya malah buku macam apa yang akan dibuat Julien kali pertama. Romance? Drama? Thriller? Pasti romance. Damn, jenis bacaannya saja seperti itu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jungkook baru melangkah memasuki pintu rumahnya dan Arthur sudah berusaha memberinya pekerjaan. Ia memang pembantu di rumah ini, sepertinya. Sekarang malah tanpa digaji. Padahal saat menjejakkan kaki di halaman rumah barunya, sudah terbayang olehnya sore hari penuh kemesraan yang bisa habiskanya. Walaupun sepihak, ia bisa bergelayutan di pangkuan Arthur tanpa seorangpun mengganggu, sungguh terdengar menyenangkan. Tapi pria itu malah menyambutnya dengan perintah, tanpa berniat berdiri untuk memeluknya lebih-lebih memberi satu ciuman di bibirnya.
“Kau butuh kesibukan.”
“Apa?” bentak anak itu judes. “Menyapu? Mengepel? Cuci piring? Cuci baju?”
“Kelas taekwondo-mu bisa dilanjutkan lagi. Dan kelas menembak juga.”
“Kau bercanda? Aku sedang hamil, Arthur.”
“Ya. Lalu?”
Jungkook terkesiap. Tidak tahu lagi harus menjawab apa. Arthur bahkan tidak mengangkat wajah saat mengatakannya, sibuk multi-tasking. Menulis sesuatu di bukunya, berkhotbah pada Jungkook dan memerintah anggota cartelnya via chat.
“Jean yang akan jadi gurumu. Dan Kwan, kalau ada waktu, di bawah pengawasan Jean. Mereka tahu limit-mu.”
Jungkook memberengut. Anak itu diam sebentar memandangi kaus kakinya, tangannya mengatup di bawah perut. Saat melihat pantulan buram wajahnya di atas keramik putih, teringat lagi olehnya kejadian di taman sekolah. Tiba-tiba ia merasa bersalah. Belum pernah seumur-umur bibirnya dicium oleh orang lain, kecuali Arthur. Apa dengan menyembunyikan ini jadi pilihan bagus? Tapi dengan mengadu, Jungkook harus mengorbankan kebebasannya, dan mungkin mengorbankan jari cantik Kim Taehyung juga. Kasihan. Sudah dibully, terancam kehilangan jari pula.
“Oke,” sahutnya mantap. Suaranya tegas karena agak ditutupi perasaan bersalah.
Arthur mendongak. Menatap agak lama seperti tidak percaya Jungkook baru saja setuju pada keinginannya tanpa menentang lebih dulu. Pria itu sampai bangun demi mengusap kening Jungkook, memastikan suhu tubuh anak itu normal tanpa tanda-tanda demam dan sakit apapun.
“Oke,” balas Arthur masih separuh heran.
“Kenapa tidak kau saja yang jadi guruku?”
Arthur mendengus remeh, duduk lagi bermaksud kembali pada kesibukannya tadi.
“No. Kau tidak mau jadi muridku. Dua menit saja di bawah asuhanku kau pasti menangis.”
“Aku tidak secengeng itu!”
“Masa?”
“Jangan mulai, Arthur!” Jungkook ingin sekali menyentak kakinya, beruntung tidak dilakukannya. Ia harus ingat ada bayi dalam perutnya dan tingkah seperti itu mungkin akan berbahaya. Padahal justru akhir-akhir ini ia ingin sekali main tangan pada Arthur.
“Go. PR-mu pasti banyak, kan?”
Jungkook melepas kaus kakinya dan melemparnya jengkel ke arah Arthur. Cukup tinggi hingga kaus kaki putih itu menyentuh dada Arthur dan jatuh di pangkuan pria itu.
“The fuck you doing?” Arthur menatapnya marah.
Jungkook hanya melengos pergi, sambil membanting pintu kamarnya sengaja memicu keributan disana. Tapi tidak ada suara pintu terkunci.
“Kid.” Arthur berdecak. Kembali sibuk dengan buku tulisnya.
Tidak paham sama sekali Jungkook ingin dikejar hingga ke kamar.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jungkook kelelahan menunggu. Sampai ia mengganti seragamnya, sampai ia selesai mandi, sampai ia naik tiga level di Break and Beyond… Arthur tidak datang juga. Boro-boro menghampiri. Sekedar mengetuk pintu kamar dan memastikan Jungkook tidak pingsan saja… Arthur tidak melakukannya. Sampai Jungkook jengkel sendiri dan memutuskan untuk bangun menghampiri Arthur.
“Aku sedang ngambek, Arthur!” Jungkook menyambar buku di tangan Arthur dan membuangnya ke lantai, bermaksud melemparnya jauh tapi malah jatuh di dekat meja.
Arthur terenyak. Ia menatap buku itu dan menahan napas, amarahnya hampir melolong keluar dari mulut, dipelototinya Jungkook dengan ancaman tersirat tapi makin lama dipandangi justru Arthur yang makin tidak bisa marah.
Jungkook cuma pakai kaus abu-abu Mauni Kea miliknya, menjuntai sampai ke paha.
….kapan anak itu mencuri kausnya? Tapi kaus kebesaran itu terlihat…
bagus…
juga…
Paha Jungkook terlihat lebih berisi akhir-akhir ini, dan tampak makin bening saja. Arthur hampir terang-terangan menelan ludah getir saat sekelebat bayangan tangannya meremas paha kenyal berlemak itu. Pria itu mengatup mulutnya rapat-rapat.
“Kamar ngambekmu tidak ada yang pakai.”
“Aku tidak mau kamar jelek itu!”
“Jelek?” suara Arthur berubah nada. Kamar itu dibuat tiga kali lebih mahal daripada harga rumah lamanya.
Dan disini Jungkook berkacak pinggang sambil mendelik lancang pada Arthur. Mungkin Jungkook berpikir dengan memonopoli kaus Arthur dan umbar aurat begitu membuatnya punya kuasa lebih untuk marah-marah tengah malam begini.
—tapi memang…. Bagaimana caranya maraha jika Jungkook menggunakan bajunya dengan tidak senonoh seperti itu? Arthur malah membayangkan yang tidak-tidak. Buku pentingnya yang dibuang Jungkook tadi terabaikan untuk beberapa detik.
“Harusnya kau datangi aku, minta maaf, menciumku, memelukku, bilang sayang, lalu kita jalan-jalan! Bukan diam disana sibuk dengan buku jelek itu!”
“Apa lagi ini?” Arthur mengerang, bangun dan meraih bukunya yang tergeletak malang di dekat meja. Benda itu sudah di tangannya, tapi Jungkook menyambar bahunya. Arthur tidak dalam posisi siap, pria itu terduduk ke belakang sementara Jungkook cepat-cepat memanjat ke pangkuannya.
“Stop this non sense, Jeon.” Arthur mengeram, siap mengangkat Jungkook dan mendudukkan anak itu di lantai.
“Ini kan malam sabtu! Berhenti sibuk dengan buku itu, daddy!“
Arthur terpaksa menelan amarahnya kembali. Jungkook mendongak padanya, meremas bahunya sambil menatapnya sendu.
“Sejam saja! Please! Kita sudah seminggu tidak bicara.”
Arthur mendelik tidak percaya.
“Baru tadi pagi aku bertanya ‘kau sudah sarapan?’. Jangan berlebihan, kid“
“Itu tidak masuk hitungan!”
“Aku ikut berdoa denganmu tiap malam sebelum tidur—”
“Aku yang berdoa kau cuma diam mendengarkan!”
“Kita saling berbalas chat tiap 40 menit. Kau. Yang. Mau.”
Jungkook menarik kerah baju Arthur dan memekik marah, tidak senang dijawab terus-terusan.
“Just listen— listen!” matanya sampai berkaca-kaca. “Aku mau dengar soal harimu dan aku mau kau dengar soal hariku! Apa tidak bisa kita bertingkah seperti pasangan normal sehari saja?! I had bad day at school, okay!” sekarang satu bulir airmatanya malah meleleh melintasi dagu.
Arthur refleks merangkul pinggul anak itu, tiba-tiba merasa gatal dalam dadanya. Wajah pria itu berubah kaku, bibirnya kelu.
Gatal sekali mulutnya ingin bertanya.
Seseorang mengusikmu? Say their name, baby.
Suara lembutnya sendiri sudah terbayang dalam benak Arthur, tapi tertahan di kerongkongan. Sikap lembut macam itu akan membuat Jungkook besar kepala. Arthur khawatir Jungkook sudah memikirkan permintaan-permintaan yang agak tidak mungkin untuk dituruti dan kalau Jungkook sampai melihat ada celah untuk merayunya, permintaan itu pasti segera membumbung jadi tuntutan.
“Ada yang mengganggumu disekolah?” Arthur menatapnya, tampangnya mulai mengendur. Tapi tidak terlihat simpatik sama sekali, biasa-biasa saja. Seperti sekenanya meladeni Jungkook.
“No,” Jungkook mengusap airmatanya marah. Padahal ia ingin Arthur yang menghapus airmatanya. “Kalau ada sudah kuhajar sampai mereka pipis di celana.”
Arthur mendengus. “I know that.”
“Orang-orang mulai komentar—” Jungkook menunduk malu. “Kenapa aku pakai sweater ke sekolah. Ada yang berani bilang aku jadi gemuk seperti babi. Pelaaannn sekali, saat mereka pikir tidak ada aku disana.”
“Hmmm?” Arthur membenahi posisi duduknya, mulai tertarik. Bibirnya meliuk kecil, merespon cerita Jungkook. Sudah lama tahu dari Julien, teman sebaya di sekolahnya takut pada Jungkook. Karena itu juga Arthur tidak khawatir meninggalkan Jungkook sendiri di sekolahnya, Arthur hanya menyuruh satu dua orang berjaga di luar sekolah, menunggui birdie sampai anak itu masuk ke dalam mobil Julien.
“Tidak kau hajar yang satu itu?”
“Keburu lari.”
“Tidak kau kejar?”
“Dan merusak hari pertamaku setelah dua bulan bolos? No, daddy. Tapi aku tahu siapa dia, siapa namanya, kemana dia pulang. Awas saja dia—” Jungkook menggerung penuh dendam. Saat teringat pada komentar lain yang lebih jahat, Jungkook mengangkat kedua tangannya menghadap Arthur, menunjukkan dua garis luka di masing-masing lengan bagian dalamnya.
“Ada yang bilang aku dianiaya orang! Sialan!”
“Ya. Sialan. Kau yang melukai tanganmu sendiri. Bukan aku.”
Jungkook melotot padanya.
“Ya. Aku usaha setengah mati buat bikin ini. Perlu diperjelas?” ujarnya judes sambil mengangkat tangan menghadap Arthur, memaksa daddynya melihat kedua lukanya dekat-dekat. “Tapi keterlaluan sekali— mereka pikir aku selemah itu? Tidak seorangpun bisa menyentuhku— kecuali aku yang mengizinkan. My body my rules. Not even you, Arthur. Not even you.”
“Hm?” Arthur mengerutkan keningnya “Aku agak lupa—” katanya sambil pura-pura memegangi kepala. “Seingatku ada yang menangis mengemis minta diampuni… sebulan yang lalu? Aku ditawari masuk lewat belakang waktu itu. Tidak tahu apa tawarannya masih berla—”
“DIAMMM!” Jungkook membekap mulut Arthur dengan dua tangannya, meremas kuat-kuat agar Arthur tidak bisa mengucapkan apapun lagi. “Aku lemah waktu itu!”
“Skahrng pun msssih—” Arthur mendengus kencang-kencang dibalik tangan Jungkook, otot pipinya saling bertarikan, menahan tawa.
“Daddy!”
“Alright-alright, baby. Your body your rules.”
“Bilang aku kuat.”
“Gendong aku ke kamar, baru kukatakan.”
“Arthur!”
“ALRIGHT!” Arthur duduk lebih tegap. Ditatapnya Jungkook serius sambil mencubit dagu anak itu. Wajah anak itu jadi lebih berisi, Arthur tidak menyuarakannya, karena mungkin komentar itu akan memancing drama.
“Kau kuat, birdie. Asal kelas taekwondomu lanjut.”
“Kesal!” Jungkook memekik marah dan menyentak di atas pangkuan Arthur. Pria itu mendengus geli, dipeluknya Jungkook sebelum anak itu berubah lebih anarkis lagi.
“Aku bisa atur jadwal home schooling.”
“Fuck no.”
“Language, baby girl.”
“Jesus, no.”
Arthur tertawa gemas, direngkuhnya kepala Jungkook dan dikecupinya tengkuk anak itu. Memang benar, sudah seminggu mereka tidak bercengkrama sedekat ini. Arthur memang berusaha menjaga komunikasi, sekedar menghindari ambekan Jungkook. Tapi tidak lebih dari itu, pekerjaan menuntut perhatiannya lebih dari biasa. Beberapa kali mungkin ia terpaksa mengabaikan Jungkook sampai anak itu melalui fase ngambek – berusaha tidak ngambek – ngambek lagi – dan terakhir mencoba gencatan senjata dengannya.
“I miss you so much. Kau disini tiap hari tapi tidak seperti disini!”
“Aku perlu mengurus pabrik baru.”
Lagi? Jungkook bertanya tanya dalam hati. Tapi ditahannya karena bisnis bukan urusannya. Arthur selalu memastikan Jungkook tidak ikut campur dan tidak dilibatkan dalam urusan apapun di cartel mereka.
“Pokoknya kau yang jadi guruku,” Jungkook memohon, wajahnya memelas. Sempat terpikir oleh Arthur untuk menggeser anak itu ke samping saja. Lebih mudah meladeni Jungkook jika mereka tidak menempel sedekat ini. Tapi Jungkook sudah lebih dulu melingkarkan tangan ke lehernya, mengunci posisi di antara mereka.
“Aku sibuk, baby. Pergilah ke kamarmu,” Arthur meminta dengan lembut, sambil mengecupi kepalan tangan Jungkook. Harusnya Arthur tahu itu bukan strategi bagus. Jungkook malah makin lengket padanya, bersandar di bahunya dan menatap padanya dengan mata bulat penuh harapan.
“Kau sibuk dan kau mau aku sibuk. Kita bisa sibuk sama-sama. Ya, kan?”
Tangan Jungkook bermain di dagunya. Mengusap, mencubit, lalu anak itu mengecup rahangnya.
“Jangan abaikan aku lagi, daddy,” bisiknya memelas, pelan sekali tepat di telinga Arthur.
“Aku akan datang saat kau latihan— kalau ada waktu.”
“Tapi kau tiap hari disiniiii!”
“Mulai sekarang aku akan lebih banyak pergi. Aku harus ke Tokyo besok pagi.”
Jungkook merengek. Ingin balas dengan ‘kenapa jauh sekali??’ atau ‘ikuuut!’
“David terlalu sering mampir ke Detroit. Kau paham, hm?”
“Ya…” Jungkook mencicit. Tapi setelah beberapa detik, anak itu duduk tegap dan menggebu-gebu. “Tapi aku tidak takut David. Aku tidak takut Marcos. Aku tidak takut siapapun. They can fuck off.”
“So scary. Tidak takut Damien juga?”
“Suruh dia kesini, kita lihat apa yang terjadi.”
Arthur benar-benar tersenyum saat itu. Diusapnya pipi Jungkook pelan-pelan, seperti berusaha merekam rasa lembut kulit wajah anak itu.
“Aku tidak takut Damien. Kau tidak akan membiarkan Damien menyentuhku. Itu bukan pertanyaan. I know it. You won’t let him.”
“Bocah tengik.”
“Aku harum! Coba cium!” Jungkook melonjak sambil menawarkan pipinya. Arthur mana sanggup menolak. Lagipula tidak ada siapa-siapa di rumah mereka. Jadi dikecupnya wajah Jungkook, kuat-kuat di kedua pipi. Mulut dan hidung ikut beraksi, menyesap Jungkook seperti iblis menghisap jiwa.
Jungkook tergelak. “Lagi.”
“Jangan menyesal,” Arthur mengancam sambil memeluk pinggang Jungkook erat-erat, menghalanginya kabur. Lalu diulangnya hal yang sama pada tulang hidung anak itu, turun ke dagu, lanjut ke kening, dua matanya masing-masing, pipi lagi, tulang rahangnya, dan terakhir di bibir.
Jungkook terengah karena lelah tertawa. Hampir habis wajahnya dikecup Arthur, saliva bukan lagi tersisa di ujung bibir. Mulut Arthur beraroma nikotin dan alkohol, rambut wajah pria itu cokelat kemerahan dan agak perih saat menggesek kulit wajahnya.
Dikatupnya wajah besar Arthur dengan kedua tangan.
“I love you so much, Daddy,” Jungkook memeluk Arthur dan menarik leher pria itu sambil mengayun dirinya sendiri ke kanan dan ke kiri, hingga Arthur bersedia mengikuti kelakuannya.
Jean pernah memergoki mereka duduk berpangkuan seperti ini. Tapi tidak banyak yang mereka lakukan saat itu, Arthur bahkan lebih sibuk pada pekerjaannya ketimbang memperhatikan Jungkook. Apa jadinya kalau Jean melihat mereka sekarang? Duduk berpangkuan dengan dada berhimpitan dan saling tatap, Jungkook kadang sengaja mengusap keningnya ke pipi Arthur dan Arthur beberapa kali mengulum telinga anak itu. Kalau Martin dan Julien yang menemukan mereka dalam posisi ini, dua bawahannya itu pasti terjengkang saking kagetnya. Jean lebih tenang waktu itu. Martin dan Julien tidak akan memberi respon datar yang sama.
Arthur tidak peduli. Seungguhnya.
“Jadi kau tidak takut pada apapun?” tanyanya sembari mengusap pipi Jungkook.
“Ya!” Jungkook berseru congkak. “Kecuali Tuhan Yesus tentunya.”
“Tidak takut padaku juga?”
Jungkook mengernyitkan hidungnya. “Pft! Never! Kau bukan Tuhan Yesus. Jangan ngimpi.”
Hmmm. Arthur bergumam. “You sure about that? Ingat aku pernah bunuh orang di depan matamu? Tidak takut padaku?”
Jungkook tidak langsung menjawab. Anak itu menatap Arthur agak lama, mata bulatnya mengerjap. Tapi tidak sedikiput ada ketakutan di wajahnya. Kalau ada sesuatu, lebih mendekati rasa simpati ketimbang ngeri. Jungkook pura-pura berpikir sambil bergumam, mengikuti cara Arthur sampai membuat pria itu hampir mengusap wajahnya keras-keras karena gemas.
“Yes, that one crazy. Tapi kau membunuh seseorang… untukku. Jadi aku juga tidak takut pada Damien, pada Marcos, pada David, pada sekompi tentara, atau setan sekalipun.”
Arthur mengerang. Harus berapa kali ditanamnya kenyataan dalam otak Jungkook? Kalau ia bisa mati. Kalau kulitnya bisa ditembus timah panas, bisa disayat senjata tajam, bisa melepuh jika dibakar.
“My God, kid. Pegang yang benar,” ditariknya paksa tangan Jungkook dan diletakkannya ke dada. “Ini daging, bukan baja.”
“Keras kok.” Jungkook menepuk-nepuk dada Arthur.
“Jesus!” Arthur berseru frustasi.
“Bless you!” Jungkook menanggapi dengan senyum lebar.
Saking kesalnya Arthur hampir menggeser Jungkook ke samping tapi sadar hal itu akan menimbulkan drama yang lebih sulit diselesaikan. Jungkook harus diusir pelan-pelan. Ia membuka lagi bukunya, siap menulis menggunakan lutut sebagai alasnya, memaksakan sambil memeluk Jungkook.
“Kau sudah dapat cuddle time-mu, sekarang turun. Kembali ke kamarmu.”
“Lihat aku, lepaskan buku itu!” Jungkook berusaha meraih buku itu, tapi Arthur lebih cepat, memutar benda itu menghindari jangkauan Jungkook. Anak itu memekik marah.
“Kau selalu sibuk dengan buku jelek itu, ganti yang baru! Tanganku gatal melihat warnanya. Pasti banyak kuman disana. Death Note saja lebih bagus dari ini.”
“Berisik. Kembali ke kamar, I’ll come to you in an hour. Now shoo.“
“Kau belum cerita soal harimu!”
“Hariku; soal buku ini. Banyak angka yang harus dicatat. Tamat.”
Jungkook menggigit bibirnya dan memberengut jengkel.
“That’s it?!”
“Yea, that’s it.”
“Aku bilang ‘I love you’ dan kau bahkan tidak jawab!” Jungkook berdiri marah.
Arthur tahu, karena bayi itulah Jungkook tidak menghentakkan kaki sambil menangis memulai drama. Tapi Jungkook tetap berdiri di depannya, sambil berkaca-kaca. Tahu betul itu cara ampuh mengusik Arthur meski kadang-kadang justru berakhir memicu amarah Arthur.
“Apa kita akan bertengkar lagi? Serius, aku tidak punya banyak waktu. Penerbanganku besok jam 7.”
“Aku mau ikut ke Tokyo?!”
“Kau sinting?!” Arthur membentak, dan agak menyesal saat Jungkook berjengit sebagai respon. Baru beberapa detik yang lalu anak itu mengaku tidak takut padanya.
“Kembali ke kamarmu, Jeon. Beri aku waktu. Sejam saja. Setelah itu aku akan bawa cerita.”
“Cerita apa?! Satu dua tiga, tamat?!”
“Kau mau atau tidak?”
Itu cara Arthur menunjukkan ia tidak bisa dibantah. Ambil atau tinggalkan. Dan Jungkook menolak pergi.
“Aku tunggu disini.”
“Tapi jangan ganggu aku. Kalau kau ganggu akan jadi tiga jam. Jangan nyalakan game juga, kalau berisik jadi empat jam.”
“Bawel! Aku juga bisa sibuk!” Jungkook mendengus dan mengeluarkan ponselnya sendiri. Tapi sialan, kalau ada Arthur disana gadget pun segera membuatnya bosan.
Beberapa kali anak itu sengaja memandangi Arthur dengan tatapan memelasnya. Seperti anak anjing menunggu diizinkan mendekat.
“Cuma sejam, baby. Cuma sejam.” Arthur mengorat-oret buku jeleknya, berusaha tidak terburu-buru sekalipun ingin sekali ia segera menyelesaikan catatannya. Tapi tidak boleh ada kesalahan. Sedikit pun, satu angka pun. Tinggal sedikit lagi.
Sedikit lagi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Siapa kangen akuuuuuu
Eh.
Siapa kanen dede jungooo dan oom awthuwww?
Mon maap jangan lupa votes dan komennya.
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Braven – 26. Deception
Author: Miinalee -
🔒 Doctor’s Koala
Author: _baepsae95 -
🔒 One Love 15-0 | 11
Author: _baepsae95 -
🔒 I Feel You pt.2 (NC)
Author: _baepsae95
Reviews
There are no reviews yet.