Braven – 23. Almanac

Author: A Little Bits of Everything

Almanac /ˈɔːlmənak,ˈɒlmənak/

An annual calendar containing important dates and statistical information such as astronomical data and tide tables.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sejujurnya sesaat setelah Angelina berhasil menyelamatkan Jungkook dari percobaan bunuh dirinya waktu itu, Arthur sudah berniat jauh di dalam hatinya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ia akan menuruti keinginan Jungkook. Apapun itu, selama masih bisa dibeli dengan uangnya dan dicari dengan kekuatannya. Arthur ingin membahagiakan Jungkook menggunakan apapun yang ia punya.

Tapi harapan yang terjadi kadang-kadang tidak sesuai dengan realita.

Karena membahagiakan Jungkook tidak sering segaris lurus dengan keselamatan anak itu sendiri.

Bagusnya, Arthur belum pernah secara lisan atau tertulis mengutarakannya. Jadi Jungkook tidak punya hak untuk menagih apapun.

Daddy?”

Arthur tidak menyahut. Jungkook berjanji tidak mengusiknya satu jam ke depan.

“Ayo kita kencan lagi…”

“No.”

“Please?”

“Lupa janjimu untuk sembunyi?”

“Tapi aku sudah mulai sekolah lagi!”

“Aku tidak ikut sekolah, kan?”

“Kita butuh keperluan bayi!”

“Suruh Julien atau beli di Amazon. Apa guna gadget mahalmu itu?”

“Aku mau cari dengan daddy.”

“Tidak bisa.”

No. No. Nope. Nope. Never.

Untuk datang ke rumah rahasia ini saja Arthur harus menggunakan dua spot berbeda demi menukar mobilnya dan menjamin tidak ada seorangpun menguntitnya. Sekarang Jungkook ingin mereka keluar besama, senang-senang mencari baju bayi dan bermesraan di mata publik.

Arthur agak yakin. Jungkook sudah gila.

“Kita bisa cari di Ohio. Seperti waktu itu. Tidak ada yang mengenalmu disana, kan?”

No.

Atau Nevada! Itu juga dekat, kan? Kau bilang itu bukan wilayahmu.”

Rahang Arthur berubah kaku. Nevada memang bukan wilayahnya, bukan pula wilayah David. Tapi tempat itu bisa jadi lokasi eksekusi baginya. Arthur akan baku tembak lebih dulu jika penguasa Nevada tahu ia memijakkan kaki di sana.

“Aku googling banyak tempat bagus disana, ada pusat—”

“Satu jam, Jeon.”

“Sudah 55 menit!” Jungkook menyentak kakinya jengkel, seperti anak-anak yang ditolak saat mengemis permen.

“Satu jam.”

Jungkook sudah membuka mulut untuk menjawab lagi tapi saat sadar Arthur menatapnya tanpa berkedip, anak itu jadi terbata-bata.

Arthur tidak membentak, tapi rautnya kaku seperti menahan amarah. Jungkook tahu betul itu rambu ‘stop’ untuknya. Kalau sekali lagi menjawab, bukan tidak mungkin Arthur membanting meja kaca di depannya hingga terguling. Jungkook bisa membayangkan pecahan belingnya terhempas kemana-mana, mengotori lantai, melukai kakinya, dan Arthur akan berdiri menjulang di depannya memutuskan eksekusi apa yang akan diberinya pada Jungkook. Bayangan itu sungguh mengerikan, tapi harga dirinya lebih terluka, sadar Arthur masih cukup tega menggunakan cara tidak manusiawi itu padanya.

Jungkook lebih memilih diseret dan diomeli, bukan dipaksa kooperatif lewat tatapan kaku itu seakan-akan Jungkook diharuskan sadar sendiri bahwa ia dan Arthur punya otoritas yang berbeda. Arthur menggunakan cara ini pada semua orang saat pria itu ingin mengendalikan keadaan. Dan Arthur menggunakan cara yang sama sekarang padanya.

Jungkook tahu, Arthur lebih punya kuasa dibanding dirinya. Fisik, uang, pengaruh? Segalanya. Sekalipun pria itu bersedia menggombal ‘your body your rules’. Pada kenyataannya semua esensi dalam hidup Jungkook tetap berdasarkan aturan dan pilihan Arthur.

Jungkook bangun dan berbisik sambil lalu.

“Aku mau tidur saja. Safe flight, Dechlan.”

Tidak ada nada marah dalam suaranya, karena jauh dalam lubuk hatinya, Jungkook agak takut memancing emosi Arthur. Tapi anak itu terdengar lebih menyedihkan dari yang dimaksudnya. Ia menutup pintu, tidak menguncinya dan tidak berharap juga Arthur akan datang menghampiri. Tapi Arthur masuk tepat setelah satu jam yang dijanjikannya berlalu.

Suasana terlalu canggung. Jungkook tidak bisa pura-pura tidur karena Arthur jelas akan menyadarinya dan ia juga menolak berbalik menatap Arthur saat pria itu duduk di sisinya. Jungkook hanya diam disana, bergelung dengan gulingnya memunggungi Arthur.

Menunggu.

Hmmm. No tears?” Arthur berbisik, nyaris lembut, sambil mengusap pipinya menggunakan telunjuk. Sikap lembut begitu malah membuat Jungkook tidak tahan tidak merengek sambil berkaca-kaca.

Jungkook membanting tubuhnya menghadap Arthur, dipeluknya pinggang pria itu dan dijadikannya pangkuan Arthur sebagai bantal.

Kau sadar harusnya aku ngambek kan? Lihat betapa pemaafnya aku dibandingkan dirimu? Semua protes itu sudah hampir terlontar, tapi Jungkook menyadari sesuatu yang keras bersentuhan dengan bahunya, benda itu dipegang Arthur dan diletakkan dekat dari kepalanya. Cokelat, familiar, dan menjijikan.

Buku sialan itu. Lagi.

“Kenapa bukunya masih dibawa?!”

“Kau bilang mau dengar cerita, kan? Ini buku dongeng.”

“Taruh buku ituuuu!” Jungkook merengek, mengguncang pinggang Arthur meski pria itu sama sekali tidak bergeser dari posisinya.

Saat pengganggu hubungan lain disebabkan oleh orang ketiga, pengganggu hubungan Jungkook justru seongok buku. Yang sudah begitu buluk sampai Jungkook sendiri jijik menyentuhnya.

Arthur meletakkan buku itu di meja nakas.

“Kau harus mengurangi drama-drama begini. Kau bukan anak-anak lagi.” Sebentar lagi punya anak, malah. Arthur mengusap poni di kening Jungkook, berusaha keras tidak melirik perut remaja itu yang tampak lebih bulat dengan posisi berbaring begini.

“Jadi aku akan dapat dongeng atau khotbah?”

“Dua-duanyaDongeng penuh dengan hikmah jadi anggap saja—”

Ucapan Arthur tersela saat ponsel pria itu bergetar. Arthur dan Jungkook sama-sama memandangi benda tipis yang terongok di atas ranjang, dekat pangkuan Arthur. Jungkook berharap Arthur menutup panggilan itu tapi Arthur justru menurunkan kepala Jungkook dan memilih ponsel itu.

“Ya, Mart’n?” Arthur pergi ke sudut ruangan, seperti menghindar agar Jungkook tidak mendengar sedikitpun pembicaraannya. Pria itu beberapa kali menatap ke arah Jungkook sambil bergumam ‘hmm-mm’ pada lawan bicaranya di sebrang telpon.

“Camillo? Semua?”

Suara Arthur berubah aneh.

24 fucking kilograms?”

Dua tahun hidup seatap dengan pria ini, Jungkook sudah sanggup membedakan arti gestur yang digunakan Arthur saat pria ini berkomunikasi, karena kosakata Arthur begitu terbatas hanya ‘hm’, diam’ dan ‘fuck off’. Arthur jarang menunjukkan emosinya, Jungkook dipaksa belajar seiring waktu. Kalau manusia biasa tertawa karena geli, Arthur mendengus. Kalau orang lain minta maaf dan memasang tampang sedih saat merasa bersalah, Arthur malah pergi sambil marah. Dan ketika suaranya berubah pelan dan datar begitu, itu tanda Arthur sedang memutuskan sesuatu yang besar— sesuatu yang mungkin akan membuat Jungkook berakhir diduakan oleh bisnis selama seminggu berturut-turut. Dan Jungkook benci saat ini terjadi.

Jungkook berguling di ranjangnya, lalu bertopang dagu pada Arthur.

“Apa pending satu jam lagi?” bisiknya kecewa. “Satu minggu lagi? Dua minggu lagi? Sebulan lagi? Sembilan bulan lagi? Bayiku keburu merangkak.”

Arthur menghela napas dalam-dalam dan menatap Jungkook dengan dua alis bertaut kencang. Ia mengangkat tangannya, meminta Jungkook menunggu.

“Tetap lanjutkan jadwalnya. Kirim sisanya, buat dia tidak curiga. Kita urus setelah Tokyo,” dan Arthur menutup panggilan itu.

Jungkook tahu betul informasi barusan pasti genting melihat gestur dan cara Arthur bicara, tapi ia juga merasa berharga karena Arthur ingin cepat-cepat menyelesaikan telpon itu dan kembali padanya. Anak itu tersenyum dengan berbunga-bunga, mengulurkan tangannya menyambut Arthur ke atas ranjangnya.

“Ada apa?”

“Urusan bisnis.”

“Oh.”

Urusan bisnis. Istilah itu sudah sering sekali didengarnya saat Arthur tidak berniat berbagi dengannya. Seperti biasa. Jadi Jungkook pura-pura bodoh. Bisnis bukan urusannya, seperti yang selalu ditekankan Arthur. Dua tahun, tiga kali berusaha minggat, sekali percobaan bunuh diri, dan tidak terhitung usaha lain yang dikorbankannya demi masuk ke lingkar terdalam pria ini. Tapi Arthur masih tidak teraih olehnya, kadang-kadang malah Jungkook merasa melihat pria yang tidak dikenalnya. Banyak hal yang sengaja disembunyikan Arthur darinya, dengan amat sengaja seakan meneriakkan ‘Percaya saja. jangan tanya’.

Jungkook ingin tahu, meski otaknya dianggap tidak mampu. Ia ingin terlibat lebih dalam pada apapun yang dikerjakan dan dipikirkan Arthur. Ia ingin dimintai pendapat. Jungkook bahkan tidak tahu pada hal-hal paling sederhana sekali pun. Benda apa yang dijual Arthur? Wilayah mana saja yang jadi ekspansi bisnisnya? Siapa musuhnya? Teror mengerikan apa yang mengancam mereka sampai Jungkook harus sembunyi di rumah rahasia dengan pertahanan setara menyambut perang dunia ketiga.

Apa Lana lebih tahu soal Arthur dibanding dirinya? Seperti apa kehidupan Arthur dulu sebelum masuk penjara? Kenapa Arthur masuk penjara?

Jungkook berusaha meraba. Tapi tetap tidak bisa membayangkan lebih jauh dari rasa kaki Marco menghantam tubuhnya.

Arthur duduk lagi di sisinya, menatap dengan lebih lembut, mengusap dengan lebih sabar.

“Kau bilang dulu pernah masuk penjara?”

Arthur menatapnya, heran pada pilihan topik Jungkook yang begitu tiba-tiba.

“Jadi kau ingin dongeng pra-sejarah atau resume aktivitasku hari ini?”

“Dua-duanya.”

“Kau bakal mengantuk sebelum ceritanya selesai.”

“Aku mau dengaaar!”

“Aku membunuh orang penting,” Arthur menjawab ringan, seperti merespon satu tambah satu sama dengan dua. Tangan pria itu menjelajah ke leher Jungkook, mengusap kulit lembut anak itu, menggerus dengan ujung jempolnya cukup kuat hingga meninggalkan jejak merah.

Jungkook memandangi pria itu sambil menganga, menunggu Arthur melanjutkan cerita. Tapi bukan membuka suara, Arthur malah membungkuk dan menyesapi lehernya. Pria itu berusaha mengelak lagi, Jungkook sudah hapal. Dan dirinya akan berakhir telanjang disana kalau ia tidak menghentikan Arthur.

Jadi ditamparnya Arthur, sekuat yang ia mampu sampai kepala pria itu terempas dari ceruk lehernya. Suara hantaman terdengar begitu memilukan hingga keduanya sama-sama diam.

Arthur mengatup pipinya, kaget.

And?!” Jungkook berseru sambil mendelik marah. Sebelum Arthur yang marah, lebih baik ia mendahului. “Kau bahkan tidak bilang siapa?! Kau yang bunuh John F. Kennedy, ya?”

Arthur tertawa, keras sekali. Mungkin karena jokes Jungkook, atau karena nyali anak itu. Jungkook tidak diberi kesempatan untuk menikmati tawa pria itu karena Arthur mencubit pinggangnya, hingga anak itu menggelinjang berusaha menghindari tangan Arthur. Dua kali Jungkook berhasil merangkak keluar dari kukungan Arthur, tapi mudah sekali bagi pria itu untuk menarik pinggulnya dan kembali mengukungnya sambil menyiksanya. Mencubit, menggelitiki, menggigit. Piyama yang dikenakan Jungkook hampir lolos dari bahunya, kancing pretel dan terbuka.

Stop! Stop! Stop! Stoooop!”

Arthur bukan tandingannya, Jungkook harus pakai cara curang. Dijambaknya janggut pria itu keras-keras. Arthur mendengus, kesakitan, apalagi saat Jungkook juga menarik cambang di pipi yang sudah mulai panjang. Kulit rawan itu lebih sensitif lagi. Arthur menggerung.

“A-Alright! Alright! Menyerah! Menyerah!” pria itu mengangkat tangannya di atas kepala. Jungkook tidak melepasnya.

“Siapaaaa, Arthurrr?!” Jungkook menarik wajah Arthur turun menggunakan janggutnya. Pria itu mengerang kesakitan, tapi sambil tertawa.

“Perwira militer, baby. Bintang 4. Kugorok lehernya, telinga ke telinga. Lalu aku dipenjara, diblacklist dimana-mana, jadi pengangguran. The end.

Jungkook mendengus kuat-kuat, kagum dan heran dengan cara santai Arthur mengatakannya. Apa pria ini sedang membual? No, Arthur bukan pembohong. Kejam dan tegaan? Mungkin ya. Tapi berbohong bukan khas Arthur, dengan setengah bercanda sekali pun.

“IMDb score 3/10. Cliché, plot terlalu cepat, dan trashy ending. Aku? Dibayar juga tidak akan mau nonton.”

“Walaupun nontonnya denganku? Saat kencan di bioskop kota sambil pamer mesra kemana-mana? We could even have sex there inside the theater. Berminat sekarang?”

Hmmm—” Jungkook pura-pura menimbang, sambil mengusap dagunya dan melirik kemana-mana. Kalau kita keliling game center sebelum nonton, boleh juga.”

Kuberi hati minta jantung, hm?”

Jungkook tergelak dan Arthur mengecup tawa di pinggir-pinggir bibirnya.

“Jadi…” lanjutnya, sambil mengusap pipi Arthur yang agak merah sisa jenggutannya tadi. “Kenapa kau bunuh dia, Arthur?”

“Kepingin.”

“Arthur!”

“Kau pernah melihatku membunuh orang, kan? Tanpa senjata bahkan.”

“Ya. Tapi dengan alasan, bukan ‘kepingin’! Kepingin? Apa-apaan?!”

Kepingin juga alasan.”

“Apa karena ini kau hampir dieksekusi?”

No. Eksekusi itu murni bisnis. Cukup soal sejarah. Otak cantikmu ini bisa habis kalau bahas masa laluku,” candanya sambil mengetuk-ngetuk kening Jungkook. “Lebih penting bicara masa depan.”

“Masa depan? Kau sudah beli pulau pribadi? Apa di masa depanmu aku akan tinggal disana jadi manusia gua?

Lidahmu ini—” Arthur mendengus, dicubitnya dagu Jungkook gemas. “Kita cuma punya waktu sebentar, kalau habis buat debat kusir begini jangan menangis menelponku bilang rindu.

Jungkook mengerang jengkel, kakinya di bawah sana menghentak marah, hampir menendang Arthur.

“Aku tidak bodoh, Arthur. Aku tinggal kelas karena absensi, bukan karena bodoh.”

“Aku tahu.”

“Berhenti mengejek otakku! Aku tidak setolol itu.

“I know.”

Then why the fuck you keep hiding things from me?!”

“Sssh! Language, baby girl.”

“Aku juga mau dengar!” Jungkook tahu-tahu menangis. Dan anak itu menyalahkan hormon, tidak mau disebut cengeng tanpa alasan. “Aku mau dengar, aku mau lihat, aku mau terlibat. Aku kan istrimu. Bukan simpanan. Tiap kali anak buahmu lihat aku yang mereka pikirkan pasti urusan ranjang. Sekarang kau mau aku sembunyi dan duduk diam, tidak tahu apa-apa, tidak melakukan apa-apa. Memangnya aku apaan?!”

Arthur bangun, duduk mengangkangi paha Jungkook sambil menghela napas dalam-dalam. Entah sudah berapa ratus kali Jungkook menyudutkannya dalam situasi dramatis begini.

“Jeon…” mulainya pelan-pelan, “Aku cuma butuh kau paham— situasiku tidak semudah drama TV.”

“Aku tidak akan paham. Kau tidak pernah cerita.”

“Apa tidak bisa paham tanpa didongengi dulu?”

“Kau memintaku beli kucing dalam karung? Sekalian suruh aku nyebrang jalan sambil tutup mata tutup telinga. Kau bisa tunggu di sebrang sambil kirim pesan lewat telepati. Percaya saja cukup, kan?” suara Jungkook melengking, bahasannya seperti bergurau, tapi airmatanya berlinangan membuat Arthur tidak tega menertawakan kondisi anak itu. Berbaring dengan piyama rusak, sambil menangis dan marah-marah. Meminta penjelasan soal masalah yang mungkin butuh ratusan episode untuk ditamatkan.

“Kau mau sesi tanya jawab? Q&A?”

“Aku serius Arthur…”

“Kau mau tahu soal apa, hm?” Arthur mengecup tengkuk anak itu, merekam rasanya, dan tidak yakin cukup untuk jadi bekalnya pergi ke Tokyo beberapa hari. Jadi dikecupnya lagi tengkuk Jungkook, kanan dan kiri bergantian berkali-kali.

“Aku mau tahu soal cartel.”

“Soal cartel yang mana?”

“Apapun. Yang aku tidak tahu. Yang orang lain tidak tahu. Pokoknya aku harus lebih tahu dari orang lain!”

Arthur makin terheran-heran dibuatnya. Pria itu menatap Jungkook dalam-dalam, seperti tidak percaya orang yang diajaknya bicara sungguhan Jeon Jungkook.

“Aku curiga David berhasil buat kloning istriku dan mengirimnya kemari untuk jadi mata-mata. Kembalikan istriku, clone. Buka celanamu, aku harus cek identitas istriku.

Jungkook ingin tertawa, ingin menangis, ingin merengek sambil menampar dan mencium Arthur. Jarang sekali pria ini mengajaknya bercanda. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Jika ia tertawa sama saja ia mengizinkan Arthur mengelak dari tuntutan pertanyaan-pertanyaan super penting miliknya.

“Arthurrr! Kau bilang tidak punya banyak waktu.”

“No. Say the password first!”

“Please, daddy? Setelah ini kita bisa main seperti saat di Ohio dulu, p-please?”

Jangan menjanjikan sesuatu yang sulit, Jungkook.

Damn, terlanjur. Jungkook menggigit bibir saat melihat seringai Arthur.

“That’s my girl.”

“BOY.”

Bilang kau gadisku dulu, baru kukabulkan permintaanmu.”

“ALRIGHT! Aku gadismu. Now grant my wishes, Djinn!”

Bangun, Jasmine. Pakai posisi enak. Kau bakal mual dengar ceritaku.”

Arthur berubah posisi, duduk bersandar ke punggung ranjang sambil membuka sebelah tangannya. Ia menepuk paha, mengundang Jungkook masuk ke rengkuhannya.

“Dongeng sungguhan rupanya?” Jungkook memandanginya, sambil merangkak masuk ke ceruk bahu Arthur dan bersandar disana.

Arthur tahu terlalu banyak informasi yang ingin ditelan sekaligus oleh Jungkook, tapi ia memilah, dengan baik, seringkas mungkin. Karena tidak mungkin Jungkook sanggup menerima semua ceritanya dalam satu malam saja.

“Aku punya 143 lokasi transaksi di seluruh penjuru Amerika. Tidak termasuk Amerika Selatan, karena itu bukan wilayah David.” Arthur memulai. Sambil menggenggam tangan Jungkook, meremasnya, mengusap-usapnya. “Itu wilayah San Angelo.”

“Siapa San Angelo?”

Kingpin Meksiko. Seperti David. Tapi dia sungguhan duduk di singgasananya, tidak sembunyi entah di Negara mana. Meksiko punya pasar sendiri, dan masih sanggup mengganggu pasar lain di seluruh penjuru Amerika. Mereka punya pertahanan kuat, mata-mata, dan aliansi di Pemerintah Negara Bagian. Tidak seperti kamikami buronan FBI.”

“David pasti membencinya.”

Oh, David hates his guts. Tapi kurasa David lebih benci Katarina.

Katarina?” begitu banyak nama. Jungkook berusaha mengingat-ingat.

“Queenpin Rusia. Hobinya sama seperti San Angelo. Mengganggu pasar Amerika. Sekarang Katarina dan David sedang perang memperebutkan pasar di Uni Eropa. Aku tidak mau ikut-ikutan. Uangku cukup untuk membeli pulau dan membiayai hidupmu jadi manusia gua. Untuk apa rebut mata pencaharian orang?”

“Tapi kalau David memintamu ikut campur, kau pasti harus ikut campur, kan?”

“Untuk kasus itu…” Arthur berdecak. Segan mengiyakan tapi cukup bangga Jungkook mengikuti penjelasannya dengan mudah.

“Kau punya banyak uang kan? Kenapa tidak pensiun saja? Kita bisa buka bengkel, atau restoran, atau bar. Atau semuanya sekaligus. Tempat karaoke juga menjanjikan, Arthur. Apapun. Asal David tidak mengganggu lagi.”

Arthur tertawa, digigitnya jempol Jungkook karena gemas. Anak itu memekik marah sambil menarik tangannya dan mengatakan ‘Ai! Sakit, tahu!’

“Dengar,” Arthur menatap Jungkook, senyumnya miring dan matanya menyampaikan emosi berlawanan. Kilat di pupil emasnya menyampaikan kesedihan, melintas begitu cepat sampai Jungkook hampir tidak menyadarinya.

“Sekali kau terjun di bisnis ini… tidak ada jalan keluar. Kau tidak bisa memutuskan untuk jadi anggota cartel hari Rabu lalu berubah profesi jadi supir Uber di hari Minggu. Kalau kursimu sudah setinggi anggota distribusi— selevel salesman dalam kamusmu— jalanmu cuma dua, bertahan dengan posisi sekarang, atau naik ke atas. Tidak ada jalan keluar, tidak boleh melangkah mundur. Kalau kau naik dan terpeleset, kau mati. Kalau kau balik arah dan pergi, itu lebih cari mati lagi.”

“Jadi lebih aman bertahan di posisi sekarang? Terus ngapain kau pakai naik jabatan jadi ketua cartel?! Harusnya kau jadi salesman saja!

Aku tidak mulai dari bawah, birdie. David memberiku kursi tinggi, kau tahu? Namanya nepotisme.”

“Apa akan aman kalau kau begini-begini saja? Urus pasar di Detroit saja?” Jungkook agak tegang, diremasnya kemeja Arthur.

Arthur balas meremas tangan itu, dan ditekannya ke dada. Kepal tangan Jungkook terasa begitu kecil dalam genggamannya.

“Mungkin? Tidak ada yang aman setelah kau terlibat urusan cartel. Tapi pilihan paling tolol adalah memutuskan mundur. Seluruh cartel, yang dulu jadi musuhmu, yang sebelumnya jadi temanmu, semuanya akan memburumu— memburuku, kalau kau minta aku pensiun dan buka tempat karaoke.”

Jungkook menggigit bibir, bingung. Ia cuma ingin Arthur, aman di sisinya. Tapi sepertinya keinginan itu berat sekali untuk diminta. “Jadi kau mau punya kerajaan sendiri? Naik ke atas?”

Sure do,” keinginan itu sudah terbesit, jauh sebelum Arthur mengenal Jungkook. “Aku punya 5 pabrik dan 10 gudang di seluruh Michigan, 15 tempat itu yang diketahui David.”

Kening Jungkook mengerut.

“Apa maksudnya?”

“Damien, Julien, Jean, Martin, dan Kwan punya rumah produksi masing-masing. Aku menyerahkan dua pada Damien, dua pada Julien, tiga pada Martin, empat pada Jean, dan satu pada Kwan. Semua ada 12 pabrik. Mereka hanya tahu lokasi dan hasil produksi pabrik masing-masing. Mereka bahkan tidak tahu satu sama lain punya rumah produksi itu.”

Jungkook melongo, berusaha mencerna penjelasan barusan yang tiba-tiba sulit ditelaahnya. Arthur melangkahi tubuhnya, menggapai buku jeleknya di atas meja nakas.

“Kau tidak tolol, kan? Buktikan,” ujarnya sambil membuka lembar ketiga buku itu di atas pangkuan Jungkook.

Jungkook termegap, awalnya tidak ingin menyentuh kertas kuning itu sama sekali. Begitu banyak angka di dalamnya, beserta lambang matematika, diurut dengan nomor satu sampai sepuluh, dan masih berlanjut ke lembar-lembar berikutnya. Tidak butuh waktu lama bagi Jungkook untuk mengenali karakter angka itu.

“Ini algoritma. Aku benci matematika.”

“Selesaikan satu,” Arthur membuatnya menggenggam pensil, dan mengalasi buku itu dengan selembar oretan blank berwarna putih.

“Aku sungguhan mual sekarang.” Jungkook pura-pura mengatup mulutnya, tapi tangan kanannya bekerja, menulis di atas kertas putih.

Arthur mengawasi, dengan alis bertaut. Ini pertama kali ia melihat sendiri cara Jungkook mengerjakan sesuatu –selain menyalin pesan dan nomor telpon. Anak itu menghitung cepat, menulis angka dengan sikap meyakinkan, dan Arthur tidak bisa tidak bangga melihatnya.

“41 24.2028. Ini…..?” Jungkook memandangi angka yang didapatnya setelah mengorat-oret kertas itu. “Koordinat?”

“Ya…”

“Jadi dulu kau kuliah matematika murni? Bohong soal tidak sekolah?”

“Semua orang harus bisa berhitung, birdie. Atau kau akan dibohongi akuntanmu. Mana bisa kaya kalau begitu?”

“Yaaaa! Tapi ini… Fucking algorithm—” Jungkook mengangkat kertas itu tinggi-tinggi. Cahaya lampu kamar membuat kertas itu terlihat sedikit transparan dan angka-angka di atasnya bergurat makin jelas.

“Lokasi bisnisku. Semuanya. Termasuk yang diketahui David. Satu buku ini sudah kususun untuk dokumentasi 27 pabrik dan 280 lokasi transaksi yang baru, all over United States.”

Jungkook termegap. Ia sendiri yang minta diberi cerita tapi saat Arthur memberinya, Jungkook tidak bisa mengatup mulutnya lagi karena informasi ini terlalu besar untuk ditampungnya sekaligus. Jungkook membayangkan, siapa lagi yang tahu soal ini? Tapi berdasarkan pengakuan Arthur… pasti…

Cuma dirinya yang tahu sekarang, selain Arthur sendiri dan Tuhan Yesus.

“Sudah beroperasi?”

Sure. Untuk 6 bulan terakhir,” Arthur menutup buku itu, tapi tidak memindahkannya dari pangkuan Jungkook. “Bentuknya yang jelek begitu pasti mengecoh, kan? Orang mungkin berpikir itu buku PR matematika Max jaman dulu.”

“Aku saja jijik melihatnya. Tidak akan ada yang mau menyentuhnya, tenang saja.”

Right. Buku ini akan berguna. Kalau suatu saat terjadi sesuatu padaku—”

Jungkook mendongak galak, anak itu mendelik marah. Hapal kemana arah pembicaraan ini akan menuju.

“Aku tidak mau membicarakan ini,” Jungkook berusaha menyingkirkan buku itu kembali ke meja nakas. Tapi Arthur menahannya.

“Dengar,” Arthur memaksa Jungkook menggenggam buku itu. “Kalau suatu saat terjadi sesuatu padaku— tidak ada acara balas dendam,” karena Jungkook memang tidak diciptakan untuk terlibat dalam dunianya yang gelap. Arthur tidak ingin Jungkook tersentuh, sedikitpun. Apalagi jika nanti ia tidak bisa mengawasi anak ini dengan mata kepalanya sendiri.

“Aku membuat buku ini bukan agar kau melanjutkan bisnisku. Bukan. Ini bukan surat wasiat, bukan harta warisan. Kalau aku mati, kau akan datang ke FBI headquarter membawa buku ini dan cari Daniel Henney—”

Stop, Arthur.” Jungkook mendesis marah, berusaha menarik tangannya yang ditahan tepat di atas buku itu. Anak itu menggeliat, ingin keluar dari rengkuhan Arthur. Ia tidak mau berada dekat-dekat dari pria ini kalau yang ingin dibahas Arthur adalah kematian.

“Sebut namanya. Ulangi.”

Anak itu terisak, tidak berhasil menarik tangannya apalagi membebaskan diri dari kukungan Arthur.

Apa kataku soal airmata?”

Nooo!” Jungkook merengek.

“Sebut namanya, kau harus menghapalnya. Jangan dicatat dimanapun.”

Jungkook menangis sesenggukan sekarang, agak kasar ia mengusap wajahnya ke bahu. Pemberontakannya jadi geliatan lemah. Mati-matian anak itu menolak menatap Arthur, dan menolak melihat buku itu. Ia tidak mau bicara kematian. Arthur boleh ikut kalau ia mati, tapi Arthur tidak boleh mati duluan. Fuck no.

Jungkook siap keras kepala malam itu, mengatup mulut, mengepalkan tangan. Tapi tubuhnya justru lemas saat Arthur melepasnya, memeluknya pelan-pelan, meniti tengkuknya dengan ciuman-ciuman dan emosi tertahan.

Baby, please?”

Suara pria itu tiba-tiba lembut dan memohon, menghipnotis mata Jungkook kembali ke buku jelek yang mungkin akan jadi tiket nyawanya suatu saat nanti.

“Daniel—” Jungkook tersedak, enggan menyelesaikan. Arthur membimbingnya.

“—Henney. Daniel Hen-ney.”

“Daniel— Henney,” Jungkook mengulang, disela isak pelan. Tapi nama itu terucap lengkap, berhasil dihapalnya di luar kepala. “Daniel Henney.”

Good. Bilang padanya kau kenal aku dan berikan buku ini padanya. Tidak boleh orang lain, tidak boleh ada yang melihat selain Daniel Henney. Jangan berkonsultasi pada siapapun, bahkan Jean atau Martin. Buku ini akan jadi ganti nyawa dan proteksi untukmu. Orang-orang itu akan melindungimu.”

“Kau yang harus melindungi aku, Arthur!”

“Tentu. Tapi kalau aku mati—”

“Berhenti bicara soal mati, ya ampun!” Jungkook memekik, tangisnya jadi histeris.

“Semua orang bakal mati, Jeon.”

“Tidak cepat-cepat juga, kan?! We’re having a baby on the way! Kau tidak mau lihat wajahnya?”

Arthur tidak menjawab pertanyaan itu. Pria itu tidak mampu. Puluhan nyawa hilang di tangannya tapi ia tidak bisa menyisakan sedikit saja nyali untuk menganggap bayi itu ada.

“Aku bicara kemungkinan,” jawabnya diplomatis.

Jungkook menjerit saking kesalnya.

Stop! Just stop, okay?!”

Suatu saat kau bakal paham kalau situasiku butuh banyak pengertian.”

“Diam diam diam!”

“Kau harus mulai belajar soal Skotlandia. Atau Australia— Singapura juga Negara yang aman untuk bersembunyi—”

“DIAMMMMM!” Jungkook memekik marah, ia terpaksa menampar Arthur lagi untuk membuat pria itu diam.

Suara kulit tangan bertemu pipi terdengar memilukan. Wajah Arthur terempas kesamping untuk kedua kalinya malam itu. Pria itu mengerang pelan, tidak sengaja menggigit dinding di dalam mulutnya. Getir darah teresap olehnya.

“Jeon…”

Please, Arthur.”

Jungkook menatapnya terluka. Suaranya berubah pelan. Memelas. “Please.”

Arthur mengalah. Pria itu menjilat pinggir bibirnya, menelan darah di dalam mulutnya sambil mengecup kepal tangan Jungkook. Satu kali, dua kali. Sampai wajah frustasi Jungkook berubah jadi keangkuhan lagi.

Harusnya aku minta dongeng Disney saja!” Jungkook menghapus airmatanya kasar, emosinya membumbung lagi. Lebih-lebih saat dilihatnya Arthur hanya mengerutkan alis. “Sialan!”

“Kau mau Pocahontas lagi?”

“Versimu? Dijagal, dikurung, diperkosa? No, thank you.”

“Red Riding Hood, then?”

“Iron Man!”

“Itu bukan Disney.”

“Pindahkan ke Disney! Uangmu cukup kan?!”

“Cukup. Asal kau mau pindah ke Singapura.”

“Mulai lagi?!”

Arthur mendengus. Geli melihat tampang Jungkook. Mata pemuda itu sembab, garis-garis tangis masih basah di pipinya. Beberapa detik yang lalu wajahnya memelas, memohon pengampunan sekedar untuk menghentikan Arthur bicara. Tapi sekarang dua bola mata itu kembali menatapnya nyalang dan marah.

Kau benar-benar mengajak berkelahi, ya?!” Jungkook mengerat kerah kemeja Arthur, berusaha mengguncang-guncang pria itu tapi justru dirinya yang bergerak berlebihan.

“Gulat? Boleh.”

“Aku serius, Arthur!” Jungkook seperti akan menangis lagi, tapi sambil marah, dan sambil mengerat kerah kemeja Arthur seakan siap melempar bogem mentah di wajah pria itu. Tidak peduli seandainya justru tangannya yang akan sakit.

Pemuda itu bangun, melangkahi pangkuan Arthur dan duduk disana.

What are you doing?” Arthur berubah kaku, daging perut Jungkook terasa lebih jelas olehnya dengan posisi begitu.

Arthur mundur, berusaha menghindari perut Jungkook tapi punggungnya tertahan dinding.  Sementara anak itu mendongak padanya sambil mengatup wajahnya dan menatapnya sungguh-sungguh. Jungkook menguncinya disana, jika bukan menggunakan tenaga, sorot mata sendu itu yang  mencegah Arthur bergerak kemana-mana.

Jangan bicara soal mati lagi. Kau tidak boleh pergi.”

“Oke. Kalau begitu… Seandainya aku ditangkap dan dipenjara—”

“Kau tidak punya bahasan lain, ya?!” Jungkook menjerit, hampir frustasi. Diusap-usap dan diremas-remasnya pipi Arthur dengan gemas, seperti membersihkan lahan sebelum dikecupnya tiap jengkal kulit kenyal pria itu dengan penuh penghayatan. Janggut-janggut Arthur yang dipangkas pendek terasa kasar di bibirnya, tapi itu bukan penghalang bagi Jungkook. Ia meninggalkan jejak tiap senti di wajah Arthur, biar pria itu tahu ia serius soal rasa cintanya walaupun pengalaman hidupnya belum panjang.

“Aku tidak suka bahasan ini.”

Wajah mereka begitu dekat. Arthur tidak bisa melihat, pria itu hanya bisa memegangi pinggul Jungkook sementara anak itu membasahi wajahnya dengan ciuman, campuran liur dan airmata.

“Jadi aku harus bahas apa, hm?”  Arthur mulai membalas, membayar tiap kecupan Jungkook sama basah dan sama lembutnya. Di pipinya, di pinggir bibirnya, di lehernya.

Nama bayi?” Jungkook berhenti, demi menatap penuh harap.

Arthur hanya sanggup menghela napas. Kilat lembut di mata Jungkook mengusiknya. Terlalu besar harapan yang terhampar disana. Sudah terlambat untuk diredupkan, terlalu beresiko juga untuk tanggapi secara berlebihan. Tapi makin lama dipandanginya wajah lembut itu, membuat otaknya seperti bergeser sedikit. Ia sudah bertaruh sejak pertama kali membawa anak ini ke rumahnya, hasil kebodohan Damien.

Arthur mengusap bibir Jungkook.

Let’s get married. Kali ini dengan caraku. Bukan di Gereja.”

Jungkook tercenung sebentar. Nyaris histeris dan membuang banyak waktu demi mencerna ucapan Arthur. Apa ia salah dengar? Persetan. Sebelum Arthur bersikap seakan-akan dirinya salah dengar, Jungkook memutuskan untuk berseru. Cepat-cepat seperti takut Arthur menarik kata-katanya lagi.

“Oke. Tapi aku mau ada yang nonton!”

Arthur tertawa, “Sure. Mau pakai undangan juga?”

Jungkook menganga, nyaris tidak percaya begitu mudah Arthur setuju pada permintaannya.

“Ya! Apa aku boleh undang temanku?” cepat-cepat ia turun dari ranjang, tiba-tiba lupa dimana meletakkan ponselnya. Ia harus bilang Hoseok paling pertama. “Sebentar— apa kali ini akan ada sertifikat? Foto! Terakhir kali itu kita tidak foto sama sekali, daddy! Harus ada katering juga. Karena penontonnya pasti bayaran.”

Baby—” Arthur ingin tertawa, sekaligus khawatir saat dilihatnya Jungkook sungguhan mengutak-atik ponsel. Ditariknya tangan Jungkook hingga anak itu kembali ke atas pangkuannya.

“Kita harus buat pestanya, apa boleh kuundang teman sekolahku? Mereka bilang aku tidur dengan supirmu, sialan!”

Jeon…” 

Biar mereka tahu yang kutiduri Arthur sialan Dechlan, bukan sembarang supir bukan sembarang babu.”

Arthur harus mendekap Jungkook erat-erat dan memagut bibir anak itu untuk membuatnya berhenti mengoceh. Jungkook tergelak di tengah ciuman mereka, membuat Arthur makin beringas memagut dan menciumnya, memaksanya berhenti bersuara. Sampai Jungkook tersengal, barulah Arthur melepas wajahnya.

“Ini upacara tertutup. Kau, aku, dan tangan-tanganku saja. Tidak boleh ada orang lain, terlalu berbahaya. Aku tidak bisa pasang cincin kalau musuhku memotong dua tanganmu, kan?”

“Cincinnya bisa jadi kalung. Kau punya tangan tapi tidak pasang cincin.”

“Aku serius.”

Jungkook hanya menatapnya, wajahnya geli, tidak sepenuhnya kecewa. Seakan bayangan upacara pernikahan dengan saksi selain pendeta sudah cukup memuaskan hatinya.

“…oke? Kapan”

“Setelah Tokyo?”

Deal!”

“Sealed.”

Jungkook berjingkat senang, wajahnya masih sembab dan matanya masih basah. Tapi kali ini paras Jungkook begitu cerah, senyumnya merekah. Arthur bisa merasakan senyum anak itu diantara ciuman mereka. Matanya mengerling manis saat mendongak, nyaris membuat Arthur meringis dan berpikir apakah harapan berbahaya Jungkook sudah dipupuknya terlalu berlebihan?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Taehyung pulang ke penthousenya membawa memar samar di tulang pipi. Tiga pelayan, enam penjaga, dan seorang stylist, tinggal bersamanya dan tidak ada yang berani bertanya. Seojoon yang memasang wajah paling tidak senang saat Taehyung membuka katupan di pipinya dan menunjukkan memar keunguan itu pertama kali, ujung bibirnya sedikit pecah dengan darah kering tersisa. Tapi biar begitu, pria itu juga tidak membuka mulut untuk bertanya.

Andai satu nama disebut dan perintah eksekusi dilontarkan, mereka pasti sudah memburu siapapun yang meninggalkan memar itu di wajah Kim Taehyung.

“Aduh! Pelan-pelan!” Taehyung meringis. Seperti anak-anak, menghentak kakinya marah saat Yebin mengoles alkohol di atas memarnya. Keringatnya membasahi kening, helai poninya yang merah jadi terlihat berat dan kusam. Seojoon ikut berlutut di sisi Yebin, mengusap keringat di kening Taehyung sambil bicara pelan-pelan.

“Kau menyuruh semua orang pergi, jelas bukan ide bagus. Biar kusewa guard muda, untuk ikut masuk ke sekolah itu bersamamu.”

Noooo! Cuma begini, bukan apa-apa. Dia yang menamparku, hyung! Sakit juga. Padahal tangannya halus saat kupegang sebelumnya.”

“Jeon Jungkook?”

“Ya! Kalau bukan Jeon Jungkook, orang itu pasti sudah mati. Aku sendiri yang akan membunuhnya,” Taehyung meringis sambil terkikik, mendapat tamparan seperti melepas ciuman pertamanya. “Damn! Itu tamparan pertamaku.”

“Arthur membuatnya berlatih Taekwondo—” Seojoon melirik memar itu dengan khawatir. Belum pernah seumur hidup ia melihat segores pun luka mengotori wajah Kim Taehyung.

‘Dan kau di sisi lain… Tidak tahu cara bela diri selain menggunakan senjata. Anak itu berbahaya. Lebih berbahaya lagi kalau Arthur sampai tahu kau mengganggunya.’

Kau mau coba Taekwondo?”

“Aku tidak suka bagian kotor. Untuk hyung saja,” Taehyung meringis tidak tahan, direbutnya kapas di tangan Yebin dan diusapnya sendiri luka itu pelan-pelan sesuai keinginan. Ia berdiri menghampiri cermin, diamat-amatinya memar di wajah dengan perasaan berdesir. Diusapnya dengan telunjuk, dibayangkannya lagi wajah marah Jungkook sedetik setelah ia mengecup bibir anak itu. Bahkan saat marah, wajah Jungkook sungguh memesona. Sihir apa yang dibawanya? Mungkin karena Arthur? Anak itu terlalu penting bagi Arthur hingga jadi daya magis tersendiri bagi Taehyung untuk merebutnya.

Sebelum melihat anak itu dengan mata kepalanya sendiri, Taehyung membayangkan sosok lemah lembut, penurut, submisif, penakut. Berhubungan dengan Arthur seharusnya membuat Jungkook sadar bahaya macam yang mengancamnya di luar sana, kan?

Tapi Jungkook—

“Kau sudah lihat anak itu sekarang, mau pulang?”

No! Aku mau lihat dia lagi.”

“Kau sudah terlalu lama tinggal di Negara ini—”

Taehyung mengerang, dilemparnya kapas di tangan sambil marah-marah.

“Berhenti memperlakukan aku seperti anak kecil! Aku mau melihat Jungkook lagi. Dan aku mau anak itu.”

“Persiapan perangmu belum 100%”

“Aku mau Josh! God damn it! Dia bilang rambutku mirip kimchi.”

“Kau yang menyuruhnya mengganggumu setiap hari.”

“Aku mau dia disini, hyung. Sekarang,” Taehyung berujar mutlak. Pemuda itu berdiri memunggungi Seojoon sambil sibuk mengusap poni dan tulang pipinya, tidak mau keinginannya ditentang lagi.

Ia tidak malu diganggu oleh anak itu, tidak sama sekali. Tiap hari saat level bully yang dilakukan Josh makin meninggi, Taehyung justru menikmatinya. Menikmati puluhan pasang mata menatapnya, ada belas kasihan, ada jijik, ada ketakutan. Tapi tidak seorang pun berdiri di tengah untuk membelanya. Begitu banyak manusia. Dengan seluruh penghakiman sepihak dan kemunafikan mereka, meliriknya sambil lalu. Dan Jungkook, di hari pertama pertemuan mereka, juga jadi orang pertama yang berdiri untuk membelanya.

Entah ketololan atau ketulusan yang disimpan Jungkook di balik topeng galak itu…

Taehyung menyukainya.

Ia menginginkan anak itu. Sekalipun harus direbut lewat perang dan tumpah darah sungguhan.

Taehyung akan mendapatkannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Arthur hanya mendekam di dalam rumah barunya selama 5 hari, ditambah dua hari lain yang harus dihabiskannya jauh di sebrang benua.  Seminggu yang lewat dalam sekejap. Tapi waktu secepat itu rupanya cukup membuatnya lengah. Sedetik setelah kembali ke markasnya lagi, Arthur dihadapkan oleh masalah besar.

24 kilogram kokain grade A-nya dicampur dengan kokain murahan dan dipasarkan atas namanya. Ke Houston, Toronto, Las Vegas. Itu jumlah kecil, tapi cukup menghancurkan reputasi yang dibangunnya bertahun-tahun. Produk terbaiknya, pelanggan setianya, lokasi-lokasi strategis itu…

Arthur tidak percaya pengkhianatan terstruktur ini dilakukan seorang diri.

“Sudah sejak kapan?”

“Ini pertama kalinya, Arthur. I swear,” pria kaukasian itu terpekur tepat di kakinya. Susah payah menopang diri untuk tetap berlutut dengan keadaan sekujur tubuh babak belur. Tangan terkulai, kemeja sobek disana-sini. Bibirnya pecah, dan satu matanya tidak bisa terbuka lagi. “Aku butuh uang. I’m so sorry, I swear— belum pernah sebelumnya, Arthur, I swear!”

Sejak kapan?” Arthur mulai jengah. Martin yang membawa pria ini padanya, sudah dalam keadaan tidak bisa melawan.

“S-sebulan. Baru sebulan.”

Arthur tidak percaya. Satu bulan? Camillo sudah bekerja padanya lebih dari 5 tahun. Setengah dekade itu jadi waktu yang cukup untuk mendapat kepercayaan Arthur. Dan sekarang, entah atas jaminan apa pria ini berani mengkhianatinya.

David ikut campur? Sekedar untuk mengetes ketegasannya? Pria itu sudah lama curiga soal Arthur mulai lembek karena kehadiran remaja yang dipungutnya entah dimana.

“Aku mau nama.”

Camillo termegap, mulutnya mengatup dan terbuka tapi tidak ada suara berhasil lolos dari bibirnya. Sesuatu mengancamnya. Seseorang yang mungkin lebih ditakutinya daripada Arthur. Siapa?

No?” Arthur ikut berlutut di depannya. Camillo tidak diikat, pria itu dibiarkan berlutut tanpa jagalan, biar dia menyadari apapun usaha yang dipikirkannya untuk kabur dari sana akan sia-sia. Arthur berlutut tepat di depannya, pria besar ini bisa saja membunuhnya dengan tangan kosong. Disana saat itu juga.

Tidak seorangpun terlibat, Arthur. Hanya aku—”

“Nama.”

Arthur menatapnya, kilat di matanya berubah berbahaya.

“Tidak ada siapapun, boss. I swear it. Please, please. Aku tidak akan mengulanginya—please.”

Arthur menghela napas sambil berdiri.

“Kuliti dia. Gantung tubuhnya dekat dari Treasure Island.”

Itu akan jadi pernyataannya pada ratusan pelanggan terbaiknya di Las Vegas. Arthur Dechlan hanya memasarkan barang terbaik, dan bawahan yang merusak brand produknya dihukum sebagaimana mestinya.

BOSS!” Camillo memekik.

Arthur langsung berbalik pergi, masih bisa didengarnya seruan memelas Camillo, yang terbuang sia-sia karena Arthur tidak pernah main-main soal bisnisnya. Satu hal yang disesalinya, ia tidak berhasil mengorek nama lain dari Camillo. Pria itu harus dieksekusi seorang diri.

Tiga mobil sudah menunggu di depan gudang. Rencana hari ini adalah mengecek 3 rumah produksinya di sekitar Hillsdale, dan 2 markas lain jika mata-mata David cukup lengah. Tapi kejadian Camillo sudah cukup menyita waktunya yang sedikit. Hanya lima hari tersisa sebelum Arthur diharuskan kembali ke Jepang. Rencana awal ekspansi itu bahkan belum sepenuhnya selesai.

Ditambah lagi dengan pesan pendek Jungkook yang masuk ke ponselnya tiap 15 menit sekali.

Arthur tidak keberatan. Sungguh. Pria itu bahkan mencari situasi tepat untuk diam-diam menikmati semua pesan Jungkook. Meski ia tidak bisa membalas satupun dari puluhan pesan pendek anak itu. Mulai dari yang bernada manis, hingga marah-marah tanpa arah.

Aku baru selesai makan siang.’

‘Aku tidur dulu, daddy. G’nite.’

‘Hubby? Mowning?’

‘Kau sedang apa?’

Apa sushi di Jepang beda rasanya dengan di Hillsdale?’

‘Ada anak Korea baru di sekolah. Siapa anak buahmu yang pingin punya sugar baby? Martin?’

‘Jean dan aku buat eskrim, tidak ada jatah untukmu!’

‘YAKUZA JEPANG MEMOTONG JARIMU, YA?! BALAS SATU HURUF SAJA TIDAK BISA!’

‘ARTHUR!’

Baru lepas lima menit setelah ia memerintahkan eksekusi Camillo, ponselnya bergetar lagi.

Sepotret buket mawar beragam warna menghiasi layar ponselnya, ditambah pesan pendek di bagian bawah. Datang langsung dari nomor Jungkook.

‘Ini permintaan maaf buat kemarin-kemarin? How sweet. Aku lebih suka pizza daripada bunga, y’kno?’

Kening Arthur berkerut dalam. What?

Arthur menutup dan membuka pesan itu untuk meyakinkan diri bahwa memang Jungkook yang mengirimkan gambar itu. Diambil dengan background sofa di rumah lama mereka.

Apa yang dilakukan Jungkook di rumah itu?

“Kau membelikan bunga untuk birdie?” Arthur berpaling pada Martin. Pria itu menatapnya sama bingung.

“Dan bertaruh diamuk olehmu? No, bos. Aku masih senang hidup.”

Arthur terdiam. Sekali lagi memandang foto buket bunga itu sambil berpikir dalam-dalam. Lalu satu pesan lain masuk, menimpa gambar yang ditekurinya tadi.

Kali ini, setumpuk parsel disusun di atas ranjang kamar lamanya. Keranjang-keranjang penuh berisi boneka, peralatan bayi, pakaian-pakaian, hingga kincir gantung. Sebuah baju mungil dilepas dari kotaknya, digelar di atas ranjang dengan pesan;

I LIKE THEM SO MUCH.’

Arthur mendelik, hampir meremas ponselnya. Ia menelpon Jungkook tanpa pikir dua kali. Suara riang Jungkook di sebrang menyambutnya,

Aku tetap ingin belanja denganmu, yang ini kuanggap bonus.”

“Jangan sentuh apapun, Jeon,” Arthur memotong, buru-buru masuk ke mobilnya. Pria itu menunjuk-nunjuk GPH di dasbor mobil. Menutupi kepanikannya dengan sikap kaku. “Ke Hillsdale, ke rumahku lamaku,” perintahnya pada Martin.

Daddy?”

“Jangan sentuh apapun. Aku tidak memesan benda-benda itu.”

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Braven – 23. Almanac”
Beranda
Cari
Bayar
Order