Braven – 24. Carnyx

Author: A Little Bits of Everything

carnyx / cərnyx

War horn. The sounds of war.

.

.

.

.

.

.

Just short update

Maafkan daku yang menghilang bagaikan bang toyib

Dangdutan dulu sini biar aku rajin update

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Secara gambaran besar, Jungkook paham betul profesi Arthur berbahaya. Tapi jika ditarik jadi detail-detail kecil yang butuh ketelitian ekstrem dan nyaris tidak masuk akal seperti ini… Jungkook siap angkat tangan sambil genggam bendera putih.

Ia mana tahu hal sesepele celana dalam bayi bisa berimbas jadi pertengkaran rumah tangga. Satu waktu Arthur mengiriminya pesan dan memintanya datang ke rumah lama mereka. Beberapa jam kemudian pria itu menyusulnya disana dengan tampang garang, tidak pakai basa-basi busuk langsung meminta semua peralatan bayi dan buket bunga yang tengah dikagumi Jungkook untuk dibakar habis. Tanpa sisa. Tanpa ampun. Sampai ke helai-helai serbet mungil yang begitu cantik dan masih digantungi tag harga.

Demi satu alasan;

“Bukan aku yang mengirimnya.”

“Ya, terus?! Kalau aku punya penggemar rahasia terus kenapa?! Tidak ada bom di dalamnya, tidak ada bau mesiu, tidak ada kawat, pisau, senjata— JANGAN YANG BIRU!”

Jangan sisakan sehelai pun.”

Jelas suara Arthur yang akan dituruti. James dan Julien cekatan membungkus semua peralatan bayi itu ke dalam satu plastik sampah hitam.

Nurut saja, bird. Mana tahu ada reaktor Chernobyl disana.”

“Diam, Shakespeare!”

Julien langsung bungkam dan mundur teratur sebelum nama sastrawan lain keluar dari mulut Jungkook.

Sebagai anak yang menghabiskan masa kecilnya serba kekurangan, hati Jungkook mencelos melihat semua pakaian baru dan harum itu diperlakukan seperti sampah. Jiwa miskinnya merintih.

“Kau kirim pesan minta aku datang kemari!”

Arthur sontak berpaling padanya, menatapnya lama, dari wajah turun ke tangan, tempat Jungkook meremas ponselnya sambil menahan amarah.

“Aku tidak memintamu datang kemari. Martin, ganti ponsel Birdie dengan yang baru. Hancurkan yang itu.”

Jungkook tidak sempat protes saat ponselnya dirampas begitu saja.

“Tidak perlu marah-marah, kan?”

“Siapa yang marah-marah?”

Mata Arthur seperti menuding, kau yang sedang histeris.

Arthur mengatur suaranya, senormal mungkin. Karena sejujurnya ia tidak ingin bertengkar dengan Jungkook.

“Kau tahu apa artinya ini?” ujarnya pelan sambil menunjuk plastik hitam besar yang dilempar James ke bagasi mobil.

Jungkook sesungguhnya tahu. Ia paham kenapa Arthur melakukan semua ini. Membuang dan menghancurkan benda-benda sambil pasang wajah masam. Tapi tetap saja anak itu ingin merajuk, lebih dari semestinya. Kalau tidak ada orang di sana ingin sekali diserangnya Arthur sekali lompat, dijambaknya janggut dan rambut pria itu sampai Arthur sadar sekesal apa dirinya sekarang.

Apa yang membuatnya jengkel setengah mati?

Mungkin;

1. Jungkook ingin sehari saja Arthur memperlakukannya seperti manusia bukan layaknya Gedung Putih yang wajib dijaga dari serangan teroris.

2. Seseorang menginginkannya mati, Jungkook paham betul, tapi kelakuan Arthur juga membuatnya jengkel setengah mati.

3. Kenyataan bahwa bukan Arthur yang membeli peralatan bayi ini.

4. Gabungan ketiganya ditambah hormon.

Dan Jungkook memilih menyalahkan hormonnya.

“Seseorang tahu soal bayi itu.”

“Tentu saja seseorang tahu! Aku orang, kau orang, Julien orang. Ada Martin juga. Jean, Angelina, James?”

“Ini bukan lelucon, Jeon.” Arthur menatapnya galak. Tapi anehnya, hal itu tidak membuat Jungkook takut. Anak itu justru jadi lebih kesal lagi.

Pertama sekali melihat benda-benda itu di rumah ini, Jungkook senang bukan kepalang. Membuka tiap parsel dan membaui tiap helai sambil berpikir betapa lembut hati Arthur, mengatakan ‘tidak ingin’ beberapa hari lalu tapi tetap memikirkan bayi mereka sampai-sampai memesan semua benda-benda ini tanpa sepengetahuannya.

Nyatanya, memang bukan pria itu yang memesan. Jungkook malah tidak yakin Arthur peduli sedikit saja pada bayi mereka. Arthur mana pernah membahas persoalan bayi itu sejak saat Jungkook bangun dari tidur setengah koma dengan dua tangan dibebat perban. Jungkook juga jeli menyadari Arthur lebih sering mengindar menyentuh perutnya dan memilih mengalihkan topik tiap kali Jungkook memancing membahas soal bayi mereka.

“Siapa yang mengirimnya, hah? David? Harus kutelpon sekarang bilang terima kasih?”

Arthur mendelik geram. Ia sendiri belum yakin siapa tersangka pasti kejadian ini. Tapi mendengar nama itu begitu mudah meluncur dari bibir Jungkook, ingin sekali disambarnya anak itu dan diseretnya ke kamar.

“Kau pikir ini lucu?”

Tidak,” Jungkook berdiri tegap menantang, “Tahu apa yang lebih lucu?! Musuhmu? Temanmu? Penggemarmu? Orang lain antah berantah sibuk memikirkan bayiku dan mengirim bingkisan kemari, sementara kau?” peduli setan dirinya disebut ratu drama, tapi saat itu sontak matanya berkaca-kaca. Pikirnya ia sudah memenangkan Arthur saat pria itu membiarkan bayinya tetap hidup tiga bulan lalu.

“Kau pasti tidak tahu dia perempuan, kan?!”

Arthur menatapnya lama tanpa berkata-kata. Keputusan pria itu untuk tidak merespon membuat Jungkook makin sakit hati dan dengan dramatis…

“Makan, tuh!”

Dilemparnya selembar kertas thermal yang berayun-ayun hingga tergolek di lantai tanpa sempat menyentuh Arthur. Rasanya agak familiar; adegan dirinya melempar Arthur dengan sesuatu untuk melampiaskan amarah.

Jungkook berbalik kabur sementara perhatian Arthur teralih pada kertas hitam-putih itu.

Keterlaluankah dirinya? Jelas Arthur tidak tahu jenis kelamin bayi mereka kalau Jungkook sendiri baru tahu tiga jam lalu.

Peduli setan.

Ia ingin merajuk sekarang.

JEON!”

Seruan Arthur membuat Jungkook buru-buru membuka pintu mobil. James sudah duduk disana, tapi dipaksanya keluar.

Minggiiiir!”

Pria itu bisa saja bertahan tetap duduk disana, tapi wajah galak Jungkook membuatnya mengalah dan turun dengan sukarela. Julien yang duduk di bangku kemudi terheran-heran dibuatnya.

Cepat jalan atau aku yang bawa mobilnya!”

“Tapi big boss—”

“JALAN, GIBRAN!”

Julien dibuat refleks memijak pedal gas di bawah pelototan sengit Jungkook.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Setengah jalan menuju destinasi antah berantah, Jungkook mulai dirambati perasaan bersalah dan kesadaran bahwa kelakukannya tadi amatlah kekanakan. Karena kepalang basah, ia membuat Julien berkeliling Detroit sampai Jungkook memutuskan untuk singgah di kafe kopi dan kudapan yang mendadak menarik perhatiannya.

“Tunggu disini, aku butuh sendiri.”

“Kau tidak boleh minum kopi!”

“Siapa bilang aku mau minum kopi?”

“Kau sadar kita membawa baju-baju bayi yang sangat mungkin dipasangi reaktor nuklir, kan?”

“Karena itu aku menyuruhmu menunggu disini, dengan bom nuklir itu, sementara aku makan es krim enak jauh darimu. Bye, Julien.”

Julien termegap untuk sejenak, tampak seperti akan turun tapi enggan ketika Jungkook berpaling padanya sambil mengancam menggunakan ujung telunjuknya. Dan Julien terbukti menurut, menutup kembali pintu mobilnya dan duduk diam di bangku kemudi, menatapnya sampai Jungkook menghilang ke dalam kafe.

Dibanding Martin, Julien jauh lebih pengertian. Karena itu Jungkook lebih senang ditemani oleh Julien kemanapun dirinya pergi. Tiap kali Jungkook mengatakan ‘Aku butuh sendiri’, pria itu pasti menjaga jarak setidaknya 10 meter meski sambil terus mengawasi. Saat Jungkook masuk ke dalam kafe itu, ia berbelok ke kanan dan menghindari bangku yang bisa diawasi langsung dari luar.

Ia sungguh-sungguh saat bilang butuh waktu untuk sendiri. Jungkook perlu ruang untuk memikirkan semua kelakuannya tanpa tatapan menghakimi dari bawahan Arthur, karena saat itu terjadi bukannya sanggup mengoreksi kesalahannya, Jungkook justru merasa perlu membela diri dan makin bersikap kekanakan lagi, yang kemudian akan disesalinya di malam hari tapi diulangnya lagi keesokan paginya.

Ia butuh merenung. Tanpa Julien, Martin, James, Jean, Angelina. Karena sekalipun Jungkook menyayangi mereka dan mereka peduli padanya, Jungkook tetap merasa orang-orang itu satu kepala dengan Arthur, dengan cara yang berbeda memberi batas bahwa mereka sudah lebih ‘dewasa’ dan Jungkook hanya ‘remaja mendadak dewasa’.

Aku punya otak untuk berpikir dan otot yang kuperintah untuk menggerakkan badanku sendiri.

Jungkook menggerutu kesal dalam hati. Ia tahu Arthur bermaksud baik. Semua kelakuan menjengkelkan pria itu. Menyembunyikannya, menjaganya, semua perhatian yang bersumber dari ketakutan. Bahwa ada orang-orang seperti David, atau musuh Arthur lain -yang Jungkook tidak kunjung sanggup menghapal nama-nama mereka-, atau perang-perang cartel yang tidak dipahaminya, menunggunya di luar sana. Mengawasi dan mencari waktu pasti untuk memenggal kepalanya- sekedar untuk membuat Arthur kesal. Itu pernah terjadi sebelumnya. Pada Max. Pada Lana.

Jungkook mengerti, dan terkadang ikut merenungi kesedihan macam apa yang pasti ditanggung Arthur setiap hari. Tapi Arthur memaksanya untuk percaya saja, tanpa negosiasi dan diskusi lebih dulu. Di saat yang sama pria itu tidak percaya padanya. Meragukan kemampuannya sekedar untuk membuat pilihan-pilihan sepele. Ikut memutuskan harus diapakan pakaian bayi yang ditempeli reaktor Chernobyl misalnya?

Untuk apa memaksanya ikut kelas tembak dan berlatih taekwondo, kalau toh Jungkook berakhir jari Rapunzel. Dikurung dalam menara untuk sekedar bercermin dan menyisiri rambut.

Yang terakhir itu berlebihan, dorongan hormon yang membludak mungkin.

Semua kedongkolan itu makin menjadi tiap kali Jungkook mengingat satu bagian kecil dalam hatinya yang tidak kunjung terisi. Semua perhatian berlebihan Arthur tidak diperuntukkan bagi putri mereka. Arthur bersikap seakan bayi itu tidak pernah ada. Mungkin Arthur berpikir, dengan tidak membahas entitas bayi itu sama sekali, Jungkook cukup terhibur dan tidak akan pernah mencoba bunuh diri lagi. Rupanya kenyataan bahwa Arthur sungguhan mengabaikan bayi mereka lebih menyakitkan daripada pisau cukur mengiris pergelangan tangannya waktu itu.

Arthur peduli. Sekaligus tidak peduli.

Katakan Jungkook serakah, tapi untuk apa menyelamatkannya kalau Arthur tetap bersikap seperti siap menyingkirkan bayi mereka kapan saja? Jungkook mengiris tangannya waktu itu biar Arthur tahu, kalau bayi ini berharga baginya. Tiga bulan berlalu, dan Arthur tetap menunjukkan sikap serupa, meski kali ini dengan cara berbeda. Tidak membicarakan soal aborsi atau membahas apapun soal menyingkirkan bayi mereka lagi.

Tetap saja Arthur tetap tidak menginginkan bayi ini.

Mata Jungkook berubah hangat, hampir saja setetes emosi itu mengaliri pipinya. Namun Jungkook memutuskan untuk menahannya sambil menghela napas dalam-dalam.

Fucking shit.

Airmatanya cuma boleh jatuh saat Arthur menyaksikan.

Ini salah Arthur. Tapi apa kelakuannya juga bisa dibenarkan? Tidak. Jungkook sadar betul dirinya kadang kekanakan. Karena itu dengan tekad penuh Jungkook berniat mengkonfrontasi Arthur sepulang dari kafe ini. Soal bayi mereka, soal perasaannya, soal kelakuan Arthur yang menyakiti hatinya. Seluruhnya, tanpa pengalihan isu lagi. Kalau harus bertengkar, kalau harus main tangan, Jungkook akan menahan diri agar omelannya tetap sesuai topik. Tanpa merembet kesana-kemari. Selayaknya pertengkaran orang dewasa. Ya, selayaknya perselisihan suami istri.

Jungkook menyusun rencana-rencana. Tampak begitu fokus menyendiri di sudut bangku kafe itu. Tapi dalam perenungannya Jungkook sadar betul dengan keadaan sekitarnya,

Dari sudut matanya, beberapa orang bergerak pasti ke arahnya. Bukan Julien.

Jungkook pura-pura merenung sambil memainkan garpu kuenya, siap menikam kalau seseorang masuk ke ruang privasinya lebih dari batas aman. Tangan kirinya mengusap ponsel cadangan Martin hasil rampasannya tadi, menggeser tampilan layarnya kesana-kemari meski sesungguhnya siaga membuat panggilan darurat untuk Julien.

“Kau tidak menunggu seseorang, kan?”

Jungkook mengangkat kepala. Sebisa mungkin tidak tampak terkejut.

Tepat di sisi mejanya, anak itu berdiri. Anak rambut merah yang duduk dan makan bersamanya tempo hari. Anak yang dengan lancangnya mengecup ujung bibirnya —mengingatnya saja membuat Jungkook ingin sekali berdiri sambil melempar piring dessert miliknya.

Kalau seandainya hanya anak itu seorang diri yang berdiri di depannya, Jungkook mungkin bisa bersikap refleks. Mengusir kasar sambil mendelik. Tapi bocah itu membawa empat orang— termasuk Josh. Berdiri di belakangnya seperti pengikut-pengikut sekte yang setia.

Jungkook tidak mengerti. Tapi dengan lihai disembunyikannya semua kebingungan dalam hati. Apa yang dilakukan Taehyung dengan Josh? Bukankah beberapa hari lalu anak itu dibully, oleh orang sama yang kini berdiri di belakangnya sambil menunduk menggenggam jari. Ada apa dengan jarinya?

Tapi pertanyaan lain yang keluar dari bibir Jungkook;

“Ditampar sekali tidak cukup ya?”

Taehyung tertawa. Bibirnya mengembang, ujungnya nyaris bertemu lesung-lesung pipi yang dalam. Caranya matanya menatap begitu lancang, seakan orang yang berdiri di depan Jungkook ini orang yang berbeda dari pemuda yang ditemuinya tempo hari.

“Ya. Aku mimpi wajahmu tiap hari sejak kau tampar aku hari itu. Boleh aku duduk disini? Boleh. Oke.”

Jungkook hampir mengumpat sambil teriak ‘NO!’ tapi Taehyung sudah terlanjur duduk di hadapannya.

Tiga hari lalu, wajah yang sama menatap Jungkook dengan memelas. Kacamata tebal itu masih dibawanya, tapi dikenakan di atas kepala layaknya bandana. Pupil gelapnya sekarang berkilat biru di balik lapisan kontak lensa. Ada make up tipis menghiasi ujung-ujung matanya, sewarna dengan rambut dan kilap merah muda di bibirnya.

Jungkook mulai ragu. Rambut merah anak ini masih sama, ditata dengan lebih sempurna. Wajah itu sama mulus seperti yang dilihat Jungkook sebelumnya. Namun caranya menggerakkan badan, berkedip, bersuara— jelas ini orang yang berbeda.

“Aku baru sadar ada tahi lalat di bawah bibirmu. Manis sekali. Boleh kukecup sekali lagi?”

“Coba,” tantang Jungkook dengan pisau dessert di tangan. “Aku tahu lebih dari sekedar menampar.”

Taehyung tertawa. Tiga orang di belakangnya justru yang merespon tegang, seperti siap menyerang Jungkook kalau anak itu sungguhan melukai Taehyung menggunakan garpu di tangannya.

Master—”

“Apa aku minta disela?” Taehyung berubah marah saat berpaling pada orang-orang di belakangnya, tapi secepat itu juga wajahnya berubah warna, semanis gula saat ia kembali pada Jungkook.

“Kau suka makanan yang kubawa. Mau ikut ke Korea?”

Jungkook mengeram, mencoba bangun. Hatinya menjerit untuk segera pergi dari tempat itu. Pilihannya untuk duduk di ujung kafe jadi boomerang. Empat orang berdiri menghalanginya lewat.

“Minggir, orang gila.”

Noooo!” tangan Taehyung terangkat, refleks menggenggam Jungkook berusaha membuatnya duduk kembali. Tapi itu kesalahan besar. Jungkook memekik marah, hampir melempar bogem mentah ke wajah Taehyung jika seandainya anak itu tidak mundur cepat-cepat.

JANGAN SENTUH AKU, SIALAN!”

“BOSS!”

Banyak tangan hampir ikut campur. Tapi kalau sampai satu orang saja berhasil menyentuh Jungkook, Taehyung tahu usahanya akan terbuang sia-sia. Anak ini punya tempramen yang hampir sama seperti dirinya, hanya dengan kontrol yang lebih tipis. Jadi pemuda itu maju nekat, memasang badan di hadapan Jungkook hanya agar remaja itu tidak jadi bulan-bulanan bawahannya.

“FUCK— tinggalkan kami.”

Ilhoon dan Hyunsik tidak langsung mundur. Sejengkal nilai kulit Taehyung tergores sama mahalnya dengan nyawa mereka. Taehyung harus berbalik, sungguh-sungguh mendelik pada mereka untuk membuat keduanya tahu ia benar-benar ingin mereka pergi.

“Tinggalkan aku— dude, please. Jangan buat aku menelpon hyung untuk urusan begini.”

Jungkook masih memegang garpu di tangannya dan kalau mau anak itu pasti bisa saja menikam perut Taehyung menggunakan benda tajam itu. tapi Taehyung tahu, Jungkook tidak akan melakukannya. Tidak di tempat seramai ini. Tidak sekalipun empat anak yang dibawanya sudah pergi, meninggalkan mereka berdua saja di meja terujung kafe itu.

“Sorry— Duduk dulu, please. Aku punya sesuatu untukmu, karena kudengar kau mewarisi hobi Arthur—”

Jungkook terenyak, mulutnya terbuka tanpa bisa ditahan. Garpu hampir jatuh dari tangan saat nama itu disebut.

“Mengumpulkan jari, kan?” ucap Taehyung sambil mengeluarkan kotak cincin.

Jungkook mati-matian menahan gemetar saat Taehyung membuka kotak itu, ia tidak sungguh-sungguh berharap melihat potongan jari disana. Tapi anak ini baru saja menyebut nama Arthur— seremeh dan seringan itu.

“Kalau dengan ini boleh melamarmu— romantis sekali. Seribu jari pun kukumpulkan untukmu.”

Untuk pertama kalinya, Jungkook kehilangan kata-kata.

Di dalam kotak beludru, sepotong jari ditancapkan. Tempat itu seharusnya menampung cincin. Tapi putih busa bagian dalamnya ternoda darah dan serpihan daging, menunjukkan jari itu dipotong dengan kasar menggunakan senjata berjeruji.

“Bagaimana bunga dan baju-baju bayinya? Kau suka?”

Jungkook mengatup mulutnya cepat-cepat. Ditatapnya Taehyung dengan sengit. Begitu mudah mulutnya bersumpah serapah di hadapan Arthur, bertingkah seakan siapapun yang mengiriminya baju-baju dan bunga cantik itu tidak ada artinya, tidak mengancam sama sekali hingga Jungkook pasti berani menelpon sekedar mengucap terima kasih.

Tapi disini, orang ini sungguhan duduk. Di hadapannya. Memasang cengiran dan berkelakar soal Arthur seakan mereka teman lama.

Wajah yang begitu muda, yang dengan mudah mengecoh Jungkook di pertemuan mereka kali pertama.

Jungkook meremas garpu di tangannya makin kuat, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tiba-tiba berpacu tidak keruan.

“Kau mau apa? Membunuhku?”

Dude— aku baru bilang mau melamarmu. I like you aaaaa-looot.”

“Dari cartel mana?”

“Hah?”

“Kau datang dari cartel mana?!”Jungkook memekik, memancing beberapa mata melirik kea rah mereka.

Taehyung terenyak berlebihan sambil memegangi dadanya dramatis. “Baby! Aku tidak jualan benda haram begitu. Tuhan Yesus tidak suka, bukan begitu? Kau rajin ke gereja, kan? Mau ibadah bersama?”

“Apa yang kau inginkan, Kim Taehyung?”

Your love, baby. Your love,” Taehyung menyeringai. Seperti mendapat kesempatan sempurna untuk mengucapkan kalimat cheesy itu setelah merapalkannya ratusan kali sebelum datang kemari. “Kalau kubunuh Arthur, mau ikut denganku ke Korea?”

“Kubunuh kau lebih dulu.”

Aw, baby! Kau lebih pantas denganku! Arthur terlalu tua untukmu.”

Mendengar cara anak ini menyebut nama suaminya —mengolok Arthur dengan entengnya, membuat bulu kuduknya meremang membayangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Terngiang lagi semua pesan Arthur yang selama ini dianggapnya lalu. Soal orang-orang yang harus dihindarinya. Mereka punya kuasa, mereka punya uang, mereka punya pengaruh.

“Uangku lebih banyak, baby. Dan lebih halal, berani sumpah soal itu. Kau hanya perlu beri aku kesempatan. Kita bisa mulai dari awal, kau bisa ikut aku ke Korea. Setelah aku membunuh Arthur tentunya—”

Jungkook tidak tahan lagi. Perasaan yang berkecamuk di dadanya, marah dan ngeri, beraduk jadi satu mendorong tangannya bergerak berdasarkan emosi. Dihantamnya meja kafe menggunakan garpu, tepat di tengah kedua tangan Taehyung mengatup. Suara detum kayu dihantam besi berdengung. Benda itu tertancap, bergetar sesaat sebelum berdiri tegap di antara tangan pucat Taehyung.

Taehyung kontan duduk kaku, nyaris tidak bisa merasakan otot-otot di tangannya saking kagetnya. Bohong jika ia bilang tidak ketakutan. Garpu tajam itu hampir saja melesat menancap di atas tangan cantiknya.

“Well damn.” Taehyung bicara dengan napas tertahan, “Aku mau jujur, adikku tegang. Please, boleh aku membungkusmu pulang ke Korea? Kau benar-benar hot, baby.

Berhenti memanggilku baby,” desisnya marah. Tangannya mengepal. “Dan berhenti menguntitku.”

Jungkook melangkah pergi. Tidak ingin terlihat buru-buru. Ia hanya ingin segera lenyap dari tempat itu.

Baby~

Jungkook tidak berbalik. Tentu saja. Tolol jika ia melakukan itu. Tapi masih bisa didengarnya suara Taehyung sebelum ia lalu.

“Satu minggu. Kuberi waktu satu minggu untuk memilihku. Aku tidak ingin main kasar denganmu tapi— Aku tidak biasa ditolak, sorry.”

.

.

.

.

.

.

.

Sesaat setelah Jungkook melangkah pergi dari kafe itu, seakan ada bom menghimpit di dadanya dan siap meledak kapan saja bibirnya terbuka. Tapi dengan tenang disimpannya semua kejadian yang baru saja menghantamnya di kafe. Setidaknya hingga Julien bertukar mobil dengan Martin, dan Jungkook sampai dengan selamat di rumah.

Beberapa kali di sepanjang jalan, Jungkook akan refleks menatap ke belakang. Seperti memastikan jika barangkali ada kendaraan lain membuntuti mereka. Mungkin kelakuannya itu diulang terlalu sering hingga Martin bertanya heran.

“Sesuatu mengusikmu, lil boss?”

No no no. Nyamuk, I think,” bohongnya sambil mengusap-usap telinga.

Martin menatapnya makin terheran-heran. Alis-alisnya yang tebal hampir tersambung karena kerutan di dahinya yang ditarik terlalu dalam. Jungkook lebih tahu dari Martin, kebohongan barusan terdengar terlalu menyedihkan. Bagus kebohongan itu tidak perlu dilanjutkan lebih lama. Setelah turun dari mobil, Jungkook menghambur masuk begitu saja melewati Jean dan James yang berusaha menyapanya. Anak itu membawa langkahnya terus hingga Arthur yang berada di depannya tanpa jarak memisahkan mereka.

Arthur belum sempat membuka mulut saat tangan Jungkook menghantam pipinya. Keras sekali sampai ruangan itu hening seketika.

James menganga, lebar sekali hingga dagunya sakit. Jean mendelik, buru-buru buang muka, tidak ingin tertangkap Arthur tengah menyaksikan drama yang spontan terjadi begitu saja.

Whops.” Martin spontan balik badan, Aku lupa parkir mobil.”

“Angel menelponku. See ya later, boss.” Jean ikutan pergi.

James yang kehilangan kata-kata, hanya bisa pura-pura dirinya tidak berada disana sejak awal dan mengendap pergi. Meninggalkan Arthur sendiri bersama Jungkook, di ruangan seluas itu, hanya suara pelan televisi yang menyela di antara mereka.

What the fuck is your problem?!”

“Berhenti menyembunyikan apapun dariku!”

The fuck—”

“Kau bilang malam itu akan melibatkanku! Soal apapun! Cartel, masalahmu, David, pabrik-pabrik baru— semuanya!”

“Kapan aku mengiyakan?”

Jungkook menggigit bibir. Airmata yang ditahannya sejak sore hampir tumpah ruah. Tapi dihelanya napas dalam-dalam, karena ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menghadapi Arthur dengan sikap yang lebih dewasa. Ia akan membuat Arthur setuju dengan opininya kali ini.

“Kita hadapi bersama! Oke?”

Arthur tertawa, tapi lebih terdengar seperti mengejek. Apalagi saat dengan santainya ia menjawab, “Fuck no.” sambil berbalik bermaksud meninggalkan Jungkook dan dramanya sendiri di ruang tengah itu.

“Arthur!”

“Apa lagi? Kau janji akan menyembunyikan hidungmu sampai semuanya aman. Ingat? Sebelum persoalan bayi itu?”

“Ya! Tapi—”

“Ini bukan telenovela, Jeon. Banyak orang ingin aku mati. Kalau ada yang tahu soal bayi itu, kau yang akan jadi sasaran pertama— kau yang mati lebih dulu. Itu yang kau mau?!”

Jungkook hampir menjerit. Hampir menumpahkan semua kejadian sore itu dalam satu isak tangis. Kadang-kadang, ia merasa Arthur memang bukan seseorang yang bisa diajak kompromi dalam satu diskusi tenang. Pria ini harus diteriaki, dijeriti, dibasuh isak tangis, dan sedikit kekerasan fisik untuk membuat perhatiannya tertuju hanya pada Jungkook.

Tapi yang terjadi justru suara lembutnya terucap. Napasnya agak tersengal, efek menahan isak tangis. Tapi dengan tenang Jungkook berkata,

“Aku tahu. Seseorang mengatakannya sore ini tepat di wajahku. “

“What?”

“Seseorang menghampiriku sore ini,” Jungkook mengulang pelan-pelan, menghela napas dan sabarnya bersamaan. “Bermaksud memberi jari busuk sambil bilang dia ingin kepalamu.”

The fuck— Dia menghampirimu dan Julien diam saja?!”

“Aku menyuruh Julien pergi.”

“Dan Julien menurutimu?!”

“Aku baru cerita soal seseorang menginginkanmu mati, Arthur!”

“Dan kau bisa saja mati disana, lebih cepat dari keinginannya soal leherku. Aku baru mengatakan hal yang sama sepuluh detik lalu, for fuck sake! Lehermu itu cuma butuh sekali tebas untuk dipisahkan dari bahu. Kalau ada yang tahu siapa dirimu, kau pikir bisa mati cantik dengan dua garis luka di tangan kanan-kiri? No kidding, kid. I’ve done worse, people won’t waste your corpse just to pissed me off!

Jungkook mengerjap, mengusir basah di matanya. Anak itu menerima seruan marah Arthur yang menggelegar –mungkin sampai keluar. Kerongkongannya tercekat, hampir saja amarahnya membumbung naik jadi jeritan, keinginan sesaatnya sekedar demi membalas seruan Arthur. Tapi makin lama Arthur mendelik padanya, ekspresi lembut Jungkook bertahan. Ujung kalimat Arthur terus-terusan terngiang dalam benaknya. Mayatku—

“Kau takut?”

“Hah?”

“Kau takut aku mati?”

Of course I am! I’m not having sex with a headless body. No thank you.”

Jungkook tersenyum, begitu manis meski bola mata berkilat sendu. Dipeluknya Arthur meski pria itu hanya berdiri dalam keadaan bingung. Tubuh besar Arthur kaku sejenak, seperti belum selesai melampiaskan semua amarah dan shock yang dialaminya barusan.

“Kubilang padanya, dia bisa bunuh aku dulu sebelum membunuhmu. Tapi dia tidak membunuhku disana—” yang diinginkannya nyawamu. Jungkook tertawa kecil, nyaris terdengar sedih.

This is not funny. Dari cartel mana?

Jungkook mengerutkan keningnya, heran sekaligus geli. Itu pertanyaan sama yang diutarakannya tadi di depan Taehyung. “Bukan dari cartel, katanya. Tapi dia bilang lebih kaya darimu jadi—”

“Dia bilang padamu namanya?”

“Kim Taehyung.”

Fucking shit.” Apa yang dilakukan bocah itu disini?

Tolol. Arthur mengumpat dirinya sendiri dalam hati. Tentu saja ia tahu kenapa Kim Taehyung jauh-jauh datang kemari.

Kau kenal Kim Taehyung?”

“Tidak. Tidak sepersonal itu.” Arthur merasa perlu duduk, digiringnya Jungkook menuju sofa. Tadinya, ia ingin mereka duduk bersebelahan. Tapi Jungkook tidak mungkin ditentang saat anak itu memutuskan untuk duduk di atas pangkuannya. Ada kaki tangannya di rumah ini, yang bisa saja masuk menyela mereka dalam posisi seintim itu. Namun diabaikanya kekhawatiran itu saat mata bulat Jungkook menatapnya bingung.

“Tapi kau tahu dia? Dia masuk ke sekolahku sejak minggu lalu. Sebelum kau pergi ke Jepang.”

“Dan kau tidak bilang padaku?”

“Aku harus bilang?”

“Ya! Atau setidaknya Julien harus cerita! Itu pekerjaannya. Mengawasimu non-stop.”

“Aku harus cerita satu-satu soal siapapun yang ngobrol denganku di sekolah? Mana ku tahu, lagipula anak itu sudah niat berakting sejak awal. Pakai kacamata culunnya dan menyuruh anak buahnya sendiri membullynya di sekolah!”

“Kau tidak punya teman, harusnya kau sadar sejak awal kalau anak itu macam-macam. Dan kau memutuskan untuk menyembunyikan ini dariku— SATU MINGGU?”

Nada tinggi Arthur membuat Jungkook ikut-ikutan kesal. Anak itu duduk tegap di atas pangkuan Arthur, jarinya menuding tepat di depan dada pria itu.

“SATU HAL! Aku punya banyak teman! Aku cuma tidak perlu menceritakannya padamu. Apa yang aneh? Karena anak itu punya tampang seperti aku? Jadi aku harus cerita padamu? Atau kalau dia memutuskan untuk membagi makanannya, yang enak sejujurnya, aku juga harus cerita? Atau kalau–” kalimat Jungkook terputus, teringat lagi olehnya kejadian siang itu di taman sekolah. Saat Taehyung membersihkan nasi dari sudut bibirnya menggunakan bibir juga.

“Apa yang dilakukannya?” suara Arthur berubah rendah, menyadari perubahan ekspresi Jungkook. Rona pipi anak itu menghangat, membuatnya makin curiga.

“Aku tidak punya kewajiban untuk cerita! Kau juga tidak pernah cerita padaku soal apapun.”

APAPUN?” suara Arthur menggelegar. Jungkook sampai berjengit sambil menutup telinganya.

Aku cerita lebih banyak padamu dibanding pada Yesus. And here you are, doing the opposite. Coba lihat kalau seseorang memutuskan untuk memotong jarimu tanpa sepengetahuanku, apa yang bisa dilakukan Yesus untukmu.”

“YESUS JURU SELAMATKU NOMOR SATU, fuck you!”

“Kita mulai lagi pertengkaran dari awal?! Kau memang niat datang kemari untuk bertengkar, hm?”

Jungkook hampir merespon, menggunakan nada yang lebih kasar lagi. Tapi saat Arthur membuka mulutnya lagi, pria itu justru mendengus. Ekspresi marahnya menguap entah kemana.

“Tidak enak bertengkar dengan posisi begini, aku bisa membantingmu sampai ke depan TV itu.”

Jungkook hampir tersedak, menahan gelak yang sudah mencuat di kerongkongannya. Agak gengsi untuk mengapresiasi kelakar Arthur dengan tawa. Jadi dikecupnya bibir pria itu, pelan dan sekilas. Sekedar untuk menenangkan hatinya sendiri, mencegahnya meneriaki wajah Arthur.

“Aku cuma mau bicara. Jangan pakai nada tinggi dan jangan hina Yesus Kristus, kalau kau lakukan aku siap berkelahi!”

Arthur mendengus lebih kuat. “Kita gulat disini? Di sofa atau di atas karpet itu?”

Jungkook dibuat jengkel lagi,dicubitnya kencang-kencang kulit lengan pria itu. “Bilang ‘Ya’, Arthur!”

Alright! Alright!”

“Jadi siapa Kim Taehyung? Mantanmu?”

“I’m not dating a psychopath.”

Really?” Jungkook sendiri bingung. Itu pertanyaannya untuk Arthur atau justru untuk dirinya sendiri.

“David kelewat tertarik pada anak itu beberapa bulan terakhir. Hampir setahun.”

“Dia sugar baby David?”

Arthur hampir tertawa mendengarnya.

“Apa yang ada di otakmu cuma perkara sugar baby? Dia desainer senjata, gunsmith. Untuk VRetta. Pernah dengar? Itu perusahaan senjata paling besar di Asia.”

Jungkook menganga.

“Jadi dia Tony Stark versi Korea?”

“Yang ini agak sinting.” Arthur mengusap dagu Jungkook. Menikmati lembut kulit anak itu di ujung jarinya. “Dia jauh-jauh datang kemari dan menunjukkan diri di depanmu— ini bukan hal bagus.”

“Dia yang kirim pakaian-pakaian dan bunga itu.”

WHAT? Arthur mendelik. Duduknya berubah tegap.

“Aku tidak mau kau pergi ke sekolah mulai besok, atau kemanapun. Kau bisa minta Julien soal apapun, tanpa perlu bergerak dari tempat ini.”

“Tapi sebentar lagi ujian akhir! Aku sudah melewatkannya tahun lalu!”

“Kau bisa ulang lagi, lima kali— tujuh kali? Aku tidak mau kau bertemu dengan mafia senjata itu lagi. Drugs kill you, but weapon— they kill faster.

“Kau juga punya senjata.”

“Kau tahu apa maksudku, baby. Jangan mulai pertengkaran ini lagi. Kau tidak boleh bertemu anak itu, tidak dua kali. Kita tidak tahu apa yang diinginkannya dan kalau sore ini dia membiarkanmu pergi, itu bukan karena dia tidak sanggup memaksamu—”

Jungkook meremas kemeja Arthur, rautnya berubah keras. Selalu begini.

“Kau mau aku sembunyi lagi? Supaya mereka bisa mencariku lagi dan kita main Tom-Jerry mulai dari awal?!”

“Mereka tidak akan memburumu kalau mereka tidak tahu soal dirimu atau soal bayi itu.”

Bayi-kita! Bukan bayi-itu!” suara Jungkook melengking lagi, “Aku membuatnya dengamu bukan dengan Slenderman jadi berhenti menyebutnya ‘ITU’. Dan coba ulang? HA! Jokes on you! Mereka tahu! Untuk apa Kim-Sialan-Taehyung itu mengirimi baju bayi kalau dia tidak tahu?! Iseng?! Tiba-tiba suatu malam dia pingin menakut-nakuti aku dengan mengirimi setumpuk baju bayi bukan sepaket selongsong kosong atau potongan tangan orang atau surat ancaman yang ditulis dengan darah? Cool. Suruh dia jadi cenayang!”

Jungkook menghela oksigen setengah mengeram setelah rentetan omelannya selesai dalam satu tarikan napas. Arthur menatapnya, diam untuk sesaat. Responnya hanya satu kata.

“Sudah?”

“APA?”

“Sudah selesai marah-marahmu?”

Seringai sinis yang begitu tipis di ujung bibir Arthur hampir membuat emosi Jungkook meledak.

JESUS CHRIST!” Anak itu menghentak kesal, di atas pangkuan Arthur.

Arthur merespon, dengan duduk tegang dan menahan erangan. Dicengkeramnya pinggul Jungkook hampir dipindahkannya anak itu ke sisi. Tapi Jungkook berpegang pada bahunya, dan menatapnya dalam-dalam.

“Dengar, ArthurDulu waktu di toko kaset itu. Kau bertanya padaku, kalau aku takut mati. Aku sungguh-sungguh waktu itu,” Jungkook menatap Arthur teguh. “Aku tidak takut.”

“Aku tahu. Dan aku juga serius soal orang-orang ini. Mereka tidak akan segan memotong apapun, kukumu akan jadi pilihan pertama, karena manusia tidak akan mati tanpa kuku.” Arthur bisa membayangkan seratus skenario kematian Jungkook yang mungkin akan dihadapinya, sebagaimana ia pernah melakukan hal yang sama pada ratusan musuh-musuhnya. Mereka tidak akan segan, bayangnya. “Lalu pisau akan naik ke jari, dari jari ke lengan, lalu ke kaki, kau mau dengar yang lain? Cara populer cartel untuk menakuti orang?”

“Aku tidak takut! Just stop treating me like a helpless thing!”

I’m not. Aku mengajarimu taekwondo, Rapunzel. Lupa?”

“Ya! Buat apa? Olympic Games?!”

“Kau mau?”

“Arthur!”

“Jadi kenapa dia berubah pikiran dan tidak jadi menculikmu disana?” Arthur bersandar lagi, ekspresinya kembali tenang. Pria itu menunjukkan jelas ia sudah enggan bertengkar.

Jungkook yang ditatap lembut begitu jadi segan meninggikan suaranya. Jarinya canggung bermain di kancing-kancing kemeja Arthur.

“Kuancam dengan garpu,” jawabnya dengan suara pelan.

“Tidak menangis sambil menghentak-hentakkan kakimu di depannya?”

“Kapan aku pernah berbuat begitu? Kau sendiri yang bilang airmata tidak bisa membeli nyawa. Kalau dia mau membunuhku lalu aku menangis di depannya, makin cepat mati aku jadinya.”

“Kau selalu menggunakan airmata kalau kita bertengkar.”

“Karena ampuh padamu.”

Arthur terenyak, tidak percaya. Ia sudah tahu dari dulu, tapi mendengar Jungkook langsung mengaku dengan begitu percaya diri tepat di depan hidungnya… Arthur tidak bisa menahan dengusannya, hampir tergelak tawanya. “You little shit.”

Your— little shit,” koreksi Jungkook sambil menyandarkan dagu di bahu suaminya. “But you love me anyway,” ujarnya sombong sambil mengecup selangka Arthur.

Not yet, brat!” Arthur merengkuh Jungkook agak kasar, lalu dikecupinya wajah kiri anak itu dengan agak membabi-buta, hingga wajah Jungkook basah oleh liurnya.

Jungkook memekik, pura-pura panik. Arthur! Yikes! Kau bau giting, stop! Stop! Ganja tidak bagus untuk bayiku!”

What? I didn’t kiss your belly.”

Boleh kok, kalau kau mau,” Jungkook sudah siap membuka bajunya naik hingga ke dada. Arthur meremas tangan Jungkook sebelum itu terjadi. Digenggamnya kedua tangan anak itu dan dikecupnya, sebagai alasan;

Kau benar. Ganja tidak bagus buat bayi.”

Benak Jungkook terbagi dua, oleh dugaan bahwa Arthur menghindari menyentuh perutnya, dan oleh kesadaran bahwa Arthur melakukannya dengan cara yang begitu manis. Jadi didorongnya lagi telapak tangannya, menawakan lebih banyak ciuman. Perkara bayi akan dicekokinya pada Arthur lain hari. Setidaknya hari ini, ia berhasil bicara dan didengarkan. Selayaknya orang dewasa.

“Jadi aku tidak perlu sembunyi, kan?”

“Jangan mulai lagi, Jeon.”

.

.

.

.

.

.

.

Short update (lagi)

Thanks dangdutannya bikin aku semangat update biar kata lima langkah aja <3

Aku terima kritik, seriusan dah. Minta sarannya </3

Dedek cuma pengen dianggap

Dedek cuma pengen dianggap….

dianggap bisa urus bayi misalnya

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Braven – 24. Carnyx”
Beranda
Cari
Bayar
Order