Braven – 27. Paradox

Author: A Little Bits of Everything

paradox /perəˌdäks /

a statement or proposition that, despite sound (or apparently sound) reasoning from acceptable premises, leads to a conclusion that seems senseless, logically unacceptable, or self-contradictory.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Jungkook menatap keluar pada jeep yang membawa Arthur dan Martin. Ingin diiringnya kepergian Arthur sambil menatap siluet pria itu dari balik jendela mobilnya. Sekelebat ketakutan tolol melintas di benaknya, perasaan aneh yang membuat bulu di tengkuknya meremang tepat saat jeep Arthur menghilang di jalan gelap.

Diusirnya bisikan aneh itu buru-buru. Mereka akan bertemu di tempat baru, seperti janji Arthur. Arthur memang bukan jenis manusia yang bisa menyenangkan 100% setiap waktu, tapi pria itu tidak pernah mengingkari apa yang sudah diucap bibirnya. Malam ini mereka akan sampai ke tempat aman yang baru. Pasti.

Jungkook mengusap badan Saiga-12 yang dipangkunya, senjata metal silver-hitam buatan Rusia itu terasa dingin dibawah jari-jarinya, namun anehnya membuatnya merasa tenang untuk sesaat. Saat mendongak, Jungkook bertemu mata dengan Julien. Pria itu tersenyum, begitu tipis, sekali untuk waktu yang amat jarang Julien menatap balik padanya tanpa memalingkan wajah, membuat Jungkook mau tidak mau terus melanjutkan acara saling tatap mereka karena tentu saja anak itu menolak memalingkan wajah lebih dulu. Itu juga yang membuat Jungkook teringat, ia sering diam-diam mengangumi mata biru Julien, yang kini tampak lebih abu dan pucat di bawah penerangan minim.

Ketenangan di wajah pria itu membuat Jungkook seketika ingin mencibir, “Kau seperti orang yang baru selesai berdoa. Ayat mana yang kau lapalkan? Tidak, tidak. Kau pasti pakai syair, kan Ju-Gibran?”

“Satu bait, ya. Tapi milik Rumi. If light is in your heart, you will find your way home.

Jungkook ternganga, “….wow. Kau dengar itu, Jean? Julien-Jallaludin Rumi kita. Voilà! Voilà!” Jungkook bertepuk tangan setengah hati, sudah menyangka Jean akan ikut tertawa di sisinya. Tapi saat dilirik, wanita itu malah tersenyum penuh arti. “-kau tahu…” Jungkook diam-diam kecewa, karena ternyata ia bukan orang pertama dalam rahasia Julien.

Jean tersenyum, mengangkat alisnya sekali tanda setuju. “Julien bisa menghabiskan karangan Rumi, Gibran, Sanai, lima buku dalam sehari. Apalagi kalau si tolol ini sedang menginap di tendaku karena satu dua tulangnya cedera. Julien terlalu takut Mayor-Dechlan menemukan buku-buku tipis itu di bawah kasurnya, atau lebih parah Private-Martinez yang menemukannya?”

Julien tertawa. “Nightmare.”

“Mayor-Dechlan?” Jungkook ternganga.

Big Boss.” Julien menimpali.

Jawaban yang tidak membantu karena Jungkook makin melongo mendengarnya. Ia tahu Arthur mantan militer, tapi duduk di jabatan Mayor?! Harus dijambaknya janggut Arthur begitu mereka bertemu nanti.

“Aku yang membantu Julien menyelundupkan buku-buku Persia ke kamp dulu, dulu sekali.” Jean mengangkat alis, meringis tipis, cara matanya menatap Jungkook seperti wanita itu tengah mengenang memori yang hampir tidak ada bagusnya.

“Soraya yang menyelundupkannya, kau cuma kurir, ingat?”

Senyum di wajah Jean lenyap begitu nama itu terucap. Jungkook menangkap kilat sedih di mata wanita itu, yang berlalu secepat tangannya yang bergeser ke samping. Lalu Jean tertawa miring.

“Kau benar. Soraya yang manis. Dua buku dibawanya tiap perjalanan Kabul ke Herat, dua buku di balik Burqa. Untuk Julien-agha.”

Julien tidak mengatakan apapun, sikap yang membuat perut bawah Jungkook keram tiba-tiba. Julien yang biasa akan gugup dan segera minta maaf, bahkan untuk hal yang bukan jadi kesalahannya. Apa pria itu memutuskan untuk menyesap kokain sebelum naik ke van ini?

Jungkook merasa, saat itu, baik Jean dan Julien tengah mengorek luka lama yang dikubur buru-buru dan terpaksa. Jungkook tidak mengenal siapa itu Soraya, dimana dia berada, apa yang terjadi padanya. Namun Jungkook mengecap baik-baik dampak yang terjadi.

Suasana tegang sesaat sebelum Arthur turun berganti dengan kecanggungan. Rasanya tiap oksigen yang dihela Jungkook sudah bercampur dengan kenangan-kenangan pahit yang hanya dipahami Jean dan Julien. Jean beralih menyibukkan diri pada senjata di tangannya, sementara Julien masih menatap wanita itu dengan tatapan kosong yang sama.

“Bisa bahas sesuatu yang bisa kupahami? Kamer Riders? Teenage Mutant Ninja Turtles?”

Tidak ada yang menanggapi candaan Jungkook. Hanya tinggal mereka berlima disana. Armitrage di kursi setir dan Tristan di sisinya melirik satu dua kali melalui spion mobil. Keduanya pasti mendengar obrolan mereka, dan Jungkook bertanya-tanya apakah hanya dirinya di dalam kendaraan itu yang tidak memahami ‘alasan sesungguhnya’.

“Aku sering berpikir, bagaimana jadinya kalau malam itu kau tidak langsung mendatangi Jendral, seandainya kau memilih mendatangi Mayor Dechlan dan bukan Jendral. Kau selalu datang pada boss dan Martin lebih dulu, selalu. ‘Mereka lebih tahu’, kau juga yang menyarankan padaku. Tapi kau malah datang pada bajingan itu lebih dulu…”

Jean tidak menanggapi, wanita itu malah lebih sibuk mengecek senjatanya. Tiap detik jarinya bergerak makin cepat. Sikap aneh Jean dan Julien membuat Jungkook ikut-ikutan menggenggam pelatuk senapannya, lalu duduk tegap ke posisi siaga.

“Julien… Aku tidak suka percakapan ini, bisa kalian lanjutkan di markas baru saja?”

Julien mengabaikannya, pria itu masih tersenyum lirih pada Jean, menyambung kalimat demi kalimat yang membuat tengkuk Jungkook meremang.

“…Mungkin kau dan Martin sudah akan jadi Mayor, atau punya rumah sakitmu sendiri. Saat ini Max pasti sudah masuk SMA. Dan birdie mungkin tidak perlu duduk disini.”

“Kau menyesal sekarang? Baru ingin menyalahkanku sekarang?” Jean seakan menyerah, senapan panjang yang diceknya buru-buru kini terkulai di tangan. “Apa karena itu kau mempreteli amunisiku?”

Sorry, Jean.”

Jean tahu ia tidak punya banyak kesempatan dengan senjata tanpa peluru. Wanita itu membiarkan instingnya bekerja, sedetik ia melihat pantulan tubuh Armitrage dan Tristan melalui kaca belakang van. Tristan sudah hampir mengayunkan tangan padanya saat dalam satu gerakan cepat Jean membalik senapannya dan menghantam kepala dua pria di kursi depan bergantian menggunakan ujung poporPukulan pertama menghantam tengkuk Tristan, dan ujung laras di pukulan kedua tepat mengenai mata kanan Armitrage.

Mobil membanting ke sisi jalan. Suara tabrakan memilukan, besi berderit dan koyak membanting sisi jalan yang berbatu. Suara erangan Armitrage terdengar dari depan, darah merembes dari matanya yang terluka sementara Tristan terhimpit di antara mesin. Jungkook dan Julien tersungkur ke arah berlawanan. Jean bangun tertatih, terburu-buru menggunakan ekor senapannya untuk memecahkan kaca mobil, membuka jalan cukup besar untuk dilewati seseorang.

“Keluar, Birdie! Lari dan jangan berhenti.”

“J-Jean-

“KELUAR!

Terlalu banyak hal terjadi dalam 20 detik, Jungkook tidak sempat berpikir. Yang diingatnya hanya ketakutan bercampur adrenalin. Begitu Jean menerjang Julien, Jungkook melompat keluar. Ditelannya mentah-mentah sakit di otot bahunya yang terbentur sisi mobil, atau keram di bawah perutnya. Setelah dua langkah tertatih, Jungkook melangkah lebih cepat ke sisi kanan jalan, lalu berlari, masuk ke dalam hutan.

Urusan tangan kosong, Jean tahu ia punya kesempatan. Melawan Julien, Armitrage, Tristan, atau ketiganya sekaligus. Tapi diantara mereka semua, hanya satu orang yang tidak memegang senjata lengkap beserta amunisinya. Dirinya. Keputusan tolol untuk menerjang Julien, pria itu bisa saja meledakkan kepalanya dengan sekali tembakan. Tapi pria itu justru membalas serangan Jean dengan laras senjatanya, mengelak.

Jean berhasil mendaratkan pukulan ke perut Julien, ke wajahnya, ke bahunya, sampai pria itu mundur, terantuk jendela belakang van. Tangan wanita itu bergerak segesit, hampir merebut senjata di tangan Julien saat satu tembakan meledak, menembus bahunya. Wanita itu mengigit bibir, menahan erangan sementara tubuhnya terantuk ke depan, jatuh berlutut.

“Kau tahu ini sia-sia.”

Jean tahu, tapi ia membeli waktu untuk Jungkook. Meski pada akhirnya, perkelahian tiga lawan satu itu berakhir sesuai dugaan. Jean tersungkur di lantai van, kaki dan senjata menahannya tetap disana.

You know I love you like you are my own sister, right?

Jean meludahi moncong senjata itu, dua puluh sentimeter di depan wajahnya. “Tolol,” wanita itu tersenyum, meski mengumpat. Rahang kirinya ungu memar dan darah mengotori ujung bibirnya. “Kau yang paling tolol diantara kita semua, kau sadar itu?”

“Aku tahu.”

“D.E.A atau David?”

Julien tidak menjawab. Lebih baik begitu, karena Jean tidak benar-benar ingin tahu. Namun senyum Julien begitu lirih, lewat sorot mata itu juga Jean tahu bahwa ia sudah tidak bisa lagi menawar situasi ini.

“Bunuh aku, tapi biarkan anak itu pergi, Julien.” Jean terengah. “This is our war. Not his.”

Julien mengangkat senapannya dalam satu ayunan lemas, pria itu melirik Armitrage dan Tristan sekilas. Dua pria yang siap menyelesaikan ini bila Julien tidak bersedia mengakhiri. Jadi diangkatnya senjata lebih tinggi. Kalau Jean harus berakhir disini, Julien tidak ingin tangan orang lain yang melakukannya. Harus dirinya.

This is our war, right.” Julien membuka kunci senjatanya, suara klak kecil terdengar. “But they want him. Dan ini jalanku untuk pulang, kuharap kau mengerti, Jean.

.

.

.

.

.

Jungkook mendengar dua kali letupan senjata jauh di belakangnya. Suara tembakan pertama membuat kakinya berlari lebih cepat, tidak peduli pedih merongrong di pinggul hingga perutnya. Suara tembakan yang kedua, letupan samar terpaut jarak, namun seakan mengirim angin dingin ke tengkuknya. Begitu mendengarnya, Jungkook tersandung dan jatuh berlutut.

Siapa?

Siapa? Jungkook ingin menampar wajahnya sendiri, tanpa sadar airmatanya meleleh deras. tertatih-tatih ia bangun lagi, melanjutkan langkahnya dan kembali berlari, menolak menyerah pada rasa sakit.

Tentu saja dia tahu siapa. Hanya satu orang di sana yang tidak memiliki senjata lengkap dengan pelurunya.

Mati-matian Jungkook menahan suara, anak itu berhitung, berpikir, ditengah ketakutan dan rasa sakitnya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan Julien untuk mengejarnya? Ia tidak kenal tempat ini, jauh di depan tidak ada apapun selain kegelapan dan pohon-pohon pinus menjulang. Harus berapa jauh langkah diambilnya untuk melihat cahaya kota?

Semakin dalam Jungkook berlari menuju gelap tanpa ujung, membuat ketakutannya berubah jadi kenekatan. Tidak ada kota. Yang ada hanya dirinya, di tengah hutan gelap tanpa ujung, membawa senapan tanpa peluru, dan tiga orang pria lengkap bersenjata mengejarnya. Mereka akan membunuhnya. Sejuta skenario kematian sudah dibayangkannya sejak hidup bersama Arthur, tapi Jungkook tidak siap. Tidak sekarang.

Pemuda itu membungkuk gesit, mencengkeram bawah perutnya sambil melepas sepatu dan melempar benda itu sejauh-jauhnya. Dilepasnya jaket dan gelang, benda-benda yang mungkin menimbulkan gemersik pelan.

Terbayang olehnya sosok Kwan, dengan tubuh sedikit tambun sanggup bergerak tanpa suara. Semua berasal dari napas. Jungkook menelan emosinya, meski dadanya seakan berat memilih untuk meledak saja. Satu kali ia menghela napas, berusaha mendengarkan detak jantungnya sendiri. Langkahnya tanpa alas kaki, kini menapak lebih halus di atas tanah dingin.

Jungkook berhenti di satu pohon, terbesar dan terdekat yang bisa dilihatnya dalam gelap. Ia sembunyi di sana, berdiri, menunggu, digenggamnya Saiga-12 bagaikan tombak.

Bisa didengarnya suara mendekat, langkah-langkah kaki berat. Jungkook menatap lurus, berusaha membayangkan. Satu orang, nalurinya berkata. Mereka memutuskan untuk berpencar dan ini akan jadi kesempatannya. Cahaya bulan dan bayangan besar pohon pinus membantunya sembunyi. Sementara sosok itu bergerak di bawah sinar redup bulan. Jungkook berhenti bernapas, ia bisa melihat bayangan gelap di atas tanah merayap ke arahnya. Saat sudah begitu dekat, naluri membuat mereka saling bertatapan.

Tristan tidak menduga Jungkook akan berdiri disana, sementara Jungkook sudah menunggu situasi itu. Jungkook menghantam ujung popornya ke wajah Tristan, dua kali sekuat tenaga. Pria itu terhuyung ke belakang dan Jungkook tidak memberinya kesempatan. Jungkook memukul tengkuk dan lehernya, menutup jalan napasnya selama beberapa detik dan merenggut shotgun di tangannya.

Senjata itu di tangannya dan Tristan berdiri terhuyung, hanya dua meter di depannya. Belum pernah Jungkook merasa ia memegang senjata dengan posisi sesempurna ini, tapi membayangkan dirinya harus menarik pelatuk dan membunuh seseorang…

“Kupikir kau temanku.” Jungkook mundur selangkah, telunjuknya menempel erat di pelatuk.

“B-Birdie–“

Apakah satu tembakan akan memancing Julien dan Armitrage kemari? Tentu saja. Suara letupan sekeras itu akan menyentak keheningan hutan. Jungkook masih berembuk, untuk pertama kalinya mengotori tangannya dengan nyawa seseorang saat suara letupan lain mendahului.

DARR!

Letupan itu begitu dekat, dan hal yang bisa dilihat Jungkook selanjutnya adalah kening hancur Tristan. Daging dan otak merembes dari sana, sementara darahnya bersimbur membasahi wajah Jungkook.

Begitu tubuh Tristan ambruk ke tanah, sosok Armitrage tampak jelas lima meter di belakangnya.

“Kau terlalu lama memutuskan, kami tidak bisa menunggu, birdie. Jadi kuselesaikan untukmu.

“You fuck!” Julien memekik, didorongnya bahu Armitrage penuh amarah. “Kau hampir meledakkan kepalanya! Bagaimana kalau peluru itu tembus?! Dia mau Jeon Jungkook utuhJangan macam-macam, man!

“Tapi dia baik-baik saja! Lihat, seperti dugaanmu. Dia bakal menang kalau cuma satu lawan satu.”

Jungkook gemetar, menekan pelatuk tanpa henti namun senjata Tristan hanya bersuara klak klak klak tanpa meledakkan satupun tembakanPemuda itu mundur ketakutan, matanya perih dan sekujur tubuhnya berubah dingin. Dadanya begitu sesak hingga tidak ada setetespun airmata sangup meleleh lagi.

Jungkook berbalik, berlari. Ia hanya perlu berlari. Mungkin keberuntungan lain akan berpihak padanya, seperti saat orang-orang itu memburunya di bandara. Arthur akan datang, Arthur akan menyelamatkannya.

“Arthur…” bisik Jungkook sambil tersedak.

Suara tembakan keempat terdengar malam itu. Jungkook merasa seakan kakinya masih berlari cepat, sampai ia sadar tubuhnya ambruk. Lima detik kemudian rasa sakit itu muncul, merongrong dari betis kanannya. Baru kali itu ia merasakan kesakitan dan ketakutan sekaligus, tubuhnya terpekur gemetar di atas tanah. Jungkook hampir melolong, namun napasnya terlalu tersendat-sendat hingga suara dari bibirnya pun terputus-putus.

“J-Julien… Pl-Please…”

I’m sorry, Birdie.” Julien menatapnya dari atas.

Armitrage mengatakan sesuatu di belakang Julien, Jungkook tidak benar-benar mendengarkan, karena hal terakhir yang diingatnya adalah ujung popor Julien melayang menghantam kepalanya.

.

.

.

.

.

.

Trying to finish this title so I can die in peace.

Conflict right, anyone? Well, not there yet.

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Braven – 27. Paradox”
Beranda
Cari
Bayar
Order