3. Friends with Benefit (M)

Author: Miinalee

So I’m on writer block.

And I read that one way to heal it is… 

by writing trash, without any consideration of quality or whatsoever. 

So here we are.

Don’t expect anything let’s take this as a trashy runaway.

INI MATURE BENERAN YA DAN SAYA MALES NGELOCK AS BERBAYAR

JADI PLEASE PLEASE PLEASE GUYS IF YOU ARE UNDERAGE, 

PLEASE SKIP THIS CHAPTER PLEASE.

underage dilarang baca chapter ini, ntar ditampol dedek ini, mau?

underage dilarang baca chapter ini, ntar ditampol dedek ini, mau?

.

.

.

.

Jungkook tidak tahu apa yang dicarinya. Karena jika bicara rasa, jelas jauh berbeda. Dari beragam pengalamannya, puluhan bibir, kulit, dan tangan, tiap orang meninggalkan khas yang berbeda. Belum satu pun memuaskan emosinya sejak kejadian empat tahun lalu. Atau justru ingatannya yang mulai tergerus. Yang tersisa dari kenangannya dengan Bruce malam itu tinggal angan-angan, bahwa ia sungguhan mengingat rasanya bersentuhan dengan Bruce Wayne tanpa sehelai benang pun menghalangi… saat kenyataan yang terjadi… Jungkook tidak benar-benar mengingat rasanya lagi.

Saat bibir Arthur merayap di tengkuknya, turun ke dada. Pria itu menunjukkan sisi lain yang jelas jauh berbeda dari tampang bengisnya. Gerak lembutnya seakan mengenalkan Jungkook dua kali, pada pria yang sama, dengan karakter yang berbeda.

“Ada permintaan khusus?” katanya sembari membuka celana. Bisa bisanya pria itu membuat Jungkook nyaris telanjang bulat sementara dirinya sendiri masih utuh dalam balutan pakaian.

Um.” Jungkook hanya mengangguk angguk, yakin pada pengalamannya sendiri. Sampai ia melihat kejantanan Arthur.

“Jes—” Jungkook terenyak. “—sus?” sambungnya dengan mulut menganga. Cepat sekali ia berubah pikiran. Posisinya yang semula pasrah kini berubah tegang, dua kakinya masih terbuka lebar, tapi ditahannya perut Arthur agar pria itu tidak maju lebih jauh dan benda itu tidak menyentuh selangkangannya.

“Ok—oke, kurasa butuh pemanasan, Arthur,” suaranya nyaris gemetar.

Arthur meliriknya dan tersenyum tipis, seakan-akan paham.

Alright,” kata pria itu sambil berlutut lagi, mengamati tubuh Jeon yang berbaring pasrah masih dalam balutan kemeja putih. Dari pinggul ke bawah tidak ada sehelai benangpun melindungi kulit pucat Jeon. Jadi mata tajam itu menelisik, seakan mencari sesuatu yang barangkali bersembunyi di balik kulit pucat Jeon.

“Aku minta pemanasan bukan minta dijadikan tontonan.”

“Sabar, girl.”

It’s misgendering, you know?”

“Begitu? Walaupun kau suka mendengarnya?”

Jeon sudah berusaha menahan diri, tapi seringai begitu tipis tetap melengkung miring di bibirnya.

Okay, kau boleh roleplay. Kalau itu fetish-mu. Tapi di ruangan ini saja. Kalau kudengar kau panggil aku girl di luar ruangan ini, kubakar tridentmu di Mount Doom.

Arthur terbahak, tawa menggelegarnya terdengar begitu kencang sampai Jeon khawatir akan ada yang mendengar mereka.

Pelan-pelan, Arthur!” desisnya sambil menarik leher Arthur, membekap pria itu ke lehernya agar tawanya berhenti. Tapi salah besar membawa wajah pria itu ke tengkuknya, Arthur langsung menggigit lehernya, menyesap kelewat kuat sampai Jungkook mengerang. Berat suara pria itu berembus di tepat di telinganya.

“Kau satu dari sembilan pembawa cincin ya?”

Jeon hampir terperangah, tadi nyaris menyesali komentar culunnya. Tapi tidak disangkanya Arthur akan mengerti. “A geek aren’t you? Kalian nonton Lord of the Rings juga di Atlantis?”

“Aku besar di Maine, boy.”

“Jadi aku boy atau girl?”

“Kau suka yang mana?”

“Aku bisa dua-duanya,” apalagi untuk Bruce Wayne. Untuk Wayne, Jeon bersedia jadi apa saja.

Senyum Jeon turun sedetik, nyaris saja bibirnya melengkung murung. Tapi buru-buru ditepisnya ingatan perih itu sebelum Arthur menyadari. Sengaja ia mengibas-ibas poninya, pirang pucat agar tergerai bebas menutup kening dan telinganya. Ditanggalnya tiga belah kancing, agar mata Arthur punya akses lebih untuk menikmati kulit dadanya. Halus dan pucat.

Ia pernah main begini, dengan seorang mahasiswa Dublin, satu atau dua tahun lalu. Menyenangkan juga kadang-kadang. Bermain dengan suaranya, diayun sehalus mungkin mengingkari kodratnya sebagai pria.

Sooo…. You like it?” ujarnya sambil berpose di atas ranjang, sensual dengan dua kaki ditekuk tinggi.

Arthur mengangguk kecil dan hanya ber-“Hmm mmm.” 

Ada satu kalimat yang begitu kurang ajar melintas di benaknya, hampir terlontar, tapi beruntung berhasil ditahannya. Gatal sekali ia ingin bertanya, kau punya side job jadi pelacur, nak? Komentar itu mungkin akan membuatnya kehilangan kesempatan ini. Kehilangan sepasang kaki jenjang, pinggang ramping, kulit terlembut yang mungkin pertama kali dilihatnya dimiliki lelaki. Jadi Arthur menahan diri. “Hmm mm,” katanya lagi.

“So we’re gonna fuck or you only want to creep me out, man?”

“Aku sedang cari celah,” katanya,  akhirnya merayap pada Jeon. Tubuh mereka hampir merekat, membuat Jeon berpikir Arthur mungkin berniat merengkuhnya dan memulai perjamuan mereka. Tapi pria itu malau merengkuh kerah kemejanya, Jeon tidak diberi kesempatan untuk memahami situasi sampai Arthur menarik kemejanya, sobek hingga ke bawah.

“ARTHUR!” Jeon memekik, lehernya perih, mungkin ada gurat memar membekas hasil tarikan kerah kemeja. Tapi ada yang lebih penting, “IT’S A FUCKING YSL!”

Arthur tidak meladeni, pria itu malah membungkuk tepat di celah tangan Jeon, di sisi kiri tulang rusuknya, dekat ketiak. “Disini, kan?” katanya sambil menggigit.

Mulut Jeon sudah terbuka untuk memaki Arthur atas kemeja rusaknya, tapi yang keluar bukan makian. Jeritan melengking dan tubuh melengkung, seakan ada sengatan listrik tiba-tiba datang dari sisi dadanya.

“JESUS!”

Arthur tertawa, bukan berhenti, makin besar ia melahap bagian itu. Kulit lembut itu basah, kenyal, dan beraroma susu. Entah sabun atau parfum apa yang dikenakan Jeon, Arthur memastikan lidahnya menyesap dan mengusap kulit itu bagai menikmati kudapan malam.

“Lucu. Orang biasa pasti di leher. Tapi kau di bawah ketiak.”

“Berisik!” Jeon mengeram malu. Ini pengalaman pertamanya, lawan seksnya tahu langsung dimana daerah tersensitifnya berada. Pemuda itu menutupi rasa malunya dengan mendelik pura-pura geram. Tapi Arthur membaca ekspresinya, begitu mudah. Kalau pria itu bilang tampangnya menipu, Jeon harus mengakui kalau tampang Arthur juga sama menipu.

Lembut sekali senyumnya terulas saat ia mengusap bawah ketiak Jeon dengan jempolnya yang besar. Jeon melenguh, sambil menggeliat, malu sendiri membayangkan penampakan dirinya sekarang. Seperti apa keadaanya di mata Arthur?

“Aliran darahmu paling kencang disini, aneh juga. But this is fun.”

Jeon dibuat kesal. Padahal ia yang berniat berkuasa, tapi Arthur membuatnya menggelinjang, dua kali, saat kondisinya tidak imbang. Dirinya sudah sepenuhnya telanjang sementara Arthur hanya menurunkan sedikit celananya.

Fucking forget preparation, just fuck me already, aku tahan pincang sehari!” katanya geram sambil mempreteli celana Arthur, sambil mengumpat, karena sialan kenapa pria ini besar sekali dan memutuskan menggunakan jeans? Agak perih jarinya saat ia berusaha menarik turun celana pria itu.

Arthur hanya menonton kelakuannya, membiarkan, sambil menyeringai.

This should be sex only, stop charming me, girl. I might fall in love with you.”

“Aww.”  Jeon mencibir,Sayangnya hatiku sudah taken.” 

Arthur tertawa, apalagi saat melihat bibir tipis ranum itu mengerucut dengan gaya dibuat-buat untuk mengejeknya. Diraihnya dagu Jeon dan dilahapnya bibir itu. Bukan sekedar saliva terlibat. Jeon mengerang Arthur memagut bibirnya kelewat kasar, janggut menggesek kulit wajah pemuda itu. Arthur tidak berniat mengatakannya, tahu akan dijadikan bahan ejekan. Tapi ia menyukai lembut kulit wajah pria itu, lebih lembut dibanding kulit-kulit yang pernah dikecupnya. Jadi disesapnya sekali lagi pipi montok Jeon, diselanya dengan gigitan, dan jilatan.

“Kau benar-benar suka main lidah, ya,” anak itu berkomentar, lalu tertawa. Cara senyumnya  menular hingga Arthur ikut tersenyum juga. “Kau berat, biar aku yang di atas.”

Arthur dipaksa berbaring sementara Jungkook duduk di atas perutnya. Ngotot sekali anak itu membuat mereka imbang telanjang, tapi Arthur menikmati saja. Meski sejujurnya ia kurang menyukai posisi ini. Membiarkan pemuda semulus ini berjuang sendiri?

“Berhenti menatapku begitu, Curry.” Jeon sedang mempersiapkan diri, berlutut diantara perut Arthur sambil memegangi kejantanan pria itu.

Jeon ingin Arthur tidak memperhatikan, itu permintaan yang amat sulit saat Arthur disuguhi pemandangan Jeon… begitu fokus mempersiapkan dirinya sendiri menggunakan jari sambil mengangkat diri tepat di atas kejantanan Arthur.

“Kita baru bertemu sehari, jadi ini…. hanya….” Jeon melenguh, saat kepala Arthur masuk ke tubuhnya. “S-seks.”

Bisa-bisanya pemuda itu masih berusaha bicara, berusaha mempertahankan seringainya, saat ia menyatukan tubuhnya pada Arthur sambil menghentak turun.“Not making love.”

Sure.” Arthur menjawab tenang, membiarkan Jeon beraksi semaunya. Tempo ini terlalu lambat dan kurang dinikmatinya, tapi pria itu mengerti Jeon tengah mempertahankan egonya sambil berusaha menyesuaikan diri. Suara lenguhan dan desahan yang dibuat pemuda itu di atas tubuh Arthur, membuat pria itu ingin sekali membanting posisi mereka secara tiba-tiba.

Arthur menggigit bibir bawahnya, menahan diri. Masih ingin menonton pemandangan ini. Jeon berjuang menghentak naik turun sendiri di atas Arthur? Matanya terpejam, bibirnya terbuka dan mulai basah, merah karena tergigit berkali-kali. Arthur mengangkat tangannya, terlalu refleks menuruti naluri untuk mengusap pipi lembut itu menggunakan ujung jarinya. Bibir Jeon gemetar, ada kata-kata aneh berbisik pelan sekali meluncur beberapa kali dari bibirnya.

Setelah beberapa kali, baru Arthur menangkap kata itu.

Master…

Kau mengejekku, tapi fetish-mu lebih aneh kid. Kau membayangkan orang lain saat ini, kan? Tapi tidak bisa, tentu saja… karena aku lebih besar.”

Komentar itu membuat Jeon makin melambatkan diri, pemuda itu membuka mata, alisnya bertaut tidak senang. Tapi terus saja ia menghentak di atas tubuh Arthur. Tepat saat Jeon menghentak turun kelewat kuat, Arthur menangkap pinggangnya, menghentikan pemuda itu dengan langsung membanting tubuhnya. Sebelum Jeon sanggup protes dan memberontak, Arthur menindihnya, menggunakan seluruh bobot tubuhnya sambil menahan kaki Jeon tinggi untuk dijadikannya ruang bergerilya.

“Dan baiknya kau lebih banyak di bawah kalau denganku. You’ll like it.

Jeon sudah membuka mulut, hampir menyerukan nama Arthur. Tapi yang keluar seruan tertahan.

.

.

.

.

.

.

Pun bila dengan langkah pincang, Jeon tetap ngotot mengantarkan ini itu selama ia diizinkan bolak-balik keluar masuk ruang kerja Wayne. Mungkin setiap orang di ruangan itu menyadari betapa satu langkahnya terlihat begitu menyakitkan. Tapi tidak seorang pun berkomentar, mungkin tahu artinya meski tidak tahu dengan siapa. 

Sedang Jeon, masih dengan polosnya menebar senyum dan berusaha membuat Wayne bicara padanya.

Hari itu semua orang datang pagi-pagi. Termasuk Barry dan Arthur yang memang sudah bermalam disana. Mereka membawa sesuatu, benda kotak berlapis metal dan ukiran tidak terbaca. Jeon tidak tertarik sama sekali, tapi satu dia kali ia pura-pura bertanya ingin tahu, yang berakhir membuatnya diabaikan oleh Wayne. Barry yang justru menjelaskan padanya,

“Itu Mother Box. Jangan dekat-dekat, kau bisa luka.”

Jeon tidak akan mengaku, tapi komentar itu menyakiti hatinya. Selain Wayne, hanya dirinya yang lahir sebagai manusia biasa di ruangan itu, mungkin itu juga alasan Bruce Wayne enggan berhubungan dengannya lagi. Manusia biasa tidak bisa diandalkan untuk menyelamatkan dunia.

“Aku bisa bantu sesuatu, Master Wayne?”

“Tidak, Jeon. Bawakan nampan itu ke dapur, dan temui Alfred setelah itu.”

Tapi Jeon pantang menyerah, dengan lap hitam di tangan ia menghampiri pigura lain. Tampak antik diletakkan di dekat monitor besar Wayne.

“Aku bisa bantu bersihkan yang itu!”

“Bisa kau tinggalkan ruangan ini sekarang, Jeon? Kau tidak dibutuhkan lagi disini, silakan bersihkan yang lain di tower Maria.” Wayne meminta sopan, tapi siapapun tahu permintaan itu agak menyinggung. Senyum manis Jeon menghilang untuk dua detik, kesedihanya ditahan mati-matian dan dibungkus oleh senyum lebar lain. Arthur menangkap itu sebelum Jeon mengitari ruangan lagi, memohon sesuatu untuk dikerjakannya.

“Kau bisa bantu aku baca ini. Entah aksara apa ini, mungkin bahasamu?” katanya sambil membuka-buka lembaran besar di atas meja. Jeon segera menghampirinya, senang diberi alasan untuk tetap tinggal disana.

“Tolong minta sesuatu untuk dikerjakan pada Alfred, Jeon.”

“Biarkan saja, dia tidak mengganggu.” Diana berkomentar tanpa melirik, wanita itu mengitari meja, matanya terpatri menatap sesuatu di atas map-map dan kertas-kertas.

Jeon mulai kesulitan tersenyum. Bibirnya diangkat-angkat terpaksa hingga tampak seperti ringisan. Bila ini situasi biasa, dimana Bruce berulang-ulang menyuruhnya pergi, mungkin ia lebih terbiasa meladeni. Tapi dua orang di ruangan itu membelanya, ini baru pertama kali terjadi.

Pura-pura mengerti, Jeon menyentuh kertas yang ditawarkan Arthur, menunduk menatap benda itu lama-lama sambil berkedip-kedip berkali-kali. Bisa jadi bencana kalau airmatanya menetes dan merusak benda itu. Ia bahkan tidak yakin seberapa pentingnya perkamen ini.

“Soal sehari… aku tidak yakin akan jadi sehari…” Arthur tiba-tiba berkomentar padanya, suara pria itu pelan, menghindari agar telinga lain tidak mendengarnya. “Bilang padaku kalau kau ingin pincang lebih lama lagi, oke? Mungkin kau berminat seminggu? Dua minggu?”

Jeon mendengus, menahan tawa sekaligus airmata.

Shuddup!’ katanya sambil bisik-bisik. Ada komentar menggelikan lain ingin dilontarkannya, ia hanya ingin mengobrol dan terlibat di ruangan itu. Mulutnya sudah terbuka nyaris menyampaikan suara, saat tiba-tiba ada dorongan lain datang bertubi-tubi. Seakan otot perutnya meremas lambungnya, dan serangan itu datang berbondong-bondong dari perut, ke dada, dan naik ke kerongkongannya.

HHHK—”

Jeon mengatup mulutnya segera, ketakutan bila ia muntah tiba-tiba. Tapi suara itu terlanjur terdengar seluruh telinga, yang kini menatapnya. Pemuda itu sontak berpegang ke meja menggunakan tangan kirinya. Saat mengintip isi telapak tangannya, tidak ada yang keluar selain setetes kecil saliva membasahi katupan tangannya.

Arthur menunduk padanya, menatapnya dengan mata membelalak, wajahnya menyampaikan  seribu macam arti tidak terbaca dan Jeon dengan segera mengabaikannya.

See? Seharusnya kau pesan jus jeruk saja semalam.”

Shuddup! Aku yang menggendongmu waktu kau mabuk sampai pingsan, Mr. Flash.”

ReaaallyKupikir Arthur?”

“Ya! Ya, kan Arthur?”

“Kami gotong-royong.” Arthur membalas sambil mengusap kepala anak itu.

See! Jangan mabuk lagi lain kali, Mr. Flash.” Jeon masih sempat meladeni candaan itu, tapi tangannya meremas-meras perut. Ada rasa mual menjadi-jadi yang disadarinya akan memancing muntahan lain.

“Permisi.” katanya, akhirnya menyerah dan buru-buru keluar dari ruangan untuk mencari toilet.

.

.

.

.

.

.

.

Ini ada yang baca gasi? WKwkwk apa aku buat sendiri aku baca sendiri wkwkwkwkwk

Reviews

  1. AuPembaca

    The size different feel, idk kalok si bapak laut bakal fall over heels di malam panas bersama. Well if it’s Jeon Jungkook then aku bisa relate

Add a review
Beranda
Cari
Bayar
Order