KKB -3. Miscarriage?

Author: A Little Bits of Everything

Seoul malam hari saat musim hujan tak ubahnya seperti saat

salju turun. Terlalu dingin. Taehyung merapatkan jaketnya, padahal mereka sekarang berada di dalam mobil Namjoon. Tapi rasanya dingin di luar sana sudah berhasil menyelinap masuk ke dalam mobil. Ditambah dengan dingin AC mobil yang tidak boleh dikecilkan oleh Seokjin, damn. Taehyung hampir menggigil kedinginan.

Taehyung melirik ke samping, ke arah Jungkook yang tengah menunduk sambil mengerat bajunya sendiri. Bukan, pandangan Taehyung sebenarnya bukan tertuju pada Jungkook, tapi justru tertuju ke arah jaket biru yang dikenakan Jungkook. Ah! andai Taehyung yang menggunakan jaket tebal nan mahal itu! Dia pasti tidak kedinginan sekarang!

Taehyung mendengus. Ia memalingkan pandangannya ke luar jendela. Daripada ia bertambah kesal dan melampiaskannya pada mutan cengeng ini, lebih baik ia memandangi jalan sepi dan satu dua mobil yang melayang berlalu-lalang di luar sana. Taehyung tidak berani mengambil resiko kalau Jungkook sampai menangis gara-gara dirinya. Grrrh! Andai tidak ada Seokjin di sini!

“Uhmm~”

Taehyung berjengit kaget, tangan Jungkook menyelinap ke pinggangnya. Sejak tadi Jungkook memang terus menempel pada Taehyung dan sesekali menyender di lengan Taehyung. Mungkin karena takut akan dimarahi, mutan itu berusaha menahan diri untuk tidak bergumul atau mengeluh. Namun di sini terlalu dingin, Jungkook sudah tidak tahan sampai akhirnya mutan itu beringsut makin merapat dan tanpa malu-malu memeluk Taehyung erat-erat.

“Ngghh~” Jungkook berusaha mencari tempat untuk membenamkan wajahnya. Meskipun Taehyung berjengit risih, Taehyung tidak menjauh sehingga Jungkook tidak perlu kesulitan untuk memeluk Taehyung.

“Aish, hush! Hush! Koo! Lepaskan aku!” bisik Taehyung risih.

Namjoon yang tengah mengendarai mobil sedikit terusik dan melirik dari spion tengah. Keningnya berkerut kala ia melihat Taehyung yang bergerak risih dan Jungkook yang memeluk sepupunya erat-erat.

“Ada apa, Tae?” pertanyaan Namjoon yang tiba-tiba ikut memancing Seokjin menengok ke belakang.

Hyung– risiiiih, dia tidak mau melepas aku, nih!”

Namjoon melirik dua bocah di jok belakang yang tengah rusuh bergumul itu, yang satu berusaha merapat dan yang satu berusaha menghindar. Sambil terus berusaha fokus ke jalan di depannya, Namjoon mengawasi Jungkook dengan kening berkerut. Mutan itu memang sedikit menggigil. Karena wajahnya sudah terbenam penuh di bahu Taehyung, Namjoon hanya menangkap sebelah telinga kucing Jungkook yang terlipat mengatup.

“Peluk saja Tae, mungkin Jungkook kedinginan. Biasanya memang ada mutan yang tidak cocok dengan AC kendaraan…”

“Tidak cocok dengan AC mobil?” Seokjin bertanya bingung. Pipinya menggembung begitu Namjoon mengangguk cepat tanpa berpaling dari jalan di depan mereka. “Kenapa tidak bilang?” ujarnya kesal sembari buru-buru menutup semua lubang AC yang ada di mobil.

“Kan kubilang memang ada beberapa, bukan semua.”

Taehyung merengut, baru saja ia ingin mengeluh, ‘Ya tidak perlu semua AC di tutup, kan? Pengap, hyung!’ tapi Taehyung menelan kembali protesnya.

“Cih,” cibir Taehyung dongkol. Di tatapnya Jungkook yang sudah tergolek lemas di lengannya dengan wajah kesal. Belum apa-apa, mutan ini sudah mengambil posisi maknae miliknya. Yang harusnya dimanjakan itu kan Taehyung! Bukan seekor mutan kucing yang antah berantah asal-usulnya!

“Kita sampai,” Namjoon menghentikan mobilnya di depan pagar tinggi yang menutupi sebuah bangunan besar di belakangnya. Seokjin melongok keluar, ia hanya sanggup menggigit bibir saat dilihatnya semua lampu di luar rumah Jimin padam.

“Kenapa gelap sekali, apa Jimin sudah tidur?”

“Ah masa? Kan kita sudah menelpon tadi,” Namjoon ikut-ikutan melongo dari dalam mobilnya. “Tae, coba kau keluar. Panggil Jimin.”

Taehyung menggerutu. “Tidak bisa, hyung. Nanti kucing ini menangis lagi kalau kubangunkan!” ujar Taehyung beralasan sembari menunjuk kepala Jungkook dengan dagunya. Mutan itu memang tengah bersandar tenang di bahu Taehyung, matanya terpejam rapat dan nafasnya berhembus lembut.

“Aish, yasudah aku saja!” Seokjin mengalah meski setengah tidak ikhlas. Pemuda mungil itu turun dari mobil, namun baru dua langkah dipijaknya, suasana gelap di luar mobil seolah terasa mencekam. Seokjin mengerut takut, tanpa pikir panjang ia memutar langkah dan kembali masuk ke dalam mobil.

“Loh? Kenapa, baby?”

Seokjin terkekeh malu. “Aku takut Joon-ah-baby, di luar gelap sekali~ Kau saja yang turun oke?” ujar Seokjin tersipu, ia buru-buru mengunci pintu mobil di sisinya, kalau-kalau barusan ada hantu yang naksir padanya dan bermaksud masuk juga ke dalam mobil.

Namjoon berdecak lalu menggeleng heran. Sebenarnya wajah malu bercampur takut Seokjin sangat menggemaskan, membuat Namjoon tergoda untuk mencium bibir ranum itu. Namun Namjoon buru-buru mengusir hasratnya. Sekarang bukan saatnya untuk bermesraan di dalam mobil.

“Ya sudah,” ujarnya mengalah lalu turun dari mobil.

Di jok belakang, Taehyung menjulurkan lidahnya saat Seokjin tidak melihat. Sejak tadi bibirnya bergerak-gerik, mencibir tanpa suara.

Beraninya marah-marah, tapi disuruh keluar mobil sendirian saja takut!’ ejek Taehyung dalam hati, tanpa sadar pemuda itu mencibir sambil menepuk-nepuk kepala Jungkook dengan sayang. Seolah sedang melullabykan anaknya, Taehyung merangkul kepala Jungkook dan menepuk-nepuk kepala kucing yang bersandar nyaman di dadanya itu sambil terus mencibir Seokjin.

Sedangkan korban cibiran Taehyung di jok depan masih tidak sadar. Lebih baik Seokjin tidak sadar atau Taehyung akan masuk koran dengan wajah babak belur besok pagi.

Seokjin membungkuk, ia memperhatikan Namjoon yang tengah mengobrol lewat kamera di sisi pagar rumah. Tidak sampai lima menit, lampu di depan pagar menyala terang dan gerbang terbuka otomatis.

Namjoon melangkah santai kembali ke dalam mobil. Ia menyalakan mesin lalu menyeringai jahil dari spion tengah, “Siap-siap untuk menggendong kucing itu lagi, Tae. Kau bilang dia akan menangis kalau dibangunkan, kan?”

Taehyung mendelik. “E-EH!” namun bumerang kata-katanya sendiri sudah terlanjur kembali pada Taehyung.

 

www

 

Hyung-aaaah!” Taehyung berteriak-teriak kalap. Ia menghentak-hentakkan kaki sambil menggerutu jengkel. Beban berat seekor mutan yang tertidur di punggungnya membuat Taehyung makin kesal karena pintu mansion Yoongi tidak kunjung terbuka.

“Sabar, Taehyung! Berisik sekali sih!”

“Biar saja, punggungku sudah serasa mau patah, HYUNG-AAAAAH!” Taehyung melepas satu tangannya yang menopang tubuh Jungkook untuk menggedor-gedor pintu. Tentu saja gerakan rusuh Taehyung membuat mutan dalam gendongannya sedikit terusik.

Jungkook bergumam samar. Lebih seperti mengeluh. Seolah berada di luar sadar, sambil terpejam mutan itu bergerak naik, mencari posisi aman dalam gendongan Taehyung. Ia makin mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya di ceruk leher Taehyung masih dengan mata terpejam.

“E-eh! Eh!” Taehyung menggerak-gerakkan Jungkook, berusaha membuat mutan itu menyingkirkan wajahnya di bagian sensitif itu. Rasanya seperti tersengat listrik, Taehyung merinding saat bibir dingin Jungkook bersentuhan dengan kulit lehernya. “J-Jungkook! Lepas! Lepas! Geli, gaaaah!”

Brakk!

“Berisik sekali maknae Kim!” pintu mansion pun membanting terbuka. Seekor mutan dewasa berdiri dengan ekspresi kesal terukir di wajahnya. Telinga kucing yang berukuran lebih besar dari milik Jungkook mengacung tinggi. Piyama pink yang ia kenakan tidak menghalangi gerak-gerik ekornya yang terus meliuk cepat.

Namjoon menelan ludah. Ia tahu apa artinya kalau seekor mutan menggerakkan ekornya dengan cepat seperti itu. Kalau tidak marah, gugup, atau ketakutan. Dan sepertinya Jimin tidak sedang gugup atau ketakutan sekarang.

“Berani sekali membuat keributan di mansionku!” seru Jimin dengan suara menggelegar, kontan membuat tiga pemuda di depan pintu itu ciut seketika dan seekor mutan di punggung Taehyung terbangun dari tidurnya.

“Ngggh!” Jungkook bergumul risih, mencoba kembali beristirahat namun suasana yang tidak nyaman membuatnya tidak bisa kembali tidur. “Huuungh!” marah karena merasa diganggu, Jungkook mulai menarik-narik jaket Taehyung dan meraung dengan suara parau. Bermaksud menyampaikan kalau ia butuh istirahat dan ingin tidur, sekarang di punggung Taehyung!

“A-Aish!” Taehyung mengeluh, putus asa karena tidak bisa membenahi pakaiannya yang berantakan karena ditarik-tarik oleh Jungkook.

“Eh?” Jimin melongo, bingung. Ia baru akan marah-marah sambil menunjuk-nunjuk wajah Taehyung tadi. Namun amarahnya lenyap seketika saat dilihatnya kepala hitam dan telinga kucing menyembul dari balik punggung Taehyung. “Mutan?” bisiknya makin bingung.

Hyung, biarkan kami masuk dulu!”

“E-eh? Iya, iya. Ayo masuk-masuk!”

 

www

 

Jimin tidak bermaksud melakukannya. Tapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak melotot saat ia memperhatikan sosok mutan yang berusaha sembunyi di belakang tubuh Taehyung. Memang, Jimin masih sedikit kesal pada sepupu iparnya ini. Tapi tidak pada mutan belia yang tampak begitu rapuh ini, beberapa kali Jimin mencoba meraih kepala mutan itu namun dengan cepat pula Jungkook menghindar dan bersembunyi di balik tubuh tinggi Taehyung.

“Kau apakan dia, Kim! Kenapa dia ketakutan begitu!” desis Jimin makin kesal saat ia tidak kunjung berhasil meraih Jungkook.

Taehyung menelan ludah susah payah. Sekarang di ruang tengah yang megah ini, dirinya, Jungkook, Namjoon, Seokjin, Jimin, dan Yoongi berkumpul dalam suasana yang lumayan canggung. Semua hanya diam saat Jimin sibuk mengomeli Taehyung.

“D-dia yang tidak mau lepas dariku, hyung! Aku tidak melakukan apa-apa!” ujar Taehyung membela diri. Frustasi karena terus-terusan disalahkan.

“Aish!” Jimin tidak bisa mengomel lagi, karena jujur, ia juga sedikit iba melihat Jungkook yang tampak makin ketakutan saat ia marah-marah tadi. Terlebih saat bibir mutan itu berubah sedikit pucat dan menggigil kedinginan. Jimin berbalik menghadap suaminya, tanpa ada yang tahu, sepasang suami istri itu saling melempar senyum sedih.

Hunny, suruh Paman Kim membuat segelas coklat panas.”

Ne, Minnie,” Yoongi tersenyum dan mengangguk, ia mengangkat lengan kanan dengan arloji yang melingkar indah. Dengan sapuan pelan, hologram muncul di atas arloji itu.

Ye, Tuan Min?’

“Paman, tolong buatkan empat gelas coklat panas lalu antar ke ruang tengah, ne?”

Ye, Tuan.’

Yoongi menutup arlojinya dan fokus pada suasana di ruang tengah. Jimin belum lanjut bicara, semua tampak takut untuk menyela sehingga suasana canggung itu semakin terasa canggung saja.

“Kenapa bisa mutan ini tidak mau lepas dari Taehyung? Kau bilang baru menemukannya tadi kan?” Jimin yang akhirnya memecah suasana hening di ruangan ini. Ia berujar dengan nada lebih lembut, mungkin lelah karena terus-terusan marah-marah, atau mungkin karena ia tidak ingin menakuti Jungkook.

Taehyung mengangkat bahu. Tentu saja ia tidak tahu kenapa Jungkook ngotot untuk terus menempel padanya! Itu bukan salah Taehyung!

“Oh iya, hyung,” Namjoon menyela. Ia mengeluarkan sesuatu dari balik jaket hitam yang dikenakannya. Sebuah collar, berbandul emas. Collar milik Jungkook. Namjoon memutuskan untuk melepasnya tadi, karena ia melihat ada bekas luka juga di leher Jungkook. Mungkin karena iritasi atau terlalu sering memakai collar ini. Dengan yakin, Namjoon menyerahkan benda itu ke tangan Jimin. “Lihat ini… Perhatikan bandulnya,” ujarnya sembari menunjuk bandul emas berbentuk koin besar itu.

Jimin memperhatikan collar itu dengan seksama. Ia sempat membolak-balik bandulnya, sampai sebuah ukiran di bagian belakang koin emas itu membuat mata Jimin mendelik seketika.

“Kami menemukan luka-luka di punggung dan sekujur perut Jungkook. Di leher juga. Dan sikap mutan ini terlalu antipati… Ia menolak disentuh siapapun selain Taehyung,” Namjoon melirik ekspresi Jimin dengan tertarik. Ia sudah menduga reaksi Jimin akan seperti ini. Namjoon hanya memastikan, ia merasa tahu siapa kelompok pemilik lambing itu, tapi ada baiknya memastikan kemari. Siapapun mereka, pemilik Jungkook pasti bukan dari kelompok orang sembarangan. “Bagaimana menurutmu, hyung?”

Jimin masih mengusap lambang yang terukir di balik bandul itu penuh hayat. Tentu saja mata kucing Jimin tidak akan pernah melupakan lambang kotor ini. Naga hitam yang melingkar membentuk spiral, ada taburan pasir berlian dan tidak lupa nama ‘Jungkook’ terpatri di bawah lambang itu.

“CHOI…” bisik Jimin setengah mengeram. Ia melirik Yoongi. Pasangan itu saling melempar pandangan mengerti sebelum Jimin kembali beralih pada adik-adik iparnya. “Jangan sampai ada yang melihat collar ini. Sementara, biar aku yang menyimpannya.”

Namjoon hanya mengangguk tanpa bertanya. Ia tahu Jimin dan Yoongi lah yang paling mampu mengatasi masalah ini. Tidak ada yang perlu diragukan.

“Loh, t-tapi, hyung?” Taehyung melongo bingung. “Kalau collarnya diambil, bagaimana cara kita mengembalikan mutan ini!”

Jimin memutar bola matanya. “Diam Kim. Aku tidak bilang kita akan mengembalikan Jungkook pada majikannya.”

“Tapi hyung—” Taehyung bungkam, tidak sanggup melanjutkan kata-katanya karena death glare Jimin selalu berhasil membuatnya bungkam. Tidak heran Seokjin jadi segalak ini karena ia berguru pada Jimin.

Jimin mendengus pada Taehyung sebelum alih-alih ekspresi kesalnya berubah menjadi ekspresi cantik yang menyerupai seorang malaikat. “Aku ingin melihat lukanya. Bolehkah?” ujarnya sembari tersenyum manis pada Jungkook.

“Kemari anak manis…” Jimin mengulurkan tangannya, namun tidak tersambut karena Jungkook sudah buru-buru memeluk Taehyung untuk meminta perlindungan. “Lihat telingaku?” Jimin tersenyum makin manis sembari bermain-main dengan telinga dan mengayunkan ekornya. “Aku sama sepertimu, bagaimana kalau kau panggil aku hyung? Jimin-hyung? Kemari Jungkookie~”

“Unggg!” Jungkook mengeong pelan lalu menggeleng cepat, mutan itu nyaris menangis saat hampir saja Jimin menyentuh lengannya.

“Sepertinya dia tidak mau disentuh, Minnie,” Yoongi berusaha menahan istrinya. Ia mengerti kalau Jimin sedang emosional sekarang, ingatan-ingatan lama itu pasti kembali dan membuat Jimin menjadi sensitif seperti ini.

“Dia meraung setiap kali aku mencoba menyentuhnya,” tambah Seokjin dengan raut prihatin.

“Coba suruh Taehyung bawa mutan ini ke kamar tamu kita, akan kutelpon dokter Jjong sekarang,” Yoongi menepuk pundak istrinya, mereka saling melempar senyum sedih sebelum Jimin mengangguk. “Aku mau mutan ini diselamatkan, Yoonie. Aku mau dia bebas,” bisik Jimin lirih.

“Bersabarlah chagi… Kita akan menyelamatkannya, seperti saat aku menyelamatkanmu dari sana.”

 

www

 

Suasana di salah satu kamar tamu mansion Yoongi Min kini ricuh. Ada suara isak tangis, ada bentak memerintah, ada juga seruan marah-marah. Semua bercampur ricuh sampai-sampai pemilik mansion ini sendiri—Yoongi, bingung harus melakukan apa.

“Berani sekali kau membentaknya, Kim Taehyung!” suara Jimin membahana murka.

Taehyung mendengus. “Kalau tidak dibentak dia tidak akan menurut!” belanya lagi. Ia kesal terus-terusan disalahkan. Bagaimana dokter bisa memeriksa kalau Jungkook sendiri terus menempel pada Taehyung seperti koala!

“Tidak perlu membentak, kan!” seru Jimin tidak mau kalah. Entah kenapa hatinya terasa sakit saat melihat Jungkook begitu keras kepala menempel pada Taehyung, sekasar apapun Taehyung membentaknya. Mutan malang itu hanya terisak dan memejamkan mata rapat-rapat sambil terus memeluk lengan Taehyung, menyerahkan segala-galanya seolah Taehyung adalah tempat terakhirnya untuk berlindung. Pemandangan memilukan yang mengingatkannya pada satu kenangan pahit masa lalu. Jimin menggigit bibir, berusaha menahan luapan panas yang menjalar di dadanya.

“Minnie,” akhirnya Yoongi turun tangan. Pria itu meremas bahu Jimin, bermaksud menenangkan emosi istrinya. “Jangan berteriak-teriak. Kalian menakuti Jungkook.”

Jimin terdiam, baru menyadari kalau Jungkook tengah memeluk lengan Taehyung gemetaran. Suara isaknya mulai mereda, namun pemandangan justru bertambah miris karena mutan itu kini terbatuk-batuk seolah kehabisan airmata.

“Jangan ikuti emosimu, Tae. Ingat pesanku tadi…” Namjoon ikut bicara. Seokjin yang berdiri di belakangnya hanya bisa diam dan meremas tangan Namjoon.

“Kau mau minum, chagi?” Jimin masih berusaha, menyodorkan segelas coklat panas pada Jungkook. Namun untuk kesekian kalinya, mutan itu menolak Jimin.

“Sudah chagiya…” cegah Yoongi sembari menarik lengan Jimin. Ia mengambil alih gelas coklat yang ada di tangan Jimin dan menyerahkannya pada Taehyung. “Biar Taehyung yang merayunya.”

Yoongi tidak ingin istrinya sakit hati karena terlalu terbawa emosi. Ia mengerti kalau Jimin seperti tengah mengenang masa lalunya sendiri. Tapi Yoongi tidak akan membiarkan Jimin mengingatnya terlalu jauh, masa lalu suram itu cukup ditimbun dalam-dalam.

Yoongi mengecup titik sensitif di leher Jimin dan sedikit mengelus cuping kucing istrinya, membuat emosi mutan dewasa itu sedikit mereda dan Jimin pun meleleh dalam pangkuannya.

Mereka berdua–tidak, semua orang di dalam kamar menonton dalam diam. Bagaimana Taehyung yang dengan canggungnya berusaha mengendalikan Jungkook.

Taehyung berusaha menenangkan Jungkook dengan membiarkan mutan itu memeluknya sedikit lebih lama. Jungkook sudah jauh lebih tenang dan tidak gemetaran seperti tadi. Suara tangis juga sudah tidak terdengar lagi, berganti dengan isak kecil yang sedikit teredam karena Jungkook memendam wajahnya dalam-dalam di dada Taehyung.

Dengan gugup, Taehyung mengangkat tangan kirinya untuk mengelus kepala Jungkook. Tangan kanannya masih memegang gelas berisi coklat hangat. “K-Koo, minum dulu, oke?” rayunya canggung. Meskipun terdengar kaku, tapi tampaknya suara Taehyung yang sengaja dilembut-lembutkan itu berhasil menggugah Jungkook.

Mutan itu membuka wajahnya, masih sambil bersandar di dada Taehyung. Ia mendongkak, memandangi wajah Taehyung dengan ekspresi sendu dan mata sembab yang berkaca-kaca, membuat Taehyung semakin kelabakan namun dengan cepat pula Taehyung mengatasinya.

Berusaha setenang mungkin, Taehyung mendekatkan bibir gelas ke mulut Jungkook. Ia sempat tercekat, karena tanpa diduga, mutan itu membuka mulutnya, dengan patuh meneguk coklat hangat itu perlahan-lahan, masih dengan nafas berat. Semua orang di kamar itu menyaksikan dengan takjub, bagaimana mutan ini begitu menurut pada Taehyung hanya dengan kalimat pura-pura yang sengaja dilembut-lembutkan, saat Jimin sendiri terus-terusan ditolak meskipun ia bermaksud menolong Jungkook dengan hati tulus.

“Sudah?” Taehyung bertanya lembut saat Jungkook berhenti meneguk coklat yang masih tersisa seperempat gelas itu. Mutan itu hanya mengerjap lemah, membuat Taehyung menelan ludah susah payah karena jantungnya tiba-tiba bedegub kencang. Taehyung memandangi noda coklat di pinggir bibir Jungkook dengan perasaan berdesir, entah kenapa bibirnya juga tiba-tiba berkedut. Taehyung membersihkan noda itu dengan telunjuknya sendiri. Sungguh, untuk kali ini ia tidak terpaksa atau berpura-pura. Jemarinya seolah bergerak sendiri tanpa perintah, seolah jemari ini merasa risih melihat noda mengotori wajah porselen Jungkook.

“Sekarang biarkan Dokter memeriksamu, oke?” Taehyung berusaha memasang senyum manis, namun senyumnya langsung menghilang karena Jungkook menggeleng kuat-kuat dan kembali memendam wajahnya di dada Taehyung.

“Aish!” Taehyung melempar pandangan mengeluh pada Yoongi dan Namjoon. Meski kali ini tidak disertai umpatan atau bentakan, ya, Taehyung hanya mengeluh kecil.

Namjoon mendesah prihatin. “Mungkin ia tidak mau suasana ramai. Bagaimana kalau kita semua keluar, biarkan Taehyung dan Jjong-sshi yang tinggal di sini bersama Jungkook?”

Namun Jimin menggeleng tegas. “Aku mau di sini.”

“Chagi…”

“Pokoknya aku mau di sini. Titik.”

Pada akhirnya, tidak ada yang bisa menentang keputusan Jimin. Kalau ia tinggal di kamar ini, sama artinya Yoongi akan tinggal juga. Yoongi tersenyum sedih ke arah Namjoon. Seakan mengerti maksudnya, Namjoon hanya mengangguk sembari merangkul Seokjin. “Kita keluar, baby..”

Meski enggan, Seokjin menurut dan membiarkan Namjoon menggiringnya keluar kamar. Untuk yang terakhir kali, Seokjin melirik Jungkook dengan raut sendu sebelum akhirnya ia menghilang di balik pintu.

“Sekarang?” Taehyung bertanya ragu, ia memandang Yoongi dan Jimin yang sejak tadi terus mengawasi keadaan Jungkook. Mutan ini mulai tenang sekarang. Mungkin benar kata Namjoon, suasana ricuh yang membuat Jungkook gelisah dan ketakutan seperti tadi.

“Sekarang,” Jimin mengangguk mantap. Ia melirik dokter Jjong yang sejak tadi berdiri di pojok kamar tanpa ikut campur saat pertengkaran sempat terjadi di ruangan ini. Tanpa diperintah, dokter setengah baya itu mengerti. Ia melangkah mendekat, awalnya hanya duduk di pinggir tempat tidur. Dan seperti dokter professional pada umumnya, dokter Jjong mendekati Jungkook perlahan-lahan, karena kemungkinan Jungkook akan kembali histeris kalau ia bergerak terlalu terburu-buru.

“Coba Jungkookie, biarkan aku melihat lenganmu. Boleh, kan?” Dokter Jjong berucap lembut, ia mengulurkan tangannya pada Jungkook. Namun belum juga sejengkal dokter itu menyentuh Jungkook, mutan itu sudah meraung histeris.

“Ingggh!” Jungkook menarik jaket Taehyung. Antara gelisah, jengkel, dan ketakutan ia berjuang untuk memeluk Taehyung dengan segenap tenanganya. Padahal sejak tadi ia sudah mengisyaratkan kalau ia tidak ingin disentuh! Tapi kenapa tidak ada satupun yang mengerti! Dokter, dan Jungkook benar-benar benci dokter. Ia tidak akan pernah membiarkan orang-orang berseragam putih itu menyentuhnya lagi! Tidak akan pernah lagi!

H-hyung?” Taehyung memelas pada Yoongi. Tanpa bisa berbuat apa-apa, akhirnya Taehyung hanya bisa melingkarkan tangannya di pinggang Jungkook dan sesekali mengusap punggung kurus itu.

“Sulit sekali. Sepertinya kita terpaksa harus membiusnya…” ujar dokter Jjong putus asa. Ia mengeluarkan jarum bersih yang masih terbungkus plastik dari dalam saku seragamnya.

“Yasudah, lagipula kenapa tidak sejak tadi, sih?” Jimin menghentakkan kakinya jengkel.

“Tidak boleh kalau tidak benar-benar terpaksa. Kondisi mutan ini masih sangat lemah, sebisa mungkin aku akan mengusahakan obat berdosis rendah untuknya,” jelas dokter Jjong sembari beringsut mendekati Jungkook. Ia mengisyaratkan Taehyung untuk menjegal gerakan Jungkook, berjaga-jaga kalau mutan itu kembali memberontak.

“Pegang dia, Taehyung-sshi.”

Jungkook melotot horror saat laki-laki berseragam putih ini beringsut makin mendekat padanya. Ia terisak lagi dan kembali menarik-narik kaos Taehyung lebih kuat, berusaha meminta bantuan. Jungkook sungguh-sungguh-sungguh tidak ingin dokter ini berada di dekatnya!

T-Tahhhng—” Jungkook menggerung samar. Ia ingin menjeritkan nama Taehyung namun satu kata ‘Tae’ itu seolah tersangkut di kerongkongannya. Akhirnya Jungkook hanya bisa memandangi Taehyung dengan mata memelas, berharap majikan barunya ini mengerti arti kilatan sedih di matanya. Namun sepertinya, Jungkook harus kecewa kali ini. Karena bukan melindungi dirinya, Taehyung justru memeluk Jungkook erat dengan maksud menjegal gerakannya.

“Tahhhng—” Jungkook benar-benar tidak bisa bergerak karena Taehyung mendekapnya erat-erat. Belum sempat memberontak, Jungkook tersentak karena sesuatu menusuk bahunya, membuat kepalanya berkunang-kunang dan pandangannya mengabur. Jungkook limbung ke arah Taehyung.

Taehyung bergerak sigap, menangkap tubuh limbung Jungkook dan mendekapnya erat.

“Tidurkan dia, Taehyung-sshi.”

Taehyung menurut. Ia menidurkan Jungkook di atas ranjang.

Jimin memperhatikan dalam diam. Ia meremas tangan Yoongi seraya berbisik lirih, “Apa tidak apa-apa?”

“Tenang saja, Minnie,” Yoongi mengecup punggung tangan istrinya, biasanya hal itu selalu berhasil menenangkan Jimin yang gelisah.

Ne… Kalau aku mengurus anak ini, kau tidak akan keberatan kan Yoonie?” tanya Jimin setengah berbisik dengan mata menerawang. Ia masih serius mengawasi Dokter pribadi Yoongi yang sekarang sedang memeriksa luka-luka di perut Jungkook, namun pikirannya kini sudah melayang kemana-mana.

Ne, tentu saja boleh. Tapi kita tidak bisa terburu-buru begitu, sayang. Kau lihat bagaimana mutan ini menolak semua orang, kan?”

Jimin tersenyum miris. “Tentu aku melihatnya,” jawabnya masih dengan berbisik. “Seperti aku dulu, kan?”

“Hush, jangan diingat-ingat lagi, chagi,” Yoongi memeluk Jimin dari belakang, mereka duduk berpangkuan, di sofa kecil dekat jendela, masih sambil mengawasi dokter Jjong yang sekarang tampak makin serius dengan luka-luka di dada Jungkook.

“Ini masih baru… Mungkin sekita seminggu yang lalu,” ujar dokter Jjong tiba-tiba. Semua orang di dalam kamar fokus memperhatikan ucapannya saat ia menunjuk beberapa luka yang masih merah di pinggir perut Jungkook. “Ada luka sayatan, cambuk, sampai luka bakar karena puntung rokok,” jelasnya setengah mengeram, ada amarah terdengar di sela kalimatnya.

Bukan sekali dua kali dokter Jjong mengatasi mutan-mutan yang terluka karena disiksa oleh majikan mereka, menjadi dokter khusus di Lembaga Perlindungan Mutan milik Yoongi, tentu membuat Jjong mau tidak mau menghadapi mutan-mutan dengan kasus ini hampir setiap harinya.

Kening dokter Jjong mengerut, ia menekan nadi dan beberapa bagian di bawah perut Jungkook, seolah berusaha memastikan sesuatu. “Aku ragu, mungkin sebaiknya kita bawa Jungkook ke klinikku besok…”

“Ragu? Ada apa Jjong! Ada apa dengan mutan ini?” Jimin bertanya, agak panik. Ia bermaksud bangun namun Yoongi menahannya.

Taehyung hanya bisa diam, setengah tercengang. Di luar sadar ia tengah meremas tangan kanan Jungkook erat-erat.

“Sepertinya, mutan ini baru saja keguguran,” Dokter Jjong menghela nafas sebelum menutup kembali kaos biru Jungkook.

Jimin melotot. Taehyung tercekat. Dan Yoongi terkesiap.

“HAH?”

Taehyung mendelik, refleks ia langsung memandangi wajah damai Jungkook yang tengah pulas tertidur. Dalam posisi begini, Taehyung benar-benar tidak percaya mutan berwajah polos ini pernah… “Keguguran?”

“Ya. Aku belum bisa memastikan. Sebaiknya kita bawa Jungkook ke klinikku besok, aku takut mutan ini mengalami infeksi atau yang lebih parahnya… Organ dalamnya terluka.”

Jimin menggeleng tidak percaya, matanya nanar saat ia mencengkeram lengan Yoongi erat-erat. “Yoonie… Yang benar saja?” bisiknya gemetar. Yoongi menggigit bibir, miris. Ia hanya bisa membalas genggaman tangan Jimin, berusaha memberi kekuatan pada istrinya yang tengah kalut ini.

“Bagaimana mungkin? Lihat wajah ini,” Taehyung masih tidak percaya, ia menyibak poni Jungkook yang basah oleh keringat, bermaksud menunjukkan lebih jelas tiap guratan wajah itu pada dokter Jjong. “Aku bahkan tidak yakin Jungkook sudah berusia 17 tahun!”

“Sudah 17 tahun atau belum, tetap tidak dapat memungkiri kalau mutan ini benar-benar mutan Sex Doll.”

Tidak ada yang membalas. Semua orang di kamar ini tercekat. Terlalu terkesiap. Taehyung bahkan tidak sanggup berkedip, ia menunduk kaku sambil memandangi wajah pucat Jungkook. Taehyung mengerat seprai di bawah jarinya, berusaha menyalurkan amarah yang entah kenapa tiba-tiba melintas di dadanya.

“Sebaiknya kita cepat membawa Jungkook ke klinikku, biar aku cepat menanganinya sekaligus membuat laporan kasusnya. Dan kau tahu betul, Yoon, CHOI bukan kelompok sembarangan,” Jjong melipat tangannya di depan dada, tentu ia tidak akan pernah lupa bagaimana sulitnya saat mereka menangani kasus yang sama. Jimin dan Choi 12 tahun silam. Lembaga di bawah naungan mereka nyaris ditutup paksa karena besarnya kekuatan kelompok CHOI. Dan kali ini, tidak boleh terjadi kecerobohan.

“Kita harus mempersiapkan segalanya secara matang dan penuh kehati-hatian. Tapi itu kalau kau masih berniat menolong mutan ini, aku tahu ini sangat sulit. Kau mengerti? Kalau kau mau menyerah, kita bisa mengembalikan Jungkook lewat kepolisian.”

“Tidak. Aku— Kita akan menolongnya! Bagaimanapun sulitnya!” Jimin tiba-tiba berdiri, matanya sudah panas namun ditahannya mati-matian airmata yang sudah membuncah di sana. Bagaimanapun caranya, ia tidak akan membiarkan mutan kecil ini kembali ke bawah cengkraman CHOI! Tidak akan!

“Kalau begitu sebaiknya sekarang kita cari solusi untuk menyembunyikan Jungkook sementara waktu.”

Taehyung menghela nafas, rasa-rasanya ia bisa membaca arah pembicaraan ini. Jungkook tidak mau lepas darinya dan tampaknya Jimin sekarang lebih menyayangi mutan asing ini ketimbang sepupu iparnya sendiri.

“Jangan bilang aku terlibat!” Protes Taehyung itu sukses membuat Jimin mendelik ke arahnya.

“Tentu saja kau terlibat! Kau harus bertanggung jawab! Jungkook mati-matian menempel padamu tidak mungkin tanpa alasan! Mengaku sajalah! Kau apakan dia?”

“Aku tidak melakukan apapun!”

“Tidak mungkin! Kalian pasti pernah bertemu sebelumnya! Kau apakan dia?”

“Sudah kubilang aku tidak pernah bertemu Jungkook!”

“KIM—”

“Sssh! Minnie—” dengan gesit Yoongi bergerak maju, ia membalik tubuh Jimin dan ditariknya mutan itu turun ke pangkuannya. “Minnie, jangan begitu… Mungkin Taehyung memang tidak pernah bertemu Jungkook. Kita tidak bisa menyalahkan Taehyung…”

“Tapi Yoonie…” Jimin merajuk, wajahnya sendu. Dengan ekor yang berayun liar, Jimin bergelayut manja pada Yoongi. “Tidak mungkin, kan? Mereka pasti pernah bertemu dan Taehyung pernah melakukan sesuatu!”

“Sudah kubilang kami tidak pernah bertemu, aish!” Taehyung menggerung jengkel. Tangannya sudah mengepal, namun Dokter Jjong buru-buru menahan bahu Taehyung, bermaksud meredam amarah pemuda berambut coklat itu.

“Bagaimana kalau kita biarkan Dokter Jjong menyelesaikan tugasnya dulu? Setelah itu kau boleh menghukum Taehyung.”

Hyung!”

“Oke!”

“Aish, hyung!” Taehyung menjambak rambutnya frustasi. Kalau Dokter Jjong tidak segera menahannya, pasti Taehyung sudah melempar kepala Jimin dengan vas bunga terdekat. Namun akhirnya Taehyung mengalah, ia diam meski masih tidak rela.

“Sudahlah, Taehyung-sshi. Aku yakin Jimin tidak sungguh-sungguh mau menghukummu.”

“Tsk! Kau tidak kenal siapa Jimin!” keluh Taehyung lagi, setengah berbisik karena tidak ingin memperpanjang masalah kalau Jimin sampai mendengarnya.

“Sekarang lanjutkan, Jjong,” ujar Yoongi sembari menepuk-nepuk kepala Jimin yang terbenam di ceruk lehernya. “Aku tidak yakin Jungkook mau dipisahkan dari Taehyung, setidaknya untuk sekarang ini. Sedangkan Taehyung tidak mungkin mengorbankan kuliah dan pekerjaannya demi menemani Jungkook selama 24 jam penuh.”

Taehyung mendengus dan mengangguk semangat. Benar sekali! Tidak mungkin ia mengorbankan kuliah dan mata pencahariannya demi seekor mutan asing ini!

“Itu juga yang kupikirkan, Yoon…” balas Dokter Jjong sembari bertolak pinggang.

“Bagaimana kalau mutan ini dititipkan di sini saja? Lagipula Jimin-hyung lebih pengalaman dan tentu di sini fasilitas untuknya serba lengkap!” usul Taehyung, sebisa mungkin mengabaikan death glare yang dilempar Jimin ke arahnya.

“Jungkook bahkan tidak mau lepas darimu!” geram Jimin lagi, ia mendelik marah pada Taehyung.

“Benar. Kita tidak mungkin memaksanya kalau mutan ini tidak mau. Tapi kita bisa menanyakannya nanti, biar bagaimanapun di sini adalah tempat yang paling aman untuknya.”

Taehyung mengangguk dan tersenyum senang, merasa didukung oleh Dokter Jjong.

“Baik. Dia akan tinggal di sini, hanya kalau dia mau. Tapi kalau dia tidak mau, awas saja kalau kau memaksanya, Kim!” ancam Jimin lagi sembari menunjukkan jari tengahnya pada Taehyung, membuat Yoongi dan Jjong terkekeh geli dan Taehyung sendiri mendengus jengkel.

“Aku berpikir… Mungkin kita bisa mengubah penampilan Jungkook.”

“Maksudnya?” Jimin menatap Jjong bingung, sama halnya seperti Taehyung yang ikut-ikutan memandang Dokter Jjong dengan kening bertaut.

“Kita bisa mengecat rambutnya dan membuatkan collar palsu dengan nama Yoongi. Mungkin untuk sementara itu bisa sedikit melindungi identitas Jungkook saat ia harus berada di publik.”

Yoongi mengangguk, mengerti. “Dan sebisa mungkin jangan biarkan Jungkook ada di publik. Terlalu berbahaya. Aku yakin salah satu CHOI pemilik Jungkook sudah bergerak untuk mencarinya. Aku tahu CHOI tidak akan mau repot-repot menghabiskan dana dan tenaga untuk mencari seekor mutan pelarian, tapi setidaknya… Untuk jaga-jaga, mungkin diam-diam majikan mutan ini sedang mencarinya sekarang.”

“Mengecat rambutnya, kalian yakin mutan ini mau? Dia bahkan tidak mau disentuh…” ucapan Taehyung spontan membuat semua orang menunduk memandang tubuh Jungkook yang masih tenang terlelap dalam tidurnya. Tampaknya obat bius berkerja kuat sampai Jungkook tidak terbangun meskipun sejak tadi terjadi keributan di ruangan ini.

“Kalau begitu sekarang,” ujar Dokter Jjong. “Kita cat rambutnya sekarang selagi obat biusnya masih bekerja.”

 

www

 

“Cih…” Taehyung mendengus sambil terus membersihkan tangannya dengan tisu basah. Beginilah kalau mengecat rambut secara manual, lebih-lebih oleh para amatiran. Catnya jadi berantakan kemana-mana.

“Tae? Jungkook sudah bangun?”

Taehyung berbalik, tidak berniat melempar senyum jadi ia hanya meringis ke arah Yoongi yang masuk ke kamar dengan senampan penuh makanan.

“Cat rambutnya sudah kering, lebih baik tarik saja alas kepala Jungkook itu. Pasti kurang nyaman tidur dengan benda itu di bawah kepalanya.”

“Ne, hyung,” Taehyung menurut dan segera melaksanakan perintah Yoongi, meski alih-alih ia merengut kesal. Bahkan Yoongi tidak pernah se-perhatian itu pada Taehyung. Padahal Taehyung sepupunya sendiri!

Yoongi meletakkan nampan makanan itu ke atas meja. Kalau Taehyung sedang mood pasti ia bertanya kenapa sepupunya mau repot-repot membawakan nampan itu saat di mansion ini ada puluhan maidroit yang bisa melakukannya. Sayang sekali Taehyung sedang tidak mood, jadi ia hanya merengut sembari perlahan-lahan menarik alas silikon di bawah kepala Jungkook.

Taehyung terlalu berhati-hati sampai ia tidak sadar kalau baru saja ia memperlakukan mutan ini dengan penuh perhatian. Kening Taehyung bertaut, ia memandangi wajah damai Jungkook yang entah kenapa juga membuat hatinya terasa damai. Mutan ini sudah tertidur selama tiga jam lebih, dan atas paksaan semua orang Taehyung terpaksa ikut begadang untuk menjaganya. Taehyung mencibir saat rasa jengkelnya kembali muncul. Cih, biar saja, dia akan tidur di kafe besok. Persetan kalau Namjoon mau marah-marah.

“Makan dulu, Tae,” tawar Yoongi sembari menyodorkan sepotong sandwich, sandwich yang benar-benar sandwich. Bukan sandwich instan atau boneka berbentuk roti dengan harum daging.

Tanpa berpikir dua kali, Taehyung tersenyum senang dan menerima roti itu. “Ne! Gomawo, hyung!” ujarnya sembari menggigit sepotong besar sandwichnya.

Taehyung mengunyah sambil menyunggingkan senyum bahagia, sudah lama ia tidak makan makanan yang enak seperti ini. Biasanya ia hanya makan makanan instan, atau merampok makanan rekan kerjanya di kafe. Yah, hitung-hitung untuk mengirit uang.

“Kalau sudah makan, lebih baik kau tidur, Tae. Tidur saja di sebelah Jungkook, Jimin tidak akan marah,” Yoongi meraih remote kecil di atas meja rias, ditekannya beberapa tombol dan tirai jendela di kamar itu tertutup otomatis. Karena sepertinya Jungkook tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbangun sampai beberapa jam kedepan, malam ini, Taehyung terpaksa menginap di rumahnya.

“Ne, hyung-ah!” Taehyung terkekeh senang. Ia baru saja selesai menghabiskan segelas besar susu dan sekarang sudah mulai mengunyah camilan coklat yang tersedia di atas nampan. Buatnya, kenyang adalah suatu kebahagiaan tersendiri setelah Starcraft.

“Aku kembali ke kamar, ne? Kalau butuh apa-apa, gunakan saja maidroit di kamar ini. Aku menyimpan satu di dalam lemari. Atau kau bisa gunakan Virtual-maid itu,” Yoongi terkekeh jahil sembari menunjuk Alfa-phone yang menempel di dinding, tepat di sisi tempat tidur. Taehyung mengikuti arah yang ditunjuk Yoongi dengan ekspresi lugu.

“399 untuk Virtual-Sexy-Maid.”

Taehyung melotot. “Yah, hyung! Aku masih normal! Dan aku ini tampan! Tidak perlu gadis virtual pun aku bisa dapatkan sepuluh kali yang lebih seksi dan pastinya, nyata!”

“Hahahaha! Aku kan cuma menawarkan, Tae!”

“Aish! Sudah-sudah keluar sana!” Taehyung mendorong-dorong Yoongi keluar dari kamar tamu, posisi aneh dimana seharusnya Yoongi lah sebagai pemilik rumah yang mengusir Taehyung.

“Aku mau tidur! Jangan ganggu!”

BLAM!

Taehyung mengunci pintu dari dalam.

 

www

 

Jungkook mengerjap. Rasanya lelah sekali, seperti sudah tertidur selama berhari-hari. Jungkook membuka matanya dan menatap kosong ke depan.

Biru atau hitam?

Gelap dan rasanya berkunang-kunang.

Jungkook memejamkan matanya lagi. Tapi rasanya yang baru saja ia lihat itu kaos, berwarna biru dan terasa familiar. Master sangat suka warna biru.

Jungkook bergumul, berusaha mencari kehangatan pada apapun itu yang sekarang tergeletak di sampingnya. Ia balas memeluk sosok yang sekarang terlelap sambil melingkarkan tangan di pinggang Jungkook. Sudah lama sekali ia tidak dipeluk sehangat ini. Terakhir kali, hampir setengah tahun yang lalu, saat Master pulang dengan wajah sumringah dan mengajaknya tidur bersama. Hanya tidur, tidak lebih. Saat itu harapan Jungkook kembali hidup, ia merasa kalau Master sebenarnya memang menyayanginya. Master hanya terlalu banyak pikiran, dan suatu saat nanti pasti Master akan kembali seperti dulu lagi. Tapi rasanya harapan itu pupus sedikit demi sedikit, Master tidak pernah berubah. Bahkan beberapa hari yang lalu, Master tampak marah besar karena darah segar terus mengalir dari balik celana Jungkook.

Jungkook terkesiap. Ia tersentak dan spontan terbangun sepenuhnya. Kesadaran seperti menamparnya telak. Bibirnya gemetar, dengan ketakutan ia berusaha melepaskan diri dari rengkuhan sosok ini. Baru ia sadar kalau Master akan menampar dan memukul saat marah. Dan Master pasti sangat marah sekarang!

Jungkook beringsut mundur dan memejamkan matanya rapat-rapat. Jungkook melengkung memeluk tubuhnya sendiri, menanti tamparan atau pukulan yang akan segera datang.

Tapi… Tidak terjadi apa-apa.

Hoaaaamn.

Dan ini bukan suara tuan muda!

Dengan sedikit memberanikan diri, Jungkook membuka sebelah matanya, bermaksud memastikan meskipun dadanya berdegup gugup. Seseorang sedang menggeliat di atas tempat tidur, lalu menguap, menggeliat lagi, dan menguap lagi. Begitu sosok itu berbalik menghadap Jungkook dengan mata terpejam, baru Jungkook sadar dengan situasi yang sebenarnya.

“UUUNG!” Jungkook melompat dan menerjang tubuh Taehyung. Karena terlalu terharu, ia memeluk Taehyung erat-erat, mengabaikan gerung tidak nyaman yang berasal dari sosok di bawahnya.

“Jungkoook! Lepaaas! Sesak, oy!”

Dan yah… Jungkook tidak peduli.

Hei, mesum! Kau apakan Jungkook? Lepaskan dia dan cepat bangun!’

Taehyung tersentak kaget. Ia melirik ke kanan dan menemukan sosok virtual Jimin muncul di samping tempat tidurnya –eh, tempat tidur kamar tamu maksudnya. Sialan, kucing itu memasang kamera di sini. Dan apa dia tidak lihat? Harusnya yang dilepaskan itu Taehyung! Bukan Jungkook!

Hyung, berhentilah mengintip kamar orang! Sudah pergi sana!” balas Taehyung jengkel sembari melempar bayangan Jimin dengan bantal. Bayangan itu bergetar sedikit, sebelum kembali sempurna.

Yah! Kim! Berani sekali kau! Cepat bangun dan mandikan Jungkook, laksanakan sekarang atau sesuatu yang buruk akan terjadi padamu!’

FLIP!

“Cih!” Taehyung pura-pura meludah, saking jengkelnya. Dan apa katanya tadi?

Memandikan?

Mwo?”

Taehyung melotot ke arah Jungkook dan Jungkook membalasnya dengan berkedip lugu.

 

www

 

Sungguh. Rasanya Taehyung ingin menangis saja.

Pertarungan selesai. Setelah melalui perlawanan dan usaha sengit dari kedua belah pihak, Taehyung berhasil memandikan Jungkook. Tentunya dengan bantuan Jimin dan Yoongi, meskipun bantuan mereka tidak seberapa berarti.

Taehyung tidak tahu kalau Mutan —terutama kucing, tidak akan mandi kalau majikannya tidak memaksa. Dan terlebih lagi…

“Hiks…” Taehyung pura-pura menangis sembari memandangi luka cakaran yang memenuhi lengannya, meski sebenarnya ia ingin menangis namun tidak setetespun airmata berhasil keluar. Tapi persetan, yang penting ia sedih sekarang! Dan belum lagi cakaran di bahunya dan beberapa di paha! Kaos biru favorit Taehyung terpaksa robek compang-camping jadi korbannya! Tidak sekedar itu… “Tanganku yang mulus…” lirihnya lagi.

“Jangan berlebihan, Tae!” cibir Jimin dan hanya dibalas dengan sungutan oleh Taehyung. Namun tentu, Jimin mengabaikannya karena ia tengah sibuk dengan hal yang jauh lebih menyenangkan. Jimin menggenggam sisir kecil, bermaksud mendekati Jungkook dan merapikan rambut baru mutan itu. Sudah lama sekali Jimin tidak kedatangan tamu wanita atau mutan imut yang bisa didandani sesuka hatinya. Dan ada Jungkook di sini sekarang, Jimin tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Sebenarnya ia sudah cukup excited melihat Jungkook mengenakan celana dan hoodie lama miliknya. Semua benda berwarna pink itu seolah merekat sempurna di tubuh Jungkook. Perfecto! Tapi Jimin ingin melakukan lebih. Ingin sekali ia mengucir rambut pirang mutan kecil itu dan menautkan pita pink di atasnya.

“Loh? Kenapa?” Jimin merengut, kecewa karena Jungkook justru menjauhinya dan memasang tampang akan menangis. “Aku tidak akan melukaimu! Lihat? Aku cuma mau merapikan rambutmu,” Jimin tersenyum lalu menyodorkan sisir berwarna pink miliknya. Sudah lewat semalam kan? Jimin berharap sekali Jungkook akan sedikit luluh padanya pagi ini. Namun tampaknya Jimin harus kecewa sekali lagi. Mutan itu duduk di kursi yang tepat berada di depan meja rias. Setiap kali Jimin bermaksud mendekat, Jungkook akan menarik kursinya mundur. Mutan itu duduk terbalik disana, punggung kursi yang tinggi hampir berhasil menyembunyikan tubuh kurusnya dari pandangan Jimin.

“Minnie, jangan dipaksa. Biar Taehyung yang melakukannya…” Yoongi muncul dari balik pintu dengan kotak hitam di tangannya.

“Aish, hyung! Biar saja Jimin-hyung yang melakukannya, atau suruh mutan itu melakukannya sendiri!”

“Apa! Kau berani menyuruh Jungkookie?”

“Sudah-sudah, kenapa malah berkelahi, sih?” Yoongi melerai mereka sebelum pertengkaran yang lebih parah terjadi. “Lihat Jungkook ketakutan karena kalian!”

Sebenarnya bukan ketakutan. Sejak tadi Jungkook memegangi punggung kursi sembari menonton pertengkaran Taehyung dan Jimin, ia bergantian memandangi Jimin-Taehyung dengan raut bingung. Bukan berarti ia tidak mengerti yang mereka bicarakan, ia hanya bingung apa yang sedang mereka ributkan. Jungkook merengut sedih. Apa ia terlalu menyusahkan sampai Taehyung berkelahi terus dengan orang-orang ini?

Taehyung menatap Jungkook dengan ekspresi malas. “Bukan salahku, itu gara-gara Jimin-hyung.”

“Yah! Berani sekali menyalahkanku!”

“Aish! Kenapa malah bertengkar lagi!” Yoongi mendelik, bermaksud menunjukkan ekspresi marahnya pada Jimin namun alih-alih takut, istrinya ini justru terkekeh genit melihatnya.

“Yoonie, kau imut sekali~” Jimin mencubit pipi Yoongi dan mencium pipi suaminya sekilas. Baru saja ia bermaksud mengecup bibir suaminya, Yoongi langsung sigap menahannya. “Nanti saja sayang, masih ada Jungkook di sini,” bisiknya. Jimin cemberut, membuat Yoongi ingin langsung menerjangnya di kamar ini saat ini juga. Namun Yoongi yang bijaksana tidak mungkin melakukannya sekarang. Itu bukan hal yang pantas dilakukan di hadapan orang lain. Untuk mengalihkan napsunya, Yoongi buru-buru membuka kotak hitam yang dibawanya tadi. Ia mengeluarkan collar pink berbulu dari sana.

“Ah! Collar lamaku!” Jimin bertepuk tangan, senang. Sigap direbutnya collar cantik itu dari tangan Yoongi. Dulu collar ini adalah favoritnya. Berwarna pink dengan bandul indah tanpa nama, hanya ukiran Kim di belakangnya. Dan di atas semua itu, benda ini lembut dan nyaman sekali digunakan. Talinya sedikit kendur, bagian dalamnya terdapat bulu lembut yang mencegah iritasi. Karena itu Jimin sangat menyukainya. Sayang sekarang ia tidak perlu memakai collar lagi.

“Kupikir karena bandulnya tanpa nama, Jungkook bisa menggunakan collar ini sementara kita membuatkan satu yang baru untuknya. Kau tidak keberatan kan, Minnie?”

“Tentu tidak!” jawab Jimin senang. Ia segera mendekati Jungkook, terlalu semangat ingin memasangkan collar manis ini ke leher Jungkook sampai-sampai ia lupa kalau Jungkook bahkan tidak mau didekati oleh siapapun.

“Ungggg—” Jungkook menggeleng, mundur, dan menggerung kecil. Mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin didekati Jimin. Tindakan spontan yang membuat Jimin, lagi-lagi, merengut sedih.

“Biar aku yang memasangkan,” Taehyung menawarkan diri dan mengambil alih collar itu dari tangan Jimin. Kali ini, tidak seperti dengan Jimin, Jungkook diam membiarkan Taehyung mendekatinya.

“Jangan protes,” perintah Taehyung dengan suara kecil. Di luar dugaan, mutan itu menurutinya. Ia mendongkak dalam diam, seolah memberi izin pada Taehyung untuk memasangkan benda itu di lehernya. Terakhir, Taehyung merekatkan bagian belakang collar dan benda itu terpasang manis di leher Jungkook.

Jungkook terkikik. Ia memegangi collar itu tanpa berniat untuk melepasnya. Lagipula ia suka warna pink. Namun bulu-bulu lembut itu terasa geli di lehernya. Semakin Jungkook memegangi collarnya, semakin pula bulu-bulu itu bergesekan dengan kulit lehernya. Membuat Jungkook berkali-kali terkekeh karena geli. Mutan itu tidak sadar, tiga pasang mata menatap ke arahnya dengan takjub.

“Apa mutan itu baru saja tertawa?” Jimin melongo, terpesona.

“Kau suka Jungkook-ah?” tanya Yoongi lembut. Merasa namanya dipanggil, Jungkook mendongkak, balas menatap Yoongi sejenak sebelum kembali memeluk Taehyung, menyembunyikan wajahnya di perut majikan barunya.

“Kau suka Jungkook-ah?” Taehyung mengulangi pertanyaan Yoongi sembari mengusap rambut Jungkook.

Kali ini, karena Taehyung yang berbicara, Jungkook mendongkak. Ia memandangi Taehyung dengan wajah lugunya sebelum mengangguk dan tertawa senang.

Aigooo! Neomu-neomu kyeopta!” Jimin berjingkat, senang melihat pemandangan Jungkook yang tampak sedikit berbeda pagi ini. Meskipun masih menolak disentuh, setidaknya mutan ini sudah sedikit lebih ceria hari ini.

Yoongi ikut tersenyum melihatnya. Tapi ia ingat Taehyung dan terutama mutan ini belum makan sejak semalam. “Akan kupanggil Kim untuk menyiapkan sarapan,” ujarnya sembari melangkah keluar kamar.

“Ngggh!” Jungkook sudah melepas Taehyung. Kali ini mutan itu merengut jengkel, berusaha membenahi sesuatu di balik bokongnya. Menyadari ini, Jimin terkekeh senang.

Aigoooo, imutnyaaa!” Jimin mencubit pipinya sendiri, pelampiasan karena tidak bisa mencubit pipi Jungkook saat ini. “Kim! Bantu Jungkook mengeluarkan ekornya!”

Mwo?” Taehyung melotot, bergantian memandangi Jungkook dan Jimin dengan tampang bodoh. “Mengeluarkan maksudnya?”

“Celana itu sudah ada lubangnya!” tentu saja, karena celana itu milik Jimin. “Jadi sekarang bantu Jungkook mengeluarkan ekornya!”

“Kenapa sih? Sejak kemarin juga ekornya tidak dikeluarkan…” Taehyung menggerutu, dan segera disesalinya karena telinga neraka Jimin tentu langsung mendengar ucapannya.

“Bodoh! Kau kira dia menyukainya? Sejak kemarin Jungkook pasti merasa tidak nyaman dan kau terlalu bodoh untuk menyadarinya! Sekarang lakukan perintahku!” sungut Jimin lagi. Dan kali ini, mau tidak mau Taehyung menurutinya.

Jujur, tangan Taehyung gemetar sekarang. Bagaimana tidak? Ia dipaksa memasukkan tangannya ke dalam celana Jungkook! Dan mutan ini tampak begitu submisif, rela diperlakukan seperti apapun oleh Taehyung. Ia bahkan masih sempat-sempatnya bersandar dan memeluk dada Taehyung, seolah memberi jalan untuk majikan barunya melakukan apapun yang ia mau.

Taehyung nyaris tersentak, tangan semakin gemetar saat bersentuhan dengan kulit bokong Jungkook.

“Demi Lord Zerg, demi cintaku pada Sarah Kerrigan…” Taehyung berdoa dalam hati, menyebut satu persatu nama Tuhannya di Starcraft. Berharap itu akan membantunya mengusap sedikit rasa gugup dan sebisa mungkin tidak menyentuh lebih dari ekor Jungkook.

Dengan tangan kanan, Taehyung mengarahkan ujung ekor Jungkook ke lubang yang sudah tersedia di celana itu, dan…

Sreeet!

Taehyung menarik ekor itu keluar dengan tangan kirinya. Membenahinya sedikit dan segera mengeluarkan tangannya setelah semuanya selesai.

My Lord… My Lord—” Taehyung terengah-engah, wajahnya memerah dan dadanya berdegup kencang.

“Hahaha! Baru begitu saja kau sudah gugup! Kukira kau jagoan, Tae!”

“Tidak ada hubungannya dengan jagoan, hyung!” seru Taehyung murka.

 

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “KKB -3. Miscarriage?”
Beranda
Cari
Bayar
Order