Ameliorate
/əˈmēlyəˌrāt/
make (something bad or unsatisfactory) better
.
.
.
.
.
.
Mereka memutuskan untuk berganti lokasi, setidaknya dua kali setiap bulan. Bukan perkara mudah, resiko seseorang mengenali mereka di jalan menuju lokasi baru tidak kalah menakutkan. Tapi mereka harus melakukannya.
Toronto jadi tujuan lanjutan mereka. Makin jauh dari markas besar FBI bukan lebih bagus artinya. Organisasi raksasa itu punya hidung dan telinga dimana-mana, tidak hanya di Amerika. Tapi Arthur mengutamakan lokasi dekat dari pelabuhan. Dengan armada yang telah lama dikumpulkannya, disembunyikan, dalam gudang-gudang dan pelabuhan pribadinya. Daratan di bawah kakinya, laut di sisinya, dan langit di atas kepala. Setidaknya ia punya lebih banyak pilihan untuk kabur jika hal buruk terjadi.
Arthur punya belasan tempat di tiap negara bagian, yang disimpannya di luar data David karena ia meramal bencana ini akan datang jauh bertahun-tahun yang lalu.
Hanya saja saat itu…
Ia tidak meramal kedatangan Jeon Jungkook.
Seekor burung Gereja yang hadir tanpa sengaja. Tiga tahun berlalu sejak pertemuan pertama mereka dan Arthur masih sering berandai-andai bagaimana jadinya bila ia menurunkan Jeon Jungkook hari itu di depan gedung Gereja, tanpa harus latah menawarkan pekerjaan pada anak itu dan membuka pintu ke dunianya yang kelam.
Jeon Jungkook pasti sudah lulus dari SMA. Meski tidak sanggup membiayai diri untuk melanjutkan pendidikannya, setidaknya, Jeon Jungkook berada di satu tempat di Detroit, atau di kota lain. Aman dan utuh, sepuluh jari masih tersambung di tangannya.
Di dalam mobil, Arthur duduk merangkul Jungkook dalam pangkuan. Anak itu menggigil, menatapnya dengan mata bergulir, suaranya meracau tidak keruan.
Tiga puluh menit lalu sebelum mereka berangkat, Arthur sudah mendedikasikan waktunya untuk menghabiskan energi anak itu. Dibiarkannya Jungkook meraung murka, menangis dan menjerit, masih mengemis benda yang dimintanya tiga hari terakhir. Dalam dua jam energinya terkuras, tubuhnya terkulai dalam rengkuhan Arthur, dan yang tersisa hanya racauan. Arthur berharap, di sepanjang perjalanan mereka hingga tujuan, Jungkook akan bertahan setenang ini.
“Ada bintang bergerak, terang sekali. Jangan nyalakan lampunya, jangan. Aku mau lihat bintang itu lebih jelas. Yang itu pasti Rigel, bentuknya seperti wajah orang. Lihat lekukan hidungnya,” katanya sambil mengulurkan tangan ke atap mobil. Jari-jari lentik itu nyaris menyentuh lampu. Sebentar mata anak itu terpatri pada cahaya, lalu pupilnya melirik turun, pada lima jari-jarinya dengan jari manis terpangkas dua ruas.
“Kenapa dengan jariku?” renungnya bingung. Ditatapnya Arthur dengan kesedihan menjadi-jadi. “Kau ambil jariku? Apa yang kulakukan? Aku buat kesalahan? Tolong jangan buat jadi cinderamata, Arthur. Bisa kembalikan saja, kumohon? Aku membutuhkannya? Dimana aku harus pasang cincinnya, harus di tangan kiri, dan harus di jari manis. Kembalikan jari manisku, kumohon?”
Arthur mengernyit, alisnya berpautan. Martin juga ada disana, duduk disebrangnya dan mungkin tengah menatap mereka berdua. Tapi yang jadi fokus Arthu kini sepasang mata redup Jungkook, menatapnya pedih penuh kehilangan.
Lampu tidak lagi mengalihkan fokus anak itu, kini Jungkook menatap jari-jarinya, sedih dan kebingungan.
Kembalikan, bisiknya berulang-ulang.
“Mereka mengambil jariku Arthur,” isaknya lagi. Bola mata merahnya kering, tidak bisa lagi meneteskan airmata. Arthur meremas tangan itu, mengecup jarinya buku demi buku, dan sapuan lembut bibirnya berhenti terakhir di potongan pendek jari manis yang terpangkas tiga ruas.
“Mereka mengambil Nymeria…” Jungkook menatapnya dengan dua bola mata membulat, seakan-akan sejak tadi ia tidak teringat soal itu dan tiba-tiba kenyataan ini menamparnya telak. Hal begini selalu terjadi berulang kali, tiap satu ingatan bertumpang tindih dengan ingatan lainnya. Kadang anak itu meraung tiba-tiba, kadang menangis, dan kadang terlalu terkesima hingga yang bisa dilakukannya hanya menatap dengan sorot begitu jauh.
“Mereka mengambil Nymeria!” desisnya penuh dendam. Hingga sesak napasnya berusaha mengingatkan Arthur betapa genting kenyataan ini. “Kita harus menjemput Nymeria,” katanya lagi, sambil berpaling.
Dua detik pemuda itu bertatapan dengan Martin seakan-akan ia mengenali siapa pria yang duduk di sebrangnya ini. Lalu rautnya melunak, wajah marahnya lenyap berganti dengan senyum bergetar saat ia berkata,
“Apa kalian sudah selesai?” suaranya melembut, turun drastis dari desisan penuh emosi yang baru saja meluncur dari bibirnya sebelum ini. “Tolong lakukan saat aku melihat bintang, kumohon Donny. Bilang pada John dan Mac juga. Itu sangat membantu, karena tidak sakit, ya. Tidak sakit sama sekali. Kalian lebih suka kalau aku lebih menderita? Ya, aku tahu, aku tahu. Tapi kali ini saja—sekarang. Lakukan sekarang.”
Arthur dan Martin hanya sanggup bertatapan saat Jungkook mengucapkannya.
“Aku pegang pena.” Martin seakan membaca isi kepala atasannya.
“Ya. Catat semua nama yang keluar dari bibirnya,” katanya sambil meraih tangan Jungkook dan meremasnya, Arthur mencium kepal tangan itu lagi. Dikecupnya hati-hati kulit kasar berbalut perban, sisa luka yang belum sepenuhnya kering. Kelakuannya membuat Jungkook berpaling padanya lagi, sambil bersandar di bahunya dan menatapnya.
“Aku tahu kau tidak nyata,” kata Jungkook sambil tersenyum, lirih.
Arthur menggeleng sekali. Bibirnya hendak bertanya, kenapa saat Jungkook menjawab lebih dulu. Sepasang matanya menatap getir, seakan-akan yang diyakininya saat ini adalah kenyataan dan sungguhan terjadi di depan matanya. Halusinasi tengah menipunya lagi, dalam wujud Arthur, megah tunduk menatapnya.
“Kau bukan Arthur,” tegasnya lagi. “Kau menolak memberikan benda itu. Daddy tidak akan membiarkan aku sakit lama-lama. Dia pasti cari cara, dan Arthur sudah janji untuk melindungi kami. Dan kau… kau… Berapa Taehyung membayarmu? Aku yakin Arthur bisa bayar dua kali.”
Mobil terantuk batu, hentakan kuat itu membuat kening Jungkook membentur dagu Arthur. Tidak begitu kuat, tidak banyak perih dihasilkan, tapi berhasil melempar Jungkook pada jenis halusinasi yang lain.
“Kau jadi membeli rumah itu, daddy? Yang di New York itu? Dinding batu dan lantai kayu?”
Arthur harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak meremas tangannya. Ada Jungkook dalam rengkuhannya. Meski emosinya menghentak-hentak hendak diluapkan.
“Ya. Sudah dibeli,” katanya. “Atas namamu. Kau jual lagi setelah nilainya naik, oke? Cita-citamu jadi ahli properti, kan?”
Jungkook tertawa, meski lirih suaranya sambil mengusap-usap hidungnya yang dingin ke bahu Arthur.
Ini lagi. Kadang satu waktu, Jungkook bicara seakan sadar dan warasnya sudah kembali seutuhnya. Ia pernah mengomentari TV yang menyala menampilkan acara favoritnya. Arthur membiarkan pesawat televisi itu menyala meski tanpa suara, hampir selama dua puluh empat jam tiap kali ia merasa tidak bisa menemani Jungkook. Kadang lama sekali Jungkook membalas tatapannya, melawan langsung sorot matanya, sambil mengerjap, sekali, dua kali, seakan-akan ia menyadari siapa yang duduk dan berdiri di sisinya saat ini.
“Arthur,” kadang-kadang Jungkook memanggil lirih, di kala situasi tidak seburuk itu. “Kau mencukur janggutmu lagi?” normal sekali ia mengomentari penampilan Arthur, membuat pria itu mengusap dagunya sendiri sambil tersenyum.
“Ya. Kau menyukainya?”
“Sudah kubilang gondrong lebih bagus, aku bisa main kepang ulir dengan janggutmu,” ujar anak itu, serak sambil tertawa.
“Tidak akan kupotong lagi, biar kau main kepang ulir. Kau suka kalau begitu?”
“U-um.” Jungkook mengangguk-angguk, tersenyum simpul dengan bibir kering dan pucat.
Tapi nama lain meluncur dari bibirnya, di kala situasi berubah tegang, drastis, dan menguras emosi. Seperti saat ini. Arthur sudah berusaha mencegah, dengan merengkuh Jungkook erat dan hati-hati agar tidak ada benturan lain membangunkan halusinasi buruk.
Benturan kedua terjadi lagi, antara kening Jungkook dan tulang rahang Arthur. Kali ini, membangunkan ingatan lain. Jenis terburuk yang bisa dipilih oleh benak kacau Jungkook. Langsung tegap anak itu duduk, menatap Arthur, mengerat kerah pakaiannya. Matanya memelas, tapi bukan Arthur yang terpantul di depan matanya saat ini.
“Apa aku sudah boleh mendapatkan benda itu, Taehyung? Kau punya dare baru? Please, satu shot saja please.”
Sabar Arthur mengingatkan, meski tidak lagi mencoba mengoreksi tiap kali Jungkook menanggilnya Taehyung. “Benda itu sudah tidak diproduksi, baby.”
“I want it.”
“I don’t have it.”
“Liar!” Jungkook mendesis. Dikeratnya kerah kemeja Arthur dengan jari-jari marah. Dua kancing sobek dari lubangnya. Penampakan leher besar Arthur dengan tulang rahang dan ruang dada selebar itu bahkan tidak membangunkan Jungkook dari halusinasinya. Yang terpantul di depan retinanya hanya sosok Taehyung, dengan leher ramping menunduk menatap remeh padanya.
“Berikan padaku sekarang, Taehyung.”
‘Atau? Bagaimana kalau aku tidak mau?’
Sosok itu menjawabnya, pun bila sejak tadi Arthur hanya menatapnya dengan mulut terkatup.
“Kau menantangku, kau pikir aku tidak bisa memaksamu?”
“This is enough.” Arthur mulai tidak tahan, “Oper benda itu padaku.”
Arthur mengulurkan tangannya, pada bejana yang sudah disiapkan sejak sebelum mereka berangkat, tergolek dekat di sisi kaki Martin. Ia sudah menebak sebentar lagi, Jungkook akan meraung memutuskan untuk mengamuk, dan hal yang selanjutnya terjadi adalah kekacauan, dalam arti harfiah.
Otot-otot perut saling bergulat selagi emosi Jungkook membumbung, itu akan membuatnya terpaksa memuntahkan isi lambungnya, seperti yang selalu sering terjadi.
Arthur memegangi dada Jungkook dengan satu tangannya dan menarik bejana itu dengan tangan lain, terbiasa pada jeritan dan tangisan. Tapi dirinya masih harus terbiasa pada hal-hal baru yang dilakukan Jungkook. Seperti saat itu, Arthur tidak akan tahu Jungkook masih punya daya dan tenaga untuk menghentaknya, melahap kulit pipinya sambil berseru.
“AKU. MAU. BENDA. SIALAN. ITU.”
Arthur meraung.
Perih bercampur hangat darah merembes dari wajah yang membuatnya berpikir lagi soal dasi dan tali.
“FUCKING SHIT!” terlalu refleks Arthur bertindak, menjatuhkan Jungkook ke lantai mobil berlapis nilon. Tangis kesakitan Jungkook meledak disana, jauh lebih menyayat ketimbang umpatan Arthur.
Pria itu mengatup pipinya, bibir bawahnya gemetaran, menahan tempramennya yang hampir meluap dari sana. Susah payah ia membungkukkan tubuh besarnya di dalam mobil itu bermaksud memapah Jungkook kembali dalam rengkuhannya.
Pemuda itu meringkuk, memeluk dirinya sambil gemetaran. Dua kali gejolak lambungnya begitu hebat hingga ia memuntahkan seluruh isi perutnya disana. Mengotori lantai mobil, menodai pipi, dagu, leher, dan bagian depan kausnya. Jungkook merintih, sekujur tubuhnya gemetar, tangisnya terdengar kekanakan. Bergemelatuk giginya saat ia membisikkan ‘Nooo!’ dengan penuh teror.
“I’m sorry. I’m so sorry, baby.”
“Get off!” Jungkook menampik tangannya, merapat lebih erat ke belakang bangku kemudi, hampir-hampir menyelipkan tubuhnya di bawah jok kursi.
Kekacauan Jungkook membuat mobil terpaksa berhenti di badan jalan. Angel yang berada di mobil lain terpaksa ikut campur.
Asisten Angel yang membantu membersihkan Jungkook dan membimbingnya berganti pakaian bersih. Sementara Arthur juga harus dipaksa menyingkir, karena keberadaannya justru membuat Jungkook di situasi ini jadi lebih histeris lagi.
“Fuck!”
“Berhenti mengumpat, darahmu keluar lebih banyak kalau kau mengumpat.”
Arthur memejamkan mata saat Angel membantu membersihkan luka di pipinya. Di pinggir jalan gelap dan sepi, tidak ada siapa pun yang melihat kecuali kakaknya sendiri, keningnya bertaut pedih dan giginya bergemelatuk. “Apa dia sudah gila, Angel?” bisiknya frustasi.
“No,” Angel menjawab, keningnya bertaut prihatin. “Dia ada disana, Arthur. Tapi butuh waktu untuk membangunkan Jeon Jungkook yang dulu. Kau tidak boleh mengalah, tidak ada obat bius atau benda itu lagi. Tidak barang setetes.”
Arthur menghela napas. Dua jam menuju Toronto akan jadi perjalanan panjang.
.
.
.
.
.
.
“Aku juga mau cincin,” Jimin berujar, jari-jari merenggang dan diterawangnya tepat di bawah pencahayaan lampu kamar Armie.
Berdua mereka berbaring bersisian, tanpa sehelai pun pakaian setelah tiga sesi pergulatan terjadi di sana. Arthur merokok sambil duduk di sisi ranjang. Pria itu menatapnya, dahi bertaut, tapi tidak menjawab.
“Kapan kau akan memberikan aku cincin?”
“Kita bisa pesan sekarang, kau bisa buka Tiffany & Co di ponselmu? Kubayarkan sekarang.”
“Aku mau pesan langsung di tempat, kita berdua, sambil pilih mana yang bagus di jariku. Cincin tunangan, aku tidak mau cincin mainan.”
Armie tertawa padanya, sambil membungkuk meraih bibirnya ke satu kecupan lembut. Armie menyukai bibir itu, betapa lembut dan muda rasanya. Manis, mengingat obsesi Jimin pada beragam liptint berperisa buah.
Armie melirik tubuh anak itu, tidak bisa menahan jarinya untuk menelisik dada yang mulus dan perut yang ramping. Sekali lihat bila mengabaikan dada yang rata, orang pasti mengira ini tubuh wanita. Pucat dan halusnya hampir sama. Dua tulang bahunya tampak sempit, namun pas mengingat tinggi anak itu tidak sampai di atas rata-rata remaja asia. Ada baret-baret luka, samar di sepanjang lengan atasnya turun ke pergelangan tangan. Luka terakhir yang dibersihkan Armie mungkin berusia tiga bulan, saat ia pertama kali pulang setelah Jack menugaskannya ke Guetamala. Kebiasaan buruk anak itu mulai berkurang, Armie bersyukur. Ini membuatnya merasa aman, untuk alasan yang amat sulit dijelaskan. Apalagi saat mata besar itu menatap balik padanya.
“Ayolah, Armie.”
“Kau terlalu muda untuk menikah,” katanya sambil mengecup tulang selangka Jimin, disesapnya agak lama. Aroma rokok yang baru dihisapnya pasti membekas disana.
“Muda tidak masalah. Yang penting sebentar lagi aku delapan belas tahun.”
“Masih setahun lagi, baby.” Dan sampai saat itu terjadi, kalau apa yang kita lakukan di kamar ini terendus hidung orang lain, aku akan dipenjara. Masa depannya akan rusak saat itu juga.
Jack sudah mengetahui hubungannya dengan Jimin, mungkin belum sedalam itu. Pria itu tidak akan berpikir Armie berani meniduri putra angkatnya. Sekedar tahu Armie mengecup bibir Jimin saja, membuat Armie dikirim tiga minggu untuk bertugas di Guetamala. Dan Armie menolak membiarkan hal itu terjadi lagi.
“Kau terdengar seperti Jack Garret sekarang, Mister Armand.”
Armie hanya tertawa, yang bisa dilakukannya memang tertawa tiap kali ia enggan menjawab Jimin. Atau bila pertanyaannya terlalu menjebak. Saat ini bila ia tidak melarikan diri, Jimin akan terus-terusan menagih cincin, komitmen itu terlalu serius dan menakutkan baginya. Apalagi berhubungan dengan bocah yang belum genap berusia legal dan punya ayah angkat seorang perwira tinggi FBI… atasannya.
“Aku mandi dulu, baby.” Armie beranjak menuju kamar mandi. “Setelah ini kau mandi atau hidung Jack akan mengendus aromaku di tubuhmu, dan kali ini bukan Guetamala. Pria itu akan mengirimku ke Bermuda, dua puluh tahun sampai aku tua.”
“Kalau begitu aku ikut ke Bermuda biar kita tua sama-sama! Dan aku mau cincin!”
“Kalau kau tidak suka buka lewat ponsel, kita buka di laptop setelah aku mandi.”
Jimin memekik kesal, dilemparnya bantal tepat saat Armie menutup pintu kamar mandi. Pemuda itu menatap siluet tubuh Armie di balik uap air hangat, sambil melanjutkan omelannya. Namun diam-diam matanya awas, memastikan Armie masih cukup lama berada di ruangan itu saat ia merayap menuju meja nakas. Diraihnya ponsel yang tergeletak disana, terkunci oleh kode.
Dipijatnya layar itu dengan enam angka yang teringat olehnya dan diintipnya diam-diam saat Armie tidak menyadari.
Jimin mengharapkan tampilan foto wajahnya, dijadikan wallpaper layar meski gambar bendera Amerika yang menyambutnya setelah ponsel itu terbuka.
Mata pemuda itu melirik, ke kamar mandi, turun ke ponsel itu, ke kamar mandi lagi, dan turun lagi ke ponsel.
Berbulan-bulan yang lalu setelah Armie kembali dari pengasingan, Jimin menyadari satu keanehan ini. Armie meluangkan lebih sedikit waktu bersamanya dibanding dulu, membalas pesan lebih lama, dan satu hari pria itu salah memanggilnya dengan sebutan lain.
Cupcake.
Seumur-umur, baru kali itu Armie memanggilnya begitu. Pria itu sama sekali tidak mesra, dan tidak juga semurah itu memanggil siapapun dengan sebutan manis, sweety, honey, lebih-lebih cupcake. Armie harus dipaksa untuk memanggilnya baby, pria itu baru terbiasa setelah dua tahun mereka berhubungan.
Di satu sisi Jimin menyadari, betapa kekanakan ketakutannya ini. Sampai ia menatap langsung ke layar ponsel Armie dan menyaksikannya sendiri. Satu percakapan panjang dengan kontak Cupcake.
Tujuh kali pemuda itu menekan tombol kembali dan membuka pesan itu lagi, demi meyakinkan kontak yang tengah ditatapnya bukan kontaknya sendiri. Kali ke delapan, jempolnya bergerak refleks, menekan profile picture setengah gemetaran.
Potret seorang wanita menatap balik padanya. Sepasang mata birunya ikut tersenyum, dan helai-helai poni pirang terangkai rapi, membingkai wajahnya yang cantik.
Wanita itu mungkin, sepuluh tahun lebih tua dari dirinya, seusia dengan Armie. Saudaranya? Sepupu? Pikirnya dengan dada berdegup kencang, lima detik Jimin kesulitan berpikir. Tangannya gemetaran, tapi ujung jempolnya mengusap, membaca percakapan itu lamat-lamat.
‘I’ll see you tonight, I miss you honey.’
‘You miss me or you miss my body?’
Suara derai shower menembus hingga ke kamar, dan yang didengarnya di telinga justru dengung, berdetum-detum seirama dengan degup jantungnya.
‘Mama suka kuenya, dua belas jam aku harus mendengarkannya memuji semua masakanmu. Steaknya, saladnya, puddingnya. ‘Kau calon menantu luar biasa’, ini cuma quote dari mama. Bukan ucapanku.’
Pesan balasan Armie membuat Jimin membanting ponsel itu kembali ke meja nakas. Pemuda itu tersedak. Hampir tersandung jatuh saat berusaha turun dari ranjang. Tubuhnya telanjang, hangat mani Armie masih terasa mengalir di belahan tubuhnya, meleleh turun ke paha. Terseok anak itu berjalan ke dapur mungil, yang tersambung dekat dari ranjang.
Apartemen kecil ini sudah jadi saksi kesekian kali tiap Jimin mengamuk pada Armie mengancam akan mencabut nyawanya sendiri. Terakhir kali sebelum Armie dikirim ke Guetamala, memohon lembut untuk mengakhiri hubungan mereka.
Pria itu seluruh hidupnya. Jimin tidak punya siapa siapa, selain Armand Hammer.
Apa yang harus dilakukannya sekarang? Pikirnya gemetaran. Pemuda itu memeluk tubuhnya yang telanjang, membungkuk, duduk berjongkok di lantai, lalu bangun dan berdiri. Ia melangkah linglung, kesana-kemari sampai berhenti bersandar dekat dari wastafel. Seperangkat pisau tersusun rapi di rak, kilat perak itu begitu runcing, Jimin menatapnya lama, membayangkan betapa rajam ujung benda itu menembus kulitnya.
Lalu teringat olehnya, belum pernah sekalipun Armie mengenalkannya pada keluarganya. Tidak seorang pun, tidak bahkan temannya. Mungkin selain Jack, Armie, dan dirinya sendiri, tidak ada orang lain yang tahu soal hubungan mereka.
Suara senyap dari kamar mandi membangunkannya dari lamunan. Armie keluar dari sana, dengan handuk melilit pinggul. Pria itu menatap langsung padanya.
“Apa yang kau lakukan disana, baby? Kau lapar? Mandilah dulu, habis itu kita pesan makanan. Apapun yang kau mau,” katanya sambil mengusap-usap rambut, mengeringkan diri dengan handuk kecil.
Jimin membuka mulutnya, mengatupnya, lalu ternganga. Tidak sadar bulir-bulir airmata menetes merembesi wajahnya.
“Kau menangis?” Armie terkesiap, buru-buru menghampiri pemuda itu dan mengatup wajahnya. “Whats up? Ayahmu tahu kau disini? Dia baru menghubungimu? Fuck, tunggu sebentar. Aku pakai baju habis itu kuantar kau pulang, turun di tempat biasa, oke?”
“Cuma Jack yang kau takutkan ya?” Jimin tersenyum lirih, “Kau tidak mau cerita sesuatu padaku?”
Tampar dia. Ambil pisau dan bilang kau akan mati disini, saat ini, kalau Armie tidak berkenan memutuskan hubungan dengan wanita itu dan berjanji tetap setia bersamamu. Selamanya.
Jimin melirik pisau itu sekali lagi. Ragu.
Tapi bagaimana kalau pria itu menolak? Setelah berkali-kali, Armie pasti tahu bila Jimin hanya menggertak. Jimin tidak siap mati, juga tidak siap kehilangan Armie. Namun saat ini pun, rasa-rasanya Jimin ingin mencoba. Barangkali perih ujung pisau menembus daging tangannya tidak sepadan dengan sakit di dadanya sekarang. Ia butuh pelampiasan.
“Baby, pakai bajumu,” Armie berujar panik, ditariknya tiga lembar tisu dan diusap-usapnya belahan paha Jimin. Dibersihkannya seluruh jejak yang dibuatnya disana. “Tidak perlu mandi. Pakai parfum saja di dalam mobil, ya?”
Jimin tersedak, ingin sekali diteriakinya nama itu. Cupcake. Siapa? Siapa yang kau kenal lebih dulu?
Calon menantu? Dua tahun tidur bersamaku, aku tidak tahu nama ibumu.
“Jangan repot-repot, aku bisa pulang sendiri,” katanya pelan. Sambil melenggang ke arah pintu tidak peduli tubuhnya tidak tertutup sehelai benang pun.
Armie termangu, terlambat bergerak sampai Jimin membuka pintu dan melangkah di koridor apartemen dalam keadaan telanjang. Pria itu berseru, panik membawa mantelnya yang tergantung di belakang pintu.
“Kau telanjang!”
“Siapa yang peduli?!” Jimin menjerit, terisak, tersedak airmatanya sendiri sambil berusaha menanggalkan mantel itu. “Tidak ada yang peduli!”
“Kita perlu bicara, kumohon, jangan begini. Ada kamera disini.”
“Leave me alone! Sebelum kutelpon Jack dan kukirim chat sex kita padanya!”
Please, baby. Kumohon. Tetap disini, biarkan aku menjelaskan.
Ada suara berat itu, berbisik dalam benaknya. Dalam angannya, Armie memohon berlutut padanya. Meminta maaf. Itu hanya delusinya, karena kenyataan yang terpantul di depan matanya, Armie hanya berdiri tegang, kini tidak berusaha sekeras tadi. Dua tangannya bergerak-gerak seperti bermaksud meraihnya, namun pria itu tidak mencoba lebih jauh.
“Please,” akhirnya Jimin yang memohon. Pemuda itu berbalik, menatap Armie memohon. Sungguh-sungguh terbayang dalam benaknya kini, bahwa hanya dua pilihan yang dimilikinya. “Jangan tinggalkan aku, Armie. Please.”
Armie atau mati.
Tapi pria itu menatapnya, bingung pada awalnya, hingga menyadari…
“Kau membuka ponselku.”
“Kau cuma perlu bilang maaf dan putuskan wanita itu. Please,” pintanya mengiba. “Please, Armie. Betapa cantik dia, pasti banyak yang mau menikahinya. Tapi aku? Aku cuma punya kau. Please, Armie.”
Pemuda itu mengerat mantel Armie, pekat aroma pria itu membuatnya tersedak lagi oleh tangisnya sendiri.
“Kita butuh bicara, please, baby. Masuklah dulu, cuaca begini dingin, kau tidak mengenakan apa-apa.”
“Telpon wanita itu sekarang, putuskan dia sekarang.”
“Aku tidak bisa—”
“Kumohon, Armie. Aku bisa mati,” dua kakinya menolak untuk menopangnya lebih lama. Hampir Jimin jatuh berlutut disana, tapi mati-matian ia menahan bobot tubuhnya, sambil memeluk dirinya dan tersenyum memohon. “Do it now.”
Kening Armie bertaut dalam, pria itu menggeleng pelan.
“Kita bicara di dalam.”
“Tidak. Jangan ikuti aku, atau kutelpon Jack, aku sungguh-sungguh.” Jimin mundur sambil menggeleng. Tiap matanya mengerjap, setetes pedihnya meleleh. Jatuh membasahi ujung jempolnya. “Kuberi kau waktu. Kau butuh waktu, sampai besok. Kabari aku,” katanya pelan sambil berbalik, melangkah tanpa alas kaki menyusuri koridor apartemen.
Bisa dirasakannya Armie berdiri, terasa jauh makin cepat langkahnya mengayuh. Pria itu sungguhan tidak mengejarnya. Sedikit ancaman atas nama Jack sungguhan membuatnya menunjukkan pilihannya.
Dan Jimin bukan yang dipilihnya.
Betapa menggebu-gebu langkahnya tadi saat berusaha memancing Armie. Tapi kini, satu langkah begitu berat. Lambat pemuda itu mengangkat kakinya, selangkah demi selangkah mengharapkan Armie tiba-tiba muncul di belakangnya. Memelas, meminta maaf, menuruti permintaanya dan meninggalkan wanita itu.
Tolol. Pikirnya. Trust your guts, hal yang sering dilakukannya. Saat pertama mengenal Armie, saat memutuskan untuk berhubungan dengan pria itu, saat pertama kali merasakan silet menyayat kulitnya demi menghindari sakit lain di hatinya. Harusnya, kini ia percaya juga pada nyalinya dan terjun ke jalan tepat saat bus melintas.
Pemuda itu menunduk, gemetar, sesak, dan kedinginan. Airmatanya jatuh, membasahi ujung jempol kakinya. Telapak kakinya keram dan telanjang, dipaksa menapak di jalanan dingin tanpa alas pelindung.
Manusia tolol yang tidak diinginkan siapa pun seperti dirinya, memang baiknya jangan lama-lama hidup di dunia. Lalu terisak pemuda itu, mulutnya akhirnya bersuara, oleh tangis dan makian pelan. Tolol, katanya pada diri sendiri.
Tapi mati sama menakutkannya, setelah apa yang dikenalkan Armie padanya. Rasa hangatnya memeluk sesuatu dan berpikir itu miliknya. Mungkin ia perlu memutar otaknya lagi, mencari cara agar Armie bersedia bertahan dengannya. Tapi saat ini, otaknya menolak untuk bekerja.
“Kid? “
Jimin mendongak, airmatanya masih menggenang membuat siapa pun yang berdiri di hadapannya tampak kabur. Pemuda itu memeluk tubuhnya sendiri, tidak berusaha menghapus airmatanya. Ada ketakutan melintas di hatinya. Ia duduk di halte, tengah malam, telanjang dan hanya terbalut mantel besar Armie. Walau lahir jadi laki-laki, bukan berarti dirinya aman duduk tengah malam di tempat begini dengan keadaan nyaris telanjang.
“U-um?” Jimin menggeser posisi duduknya, separuh cemas. Saat mengerjap dan emosi itu jatuh bergulir turun ke dagu, barulah Jimin menyadari siapa sosok yang berdiri di hadapannya.
Julien Grover.
Satu dari sekian banyak bawahan Jack. Dan mungkin saat ini salah satu yang paling diperhatikan oleh Jack.
Fuck.
.
.
.
.
.
.
Ini biar ga lupa lagi, muka Julien:
Dan muka Armie:
Jimin perlu?
Atau Adek? wkwkwk
Aku sejujurnya udh ngeplot Braven sampe tamat, tapi gatau kenapa aku udh bosen banget sama cerita ini, dan mungkin kalian juga merasakan hal yg sama 🙁
Jadi aku malah lebih sering up yang nyampah-nyampah deh kayak Dreaming Awake
Dan ini mau buat lagi yang baru Clark Kent/Koo angst 🙁
Yaudah gitu aja, guys
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Filter pt.2 (NC)
Author: _baepsae95 -
🔒 Braven – 29. Fractured
Author: Miinalee -
🔒 Sugar, Baby – Special Ch
Author: Narkive94 -
🔒 Sky Above
Author: _baepsae95
Reviews
There are no reviews yet.