Braven – 4. Covenant

Author: A Little Bits of Everything

 

Covenant /ˈkʌv(ə)nənt/

an agreement.

.

.

.

.

.

.

Arthur ingat ia berjanji mengantarkan Jungkook pulang saat pagi datang. Tapi saat sudah rapi mengenakan jaket kulitnya dan kunci mobil di tangan, Arthur malah menemukan anak itu masih meringkuk di atas ranjang kamar tamu. Masih lelap dalam mimpi. Selimutnya sudah tergerai jauh di bawah ranjang, tapi pakaian dan celana yang dipinjamkan Arthur semalam sudah lebih dari cukup jadi baju sekaligus selimut.

Caranya tidur mengingatkan Arthur pada bayi. Meringkuk memeluk diri sendiri. Tubuhnya tampak lebih kecil lagi karena tenggelam dalam sepasang pakaian yang kelewat kebesaran. Arthur bisa melihat ujung kaki anak itu mencuat dari celana panjangnya, putih pucat.

Lama sekali, ia tidak punya siapapun untuk diajak menginap di rumah ini. Hampir dua tahun sejak Lana. Dan malam sebelumnya ia terpaksa membawa pulang burung kecil ini karena kecerobohan Damien.

Masih terbayang olehnya tubuh muda dan putih itu semalam. Begitu pucat. Kulit halusnya mungkin, setengahnya ditenggarai oleh gen wanita. Ia ingat betul saat tubuh kecil itu menggigil di bawah paksaan Damien. Sekelebat imajinasi berdosa lewat dalam benaknya. Bagaimana kalau seandainya… Arthur yang—

Bulu kuduknya meremang.

“Jeon.” Panggilnya sembari memalingkan wajah.

Anak itu bergeming. Arthur menelan ludah. Tiba-tiba lidahnya kelu, pria itu berbalik keluar dan menolak bersuara lagi, tidak ingin berlama-lama berada di kamar itu menonton remaja yang hampir diperkosa semalam— kini terlelap nyenyak dan merasa aman di bawah atap rumahnya.

Arthur memesan dua kotak pizza dan dengan sengaja membuka pintu kamar tamu. Harum pizza yang masih hangat mengepul hingga ke kamar tamu. Butuh tiga menit, tubuh anak itu menggeliat, ke kanan, ke kiri, sampai tiba-tiba anak itu terduduk bangun dan berusaha mengumpulkan seluruh kesadaran yang ia punya.

“PIZZA!” Jungkook melompat dari kasurnya, langsung berlari keluar sembari memegangi celana. Anak itu sudah hampir mengambil sepotong pizza saat sadar ini bukan kamarnya dan ada Arthur duduk di dekatnya.

“Bolehkah—?” Jungkook berjingkat-jingkat, seperti bocah menunggu izin untuk mendapatkan jatah permennya di hari Halloween. Arthur menaikkan alisnya, sebelum menunduk lagi membaca sesuatu di ponselnya.

“Ambil.”

“Yash!” Jungkook memekik senang, menumpuk dua potong pizza dan memakannya sekaligus dari bagian ujungnya. Anak itu bergumam senang, menikmati dengan khidmat pizza yang sudah lama tidak bisa dimakannya. Gereja tidak bisa sesering itu membelikan makanan mewah seperti ini. Bisa makan daging pun sudah bagus.

Arthur melirik, satu dua kali, tapi selalu buru-buru memalingkan pandangannya lagi. Jungkook berdiri berusaha membenahi pakaiannya yang kebesaran. Dipeganginya disana-sini sembari terus berusaha menjaga potongan pizzanya di tangan kanan.

“Bagaimana caranya pulang dengan baju begini?”

“Lipat ke dalam celana. Ikat dengan tali. Aku tidak peduli.”

Ekspresi Jungkook berubah seketika. Arthur diam-diam menyesal, entah untuk alasan apa. Apalagi saat dilihatnya Jungkook tengah berusaha melipat celana itu, ke kanan, ke kiri, setidaknya untuk membuat pakaian itu tampak lebih normal di tubuhnya.

Arthur bangun, melirik pintu kamar di sebelah kamar tamu. Pria itu sempat berpikir lama, masih ada rasa tidak ingin untuk menyentuh kenop pintu itu. Ruangan itu sudah lama tidak pernah di buka. Dua tahun. Meskipun Arthur membiarkan nanny yang disewanya masuk kesana untuk menjaga apapun yang ada di dalamnya tetap rapi dan bersih dari debu. Langkahnya berat, tapi lebih berat lagi melihat bocah itu pulang tanpa baju. Nama kriminalnya jadi taruhan.

Mata Jungkook mengikuti langkahnya.

Arthur masuk ke sana, sebelum niatnya berubah. Pria itu melangkah lebar-lebar menuju lemari, saat dilihatnya potret foto di atas meja nakas, bersih mengilap tersenyum ke arah kamera, buru-buru dibaliknya bingkai itu. Arhur meraih apapun yang dilihatnya. Selembar celana dan kaus di bagian paling atas, lalu keluar lagi dan menutup pintu di belakang tubuhnya.

Arthur meletakkan pakaian itu di sebelah kotak Pizza. Tidak bicara, tidak menawarkan, hanya meletakkannya disana dan kembali duduk di atas sofa.

“Kau tinggal dengan seseorang di rumah ini?” Jungkook membuka pakaian itu dengan terheran-heran. Ukurannya lebih kecil, dua kali lebih kecil dari pakaian yang dikenakannya semalam. Kenapa Arthur tidak memberikan pakaian ini saja? Anak itu berpikir.

“Itu baju bekas putraku.”

“Kau punya anak seusiaku?! Wow.”

“Dua belas tahun,” Arthur membalas diluar kehendaknya. Dua belas tahun saat dia mati. “Tubuhmu lebih kecil darinya,” sambungnya lagi.

Jungkook melengos saat mendengarnya. Tapi tidak berkata apa-apa. Cukup senang tidak harus pulang menggunakan pakaian super besar yang mencurigakan itu.

Arthur melirik arlojinya lagi, rasa tidak sabar untuk segera pergi itu membantunya mengalihkan pandangan dari Jungkook. Ia tahu anak itu sudah berganti baju. Arthur hanya sanggup menatap setengah kakinya. Celana jeans sudah melekat di tubuh anak itu. Jungkook melipat ujung jeans itu tiga kali karena terlalu panjang, tapi tetap saja, anak itu tampak lebih nyaman.

Dua jam lagi ia harus sampai di basecampnya. Tapi disini Arthur berada, terjebak dengan remaja yang baru masuk usia dewasa dan masih terlihat seperti anak-anak.

Pria itu berdiri, sengaja mengayun kunci mobilnya agar berbunyi gemericing. Jungkook menatapnya, masih tidak rela meninggalkan kotak yang penuh pizza.

Sekarang di bawah pencahayaan yang lebih terang, Arthur bisa melihat sisa memar di tulang pipi dan tengkuk kiri Jungkook. Tulang rusuk di bagian kanannya lecet, dan entah ada berapa luka lagi di balik pakaian itu. Arthur tidak ingin membayangkannya. Ia bahkan hampir bertanya, pipimu masih kelu? Tapi tidak diucapkannya. Terlalu terdengar seperti pertanyaan manusia dan Arthur tidak menyukainya.

“Aku harus mengantarmu ke gereja atau ke sekolah?”

“Ke sekolah dengan pakaian begini??” Jungkook tertawa. Tawa pertamanya yang diberikan pada Arthur.

Pria itu mengerutkan keningnya. Tidak ingin bereaksi. Tapi seperti ada serangga aneh merayap di dadanya.

“Lagipula ini libur dua minggu menjelang pergantian semester.”

“Gereja kalau begitu,” Arthur memutuskan dan segera berlalu ke luar rumah untuk menyalakan mobil. Ia masih tidak suka pergi kemana-mana menggunakan kendaraan pemalas ini, tapi membawa Jungkook bersamanya, mengendarai motor bukan pilihan yang bagus.

Jungkook memberengut, tapi mengekori pria itu dan ikut masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba saja anak itu ingin dapat perlakuan ramah. Yang jelas tidak akan didapatnya dari Arthur. Apa yang diharapkannya? Jangan gila, Jungkook mengingatkan dirinya sendiri.

Mereka menghabiskan hampir setengah perjalanan dengan saling diam. Jungkook ingin memulai obrolan, tapi merasa segan. Ia ingin Arthur yang memulai. Tapi tahu ia terlalu banyak mau. Pria itu memutuskan untuk tidak coba memperkosanya juga sudah bagus. Berkali-kali Jungkook mengingatkan dirinya siapa yang duduk di sebelahnya ini. Kriminal. Penjahat. Pembunuh. Pengedar narkoba. Tapi berkali-kali juga anak itu melirik pantulan diri Arthur di spion. Merasa geli melihat ekspresi kakunya, janggut lebatnya, dan alis itu— Jungkook baru sadar ada luka panjang disana yang membuatnya tergores dan tidak bisa ditumbuhi bulu lagi.

Aneh sekali. Dua minggu yang lalu ia hampir kencing di celana saat melihat pria itu datang ke gereja.

“Kirk bilang kau mencari pekerjaan. Saat kau bertemu dengan cartelku di bengkel Kirk sebulan yang lalu.”

Jungkook hampir melonjak kaget saat Arthur tiba-tiba bicara. Anak itu membuang muka, menatap ke jalan sebelum menjawab,

“Ya. Aku sudah 17 tahun, belum lulus sekolah tapi sudah waktunya keluar dari asrama.”

Asrama tidak bisa menampungmu sampai kau lulus sekolah? Sampai punya ijazah untuk cari pekerjaan halal dan cari tempat tinggal? Banyak pertanyaan berkelebat dalam kepala Arthur, tapi hanya satu kalimat yang terucap di bibirnya. Lebih ringkas, lebih cepat diucapkan.

“Aku bisa beri pekerjaan.”

“Pekerjaan berdosa?” Jungkook menggigit bibir, kaget sendiri dengan responnya barusan. Sudah terlambat. Kata-kata itu sudah terlontar dari bibirnya. Semoga pria ini tidak memutuskan belok di jalan depan dan mencari hutan, lalu membunuhnya. Jesus!

Arthur mendengus. “Pekerjaan rumahan, tuan-muda-banyak-pahala. Aku tinggal sendiri di rumah kecil itu, dan tidak punya waktu untuk membersihkannya. Terakhir kali aku menyewa wanita hispanik untuk datang sekali setiap minggu, satu dua arlojiku selalu hilang. Dan aku paling malas memotong tangan wanita.”

“Aku tidak mau tanganku dipotong!”

“Kau berniat mencuri?”

Jungkook menggeleng-geleng. Ia menatap ke jalan, lalu menatap ke Arthur, lalu menatap ke jalan lagi. Berpikir keras sekali. Tentu saja, ia butuh pekerjaan.

“Tapi Damien…?”

“Tidak ada orang yang boleh datang ke rumahku. Termasuk Damien.”

“Kau tidak berniat memperkosaku, kan?”

“Kau benar-benar ingin diperkosa?!”

“Tidak! Jangan…” cicit Jungkook ketakutan, tapi sambil tertawa. Baru semalam kejadian mengerikan itu menimpanya dan Jungkook sudah memutuskan untuk menjadikannya bahan candaan.

Arthur mendengus, hampir kelepasan tertawa.

“Anakmu tidak ada?”

“Sudah mati dua tahun lalu.”

Mata Jungkook membulat. Anak itu kehilangan kata-kata. Harus direspon apa ucapan barusan? Harus bersimpatikah dia? Mengatakan ‘sorry’ lalu bilang turut berbelasungkawa? Arthur bahkan mengucapkannya seperti sedang cerita anjing tetangga yang dibilangnya mati.

“Kurasa aku menelan satu gigi gerahamku semalam.” Ya Tuhan. Jungkook ingin menampar mulutnya sendiri. Kenapa dari beribu kata yang bisa diucapnya untuk mengalihkan topik, ia memutuskan untuk membahas gigi itu?

“Kuberi 100 dollar, periksa kedokter setelah ini.”

“Itu biaya tutup mulut?”

“Kenapa? Kurang?”

“Cukup. Untuk sekarang.” Jungkook tersenyum lebar, senang tiba-tiba suasana berubah cair. Menurutnya, cukup cair dibanding tadi. “Harusnya aku tidak perlu bekerja. Kalau butuh uang kuancam saja dengan cerita soal Damien. Seratus dollar biaya tutup mulut untuk seminggu.”

“Bisa. Seratus dollar setelah itu kepalamu dipenggal.”

Jungkook mendelik. Diliriknya Arthur, Jungkook bergidik saat tidak melihat ekspresi apapun di wajah pria itu. Apa candaannya keterlaluan?

“Kau tidak serius kan? A-aku hanya bercanda, Arthur,” Jungkook memasang wajah memelas. Ditambah memar di tulang pipi dan tengkuknya, dan kulit putih pucat itu—

Arthur harus menggeleng sekali dan berusaha fokus ke jalan.

“Jangan bunuh aku, p-please,” anak itu memelas, mengatup tangannya dan menatapnya. “Setidaknya sampai aku dapat pacar.”

“Damien tidak punya pacar.”

HELL NO!”

Arthur tertawa. Sekali. Pendek. Pelan. Langsung hilang. Dan pria itu kembali menatap jalan seserius sebelumnya.

Jungkook hampir kehilangan momen itu, dan bersyukur ia sempat melihatnya. Bayangan mengerikan soal Arthur agak kikis dari memorinya. Pria ini lebih besar dari Damien, dan secara status, harusnya lebih punya kekuasaan. Tapi disini dia duduk, diam selayaknya orangtua mengantarkan anak yang tersesat pulang ke rumahnya.

“Arthur, apa kau—” Jungkook menelan ludah, agak tidak yakin untuk menanyakan ini. Tapi toh cepat atau lambat mulutnya yang lemes ini akan bertanya,

“Apa kau membunuh Kirk hari itu?”

“Tidak.” Arthur menjawab. “Tapi Julien terpaksa memotong jari telunjuknya, agar Kirk tahu kami serius soal uang itu.”

“Apa harus dengan memotong jari untuk menunjukkannya?” Jungkook benar-benar membekap mulutnya sekarang, sambil mendelik, hiperbola. “Jangan dengarkan aku.”

“Untuk menjaga status cartel kami. Ya. Orang lain perlu tahu apa hasilnya saat bertentangan dengan cartel.

Arthur tidak memberikan celah bagi Jungkook untuk bertanya lagi, ia memarkir mobilnya agak jauh dari keramaian.

There, sudah sampai. Datang saja setiap sabtu dan minggu. Lima puluh dollar sekali datang.”

Jungkook turun dari sana, masih sambil menatap Arthur yang tidak bergerak di bangkunya. Ia merasa seperti anak pelacuran yang baru diantar pulang pelanggan. 50$ sekali datang…

Thanks, Arthur. Akan kupikirkan lagi soal itu.”

“Oke.”

Dan begitu saja. Jungkook ditinggal di pinggir jalan. Tidak ada tawar-menawar selanjutnya. Tidak ada pemaksaan. Seakan kalaupun Arthur tidak bertemu Jungkook lagi, tidak ada bedanya dalam kehidupan pria itu.

Untuk kesekian kali dari ratusan yang pernah dialaminya.

Jungkook kecewa.

.

.

.

.

Lima hari berlalu sejak kejadian itu. Jungkook memegang janjinya. Ia tidak cerita pada siapapun. Tentu saja Jungkook masih sayang pada nyawanya. Suster Helena tidak habis-habisnya mengomeli Jungkook saat anak itu pulang membawa memar di wajah dan bahunya, untungnya suster tidak memaksa melihat luka-luka lain. Jungkook berdusta, ampuni dia Tuhan, untuk ketiga kalinya minggu itu, dengan mengatakan bahwa luka itu hasil dipukuli preman saat ia mencoba mencari pekerjaan.

Jungkook agak menyesal menggunakan alasan dramatis itu. Karena suster Helena menatapnya tanpa bisa berkata-kata, tidak mengomel lagi memang, tapi air mukanya berubah sendu.

Dari banyak orang, mungkin wanita itu yang akan paling dirindukannya.

Hanya bapa dan suster Helena yang mengantarnya saat keluarga Hoseok datang menjemput Jungkook, berpesan banyak hal dan memohon agar keluarga Jung menjaga Jungkook baik-baik. Mereka benar-benar menjaganya, meski entah sampai berapa lama. Karena statusnya hanya menumpang sementara, Bapa dan Suster Helena membantunya dengan tidak mengatakan apapun soal kebenaran Jungkook pada keluarga Jung. Lebih baik begitu, kata mereka. Dengan begitu Jungkook akan lebih mudah diterima. Keluarga kecil itu hanya terdiri dari Ibu Jung, Hoseok, dan Jinwook.

“Anggap rumah sendiri ya.” Ibu Jung mengusap kepalanya sebelum berlalu kedapur.

Jinwook memaksa membantunya mengangkat koper ke lantai dua. Ke kamar Hoseok. Berkali-kali pria itu menawarinya untuk sekamar. Dan sebaik apapun perlakuannya. Jungkook tidak bisa tidak berjengit saat Jinwook mencoba menyentuhnya. Ia tidak menyukai Jinwook, sejak awal mereka kenal satu sama lain.

“Aku sudah dapat pekerjaan sebenarnya. Setiap sabtu minggu.” Jungkook mengatakannya saat makan malam. Ia bahkan tidak menyatakan akan mengambil tawaran pekerjaan itu saat di depan Arthur. Tapi melihat cara Jinwook menatapnya, Jungkook merasa perlu menghabiskan akhir pekannya di luar rumah saja. Tambah lagi saat libur panjang begini… Rasanya ingin sekali ia membersihkan rumah Arthur setiap hari. Pria itu pasti tidak di rumahnya setiap waktu, kan?

“Begitu?” Ibu Jung menatapnya, sambil menumpuk sayur dan daging ke mangkuk Jungkook. Anak itu mengunyah makanannya lahap, senang bisa makan daging dan terasa enak.

“Lima puluh dollar sekali datang.”

“Pekerjaan apa?”

“Bersih-bersih. Rumahnya tidak terlalu besar dan penghuninya lebih sering keluar rumah.”

“50$ sekali datang? Besar juga bayarannya. Tapi tetap tidak cukup untuk menyewa hostel sayang. Tetap tinggal disini sampai kau dapat pekerjaan yang lumayan, ya?”

“Nde, eomonim.”

Jungkook juga belajar banyak kosa-kata Korea di rumah itu. Kata-kata yang belum pernah didengarnya sebelumnya. Bahasa yang harusnya ia tahu…

“Cepat ucap saranghae!” Jinwook memaksanya di suatu waktu. “Tahu artinya kan? Sa-sang-hae!”

Jungkook mengerutkan hidungnya jijik.

Hyung, kau creepy!”

Bagus Hoseok membelanya, dan menariknya pergi dari Jinwook.

.

.

.

.

“Aku butuh uang.”

Itu kata pertama yang diucapkan Jungkook saat ia sampai di rumah Arthur, satu pagi di hari Sabtu.

“Oke.”

Dan hanya itu jawaban Arthur.

Jungkook memberengut. Mengharapkan sambutan yang lebih baik. Tapi lagi-lagi betapa tolol dirinya, mengharapkan sambutan ramah Arthur seperti mengharapkan matahari terbit di tengah malam.

Jungkook mulai dari dapur, membersihkan wastafel yang sudah mengilap. Menyapu lantai yang bebas debu. Dari caranya menggerakkan tongkat sapu pun Arthur langsung tahu anak itu bukan penggemar bersih-bersih.

Tapi dibiarkannya Jungkook bekerja. Satu dua kali pria itu minum dari gelas yang berbeda dan meletakkannya begitu saja ke wastafel, sekedar agar anak itu bergerak dan merasa uang yang didapatnya bukan uang haram.

“Aku libur sampai minggu depan. Apa bisa aku datang beres-beres setiap hari?”

Agak tidak berguna sesungguhnya, mengingat Arthur jarang sekali pulang ke rumahnya. Tapi pria itu menatap cengiran di wajah Jungkook dan hatinya berbisik untuk tidak menolak.

“Hari biasa kubayar $25.”

“Deal!”

“Dan jangan datang hari rabu.”

Kenapa? Jungkook ingin sekali bertanya tapi urung diucapkannya.

“Aku bersihkan kamar ini, ya?”

Arthur refleks mengangkat tangannya, bermaksud melarang, tapi tubuh kecil Jungkook sudah menyelinap masuk ke dalam kamar Max. Pria itu menghela napas, ingin marah, tapi ada sesuatu menahan amarahnya. Arthur memutuskan untuk kembali duduk di sofa ruang tengah, memegang tablet di tangan, mengawasi pergerakan lingkar merah yang bergerak di atas map. Cartelnya akan mengantar lima puluh kilogram kokain, bukan jumlah sedikit. Ia bahkan tidak paham kenapa David memintanya mengirim sebanyak itu ke satu tujuan sekaligus. Arthur mendengarkan, dengan sebelah headset terpasang di telinga kanannya, percakapan semua orang, pembicaraan pengawal bus dan pengawas jalan.

Tiga kilometer di depan— aku melihat aba-aba mereka. Pastikan tidak ada yang pegang senjata, James? Ambil posisi.”

Tiga kilometer dan tanggung jawabnya selesai sampai di sana. Arthur menunggu, memokuskan seluruh dunianya membayangkan transaksi itu mendekati tujuan mereka. Tapi fokusnya tersela.

“Kau menyimpan playstation di sini?” Jungkook melongok dari dalam kamar, senyum merekah di wajahnya. Begitu manis, begitu penuh harap. Tapi Arthur tidak dalam kondisi manusiawi untuk meladeni ekspresi itu.

Pria itu mengerang, hampir membanting tablet di tangannya. Arthur menatap Jungkook, seperti ingin menelan anak itu disana bulat-bulat.

“Jangan sentuh apapun.”

“O-oke,” melihat air muka Arthur membuat Jungkook terbata-bata.Tiba-tiba saja raut itu kembali menyeramkan, seperti kala pertama mereka bertemu di bengkel Kirk dulu. “Aku hanya merasa sayang—”

“Jangan sentuh apapun, Jeon. Cepat bersihkan dan segera pulang.”

Jungkook sontak membeku.

“Aku akan pergi dalam satu jam. Aku tidak ingin lihat wajahmu 40 menit dari sekarang.”

Jungkook membuang muka. Tidak ingin menjawab. Karena wajah Arthur seperti tidak ingin ditentang dengan cara apapun juga. Anak itu ingat lagi cara Arthur menatapnya, mencengkeram wajahnya, sementara semua bawahannya menonton dan setuju-setuju saja kalau seandainya Arthur memutuskan untuk memotong jari Jungkook disana. Bayangan itu terus berulang-ulang dalam benaknya sementara Jungkook terburu-buru membereskan semua pekerjaannya.

Begitulah. Bayangan Jungkook tentang hari pertama kerjanya sungguh berbeda 180 derajat dari apa yang diinginkannya.

Apa pula yang berani diharapkannya?

.

.

.

.

KOMEN DONG AH SEBEL. DITAMPOL OM NIH, MAU?

 DITAMPOL OM NIH, MAU?

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Braven – 4. Covenant”
Beranda
Cari
Bayar
Order