5. Little Wishes
“One fuck from Atlantean is a different story.” Arthur mendesis. Ia hanya mendengar satu dua kali Vulko mengingatkannya. Water brings life. Pesan yang selalu diabaikannya juga, karena itu Arthur tidak pernah peduli soal pengaman, terutama saat lawan mainnya laki-laki. Tapi melihat apa yang terjadi disini, tepat di depan matanya, tidak salah lagi… “It’s mine, so I will decide too.”
Kuperhatiin banyak komennya bilang ga tau Justice League. Kalo ada waktu nonton yak Justice League Synder’s Cut.
Yaudin ini aku sediain gambar yak:
Victor Stone/Cyborg
Arthur Curry/Aquaman
Diana Prince/Wonder Woman
Barry Allen/Flash
Bruce Wayne/Batman
Clark Kent/Superman
Alfred
Hak milik siapa ni?
Awalnya, Jeon bermaksud mencubit pipinya menggunakan tang. Dua kali ia mencubit pipi kanan dan kirinya dengan jari sendiri, terasa sakit, tapi ia masih lebih yakin tengah bermimpi. Jadi ia menghampiri Arthur, menyuruh pria itu mencubit pipinya, dan Jeon langsung menyadari betapa bodoh permintaannya itu.
Jentikan jari telunjuk dan jempol Arthur yang maha besar membuatnya memekik, nyaris menangis. Jerit kesakitannya lalu jadi drama, karena Kent refleks menghantam Arthur hingga pria itu terpental membentur dinding.
Arthur, yang bangun tegap diantara serpihan dinding hancur, sudah mengangkat trisulanya tinggi-tinggi dengan tampang emosi. Siap mengulang pertarungan di taman kota kembali di tempat ini.
“You fuck.” Pria itu menghentak trisulanya, tiga kali ke tanah, seakan menabuh genderang perang.
Jeon harus pasang badan, di antara dua pria raksasa tidak peduli dirinya hanya manusia.
“No stop! Stop!”
Ada Batmobile disana, dan beberapa jet pribadi Wayne. Jeon tidak sanggup membayangkan kekacauan dan kerusakan yang mungkin tercipta setelahnya.
Kent mendengarkan, setidaknya saat Jeon yang meminta. Pria itu tidak bicara sepatah katapun, ia datang kemari hanya karena mengikuti Jeon yang pulang kesini. Dan bukan hanya Arthur korban tangannya, Kent nyaris membumihanguskan Alfred yang bermaksud mengambil sampel darah Jeon sesampainya mereka di Wayne Manor.
Sejam yang lalu pria Kriptonian itu nyaris membunuh semua orang di ruangan ini, termasuk Jeon sendiri. Sekarang, pria itu berlagak seakan tujuan utamanya bangkit dari kematian adalah untuk melindungi Jeon.
Jeon menatap lipatan sikunya, tempat kapas mungil basah dan beraroma alkohol menempel di sela. Dalam hati bingung setengah mati. Kalau ia tiba-tiba punya kekuatan super seperti Clark Kent, kenapa jarum Alfred mudah sekali menembus kulitnya? Kenapa cubitan jari Arthur menyakitinya?
Jeon tetap tidak percaya, sekalipun Victor menunjukkan video footage saat dirinya dan Kent beradu heat vision, mata ke mata.
“Tidak mungkin…” bisiknya sambil menatap sekujur tangannya. Tidak ada otot tambahan muncul disana. Total berbeda dari tangan besar, kuat, dan berurat yang kini melingkari pinggangnya.
Jeon menelan ludah. Kegiatan melamunnya terlalu dalam hingga ia tidak menyadari tangan itu bertetengger di pinggangnya.
“G-guys, bisa bilang padanya aku taken?” Jeon berujar, nyaris gagap sambil menatap anggota tim Bruce penuh harap.
Arthur hanya mendengus lalu buang muka. Diana bergeleng kecil, bersedekap lalu sibuk bicara lagi dengan Victor. Tidak ada yang meladeninya, padahal sesaat setelah mereka sampai disini, perhatian semua orang begitu terpusat padanya. Jeon si biasa-biasa saja, tiba-tiba punya kekuatan serupa Superman. Sekarang fakta lain lebih jadi bahan perhatian semua orang.
Mother box itu. Kotak yang sibuk jadi bahasan mereka, dicuri oleh pihak musuh selagi Kent dan Jeon beradu pandang dengan sorot laser panas selevel inti bumi.
Siapa musuh mereka? Jeon bahkan tidak diberitahu sampai detik ini. Jadi obrolan ini tidak menarik perhatiannya sama sekali. Yang masih kerap menatapnya tidak tega hanya Barry, dengan tampang ‘Pasrah saja, man.’
“Guys, please.” Tampangnya penuh teror saat ia berusaha mempreteli jari Kent satu demi satu dari pinggangnya. Tapi pria itu merangkul pinggulnya kelewat erat, dan menatapnya kelewat tajam.
Sampai Jeon tidak berani mendongak saat ia memelas, “Mr. Kent, boleh geser sedikit?”
“It’s Kal-El.”
“Hng?” Jeon mengerutkan dahi. Menangkap beberapa kali Kal berusaha menatapnya dengan jarak sedekat mungkin, jadi Jeon mundur dan menggeliat, tidak malu menunjukkan kalau ia sangat merasa tidak nyaman. Kemana master Wayne?
Baru saat Jeon memutar pandangan di tengah wacananya untuk mengabaikan Kent, Bruce sungguhan datang, masuk ke dalam ruangan besar itu sambil membanting pintu.
“Master Wayne!” Jeon berseru girang, bermaksud turun dari meja tapi Kal menahannya tetap disana. Jeon menatap Kent, memasang tampang marah dibuat-buat meski masih ada rasa takutnya tersisa.
“Jeon!”
Untuk pertama kalinya setelah empat tahun berlalu, Bruce menghampirinya dengan langkah cepat. Jantung Jeon berdegup, senyumnya membuncah.
“Yes, master!” sahutnya cepat, patuh, hampir-hampir ikut terjun demi menyambut Bruce. Tapi begitu mendekat, baru Jeon menyadari amarah tertahan berkilat di balik mata hazel Bruce. Tangan besarnya berayun saking cepatnya ia berusaha mencapai Jeon, dan benda yang digenggam pria itu… lampu tua yang dibersihkannya empat hari lalu…
“Apa yang kau lakukan dengan benda ini?” Bruce menodong benda itu di depannya, sambil berusaha menarik tangannya turun dari meja.
Cengkeraman tangan Bruce kelewat kuat, hingga Jeon mengerang dan menahan tangannya sendiri agar dilepaskan dari cengkeraman pria itu. Sakit itu masih bisa ditahannya. Ia bahkan bersedia dicambuk, selama tangan Bruce yang melakukannya. Tapi cara mata Bruce menatapnya, menudingnya, menyalahkannya atas sesuatu yang bahkan belum diketahuinya. Jeon menggigit bibir bawahnya, seakan dihadapkan pada situasi yang sama seperti empat tahun lalu. Ada yang menghimpit dadanya, amat berat hingga napasnya tertahan, sesak imajiner datang menghalanginya menghela udara.
“Mash—” katanya nyaris tersedak airmata.
Kalau bisa dibuang dua kali, Bruce pasti berniat melakukannya saat ini. Membuangnya, sejauh mungkin.
Jeon sendiri tenggelam dalam ketakutannya saat tangan Kent tahu-tahu menyambar leher Bruce, mencekik pria itu dan membawanya menjauh dari Jeon.
“I’ll kill you, Bruce Wayne.”
Kesibukan semua orang teralih oleh drama kecil mereka. Diana, Victor, Barry, hingga Arthur sudah berdiri tegap, bersiaga jika barangkali mereka harus bertarung lagi. Dadakan dan sepihak mengingat siapa yang akan jadi lawan mereka disini.
“Please don’t, Mr. Kal.” Jeon menarik tangan Kent, panik dan terlupa pada ketakutannya sendiri. Begitu melihat mata Kent menyala sewarna amber, Jeon dihantam ketakutan lain bahwa Kent sangat mungkin melakukannya… Membunuh laki-laki yang jadi alasannya tetap hidup. “Please don’t please, Mr. Kent.”
Perseteruan kecil itu padam segera saat Jeon merangkul sebelah lengan Kent setengah memaksa. Kent melepaskan leher itu dengan dengusan tidak rela. Tapi bebas bukan berarti Bruce bersedia mundur, pria itu meraih bahu Jeon lagi. Mengangkat lampu tua itu dan menatap Jeon penuh tuntutan.
“Apa yang kau lakukan?!”
“A-aku mengelapnya….sampai mengilap?”
“Kau mengucapkan sesuatu waktu kau pegang benda itu. Apa yang kau ucapkan waktu itu?”
“Yang mana?”
“Yang kau ucapkan waktu itu sambil mengelap benda itu!”
“A-aku sayang padamu?”
“Jeon!”
“Kubilang aku cuma mau membantumu, dengan cara apapun! Mana kutahu lampu itu membuatku jadi Superman 2.0?!”
Bruce mengerang kuat-kuat, kalau tempramennya lebih buruk lagi, pasti sudah dibantingnya lampu itu ke lantai.
“Kurasa, benda itu tidak membuatmu jadi Superman. Jawaban tepatnya ada disini.”
Alfred meletakkan scan rontgen besar dan transparan ke atas meja, agar semua mata bisa melihat bersama-sama. Jeon tidak mendekat, ia cukup melihat. Lembar besar itu menunjukkan cetakan hitam putih tulang rusuk, diambil dari sisi kiri.
Jeon memeluk dirinya sendiri, makin bingung dan gugup sadar hasil scan itu menunjukkan tampilan tubuhnya. Alfred melakukan scan cepat padanya begitu mereka kembali sesaat tadi. Ia tidak suka pada situasi aneh ini, entah atas alasan apa, ingin sekali dicabutnya lagi keinginannya untuk bergabung dalam tim kecil Bruce.
“Disini tidak terlihat, coba ini,” kata Alfred sambil membuka lembar lain, lebih kecil, lebih tampak seperti lembar ultrasonografi dengan tampilan total hitam dan titik putih kecil di tengah.
“Apa itu? Tumor?”
“Embryo. Dari besarnya, 6 minggu. Ada bayi-yang kemungkinan bukan manusia, di perutmu saat ini.”
Jeon sontak mendongak. Mulutnya menganga. “Tidak lucu, Alfred. Aku laki-laki. Apa ada jokes lain?”
Arthur berdiri begitu dekat, menunduk menatap Alfred dengan tampang lebih marah dibanding siapa pun di ruangan itu. “This isn’t funny.“
“Lampu itu…” Diana berujar tiba-tiba, tapi ucapannya menggantung.
Bruce menghela napas berat, memijat keningnya. Jeon menatapnya, mengharapkan bantuan. Tapi pria itu tidak bicara. Dan merasakan betapa tegang suasana di ruangan itu….
“…kalian tidak bercanda?” katanya dengan suara bergetar.
“Wow.” hanya begitu komentar Barry. Sedangkan Victor mengambil dua langkah mundur sambil menatap perut Jeon terus menerus, Jeon segera menyadari pria itu tengah melakukan scanning, langsung padanya, ke arah perutnya.
Ini bukan candaan.
Jeon menatap wajah semua orang, dan matanya berubah panas, berair. Tangisnya mengancam untuk tumpah kapan saja. Jeon menampar pipinya, begitu kuat suara hantaman itu hingga semua mata menatapnya. Sakit sekali…
Jadi ini bukan mimpi?
Sambil gemetar anak itu memegangi pipinya yang merah. “Keluarkan dia, Alfred! Sekarang! Kita lakukan sekarang!”
“Fuck no!” Arthur memegangi tangannya, menunduk menatapnya berang.
“And fuck you! Ini badanku, kuasaku, aku yang memutuskan! And who are you again, sir? No one!”
“Itu anakku.”
Jeon mendelik mendengarnya. “Kau sinting?! One fuck does not equals baby in a day. And I’m a man. Calling me girl doesn’t make me one.“
“Wow. Kalian tidur bersama?” Barry tampaknya lebih takjub pada fakta itu.
Jeon membuang muka, lalu menunduk. Malu setengah mati saat kalimat itu terlanjur meluncur dari bibirnya karena emosi. Ia bisa merasakan tatapan Bruce, dalam dan menusuk tertuju padanya.
“One fuck from Atlantean is a different story.” Arthur mendesis. Ia hanya mendengar satu dua kali Vulko mengingatkannya. Water brings life. Pesan yang selalu diabaikannya juga, karena itu Arthur tidak pernah peduli soal pengaman, terutama saat lawan mainnya laki-laki. Tapi melihat apa yang terjadi disini, tepat di depan matanya, tidak salah lagi… “It’s mine, so I will decide too.”
“Itu ANAKKU!” Kent menyela, menghantam meja hingga benda-benda diatasnya jatuh berhamburan. Pria itu menarik paksa Jeon ke arahnya, dan segera saja kericuhan itu jadi ajang rebutan. Arthur dan Kent sama-sama berusaha menarik Jeon.
“The fuck?” Barry ternganga. Hanya sanggup menonton, sementara semua orang berusaha menghentikan kekacauan sebelum pertengkaran itu melibatkan heat vision dan tsunami.
.
.
.
.
rajin ga aku :3
tiap hari gini mau?
jangan pelit review dulu 🙁
Reviews
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Braven – 13. Enamour
Author: Miinalee -
🔒 Braven – 15. Bestow
Author: Miinalee -
🔒 Borahamnida 4 – Two Become One
Author: _baepsae95 -
🔒 Braven – 9. Synthesis
Author: Miinalee
AuPembaca –
MPREG ASIKKKK ini yang habisin satu malam malah gak jadi bayi. Tp yang baru bangkit dari kematian tanpa malam panas dapat bayi. Btw, Bruce, u agak annoying