6. Ours to Eternity

Tw // blood , accident

Author: Chiika

Jungkook membersihkan pakaiannya dari debu sambil berjalan di koridor lenggang. Tamu sepertinya sudah kembali karena Jungkook pekarangan sudah bersih dari mobil-mobil mewah yang sempat singgah. Sepertinya mereka pulang karena malu, pertunangan dari dua keluarga besar yang digawangi sebagai pertunangan abad 21 itu hancur karena Jungkook sudah menikah bahkan sedang menanti anak dengan pelayan. Walaupun ini bukan puncak rencananya, Jungkook sudah kepalang puas melihat kakek tua itu kehilangan muka. Syukur manusia angkuh itu tidak langsung mengundang media karena reputasi Jeon Jiwon akan langsung hancur seketika. Lagipula, Jungkook tidak mau bertunangan dengan pewaris palsu, menjijikkan sekali.

“Apa yang kau lakukan pada Pengasuh Kim?”

Jungkook menoleh dan menemukan seorang laki-laki berdiri berdiri jauh darinya. Tangannya menyalakan zippo berukir singa kemudian menyulut rokok murahan, kontras sekali. Perangainya tenang, matanya coklat mirip seperti Jungkook.

“Itu bukan urusanmu.” Jungkook terus berjalan, melewati lelaki itu.

“Kau pikir kau sudah siap menjadi ayah? Monster sepertimu?”

Langkah Jungkook terhenti dan dengan cepat dia berbalik sambil melempar pukulan mentah yang ditangkis mudah oleh lelaki itu.

“Lihat siapa yang bicara, kau sendiri tidak pernah menjadi seorang ayah bagi siapapun. Pembunuh.” Balas Jungkook, tajam. Amarahnya memuncak kala itu juga apalagi saat wajah mereka berdekatan dan hasrat ingin membunuh orang kian besar pada sang ayah.

“Tidakkah kau berkaca? Tangan ini bau darah lebih dariku, Jeon Jungkook. Siapa yang Monster sekarang?”

Rahang Jungkook mengeras, “bagus, kau yang membuatku seperti ini. Keluarga setan ini yang menciptakan monster macam diriku, seharusnya kalian sudah puas. Tujuan kalian tercapai.”

“Aku tak merasa itu tujuan Jieun.”

“JANGAN SEBUT NAMA IBUKU DENGAN MULUTMU! BAJINGAN!!!”

Jeon Daesung mendengus kemudian menepis tangan Jungkookj. “Atur amarah dan emosimu terlebih dahulu, Pastikan kau memiliki kesabaran seluas samudra saat anak itu lahir. Jika tidak, history will repeat itself” Daesung berucap santai kemudian melenggang pergi dari sana, meninggalkan Jungkook dengan emosi yang berantakan.

Mengambil nafas, Jungkook berusaha mengatur emosinya kembali sebelum menemui Taehyung di kamar lamanya. Di depan pintu, Jungkook merasa kamar itu terlalu senyap bahkan jika ada Taehyung di dalam. Memutar gagang pintu, pintu kayu itu tidak bergerak sedikitpun. “Tae, Taehyung ini aku. Buka pintunya. Taehyung?” Jungkook mengetuk pintu tapi hanya hening yang dia dengar. Rasa cemas mulai hadir. Mengetuk pintu beberapa kali sambil terus mencoba membuka gagang pintu, Jungkook memanggil terus memanggil Taehyung. “Tae? Kau disana?? Taehyung buka pintunya jika kau ada disana. Ini aku! Taehyung!!!”

Klak

Suara kunci terdengar dan pintu terbuka menampilkan Taehyung yang wajahnya kian sembab karena air mata. “T-Tuan Muda, hiks..”

Aroma kamarnya kecut dan pahit, tanda omeganya tengah stress dan tertekan. Alpha Jungkook ikut panik dan segera memeluk Taehyung erat sambil masuk ke dalam.

“Tae? Taehyung kau kenapa?? Ada apa? Tae??” Jungkook bertanya cemas selagi menangkup pipi Taehyung yang sudah sembab berlinang air mata.

Taehyung melepas tangan Jungkook perlahan, kecewa terlihat jelas di wajah itu. “Kenapa kau melakukan itu?”

“Apa? Apa yang telah ku lakukan?”

“Tadi, kenapa kau malah mengatakan itu di hadapan keluarga besar mu dan apa itu? Kau akan bertunangan?? Kenapa kau tidak bilang padaku dan justru menikah dengan.. dengan omega rendahan sepertiku, Tuan Muda?! Kau mengumumkan pernikahan kita seakan kau ingin mengajak perang Tuan Besar, memang aku apa? Sadarkah kau, anak ini yang akan jadi sasaran!!” Emosi Taehyung meledak, perasaan yang sedari tadi dia tahan sekuat tenaga banjir dan tumpah lewat air mata. Rasanya kecewa dan sakit hati dan itu digandakan dengan tak ada yang membela dan berada di sisi Taehyung bahkan ibunya sendiri pun telah pergi. Taehyung menunjuk pintu dengan mata merah dan air mata yang terus mengalir, “sejak aku masuk ke kamar, beberapa kali seseorang ingin mencoba masuk bahkan sampai memaksa masuk! Mereka berkata ingin membunuhku dan juga anak ini!! Aku takut!! Aku takut setengah mati mendapatkan ancaman seperti itu! Ibuku pun tak membela ku, kau pun tidak di sini bersama ku seolah.. seolah aku ke sini hanya sebuah tropi untuk dipamerkan!!” Taehyung memberi jeda saat nafasnya nyaris habis karena berteriak, “Tuan Muda!! Katakan padaku, apakah kau mencintaiku?? Atau aku memang hanya objek semata? Katakan!!”

Jungkook tertegun, mulutnya terbuka tapi tangannya lebih cepat bergerak dan merengkuh Taehyung ke dalam pelukannya. “Tae, tae maaf.. maaf.. maaf aku tidak bermaksud seperti itu. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk menjadikanmu kambing hitam di sini, maaf. Hanya ini satu-satunya jalan, maaf aku tidak memberitahumu soal pertunangan itu, aku pun juga baru diberi tahu dan kakek tua itu sama sekali tidak menunggu persetujuan dariku.” Suara Jungkook terdengar lirih dan putus asa. Setiap kata yang terucap seperti sedang memohon agar Taehyung mempercayainya. “Hanya kau yang kuinginkan di dunia ini, hanya kau.. hanya kau seorang Taehyung. Hanya kau.. aku tidak bisa hidup tanpamu dan aku yakin kau juga tahu itu. Maafkan aku, aku… aku mencintaimu.. aku sangat mencintaimu..” pelukan Jungkook kuat, nyaris membuat Taehyung sesak.

“Aku juga mencintaimu.. tapi jika begini aku lebih memilih perasaan ku tak terbalas. Tak pernah aku bermimpi untuk bisa bersanding bersamamu, tak pernah sekalipun. Kehilangan dirimu pun bukan sesuatu yang menyakitkan lagi selama aku punya bayi ini…” Taehyung menutup matanya merasakan air mata mengalir ke pipinya, “jujur padaku… apa.. kau menginginkan anak ini? Apa kau benar-benar serius saat mengatakannya tadi? Akan memastikan anak ini lahir, apa itu benar?”

Jungkook melepas pelukannya dan mata mereka saling bertemu. Dibalik kedua iris coklat dan biru itu, keduanya menyimpan rasa takut dan cemas yang saa. Yang coklat takut kehilangan kekasihnya, yang biru takut jika semua kata cinta yang pernah diucapkan hanya kebohongan.

Alpha itu membisu, mulutnya terkunci rapat dan Taehyung bisa melihat jelas dilema dan pergolakan batin yang ada di kepala jenius itu lewat matanya. “Tae, aku.. serius,” Jungkook berucap pelan, suaranya terdengar yakin, “yang ku katakan tadi, saat kubilang akan memastikan anak ini… anak kita akan lahir, aku serius. Aku sangat serius.”

Kita

Rasanya seperti mimpi, bahkan Taehyung pun tak berani bermimpi. Terlalu indah untuk jadi kenyataan, terlalu menyakitkan untuk percaya ini kebohongan. Taehyung menggeleng, “dulu kau berkata tidak menginginkan anak ini, hiks.. kau bahkan juga ingin menyingkirkan anak ini! Mana yang benar!! Jungkook!! Mana yang benar!!!”

“Tae, Tae.. Kau yang bilang tidak ada seorang pun yang siap menjadi orang tua. Kau yang bilang kita bisa belajar bersama. Kau juga tahu alasan aku tidak mau menjadi ayah karena ‘ayah’ yang kutahu selalu bajingan dan kau sendiri yang percaya kalau aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama makanya aku.. aku mencoba Tae.. aku mencoba untuk menerimanya anak ini, beri aku kesempatan.. aku mohon..” suara Jungkook begitu lirih bagai tengah menahan tangis, tangan besar itu mengusap pipi Taehyung dari air mata. “Taehyung, aku minta maaf. Aku bajingan, aku monster.. mungkin memang aku tak pernah pantas memilikimu bahkan menjadi ayah suatu saat nanti. Tapi aku mohon, dengan sangat..” Alpha itu menggenggam kedua tangan Taehyung erat bagai tengah berdoa, “beri aku kesempatan.. berdua.. bersamamu.. aku.. aku tidak bisa hidup tanpamu.. aku tidak bisa.. aku tidak bisa… maaf… maaf..” Tangis Alpha itu pecah di hadapan seorang Taehyung. Tubuhnya membungkuk sambil terus menggenggam tangan Taehyung. Saat seperti ini Jungkook tampak hanya seperti manusia biasa. Tidak akan ada yang percaya seorang Jeon Jungkook menangis tersedu sedan bagai anak kecil dihadapan seorang pelayan tapi nyatanya Jungkook hanya manusia.

Taehyung memejamkan matanya kembali, merasakan air mata hangat mengalir dari pelupuk hingga turun ke pipi. Kepalanya berat dan pusing, omega itu akhirnya bersandar di pundak Jungkook sambil terus terisak pelan. Keduanya menangis dalam diam, dalam hening kamar yang menyimpan sejuta kenangan bersama.

—–

Mereka berdua menangis bersama, Jungkook juga ikut melepas rasa yang selama ini dia tahan sampai saat dia sadar omega itu sudah terlelap pulas dalam pelukannya. Dia ingin memberi Taehyung jeda untuk beristirahat tapi tahu Busan—Mansion utama bukanlah tempat yang aman untuk Taehyung istirahat. Omega itu telah melewati banyak hal yang menyakitkan dan untuk sekali ini, Jungkook akui dia yang salah. Dia yang naif. Dia pikir semua akan baik-baik saja, berjalan lancar sesuai rencana. Tak ada yang menyakiti Taehyung selama omega itu bersamanya tapi Jungkook lupa satu hal.

Lidah tak bertulang.

Mungkin Jungkook bisa melindungi Taehyung dari bahaya fisik tapi Jungkook lupa kalau ada bahaya lain yang mengikuti dan tidak selalu dalam bentuk fisik. Dia tak sadar selama pergulatan emosi di paviliun tadi Jungkook menyakiti Taehyung sedalam tua bangka itu melakukannya pada diri Jungkook sewaktu kecil dulu. Hingga sesaat membuat omega itu ragu pada Jungkook. Rencana Jungkook memang berakhir mulus tapi dia mengorbankan perasaan Taehyung.

Kali ini, Jungkook yang salah.

Jungkook mengakuinya.

Jungkook minta maaf.

Jungkook akan memperbaikinya.

Dia ingin meminta maaf pada Taehyung kembali tapi lelaki itu enggan bicara saat terbangun di mobil. Rasanya seperti Dejavu seperti di awal cerita ini. Saat Jungkook tahu soal kehamilan Taehyung. Omega itu diam seribu bahasa di dalam perjalanan pulang.

Hati omega itu telah hancur berkali-kali oleh setiap hujatan yang dia terima dari keluarga besar. Puncak kehancurannya adalah saat Sunhee menamparnya. Tidak hanya pipi yang sakit, dadanya pun terasa nyeri tak terperi. Sampai di perjalanan pulang omega itu menjadi bisu. Keduanya pun tak bicara bahkan sampai Seoul.

Hari itu menjadi hari terberat bagi keduanya terutama Taehyung dan Jungkook ingin memperbaikinya. Namun hari ini akan Jungkook berikan jeda dan waktu untuk memulihkan luka batin yang Taehyung derita.

Tidak perlu buru-buru bangkit saat sakit hati. Biarkan emosi itu diolah tanpa perlu berpikir lama dan tanpa perlu berbuat sesuatu.

Itu yang Jungkook pikir sampai kesabaran Jungkook menipis. Bukan salah Taehyung, hanya Jungkook memang alpha yang mempunyai kapasitas sabar yang berlebih.

Dia kira memberi waktu seminggu cukup, tapi Taehyung masih masih memberi Jungkook punggung dingin dan pelit bicara nyaris berhari-hari. Mereka juga pisah ranjang dan itu lah yang membuat Jeon Jungkook tidak tahan. Jungkook tidak bisa tidur tanpa mencium aroma manis shortcake milik suaminya apalagi aroma omega sangat manis saat mereka hamil. Manis layaknya gulali.

Minggu kedua, Jungkook mulai membujuk rayu Taehyung untuk berhenti merajuk lalu memaafkannya.

“Aku sudah memaafkanmu,” kata omega itu singkat dan datar yang pasti membuat Jungkook sendiri ragu kalau Taehyung sungguh-sungguh memaafkannya.

Baiklah, alpha mungkin memang harus diberi lebih banyak waktu. Tapi sampai kapan? Jungkook tidak suka tidur hanya memeluk guling dan bantal.

“Malam ini tidur denganku,” titah Jungkook dimeja makan.

“Tidak bisa Tuan Muda.”

“Tidak ada kata tidak bisa,” Jungkook tiba-tiba menggendong Taehyung hingga omega itu terkesiap sambil mencium bibirnya dalam. Masih dengan bibir bertemu, Jungkook membawa suaminya ke dalam kamar, menaruhnya lembut di ranjang dan belum sempat omega itu membantah, Jungkook membungkam bibir manis itu hingga Taehyung mendesah tak karuan dibawahnya.

Memang butuh sedikit paksaan lalu permainan lidah, Taehyung akhirnya menyerah dan membiarkan tuannya melakukan apapun pada tubuhnya—Taehyung juga sebenarnya merindukan sentuhan panas Jungkook di tubuhnya. Satu dua kali berhasil tapi kadang kala Jungkook terbangun dengan sisi kasur dingin dan menemukan Taehyung kembali tidur di kamarnya sendiri.

Seperti sekarang, jam dua dini hari. Jungkook terbangun karena lagi-lagi sisi kasur nya kosong dan aroma manis Taehyung menghilang. Mengerang, Jungkook memaksa bangun dan bangkit keluar untuk membawa Taehyung kembali ke kamar. kadang Jungkook menggendong nya kembali ke kamar, kadang saking lelahnya, Jungkook akan ikut tidur di kamar sederhana Taehyung berdua. Terdengar mereportkan tapi Jungkook memang begitu, lelaki itu sudah di titik membutuhkan Taehyung bagai sebuah adiksi.

“Tae? Tae, bisa berhenti pindah kamar? Aku mohon, aku sama sekali tidak bisa tidur tanpamu sekarang.. Tae?” Jungkook membuka pintu kamar dan menemukan kamar Taehyung kosong. Jantung Jungkook hampir berhenti, matanya terbuka dan seluruh kesadaran nya langsung kembali. Alpha itu panik. “Tae?! Taehyung!!! Kau dimana!!”

“Tuan Muda?” Jungkook mendengar suara tak asing itu dan segera berlari menuju dapur.

Rambut perak berantakan, wajah chubby menggemaskan dan mengenakan piyama kotak-kotak kebesaran. Taehyung menatap Jungkook bingung sambil membuka kulkas, “tuan muda? Ada apa?”

Jungkook akhirnya kembali bernafas. Rasanya tegang yang tadi sempat hadir kini lenyap seketika. Dengan langkah lebih pelan Jungkook menghampiri omega itu yang dia sadari perutnya makin terlihat bulat. “Apa yang kau lakukan?”

“Tiba-tiba aku ingin minum susu strawberry,” ucap omega itu selagi sibuk menyusuri kulkas dan memilih strawberry segar di dalam pendingin.

“Jam dua dini hari?”

“Ini namanya ngidam Tuan Muda, bayi kecil yang mau.”

“Harus banget dituruti?”

“Kalau tidak dituruti nanti akan ileran.”

Satu alis Jungkook terangkat. Itu sama sekali diluar logika. “Itu tidak mungkin, tidak ada hubungannya.”

Taehyung mengangkat bahu sambil mengeluarkan susu dan strawberry yang sudah dipilih ke meja. “Benar atau tidak, intinya aku lapar dan sangat ingin susu strawberry.”

Mengusap wajahnya yang masih mengantuk dan lelah bukan main, Jungkook mengambil blender dan susunya dari Taehyung.

“Tuan muda apa yang kau lakukan—aduuh!” Taehyung mengaduh saat Jungkook mencubit hidungnya gemas.

“Jungkook, sudah kubilang berapa kali. Aku suamimu, suami sah mu. Duduk, biar aku yang buat.”

Taehyung berkedip beberapa kali lalu kemudian mencoba mengambil kembali susu dan strawberrynya. “Tuan Muda kau bisa tidur lebih dahulu, aku tak apa. Kau terlihat lelah.”

“Memang salah siapa, aku kekurangan tidur akhir-akhir ini, hah?!” Suara Jungkook tak sengaja naik, Taehyung sampai menunduk takut. Mengambil nafas sambil memijat pangkal hidung, Jungkook mencoba mengontrol emosinya, “Tae, turuti kata alphamu, duduk dan biarkan aku yang melakukan. Lalu, berhenti dengan Tuan Muda atau aku sentil keningmu hingga merah.”

Omega itu spontan menutupi keningnya dan menurut pada sang alpha. Dia duduk di kursi meja makan sambil memperhatikan Jungkook membuat susu strawberry. Mata biru itu tak sengaja menelusuri otot punggung yang selalu tak tertutup pakaian setiap tidur kemudian berakhir di lengan bertato dengan urat mencuat itu. Seksi sekali—ehem, maksudnya lihai sekali. Kendati setiap keperluan dapur selalu Taehyung yang mengurus, Jungkook tetap lihai memegang pisau juga memasak dan Taehyung kagum dengan otot—masakan yang dibuatnya. Ehem.

Segelas susu strawberry berwarna pink pucat disajikan di meja makan dengan daun mint sebagai hiasan. Taehyung sampai terkagum-kagum melihat presentasi yang menggugah selera. “Minum, Tae.” Jungkook mengusap kepala Taehyung lalu mengambil posisi tempat dihadapannya.

Taehyung mengangguk kecil, lalu menyesap rasa manis dan juga creamy. Dia juga menemukan potongan strawberry segar hingga matanya membesar. “Tuan Muda enak!”

Senyum tipis tersungging di wajah lelah Jungkook, walaupun hanya terangkat sedikit Taehyung bisa merasa Jungkook tulus tersenyum padanya dan itu membuat hatinya menghangat. “Habiskan.”

Mengangguk sedikit canggung, Taehyung meminum susu itu hingga tandas. Rasanya puas, bayi kecilnya pun juga sepertinya puas dibuatkan susu seenak ini oleh … sang ayah.

“Terima kasih banyak, Ayah.” Tanpa sadar kata itu terucap dari Taehyung dan saat omega itu sadar, netra coklat Jungkook sudah membulat besar. Omega itu sontak menutup mulutnya, ‘oh tidak! Terlalu cepat! Bagaimana kalau Tuan Muda marah!’

Pikiran Taehyung panik sampai dia tak tahu Jungkook mendekat hingga wajah mereka seinci dan saat Taehyung sadar, sebuah kecupan manis di kening. Taehyung terpana saat kedua mata mereka bertemu dan melihat netra coklat itu menatapnya selembut susu cocoa.

“Kalau begitu tidur.. tidur bersamaku..” Jungkook merengkuh tubuh Taehyung sambil memejamkan matanya. “Akan ku lakukan apapun, akan ku kabulkan apapun, asal kau tidak meninggalkanku. Aku mohon maafkan aku di busan, aku disini mencoba untuk memperbaikinya. Maafkan aku.. jangan marah lagi.” Alpha besar itu memeluk Taehyung, gerakannya terasa berat dan malas mungkin karena lelah. Taehyung sendiri benar-benar terpana karena Jungkook saat sedang mengantuk sangat menggemaskan. Seperti bayi, Taehyung sampai tak tega.

“Aww, aku sudah memaafkanmu sejak lama.” Taehyung ikut merengkuh pundak Jungkook sembari mengusap rambut hitam pendeknya.

“Kalau begitu tidur bersamaku! Jangan pergi lagii… aku mimpi buruk…” Tuan Mudanya merengek. Jeon Jungkook merengek. Taehyung nyaris terkesiap saat lelaki besar yang dikenal tanpa hati itu merengek seperti bayi di depannya. Oh, menjadi Taehyung dan bisa melihat sisi Jungkook yang tak pernah dilihat dunia. Dari sisi terapuh, tergemas sampai sifat paling menjengkelkan pun hanya Taehyung tahu dan lihat. Taehyung merasa spesial.

“Hahaha baik, baik. Aku akan tidur dengan Tuan Muda.”

“JUNGKOOK IH!”

Tawa Taehyung pecah tepat jam 3 dini hari. Gemas sekali. “Baik Jungkookie.”

“Bagus.” Dengan satu gerakan, Jungkook menggendong Taehyung bagai koala dan membawanya masuk ke kamar. Tak perlu ada paksaan atau sentuhan panas. Hanya tidur berdua dalam satu selimut yang sama dan pelukan hangat sampai fajar menjelang.

Awalnya mungkin sulit, tapi Jungkook berusaha mencoba untuk menerima jiwa mungil sedikit demi sedikit. Memang tidak sempurna tapi ketidaksempurnaan itu lah yang membuktikan Jungkook hanya manusia biasa yang mencoba menjadi lebih baik demi Taehyung seorang.

—–

Taehyung tengah menjahit baju sampai suara pintu depan terbuka dan disusul dengan gonggongan yang tidak asing. Tahu siapa yang kembali, Taehyung sedikit tergesa saat mencoba bangkit dari sofa dengan perutnya kian buncit. “Tuan Mu—Jungkook, apa itu Bam—”

Kalimat Taehyung disela saat Doberman besar tiba-tiba menerjang dan memberikannya kecupan basah. “Bam!! Astaga selamat datang! Wah kau makin besar, Bam-Bam cukup!!” Taehyung sedikit kewalahan karena Bam terlalu semangat kembali bertemu dengan Taehyung.

“Bam! Bam! No, No. Bam!” Jungkook langsung turun tangan dan menahan anjing yang beratnya nyaris 25 kilo itu sebelum tak sengaja mendorong Taehyung hingga jatuh. “Duduk, duduk Bam.”

Mendengar perintah dari Jungkook, anjing pintar itu menurut dan duduk manis menatap tuannya. Namun kemudian bingung saat melihat Taehyung dengan perut besar hampir sebesar kembang kol. “Ahaha, wajahmu lucu, Bam, kau terkejut ya? Ada bayinya di sini~” Taehyung mengusap kepala anjing itu gemas. “Bam akan tinggal disini sampai kapan Tuan Mud-Jungkook?”

“Pelatihan anjing akan tutup selama natal, mungkin Bam akan disini sampai tahun baru.” Jungkook melepas syal dan jaketnya sebelum masuk dan memberi Taehyung kecupan selamat datang.

“Yeaay! Kita akan merayakan natal bersama Bam!” Sorak Taehyung senang.

“Uhm, begitulah. Apa yang sedang kau lakukan Tae?”

“Ah, menjahit, seragamku sudah tidak ada yang muat, Bam kemari, ayo masuk kita kenalan dengan adik kecil mu.” Doberman itu segera masuk dan berlari di dalam ruang tamu. Senyum Taehyung merekah, apartemen jadi lebih hidup dan semarak karena kehadiran Bam.

Satu alis Jungkook terangkat, “untuk apa? Buang saja kau tidak perlu seragam itu lagi, sejak kita pindah aku sudah beritahu kalau kau tidak perlu seragam itu lagi.”

Taehyung kembali duduk di sofa, kakinya mulai tak kuat berdiri terlalu lama. “Tapi aku tidak punya baju lain. Bam, kemari.” Taehyung mengusap kepala Bam di pahanya. Anjing itu menggoyangkan ekor senang sambil sesekali mengusap wajahnya ke perut Taehyung. “Ada bayinya, dia akan menjadi adikmu nanti, mungkin musim semi akan lahir atau mungkin Juni? Aah, aku berharap Bam disini.”

“Mungkin bisa? Pelatihan nya hampir selesai tinggal kelulusan bukan?”

Taehyung terlihat gembira, Bam selama ini tinggal pusat pelatihan untuk dilatih dan hanya pulang beberapa waktu tertentu. Namun karena sekarang bayi pertamanya akan menyelesaikan latihannya sebentar lagi. Semoga Bam bisa hadir kembali saat adik kecilnya lahir. “Uhhmmm-ohh!!” Taehyung terkesiap kaget, “Tuan—Jungkook! Jungkookie kemari! Kemari sini cepaatt!”

Jungkook meletakan kunci mobil di nakas lalu mengambil posisi di sebelah Taehyung di sofa. “Apa?”

“Kemarikan tanganmu,” pinta Taehyung sambil mengulurkan tangannya ke yang lebih muda.

Jungkook menurut dengan mudah dan memberikan tangan kanannya yang langsung dituntun ke perut Taehyung yang sudah besar. Sejenak, Jungkook tidak langsung menarik tangannya kembali seperti waktu itu tapi Taehyung masih harap-harap cemas pada reaksi pemuda itu saat terasa gerakan halus dari dalam perutnya.

Mata Jungkook membola, seperti ingin keluar saking terkejutnya sampai Taehyung menahan tawa. “Tae?! Ada yang bergerak?!”

“Bayinya bergerak!” Taehyung berseru gembira, apalagi saat Jungkook tidak langsung menarik tangannya.

“Kok bisa?!? Taehyung kok gerak?!” Air mukanya malah terlihat cemas dengan tangan masih terus menempel di perut bulat Taehyung. Sebenarnya ini bukan yang pertama kali, bayi kecil bergerak dan aktif tapi Taehyung sering ragu setiap ingin menunjukkan pergerakan kecil ke Jungkook. Takut reaksinya masih sama seperti dulu tapi syukur sekarang, Jungkook lebih terbuka dan menerima anak mereka.

“Artinya sehat, Jungkook. Bayinya sehat.”

Kening Jungkook berkerut sebaris, “sakit?”

“Apanya?”

“Rasanya, rasanya sakit? Wah!” Alpha itu kembali terperangah, wajahnya terlihat seperti tak percaya, “dia menendang keras sekali, apakah sakit?”

Taehyung tertawa kecil, “ya begitulah.”

Jungkook terdiam lalu dia mendekat ke perut besar itu, “hei, jangan terlalu keras! Jangan sakiti papa mu! Dengarkan aku, aku ayahmu. Menurut dengan ayahmu, bayi kecil!”

Dada Taehyung rasanya hangat sekali melihat interaksi mereka berdua.

“Apakah menurutmu dia mendengar ku?”

“27 minggu, aku yakin dia mendengar walaupun samar-samar.”

“Heiiiiiii, ini ayahmu yang bicara. Jangan sakiti papa mu! Jangan menendang terlalu keras, mengerti?!” Bam ikut menanggapi dengan gonggongan keras kemudian mendekatkan wajahnya di perut Taehyung hingga omega itu tertawa geli.

“Ahahhaa Bam! Stop!! Stop hahaha geliiii!!”

Jungkook tentu tidak ingin ketinggalan dan mencium wajah Taehyung hingga tak ada ruang yang tidak tercium.

Natal tahun ini sangat spesial dan lebih hangat dari tahun-tahun sebelumnya. Taehyung dirinya begitu diberkati karena bisa merayakan hari penuh berkat itu bersama orang yang dia sayangi. Di hari ulang tahunnya, bersamaan pergantian Tahun. Taehyung berharap tahun selanjutnya akan sama bersama dengan tambahan keluarga baru.

——

Udara masih dingin, Taehyung diruang tamu berselimut tebal dengan penghangat ditemani bam yang tertidur di kakinya. Januari terasa begitu tenang kendati udara dingin menyelimuti. Segelas susu coklat hangat juga jeruk mandarin Taehyung menikmati sepi malam itu sendiri.

Sepi tak berlangsung lama karena Jungkook keluar dari ruang kerjanya tak lama berselang sambil membawa laptop di tangan. Alpha itu sadar, Taehyung sedang bersantai di ruang tengah memutuskan untuk ikut bergabung dan merilekskan pikiran setelah rapat virtual. “Kenapa tidak tidur? Ini apa? Apa yang kau lakukan tengah malam seperti ini?” Pertanyaan muncul saat Jungkook melihat sebuah kertas di meja lalu ipadnya tergeletak di sampingnya.

“Hmm? Aku tidak bisa tidur, bayi kecil sepertinya belum mengantuk,” Taehyung menjawab sambil sambil mengupas kulit jeruk kemudian menyuapi Jungkook mandarin manis, “lalu ini.. aku terpikir untuk mulai mencari nama untuk bayi kecil.”

Jungkook mengunyah jeruk itu, merasakan rasa manis diikuti sedikit kecut sambil mengusap perut Taehyung. How fast can night change? Jungkook sekarang terlihat lebih nyaman mengusap perut dan berinteraksi dengan bayi mereka. Lelaki yang awalnya begitu keras menentang bayi ini sekarang menjadi salah satu ayah yang mungkin akan memanjakan anak mereka saat anak ini lahir. Terbukti dari kamar sederhana Taehyung yang sudah disulap menjadi kamar bayi cantik lengkap dengan segala keperluannya. Perangai alpha yang selalu terlihat kasar kini lembut dan pengertian—Jungkook sebenarnya Alpha lembut tapi karena keadaan dan juga didikan keras, alpha itu juga mengeraskan hatinya kecuali untuk Taehyung. Namun sepertinya daftar pengecualian itu akan bertambah satu. “Nama? Kenapa kau tidak memanggilku? Dia anakku aku mau memberi nama juga. Hmm, manis. Hei, sudah malam, jam berapa sekarang? Sudah hampir jam 12, tidur bayi kecil, papamu butuh istirahat,” ucap Jungkook di perut Taehyung sambil terus mengusapnya.

Hati Taehyung rasanya meleleh setiap Jungkook berperilaku manis dengan bayi mereka seperti ini. Dan seperti yang Taehyung duga, Jungkook akan menjadi suami dan ayah terbaik untuk mereka. “Menunggu ayahnya selesai rapat virtual untuk berpelukan.”

“Aku sudah disini, jeruknya manis, sepertinya aku akan menghabiskan jeruk ini dulu sebelum tidur. Tae, sini kemarikan ipadnya, aku juga mau memberi nama.” Jungkook mengambil ipad dan mengecek nama yang sudah ditulis Taehyung dalam daftar panjang di kertas. “Kebanyakan huruf B..”

“Hmm, menurutku terdengar lucu, biar sama dengan Bam,” Taehyung bergumam sambil bersandar di pundak Jungkook. “Jungkook… kau ingin laki-laki atau perempuan?”

Yang ditanya terlihat sibuk mencari nama juga menulis di kertas. “Hmm? Laki-laki atau perempuan sama saja. Asal sehat, asal kau dan dia sehat, aku tidak meminta banyak.”

Omega itu tersenyum mendengarnya. “Jungkook, aku ada permintaan..”

“Ya?” Menaruh bolpoin dan juga ipad di meja, perhatian Jungkook kembali penuh pada suami disampingnya.

“Jika sesuatu terjadi padaku, pilih anak ini ya.”

Segaris kerutan muncul di kening Jungkook, kentara sekali Alpha itu hendak protes, “Tae, aku tidak suka pembicaraan ini.”

“Aku tahu, tapi aku merasa harus mengatakan ini. Pilih anak ini, setidaknya kau tidak akan kesepian jik terjadi sesuatu denganku,” mata biru Taehyung menelisik wajah Jungkook. Kerutan di keningnya kian dalam.

“Tae kau sudah berjanji untuk melakukan ini bersama. Kau tau aku tidak bisa melakukan ini sendirian, rasanya tidak berarti tanpa mu disini.” Suaranya tegas, naik setengah oktaf, seperti sedang menahan amarah dan mencoba setenang mungkin bicara dengan omeganya.

Taehyung hanya memberi senyum tipis, “cukup berjanji padaku, kau akan memilih anak ini daripada diriku nanti.” Jemari lentik itu menyentuh rahang tegas Jungkook yang kelihatannya menegang menahan emosi.

“Kalau gitu kau juga harus berjanji untuk selamat, Jeon Taehyung! Berjanji untuk tidak meninggalkan ku dan bayi kita!”

Jeon Taehyung. Bayi Kita. Jika ini mimpi, tolong jangan bangunkan Taehyung lagi.

“Kapan aku meninggalkanmu Kookie? Aku tidak akan kemana-mana.”

“Itu bukan janji, Taehyung..” Jungkook berucap pelan sembari memegang pipi Taehyung perlahan, ekspresinya getir dan menyakitkan.

Menyentuh tangan hangat di pipinya, Taehyung memberi senyum hangat. “Aku tidak berjanji sebuah janji yang tak bisa ku tepati, Kookie..,” gumamnya bagai bisikan. “Dengarkan aku,” Taehyung mengecup buku jemari tangan besar itu, “aku mohon, aku mohon dengan sangat Jungkook. Aku mau anak ini lahir, aku mau anak ini mendapatkan kehidupan lebih baik dariku. Maka dari itu aku mohon, apapun yang terjadi padaku, pilih anak ini dan aku punya satu permintaan terakhir. Maaf aku egois Jungkookie, tapi aku lakukan ini demi dirimu dan juga anak kita nanti..”

Saat permintaan itu terucap, Jungkook menggeleng dan menolak. Dari sekian banyak permintaan yang bisa Taehyung buat, hanya ini yang tidak akan Jungkook kabulkan. Tidak akan.

—–

Udara masih dingin di akhir Februari tapi salju dan sudah perlahan meleleh untuk membuka jalan bagi tunas kembali tumbuh. Bulan itu juga terasa sangat lancar dibandingkan beberapa bulan terakhir. Perusahaan cabang yang dipimpin Jungkook mendapatkan banyak pencapaian dari awal tahun, mulai dari bekerjasama dengan perusahaan besar lain sampai proyek besar yang berhasil dengan gemilang. Belum lagi, pernikahan dan kehamilan Taehyung masih belum bocor ke media dan publik. Semua orang tidak tahu, pengusaha muda yang masuk ke 20 besar orang berpengaruh dibawah umur 30 itu sudah menikah dan bahkan menanti kehadiran buah hati.

Semua begitu lancar, Yoongi-hyung gusinya sampai kering karena bonus besar yang dia dapat. Karyawan juga ikut senang dan tentram karena bosnya kian murah hati dan dermawan walaupun masih terlihat menyeramkan tapi memang wajahnya saja yang sangar.

Semua begitu sempurna. Jungkook juga sadar kalau semesta sedang tumben-tumbennya bekerja sama dengan dirinya dan itu membuatnya tegang rasa. Apa lagi, tua bangka Jiwon sama sekali tidak terlihat bergerak. Keluarga besar Jeon yang lain juga terlalu senyap bahkan saat nama Jungkook kian besar. Atau mungkin itu hanya firasat saja? Tapi Jungkook harus bersiap, singa selalu berusahalah menjadi senyap sebelum menerkam.

Matahari masih tinggi dan Jungkook memutuskan untuk kembali untuk makan siang bersama Taehyung karena dia punya cukup banyak waktu hari ini. Di jok penumpang sudah tersedia shortcake strawberry cantik, bunga mawar indah dan juga sebuah kado kecil yang berisi sepatu mungil. Di belakang stir Jungkook sesekali melirik ke bingkisan itu dengan senyum kecil yang tak bisa dia tahan.

Mobil terparkir rapi di basement tepat di sebelah mobil yang pernah Jungkook pukul hingga cekung kini sudah kembali seperti semula. Jungkook tiba-tiba mengeluarkan sebuah kertas lalu menempelkannya di kaca depan. Sebuah cek uang sebesar 500.000 won dan pesan teramat singkat.

Sorry. For repairing and buy candies

Mengambil bingkisan dari jok, Jungkook ke lift dengan langkah seringan bulu.

Pemuda itu membuka pintu apartemennya dan menyadari apartemen itu senyap. Mungkin, Taehyung sedang memasak di dapur? Jam segini omega itu selalu menghabiskan waktu di dapur dan menyusun menu untuk makan siang dan malam.

Membuka sepatu dan masuk ke dalam, Jungkook mendengar suara Bam menyalak dari kamar. Terdengar lebih keras dari biasanya. “Bam?? Bam! Aku pulang!”

Doberman itu tiba-tiba berlari keluar dan menghampiri Jungkook.

Pemuda itu segera menyambut Bam dengan tangan terbuka, dia sempat berpikir kalau Bam akan mencium wajahnya seperti yang sudah-sudah tapi anjing besar itu justru menggigit pakaian Jungkook seakan tengah meminta sang tuan untuk mengikutinya.

“Bam ada apa???” Jungkook bingung, pemuda itu menaruh bingkisan di meja lalu mengikuti kemana anjing itu membawanya. Mereka masuk ke dalam kamar Jungkook tapi gonggongan anjing itu semakin keras menunjuk kamar mandi. Perasaan Jungkook tidak enak, lelaki itu langsung berlari masuk ke dalam kamar mandi.

Jantung Jungkook seakan berhenti, dia melihat Taehyung tergeletak di lantai dengan bercak merah di celananya. Wajah Taehyung sepucat kertas dan dia menahan sakit sampai dia sadar Jungkook mematung di ambang pintu dengan wajah pucat pasi. “Kookie…. Bayinya… tolong… hiks…bayinya..”

Suara Bam nyaring terdengar sambil menggigit ujung bajunya, meminta sang tuan untuk kembali berpijak dan segera melakukan sesuatu.

Rasanya di kepala Jungkook terdapat korsleting listrik tapi dengan cepat lelaki itu kembali sadar dan masuk ke dalam kamar mandi. Membopong Taehyung yang sudah begitu pucat dan tanpa bicara, berlari keluar dari apartemen.

Taehyung menggigit bibir menahan sakit, air mata mengalir bukan karena rasa sakit tajam di perut. Melainkan rasa takut kehilangan buah hati.

Di lift, Jungkook bersimpuh sambil terus merengkuh Taehyung erat. Dadanya naik turun dan nafasnya nyaris habis karena panik.

“Kookie… janjimu.”

“Aku tidak akan melakukannya. Kau akan selamat dan janjiku padamu akan batal.” Ujarnya final dengan mata terus tertuju pada nomor lantai yang begitu lama berubah. Sial, dia ingin memukul lift itu agar mereka cepat sampai ke parkiran.

Taehyung hanya tersenyum pahit.

Rasanya seperti terjebak di lift begitu lama sebelum akhirnya mereka sampai ke basement. Menggendong Taehyung kembali, Jungkook berlari ke mobil. Menaruh Taehyung di kursi penumpang dan Jungkook segera menginjak gas di kursi pengemudi. Caranya berkendara terlalu gegabah, Jungkook nyaris menabrak taksi di jalan. Persetan dengan mereka, Taehyung lebih penting, nyawa Taehyung dan anaknya lebih penting. Pandangan Jungkook kabur, dia tak sadar selama mengemudi, Jungkook tengah menangis.

Saat sampai di rumah sakit, Jungkook mengamuk dan murka karena tidak diijinkan masuk ke ruang tindakan bersama omeganya. Namun akhirnya alpha itu menyerah dan menunggu di ruang tunggu dengan pasrah. Tak ada yang bisa Jungkook lakukan, tak ada yang bisa Jungkook lakukan untuk menyelamatkan Taehyung dan itu membuatnya begitu frustasi.

“Kookie… janjimu.”

Tidak, tidak..

BRAK

Tempat duduk plastik di ruang tunggu hancur saat Jungkook tiba-tiba mengeluarkan amarahnya dalam satu pukulan pada tempat duduk plastik yang tak bersalah.

“Pak, jika bapak masih membuat keributan, bapak harus saya usir dari sini.” Salah seorang satpam berucap.

Jungkook mengusap wajahnya dan melirik satpam itu dari sela jari dengan tatapan dingin dan aroma pedas menguar di udara. Satpam itu sedikit gentar hingga mundur selangkah. “Terserah..” Jungkook menjawab, dia sudah dititik menyerah dengan semuanya tapi dia tidak ingin diusir dari tempat itu sebelum dokter keluar dan mengatakan Taehyung dan bayinya baik-baik saja.

Pintu ruang tindakan itu akhirnya terbuka dan dokter berjas putih keluar. Jungkook segera bangkit dan mendekati dokter itu dengan seribu pertanyaan keadaan Taehyung yang terlihat di mukanya.

Masker medis hijau terbuka, ekspresi dokter itu terlihat lebih jelas. Getir dan sarat makna. “Kita akan mengadakan operasi darurat. Kecil kemungkinan, mereka berdua selamat.”

Dunia Jungkook runtuh saat itu juga. Ranjang Taehyung di dorong keluar dari ruangan dengan berbagai perlengkapan menempel di tubuh itu. Wajah omega itu terlihat makin pucat dan berusaha keras untuk tetap sadar. Tangan terulur ke udara yang segera digenggam Jungkook erat.

“Ingat… Janjimu… Kookie..”

TBC

Next update will be 🔒 chapter

Menuju akhir uwuuu

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “6. Ours to Eternity”
Beranda
Cari
Bayar
Order