Braven – 6. Prudence

Author: A Little Bits of Everything

Prudence pruːd(ə)ns/

the quality of being prudent; cautiousness

.

.

.

.

.

.

“Buat apa kita kesini?” Jungkook keluar dari mobil memeluk diri sendiri. Tidak senang Arthur membawa mereka kembali ke rumah Hoseok.

“Buat apa?” Pria itu malah balik bertanya. “Kau butuh baju kalau mau menginap. Ingat?”

Jungkook ingat Arthur mengatakannya beberapa menit lalu. Tapi ia tahu betul apa tujuan mereka datang kemari. Untuk Jinwook. Dan tiga bulan mengenal pria ini, Jungkook tahu Arthur tidak akan segan-segan melukai seseorang. Saat perlu, selalu begitu alasan pria itu. Sekalipun Arthur tidak meladeni candaan dan hinaan Jungkook selama ini, Arthur tetap orang berbahaya.

“Arthur, jangan bunuh Jinwook.” Jungkook memelas.

Arthur memandangnya. Di bawah gelap malam, Jungkook bisa melihat alis pria itu bertaut. Tapi Arthur tidak menjawab, malah menarik bahunya agar segera sampai ke depan pintu.

“Berdiri di tengah. Tatap balik kamera. Pencet belnya.”

Jungkook menatap Arthur, bingung dan takut.

Do it, bird.”

Jungkook patuh. Memencet bel sekali, tapi langsung menatap Arthur lagi, seperti tidak yakin dan butuh dibimbing. Arthur menunjuk kamera, mengingatkan Jungkook untuk menatap kesana.

TING TONG

TING TONG

Mereka menunggu hampir lima menit. Mungkin Jinwook sudah tertidur. Memikirkannya saja membuat emosi Jungkook mendidih lagi. Kalau benar pemuda itu tertidur setelah percobaan yang hampir dilakukannya pada Jungkook…

TING TONG TING TONG TING TONG TING TONG

Jungkook memencet bel itu makin brutal dari menit ke menit. Arthur mengawasi, ujung bibirnya agak naik melihat kelakuan Jungkook.

Pintu membanting terbuka. Jinwook muncul dari dalam, sontak mengulurkan tangan bermaksud meraih leher Jungkook.

“Jungkook! Bitch—

“Well, hello?” Arthur langsung memasang badan di depan Jungkook, pria itu menangkap bahu Jinwook dan mendorongnya masuk ke dalam.

“Siapa kau?! Keluar dari—”

BUGH! Arthur menghantam pipi Jinwook hingga remaja itu terhuyung jatuh menabrak kursi. Arthur tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Ia masih butuh anak itu bisa bicara.

“Kudengar kau main ke kamar Jeon malam ini? Kalian main monopoli? Boleh aku ikut main?”

Jinwook terbata-bata. Tersadar orang yang baru saja memukulnya hampir menyamai tinggi pintu rumahnya. Pemuda itu bergidik, merangkak mundur. Mana mungkin ia melawan raksasa ini. Jadi yang terlintas dalam otaknya—

H-HEL—”

“No.” Arthur mencengkeram mulut Jinwook, memaksa lima jarinya masuk ke dalam sana dan mencegah suara keluar. “Mau coba gigit tanganku? Aku bisa lepas rahangmu,” suara Arthur pelan. Tidak ada nada mengancam. Pria itu juga tersenyum. Tapi kelebat kilat mata hazelnya di ruangan yang gelap—

Itu bukan sorot mata manusia.

Jinwook gemetaran, liurnya menetes membasahi tangan Arthur.

“Kulepas tanganku, tapi kalau kau bersuara… Rahangmu kutarik dari tempatnya. Deal?”

Jinwook mengangguk-angguk, setuju dalam ketakutan. Arthur melepas tangannya. Masih berjongkok di hadapan Jinwook, memagari pemuda itu dari Jungkook menggunakan tubuh besarnya.

“K-kita bisa bicarakan baik-baik, K-Kookie. Tidak perlu seperti ini.” Dari mana kau bisa mengenal orang ini? Jinwook mundur, tapi tertahan oleh meja ruang tamu. Ia memikirkan cara kabur, tapi buntu. Pintu keluar ada di belakang tubuh pria besar ini.

“Kau mau bicara baik-baik? Dengan teh dan biskuit?” Arthur berpaling pada Jungkook, tersenyum, terlihat menikmati situasi gila ini.

Jungkook tidak mengerti, apakah memang situasi begini yang bisa membuat Arthur tersenyum selepas ini. Tapi kelakuan Arthur membuat keberaniannya berlipat ganda, ketakutannya beberapa jam lalu berubah jadi rasa sengit.

“Aku minta kau berhenti dengan baik-baik juga. Tapi kau duduk di perutku dan merogoh celanaku.” Jungkook berujar dendam.

See? Little birdie tidak mau bicara baik-baik.”

Jinwook tergagap. Mulutnya mengatup dan terbuka, berusaha bicara, apapun, yang mungkin bisa menego situasinya. Ia melirik dapur, menghitung kemungkinan yang bisa diraihnya untuk lari kesana. Tidak, terlalu jauh. Dan kaki pria di depannya terlalu panjang. Dalam dua langkah pria ini pasti sanggup menangkapnya dari belakang.

“Kau tidak ingin dia mati?”

Jinwook terenyak mendengar pertanyaan itu. Dilontarkan dengan begitu santai.

Jungkook menggeleng cepat-cepat.

“Oke.”

“Tapi dia perlu ingat.” Jungkook menambahi. “Saat kubilang tidak mau artinya tidak mau.”

Arthur menyeringai, memang itu yang ditunggunya.

Alright. Ambil pisau dan alas kayu. Paling besar yang bisa kau temukan. Makin tajam, makin rapi potongannya.”

“J-Jungkookie— aku minta maaf, p-please dongsaengi?”

Jungkook membuang muka. Anak itu pergi ke dapur, mencari benda yang diinginkan Arthur. Ia kembali membawa pisau daging dan alasnya.

“Letakkan tanganmu disini. Yang rapi.” Arthur menarik paksa tangan Jinwook, dan menggelarnya di atas alas kayu layaknya potongan daging siap dicincang.

P-please, sir. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Please-please-please. Kumohon. Jungkookie, a-aku hyungmu. Katakan padanya. Aku kakaknya, sir!

Arthur mengabaikan tangis Jinwook. “Kau yang pilih. Mau yang mana? Satu? Dua? Semuanya?”

Jungkook menatap Jinwook, menahan ekspresinya sedatar mungkin. Diingatnya lagi kelakuan pemuda itu beberapa jam lalu. Ia membayangkan apa yang terjadi kalau saja dirinya tidak berhasil membela diri dan kabur dari sini. Jinwook pasti tidak akan mengampuninya. Jungkook masih bisa merasakan penis pria itu tegang di atas perutnya.

“Aku mau jari tengahnya. Dia bilang ingin merogoh lubangku dengan jari itu,” suara Jungkook berubah mengadu.

“Begitu?” Arthur tidak melepas tatapannya dari Jinwook. “Mau berapa ruas?”

“Semuanya.”

“Oke.” Arthur menarik jari tengah Jinwook dan memaksa pemuda itu melipat sisanya. Pria itu menahan ujung jari tengah Jinwook tetap di posisi, lalu mengira-ngira ayunan pisaunya. “Jangan bergerak, atau aku salah memotong dan seluruh tanganmu hilang.”

PLEASE, JUNGKOOK.” Jinwook memelas, hampir menangis. “Kau menumpang hidup di rumahku tiga bulan dan ini yang kau berikan—”

Alright—”  Arthur mengayun pisaunya cepat, selagi Jinwook sibuk memelas.

Pemuda itu tidak sadar satu jarinya sudah terpisah, sampai hangat darah mengaliri alas kayu di bawah tangannya dan rasa sakit menyeruak, dari ujung jarinya hingga ke ubun-ubun.

ARRRRGGHHHH!” Jinwook mencengkeram pergelangan tangan kirinya, tempat satu jarinya menghilang.

“Kubilang jangan ada suara, Jin-Wook.” Arthur membekap mulut pemuda itu. Jinwook mengejang, menahan sakit sambil menangis terisak-isak di balik tangan Arthur. Darah dari tangannya mengotori lengan kemeja Arthur, membuat pria itu mengerang kesal.

“Ini kemeja favoritku.”

Pleasesirpleasesirpleasesir—” Jinwook berpegang pada Arthur, memelas, memohon, ketakutan.

“Tatap anak itu.” Arthur mencengkeram dagu Jinwook, memaksa pemuda itu menatap Jungkook.

Jinwook melakukannya, meski hampir seluruh energinya menguap bersama darah yang mengucur deras dari bagian jarinya yang terpotong. Pemuda itu mengerjap pada Jungkook, wajahnya menyedihkan. Berkeringat dan basah oleh airmata.

“Kalau kau berani menyentuhnya lagi… lain kali bukan jari. Kau dengar aku?”

Jinwook mengangguk cepat-cepat. Arthur melepas wajahnya. Anak itu terpekur di lantai, meremas ujung jarinya menggunakan baju untuk menahan darah mengucur lebih banyak sambil menangis tanpa suara.

“Ambil bajumu, little bird.”

Jungkook langsung lari ke lantai dua. Menghilang sebentar dan turun membawa ransel yang sudah penuh.

“Hanya segitu barangmu?”

“Sisanya kuambil saat pamit dari ibu Jung dan Hoseok.”

Jungkook sudah berniat mengirimi Hoseok pesan pendek dan seulas dusta, Aku harus menginap seminggu di rumah majikanku. Tidak ada orang menjaga rumahnya. Seminggu sepertinya jeda yang cukup untuk tidak melihat wajah Jinwook.

“Apa dia bisa mati kehabisan darah?” Jungkook bertanya khawatir.

Arthur tertawa, “Tidak. Mati ketakutan mungkin. Tapi pendarahan tidak.”

Pria itu merogoh dompet dari sakunya, dan mengeluarkan sesuatu dari sana.

“Kalau ingin datang ke polisi, ini kartu namaku. Berikan pada mereka,” dilemparnya lembar kecil itu pada Jinwook.

Jungkook melihat dan bingung dibuatnya. Ia tidak sempat bertanya saat Arthur keluar dari rumah itu tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Anak itu masih sempat berpaling, melirik Jinwook untuk terakhir kalinya, sebelum ikut keluar dan menutup pintu.

“Kenapa meninggalkan kartu nama?” tanyanya ingin tahu, saat mereka sudah berada di dalam mobil.

“Biar dia tahu tidak ada hasilnya melawanku.”

Jungkook tertegun.

Jadi kalau Damien berhasil memperkosaku waktu itu dan aku melaporkan ke polisi… tidak ada hasilnya melawan kalian?

Jungkook ingin sekali menimpali itu. Tapi anak itu menatap pantulan diri Arthur dari kaca spion dan tersenyum tulus,

“Thanks a lot, Arthur.”

“No, worries.” Arthur mengendikkan bahu, terlihat puas entah kenapa. “Pindah ke rumahku. Lebih mudah untuk menyuruhmu bersih-bersih.”

“Jadi aku diterima kerja full time? Berapa gajinya?”

“Harusnya kau bayar sewa.”

Jungkook memberengut, lalu teringat.

“Apa tiap rabu aku perlu pergi?”

“Tidak perlu lagi.”

Mereka terlanjur tahu.

Apa lagi yang perlu disembunyikannya? Lebih baik terang-terangan ditunjukkannya Jungkook. Akan lebih parah hasilnya kalau orang-orang cartel berpikir Arthur menyembunyikan sesuatu.

“Kau bisa pakai kamar tamu.”

“Bagaimana kalau Jean datang?” Arthur mengerutkan kening. Bingung kenapa tiba-tiba obrolan menyerempet nama wanita itu.

“Dia bisa pakai kamarku.”

Jungkook langsung diam setelah itu. Sampai Arthur meliriknya, Jungkook malah sibuk memandangi jari tengah Jinwook. Yang sudah dingin dan tidak berdarah lagi, tapi masih bisa dilipat sendi buku-bukunya dan kini dimainkan anak itu layaknya lego.

Kau tidak jijik? Arthur hendak bertanya.

“Apa yang harus kulakukan dengan jari ini?”

“Jadi cenderamata? Bandul kalung? Gantungan kunci?”

Jungkook menandang jari itu kelewat serius. Seperti memikirkan benar-benar ucapan Arthur.

“Aku hanya bercanda, kid. Berikan padaku.” Arthur mengulurkan tangannya, Jungkook memberikan jari itu tanpa bertanya.

“Dalam tiga hari jari ini akan membusuk. Banyak kuman datang dari sini.”

“Begitukah? Tapi kalian suka mengoleksi jari…”

“Kau percaya pada gosip itu?”

“Kudengar kalian gemar memotong jari dan aku baru melihatnya langsung malam ini. Jadi… ya…”

“Kau bisa masak jadi sup, ini masih higenis sebelum tiga hari. Kecuali anak itu mengidap AIDS. Tidak boleh dimakan, kalau begitu.

“Ew! No! Berikan pada Damien!”

“Kita coba besok. Tapi mungkin dia tidak akan sadar makan jari manusia.”

“Aku yang masak! Aku yang siapkan.” sahut Jungkook bersemangat. Tidak paham lagi bagaimana mungkin ia bisa menanggapi candaan horror ini.

Arthur tertawa. Kali ini tanpa ditahannya. Jungkook juga tersenyum lebar. Mencuri pandang ke Arthur lewat kaca spion. Pria itu terlihat lebih muda saat tertawa.

.

.

.

.

.

Jungkook mengomel seharian. Karena Arthur menukar garam ke dalam box yang jelas-jelas bertuliskan ‘G-U-L-A’. Jungkook hampir tersedak kopinya sendiri karena pagi-pagi minum espresso hangat dengan sesendok garam. Pria itu acuh tak acuh, malah terkesan senang melihat Jungkook menderita. Tawanya tidak berhenti sampai sosoknya hilang keluar rumah. Jungkook merengut. Antara jengkel tapi senang juga bisa melihat pria kaku itu tertawa.

Menurut pengakuan Arthur, pria itu tidak sengaja melakukannya.

Sama tidak sengajanya saat Arthur membuang bill tagihan listrik ke kotak sampah dan menyimpan struk belanjaan ke dalam kotak bill tagihan. Atau saat tanpa sengaja Arthur membawa ponsel Jungkook dan meninggalkan ponselnya sendiri, hanya karena— warna wallpaper ponsel mereka sama. Abu-abu tua. Alasan macam apa itu? Untungnya Jungkook mengunci ponselnya dengan sandi. Jika tidak… terbongkar sudah semua galeri foto tempatnya menyimpan foto-foto Arthur, hasil berburunya diam-diam saat pria itu tidak sadar.

Apa yang bisa dilakukan pria tua itu tanpa dirinya di rumah ini? Harusnya Arthur berterima kasih sudah menemukan karyawan emas seperti Jungkook. Anak itu menggerutu sambil mengucapkannya sepanjang hari.

Jungkook teringat insiden saat Arthur menjatuhkan vas bunga di meja depan. Benda itu besar dan diletakkan di tempat yang cukup tinggi, Arthur menghempasnya tanpa sengaja –karena mengaku tidak melihat benda itu disana— langsung membuat Jungkook berpikir…

Apa laki-laki itu punya masalah dengan matanya?

Kadang-kadang, Arthur menerima surat-surat. Jungkook dipaksa membacakan kuat-kuat. Entah untuk menggodanya, untuk membuktikan bahwa pekerjaan Arthur sungguh mengerikan, atau… pria itu sungguhan rabun! Astaga.

“Diam dan bacakan saja!”

“Sudah tua, rabun pula.” Jungkook mengerutu.

Arthur mendengus, hampir tertawa. Pria itu bergeleng-geleng.

“Aku 35. Kau yang masih bayi.”

Jungkook menghela napas, menahan kejengkelan. “Aku mulai, nih? 14-13-0718 GUDANG 70 KILOGRAM.” Anak itu membaca cepat-cepat, sengaja biar Arthur tahu ia sedang jengkel pada pria itu.

Arthur mengerutkan keningnya.

“Tulis ulang dengan kapital, semuanya. Buat tulisan yang besar-besar.”

Jungkook menyalin surat itu di kertas baru. Ditulisnya besar-besar, sesuai permintan Arthur. Sudah menuliskannya, Arthur membaca ulang kertas itu. Keningnya makin bertaut. Lalu pria itu pergi ke kamar dan menghilang lama.

Tidak ada gunanya menggoda atau menakut-nakuti Jungkook dengan surat-surat penting itu. Karena Jungkook sendiri tidak mengerti.

Saat Arthur akhirnya keluar dari semedinya, Jungkook langsung menghampirinya dan menyerahkan kunci mobil pada pria itu.

“Apa ini?”

“Ayo ke dokter mata!”

“Kau yang mau bayar?”

“Kau yang banyak uang! Dan kau yang rabun! Kenapa jadi aku yang bayar?”

Karena kau memaksa? Arthur mengusap kepala anak itu dan berlalu ke dapur.

“Minggu depan saja. Aku sibuk.”

Jungkook merengut dan menghentakkan kakinya sekali, sudah berniat pergi dengan setengah merajuk. Arthur melihatnya, merasa geli sendiri dan tiba-tiba ingin mengalah.

“Berapa lama makan waktu di dokter mata?”

“Cuma setengah jam! Itu paling lama!” Jungkook berbalik, wajahnya langsung berseri-seri.

“Aku belum bilang ‘ya’, birdie.”

“Ayo!”

Arthur harus rela ditarik-tarik menuju mobil. Padahal kalau ia mau menolak, anak seringkih Jungkook jelas bukan tandingannya. Tapi ia banyak mengalah akhir-akhir ini, atau setidaknya memilih diam saat tidak ingin meladeni Jungkook. Lebih baik daripada membentak anak itu.

Dokter mengetes kemampuan pengelihatan Arthur dengan terbata-bata. Mungkin tahu siapa Arthur, atau mungkin karena pria itu lebih sering diam tidak merespon. Tapi keberadaan Jungkook disana berhasil membuat Arthur menyelesaikan tesnya.

Dan pria itu positif rabun dekat. Mata kanannya plus 1.50 dan mata kirinya 0.75. Belum terlalu parah menurut Dokter, tapi Jungkook sibuk membuatnya memilih kacamata.

Arthur membeli lensa dan kacamata. Dalam hati sudah tidak berniat menggunakannya, hanya membeli benda itu demi menghentikan omelan tidak berujung Jungkook.

.

.

.

.

.

Jungkook senang bisa hidup siang malam di rumah Arthur, tapi kadang-kadang pria itu membuatnya jengkel. Ada kegiatan-kegiatan ‘orangtua’ yang dipaksakannya pada Jungkook. Seperti mengurangi jadwal playstation Jungkook dalam sehari. Mematikan Wi-Fi tiba-tiba dengan alasan radiasi. Atau yang paling menjengkelkan; bangun pagi setiap hari.

Mungkin karena mereka hidup seatap, Arthur jadi lebih memilih mengganggu Jungkook dibanding bawahannya yang lain.

Arthur juga tidak mengizinkan Jungkook mengunci pintu kamarnya, kecuali hari Rabu. Dengan alasan, Arthur butuh membangunkannya tiba-tiba kalau ia ingin menyuruh Jungkook melakukan sesuatu. Sebagai pembantu, Jungkook bisa bilang apa? Mungkin kalau Arthur tiba-tiba masuk ke kamarnya untuk mencabuli Jungkook, anak itu bisa lebih terima.

Kadang-kadang Jungkook bermimpi Arthur menyelinap masuk ke dalam kamarnya, mungkin hanya duduk mengawasinya tidur, atau ikut berbaring disisinya, menyentuh pinggulnya, menyentuh bahunya, menyentuh wajahnya. Tapi saat bangun, anak itu sadar cuma bermimpi. Padahal sering sekali, Jungkook mengharapkan mimpi itu terjadi.

Dan pria itu menggunakan pintu tak terkunci Jungkook bukan untuk mewujudkan mimpi anak itu. Tapi untuk membangunkan Jungkook, JAM. ENAM. PAGI. SETIAP. HARI.

Sedangkan sekolah dimulai jam 8.

“Bangun, burung kecil. Hari sudah pagi.” Arthur menarik selimut Jungkook.

Anak itu bersikeras memejamkan mata, memeluk gulingnya dan meringkuk. Tidak ingin diganggu.

“Aku libur sekolah hari ini!”

“Aku tahu.” Arthur menarik bahunya, tidak bermaksud kasar. Tapi cukup membuat Jungkook bergeser hampir jatuh ke lantai.

Jungkook tersentak kaget. Kini terpaksa duduk di ujung ranjangnya. Masih terkantuk-kantuk.

“Bangun. Mandi. Bersiap. Sekarang, cepat.” Arthur menepuk-nepuk bahunya. “Aku butuh orang untuk memungut selongsong.”

“Harus aku? Biasanya Julien?”

“Bangun sekarang, Jeon.”

Jungkook mengerang, tapi tidak bisa mengatakan tidak. Apalagi saat Arthur memanggil nama depannya seperti itu. Anak itu berdiri tidak rela dan menghentak-hentak menuju kamar mandi.

Arthur membawanya ke pinggir danau, agak jauh dari kota dan dekat dari bukit. Kadang orang melewati tempat ini untuk lari pagi atau lari di sore hari. Atau orang datang untuk berenang, karena air di danau ini cukup bersih. Tapi selebihnya, tempat ini sepi. Jauh dari keramaian, kebisingan, cocok untuk siapapun yang sedang mencari ketenangan. Bahkan juga cocok untuk menyembunyikan mayat disini di suatu tempat.

“Kau mau memperkosaku disini?” Jungkook sudah sering sekali menggunakan candaan itu, sampai terasa hambar di bibirnya.

Arthur hanya menatapnya, mengeluarkan dua tas besar dari bagasi mobilnya dan menyuruh Jungkook membawa satu.

Jungkook mengekori Arthur sambil mengangkat tas itu susah payah. Milik Arthur jauh lebih besar, dan pria itu membawanya seperti mengangkat tas pakaian biasa, ringan tanpa usaha.

“Potongan tangan siapa ini?” Jungkook menjatuhkan tas itu di pinggir danau.

“Buka.”

Jungkook bertanya hanya bercanda, tapi sesungguhnya tidak siap kalau benar-benar harus melihat potongan tangan di dalamnya.

Anak itu justru menemukan senapan di dalam tas itu. Sama seperti yang dikeluarkan Arthur dari tasnya sendiri. Perbedaan senapan mereka hanya dari ukurannya, Arthur memegang yang jauh lebih besar. Jungkook memegang satu dengan ukuran separuhnya. Keduanya sama-sama laras panjang, bagian stock-nya terbuat dari kayu halus. Jungkook memegangnya, setengah tidak yakin.

“Ada banyak target disini, pas untuk berlatih pertama kali.” Arthur menjelaskan.

Pria itu berjongkok di sisi Jungkook menunjukan cara melepas magazine dari senjatanya. Pria itu mengarahkan catridge kosong di dalam magazine, lalu memasukkan satu persatu peluru, menghadap Jungkook agar anak itu bisa meniru.

“Oke?” Jungkook mendongak pada pria itu bingung. “Kupikir aku cuma jadi tukang pungut selongsong disini?”

Arthur tidak mendengarkan. Ia menepuk-nepuk senjata di tangan anak itu.

“Buka. Seperti ini. Ikuti.”

Jungkook menatap pria itu, bingung, tapi menurut, agak kesulitan mempreteli senjata di tangannya. Beberapa kali jarinya terpeleset, atau sulit menarik karena magazine yang lengket. Saat akhirnya Jungkook berhasil membuka senjata itu, Arthur memberikan enam bulir ammo ke telapak tangannya.

“Ujung runcingnya lebih dulu.”

Jungkook mengerutkan kening, memasang peluru itu satu demi satu. Arthur mengawasi, memastikan Jungkook mengembalikan magazine dengan cermat dan pas. Salah-salah, tangan anak itu bisa terluka saat menembak.

Arthur berdiri di pinggir danau, senapan di tangan. Tangannya berayun tidak sabar meminta Jungkook berdiri di sisinya.

“Laras panjang untuk tembakan jarak jauh, shotgun untuk jarak dekat. Lebih mudah belajar shotgun, jadi sekarang mulai dari yang sulit,” jelasnya.

Tangan Jungkook gemetaran. Ini pertama kalinya ia memegang senjata sungguhan, dengan peluru sungguhan. Pria itu tidak melihat ke arahnya. Arthur tengah membidik udara, diam sebentar. Lalu pria itu menarik trigger, melepas selongsong, dan menarik trigger lagi. Tiga kali berturut-turut.

DARR

DARR

DARR

Jungkook tidak yakin pada apa yang ditembak Arthur barusan. Tapi ia melihat sesuatu jatuh dari langit, membanting ke permukaan danau, dan terapung.

Tiga ekor burung.

“Apa ini sindiran untukku?” Jungkook mencicit, sontak ketakutan. “Kau selalu memanggilku ‘birdie‘ dan kau menembak tiga disini.”

“Ya? Mungkin? Kalau kau masih sulit disuruh bangun pagi.”

“Aku minta maaf kalau aku ada salah padamu, Arthur.” Jungkook menurunkan senjatanya. Anak itu mendongak pada Arthur dengan mata berkaca-kaca.

Pria itu mendesah. Tidak bisa dan tidak senang menghadapi airmata.

“Kau coba sekarang.”

Arthur memegang lengan Jungkook, membimbing anak itu memegang senjatanya ke posisi benar.

Jungkook memberengut, ingin menolak. Tapi tubuh besar Arthur mengukungnya dari belakang. Dan anak itu agak meremang saat tangan Arthur memegangi tangannya, warna kulit mereka begitu kontras satu sama lain.

Seperti tidak diberi pilihan, Jungkook hanya pasrah menurut saat Arthur memegangi lengan dan menekuk sikunya sesuka hati.

“Angkat tanganmu yang benar. Jangan lemas, jangan kaku. Cari sasaran, saat siap, lepas pengamannya dan tarik triggernya.”

Jungkook menekan trigger itu;

DARR!

…Dan melonjak kaget menjatuhkan senjatanya. Pelurunya menghantam udara, tidak menyentuh target apa-apa. Sedangkan Jungkook langsung berjongkok menutup telinga.

Saat Arthur menembak tadi, suaranya tidak semengerikan ini. Anak itu masih bisa merasakan getaran keras senjata di telapak tangannya. Dan itu membuatnya gemetar.

Get up!” Arthur berseru marah, menarik bahunya agar Jungkook kembali berdiri. Anak itu hampir menangis saat dipaksa mengangkat senjatanya lagi.

Jungkook terus dipaksa mencoba. Saat peluru dalam magazine-nya habis ditembakkan. Arthur menyuruhnya mengisi ulang. Tapi belasan tembakan sudah dilontarkan, dan Jungkook tidak mendapatkan hasil apapun. Satu kali, Jungkook berhasil menembak seekor merpati, saat Arthur memegangi tangannya, mengarahkan dan menekan trigger untuknya. Intinya, itu tetap hasil tembakan Arthur.

“Sudah-sudah! Tanganku sakit!” Anak itu membanting senjatanya ke tanah, lalu berjalan mundur, melipat tangan dan merajuk.

“Angkat senjatamu, kid.”

Sejak kapan senjata itu tiba-tiba jadi miliknya? Dan bukankah awalnya ini acara berburu Arthur? Kenapa tiba-tiba jadi les menembak dadakan bagi Jungkook?

“Angkat!”

Jungkook berjengit, menggigit bibir. Ingin merengek. Tapi tahu Arthur bukan orang yang mempan diberi rengekan. Salah-salah Jungkook bisa habis disini.

Jungkook memungut senjatanya lagi, untuk kesekian kalinya karena terpaksa. Ia berusaha membidik, lebih lama, lebih seksama. Agar Arthur tahu ia sudah berusaha. Tapi tetap saja,

DARR!

Peluru menghilang. Tertelan awan. Tidak menghantam target apapun. Jungkook bisa melihat raut Arthur mengeruh kecewa.

“Aku menyerah!” Jungkook akhirnya marah. “This is not my thing!”

“Kau laki-laki. Angkat senjata itu, Jeon.”

“Aku bukan laki-laki! Kau lupa ada vagina di tengah selangkanganku?!” suara Jungkook melengking, tangisnya hampir pecah.

Aku bukan dirimu! Tidak bisa jadi dirimu! Jungkook tersedak. Dua bulir airmatanya menetes tanpa bisa ditahan dan dihapusnya kasar.

Anak itu berdiri dempet ke pohon, sudah pasrah jika Arthur bermaksud main tangan karena marah. Ia bisa lihat wajah pria itu, cara matanya memandang, ada emosi tertahan disana yang tidak bisa diterjemahkan. Jungkook menunggu, bersiap.

Tapi Arthur malah berlalu, mengemasi senjatanya sendiri dan kembali ke mobil.

Simpan kembali ke dalam tas. Pastikan trigger-nya off,” ujar pria itu sebelum masuk ke bangku kemudi.

Perjalanan pulang jauh lebih sunyi. Arthur tidak bicara, Jungkook juga tidak mencoba memulai obrolan. Anak itu terisak, sambil menggigit bibir berusaha menahannya. Saat airmatanya meleleh tanpa sempat dicegah, anak itu langsung mengusap kasar pipinya.

Jungkook menenteng kembali tas senjata yang digunakannya, sudah akan diletakkannya di meja dapur agar Arthur dapat dengan mudah memindahkannya.

“Simpan yang kecil di kamarmu.”

Suara Arthur memerintah dari ruang tengah. Jungkook menghentakkan kakinya, tapi tetap menenteng tas itu masuk ke kamarnya dan meletakkannya di bawah tempat tidur.

Jungkook merasa perlu merajuk sejak kejadian hari itu, walaupun seandainya Arthur memutuskan untuk menyuruh-nyuruh Jungkook dan bersikap seakan tidak terjadi apa-apa, Jungkook pasti, mau tidak mau, menurut dan terpaksa keluar dari kamarnya. Ia bukan pemilik rumah ini, Arthur membayarnya untuk bekerja disini.

Tapi yang terjadi hari-hari selanjutnya, tiba-tiba ada tambahan kaset game di sisi TV dan sekotak Dominos di meja dapur.

Tanpa notes. Tanpa penjelasan. Tapi sudah dibuka dari segelnya seperti sengaja agar Jungkook melihatnya.

Jungkook menghabiskan Dominos itu sambil mencoba semua game barunya. Dalam hati senang, mulai familiar dengan cara minta maaf Arthur yang kadang-kadang aneh dan susah dipahami.

.

.

.

.

.

Arthur membuatnya mengurung diri setiap Rabu malam dengan menakut-nakuti;

‘Ada Damien disana, tapi kalau kau mau keluar… silakan saja.’

Lalu Jungkook dibiarkan mendekam diri di kamar sementara semua orang terdengar amat menikmati waktu dan bersenang-senang di luar sana. Ada musik, ada tawa, seruan, candaan. Seperti mengejek Jungkook yang dipaksa mengurung diri di kamarnya.

Minggu-minggu pertama ia kerja full time di rumah ini, Jungkook selalu mengunci diri saat orang-orang datang rabu malam. Jungkook tidak paham. Mungkin itu pertemuan rutin anggota cartel, untuk bersenang-senang. Selalu diadakan Rabu malam. Anak itu tidak peduli, setidaknya ia mencoba tidak peduli. Tapi sekarang ia ingin keluar. Ingin sekali. Damien bukan lagi mimpi buruknya. Meski Jungkook masih sering antipati saat melihat pria itu dan memilih memutar jalan demi menghindari Damien. Tetap saja. Ia tidak setakut dulu. Apalagi saat ada Arthur di ruangan bersamanya. Maka makin berlipat lah rasa sombongnya di hadapan Damien.

Lagipula Arthur tidak secara eksplisit melarang. Hanya menakut-nakuti. Bahkan ada kemungkinan pria itu mencoba mengetesnya, sekedar melihat apakah Jungkook berani keluar.

Jadi dengan tekad bulat, mengenakan celana piyamanya yang panjang dan jaket tebal, Jungkook melangkah keluar kamar.

Satu orang menyadari kehadiran Jungkook dan mulai menyikut teman-teman di sampingnya, terus bersambung sampai semua orang sadar dan suasana berubah senyap.

Jungkook sempat ragu. Keberaniannya hampir menciut saat tidak ditemukannya wajah Arthur di tengah keramaian itu. Apa Arthur tidak ada di rumah? Matilah. Ia sudah terlanjur menarik perhatian begini.

“Kau ingin main, nak? Bosan di kamarmu? Ingin permainan orang dewasa?” Damien mengangkat gelasnya, maju dua langkah tapi langsung berhenti saat dilihatnya Jungkook berjengit mundur.

“Kemari. Come and play.”

“Jangan ganggu dia, Damien.” Julien mengingatkan dari dapur, gelas sampanye di tangan. Ia ingat pesan Arthur. Jangan ada yang masuk ke kamar tamu. Jangan ganggu anak itu. 

Belum pernah ada yang berani bertanya pada Arthur siapa Jeon Jungkook itu. Tapi banyak orang berspekulasi. Dan malam itu— saat bocah itu datang berurai airmata dan Arthur menghilang sebentar membawanya— gosip langsung menyebar seperti bara api di ladang gandum. Siapa dia? Anak angkat Arthur? Mainan baru Arthur? Anak itu selalu ada disana saat mereka datang untuk pesta rutin.

“Kau mau main kartu?” Martin menepuk ruang kosong di sofa, antara dirinya dan Armitrage.

Jungkook mengamati sebentar, agak tidak yakin. Tapi diaturnya sedemikian rupa ekspresinya, ia tidak ingin terlihat takut. Lagipula, ruang yang ditepuk pria itu aman dari jangkauan Damien. Dilihatnya juga Jean berdiri di ujung ruangan, mengamati setengah menghakimi. Bertambah lagi alasannya untuk tidak menolak.

“Ya!” Jungkook hampir terbata-bata. “Sure!”

Jungkook duduk diantara mereka, diberikan lima kartu dan dibiarkan bermain, bersama lima orang lainnya. Keberaniannya terbayar, berada di tengah-tengah orang-orang dewasa yang tadinya mengerikan itu ternyata seru juga. Setidaknya mereka tidak merogoh-rogoh pahanya atau mencoba melecehkannya. Jungkook memang diperlakukan seperti anak-anak diantara mereka, tapi mereka bermain dengan sportif. Tertawa-tawa bersama saat ada seseorang kalah dan terpaksa dihukum.

“Minum, kid?” Seseorang menawarkan gelas padanya. Jungkook menerima, dan meneguk sedikit dengan ragu-ragu. Keraguannya terbukti, anak itu meringis, langsung menjauhkan gelas itu dari mulutnya.

“Apa ini???”

“Schorschbock. Enak, kan?”

“Seperti air kencing.”

Orang-orang tertawa. Padahal Jungkook tidak bercanda. Ia mengembalikan gelas itu ke meja, menolak menghabiskan.

“Beri dia yang ringan. Wine. Todd, ambilkan wine.”

“Aku suka wine!” Jungkook berseru senang. Ia tahu seseorang menatapnya dengan cara berlebihan, dan Jungkook tahu siapa itu. Tapi Jungkook masih bisa tertawa lepas, merasa dilindungi di tengah keramaian itu.

Full house!” serunya sambil membanting empat kartu terakhirnya.

Martin mengerang. Sedangkan James membanting kartunya ke atas meja, menyerah.

Damn, kid! Aku mengajakmu biar bisa menang! Siapa yang mengajarimu main bagus begini?”

“Arthur yang mengajari.” Jungkook berujar bangga, mengocok ulang kartunya sembari melirik Jean. Sengaja sekali menekan nama Arthur di sela ucapannya.

Mereka mengganti permainan. Jungkook mengajari Martin dan James bermain PES, yang langsung jadi candu dan rebutan bagi semua orang. Jungkook tidak menyangka malam yang biasanya diliputi kekhawatiran dan rasa iri berubah jadi seseru ini.

Sampai pintu samping membanting terbuka dan Arthur muncul dari sana, dua bawahannya berdiri mengekor di belakangnya. Wajah pria itu lebih gelap. Kalau ia punya kulit sepucat Jungkook, mungkin rona merah yang kini ada di wajahnya.

Mabuk kah dia? Marah kah? Ekspresinya buas tapi tidak terbaca artinya.

Arthur sempat menatap langsung ke dalam mata Jungkook, hanya berlangsung sepersekian detik. Lalu pria itu menerobos kerumunan untuk meraih Jean.

Arthur meraup Jean dengan satu tangannya. Pria itu membungkuk, menekan tengkuk Jean padanya, mempertemukan bibir mereka dalam satu ciuman kasar.

Ow! Slow down, boss.” Jean tertawa. Mengusap bibirnya yang berdarah hasil gigitan beringas Arthur. Wanita itu menghadap Arthur dan memegangi dada pria itu, mengambil posisi ‘tidak melawan’ untuk mencegah panen luka di tubuhnya. Dia tidak suka bercinta dengan Arthur saat pria itu mabuk begini. Ia selalu berakhir dengan banyak memar, bukan kissmark. Tapi sepertinya menolak bukan pilihannya sekarang.

Arthur mengangkat Jean, semudah membopong balita, crotch on crotch. Jean memekik kaget, terpaksa mengalungkan tangannya ke leher Arthur jika tidak ingin terjungkal ke belakang.

Okay! Okay! I got you big boss.” Wanita itu memeluk Arthur dan menghujani wajah pria itu dengan ciuman lembut, bermaksud menenangkan Arthur dari apapun yang membuat pria itu tiba-tiba gusar begini.

Banyak orang memalingkan muka dan pura-pura sibuk, menghindari tontonan awkward itu. Ada juga yang tertawa kecil, menyoraki Jean dan Arthur.

Arthur membawa Jean ke kamarnya dan membanting pintu menggunakan kakinya. Sosok keduanya memang tidak terlihat lagi, tapi entiti mereka memenuhi seisi rumah.

Ahn! Arthur! Slow downnnh aahnAAAHHNNN!!”

Suara jeritan Jean tembus hingga keluar kamar.

That’s creepier than usual.” Seseorang berkomentar, dan ditanggapi oleh tawa hambar.

“Ada yang bahas-bahas soal Lana?” James bertanya khawatir.

Elijah dan Jackson yang tadi berdiri di belakang Arthur hanya saling pandang, lalu mengendikkan bahu pada semua orang. Siapa yang berani bahas soal Lana? Bosan hidup kah orang itu?

“Arthur tidak boleh mabuk. Harusnya. Siapa yang beri minuman pada boss?” Martin terkikik, ia menarik stick game di tangan Jungkook. “Lihat? Itu jadinya kalau dia mabuk. Dan kau— kau manis seperti anak perempuan, kid. Lain kali kabur saja ke markas kami kalau dia mabuk tengah malam dan tidak ada siapa-siapa. Bisa-bisa dia melihatmu seperti melihat Jean!”

Lebih banyak orang tertawa. Suasana tegang kembali cair, tapi tidak untuk Jungkook. Anak itu melamun, baru ingat untuk menunduk setelah menatap pintu kamar Arthur terlalu lama.

“Kau tahu dimana markas kami, kan?”

“Ya. Datang saja ke markas kami, kid. Itu pun kalau kau bisa kabur! Kalau tidak sempat kabur, ya nikmati saja!” ada yang menimpali. Orang-orang tertawa pada komentar kotor itu.

Jungkook termenung, mulutnya mengatup dan terbuka. Tidak sanggup menanggapi ucapan siapapun. Kejadian barusan masih mengambang seperti afterimage di depan retinanya. Berulang-ulang terus, sampai emosinya terasa menyangkut di kerongkongan.

Martin menatap anak itu khawatir, tidak ingin menduga-duga. Apa mereka keterlaluan menakut-nakutinya? Ia tidak tahu apa hubungan Jungkook dan Arthur, tapi mata Arthur sering berkilat overprotektif saat Damien dan Julien menyebut namanya.

“Kau mau minuman yang lebih kuat?” tawarnya.

“Aku mau yang tadi.” Jungkook butuh sesuatu untuk mengalihkan diri. Sebelum airmatanya meleleh di pipi.

Mereka memberikan Schorschbock lagi, lebih banyak dari tadi. Minuman dengan kadar alkohol tinggi itu habis dalam sekali teguk oleh Jungkook. Tidak ada keluhan. Anak itu meringis, tapi memaksa menelan. Tiap kali isi gelasnya habis, seseorang mengisinya kembali. Dengan minuman lain. Sampanye, soju, vodka, soda. Jungkook menelan terus, sampai tangannya gemetar karena lemas dan kepalanya berkunang-kunang. Dia masih duduk, tapi matanya sudah mengerjap-ngerjap lelah.

Julien mengawasi mereka dengan was-was. Siap bergerak saat genting.

“Kau mau coba ini?”

NO!” Julien berseru, melompat melewati Gerg dan merebut nampan kokain dari tangan Allen. “Jangan.” Jantungnya hampir copot.

Jungkook sudah menunduk tadi, wajahnya dekat dari nampan itu. Setengah tidak sadar anak itu menurut saja saat seseorang berusaha mencekokinya dengan sebaris kokain.

“Kau sudah jadi baby sitter sekarang, Julien?”

Masa bodo! Julien tidak peduli sekalipun dihina. Terbayang-bayang lagi wajah marah Arthur olehnya.

“Dia harus sekolah besok,” ujarnya beralasan. Meski tidak yakin Jeon ini akan bangun setelah menegak sekian banyak Schorschbock.

“Sekolah? Masih jaman?”

Come, kid. Sebelum kau OD karena bir campur narkoba.” Nyawaku jadi taruhannya. Julien meraup tubuh ringkih Jungkook. Orang-orang menyorakinya. Ada yang tidak rela anak itu dibawa. Julien lebih tidak rela Jungkook dijadikan bahan mainan disana. Kalau Arthur tahu…

Julien bergidik.

Jungkook sadar seseorang menggendongnya ke kamar. Anak itu membayangkan, ketakutan. Tapi tubuhnya tidak bisa lagi melawan. Bagaimana kalau Damien yang menggendongnya? Matilah.

Tapi ia mendengar suara yang berbeda, berseru ke luar meneriakkan sesuatu; Jangan habiskan bagianku, Martin!

Julien.

Jungkook mengerjap-ngerjap. “Julien?”

“Ya. Tidurlah, kid. Sudah malam.” Pria itu menyelimutinya dan menutup pintu kamarnya.

Jungkook menggigit bibir, matanya berat. Tapi karena kasur empuk di bawah tubuhnya terasa nyaman dan suara ribut-ribut di ruang depan tertahan pintu, kesadarannya justru kembali sedikit demi sedikit. Yang justru terdengar jelas olehnya… adalah suara dari kamar Arthur.

Rintihan Jean, jeritan Jean, suara derit ranjang menghantam dinding. Wanita itu meneriakkan nama Arthur berkali-kali. Kadang terdengar seperti minta diampuni. Kadang juga, rintihannya terdengar seperti hanyut menikmati.

Jungkook terisak. Meringkuk dan menutup telinganya. Dadanya nyeri, entah untuk alasan apa.

Tidur. Ia harus tidur. Mungkin dengan tidur bisa membantunya kabur.

Sialnya, saat berhasil tidur karena kelelahan menangis, Jungkook justru memimpikan Arthur dan Jean. Tubuh besar Arthur menghentak di atas Jean, polos mendominasi. Dan Jungkook dipaksa menonton, dipaksa menyaksikan kenyataan kalau dirinya memang bukan siapa-siapa.

.

.

.

.

.

“Sudah jam 11!!! Aku tidak dibangunkan?” Jungkook melompat dari ranjang dan berlari ke luar kamar.

“Sudah. Tapi kau tidur seperti orang mati. Masih bagus belum kukubur di belakang rumah.”

Anak itu mengerang, masuk ke kamarnya mengambil handuk dan keluar lagi. Teringat kejadian semalam membuatnya menyesal mengajak Arthur bicara.

“Aku terlambat setengah hari!” anak itu mengeluh, lebih pada dirinya sendiri. Jungkook mondar-mandir berusaha menyiapkan peralatan sekolahnya secepat mungkin. Kepalanya pusing berdengung-dengung, membuat langkahnya kadang tampak seperti terhuyung-huyung.

“Aish!” Akhirnya Jungkook menyerah, menatap sedih ke jam di dinding, dan melepas tasnya. Bolos satu hari. Tanpa izin pula. Padahal setengah tahun lagi ia lulus dari sekolah itu.

“Anggap saja libur sehari. Sekalian bersih-bersih sisa semalam.”

“Oh, kau bicara padaku?” Jungkook membalas judes. 

Arthur menatapnya, kaget dan marah direspon begitu tidak ramah.

Did you just snap at me?”

Jungkook terdiam, sejujurnya agak takut. Tapi mengingat suara pergumulan Arthur dan Jean yang HARUS didengarnya semalam, membuat rasa marahnya menang dibanding takut.

“YES!”

Jungkook bisa melihat dari sudut matanya, posisi duduk Arthur berubah kaku. Pria itu menatapnya, seperti siap menelannya. Mata hazelnya berkilat tajam. Tiba-tiba saja… Jungkook menyesali kesombongannya yang hanya berlangsung sesaat tadi.

“Aku mau bersih-bersih jangan ganggu aku!”

Jungkook berusaha kabur ke dapur, menghindari Arthur. Tapi langkahnya jadi lebih berat. Hampir saja ia jatuh terduduk di dekat dapur. Sebelum itu terjadi, Jungkook berpegang pada dinding dan turun pelan-pelan, berlutut di atas lantai.

Anak itu memegangi keningnya. Saat diam ia bisa merasakan pusing di kepalanya lebih jelas. Lebih menyakitkan.

Tanpa sadar, Jungkook merintih, pelan sekali. Satu tangannya memijat kepala dan satu lagi sibuk memunguti kaleng-kaleng minuman yang berantakan di dekat meja dapur.

Arthur memperhatikan.

“Kau minum apa semalam?”

Schorschors—something.” Jungkook menanggapi sambil lalu. Anak itu bangun lagi saat sakit di kepalanya sedikit lebih baik. Berjingkat-jingkat ia menghindari abu rokok di lantai dan sampah-sampah makanan. Bagus sekali, libur sehari untuk bersih-bersih.

“Schorschbock?” Arthur bergeleng-geleng. 70% alkohol, dicekoki pada anak baru dewasa seperti Jungkook.

“Siapa yang beri?”

“Martin?”

Bagus. Arthur perlu nama.

“Bersihkan kamarku, Jeon,” perintahnya galak. Sebelumnya ia tidak pernah menyuruh Jungkook masuk kesana.

“Tidak mau!” Anak itu menjawab dari dapur.

“Apa?!”

“Aku tidak mau membersihkan sisa… sisa…” Jungkook terbata-bata, hampir berkaca-kaca saat harus mengucapkannya. “Sisamu dengan Jean!” serunya setengah marah.

Arthur memandangnya, sebentar. Sebelum bersandar ke sofa.

“Aku mau kamar itu bersih dalam sepuluh menit.” suara Arthur begitu mutlak.

Jungkook memekik dan menghentakkan kakinya, marah sekali. Tapi terpaksa diambilnya sapu dan kain pel, menuju kamar Arthur. Ia teringat lagi pada wanita itu, Jean.

“Jean sudah pulang atau belum?!”

Arthur hampir membentak balik. Kenapa dengan anak ini?  Pagi-pagi suaranya sudah tinggi.

“Dia sudah pergi. Bersihkan sekarang.”

“Kau tidak pernah mengantarnya pulang?”

“Bukan kewajibanku untuk mengantarnya pulang.”

“Tapi dia pacarmu!”

“Kata siapa?”

Jungkook langsung diam saat Arthur balik bertanya sambil menatapnya dengan alis bertaut.

“Jadi dia bukan pacarmu?” Jungkook mencicit.

“Kubayar dia mahal untuk datang tiap rabu dan untuk tidak tidur dengan orang lain. Aku tidak ingin terkena HIV.”

Jungkook termegap. Seperti ada beton diangkat dari dadanya. Tapi anak itu tidak puas, ia tidak puas mendengar jawaban implisit itu.  Sekalipun kata ‘Bayar‘ sesungguhnya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan.

“Jadi dia bukan pacarmu?” ulangnya setengah memaksa.

“Aku bukan remaja. Kau yang butuh pacar. Sudah kubilang Damien single.”

Candaan itu sudah basi!” Jungkook berseru jengkel, lalu menghilang ke dalam kamar Arthur.

“Basi!” serunya lagi dari sana.

Karena sempat dijudesi, Arthur sudah menduga ia akan menghadapi sikap menjengkelkan kekanakan Jungkook sepanjang hari. Hal yang sama terjadi dulu saat ia memaksa anak itu belajar menggunakan senapan. Tapi selesai mencuci seprei kamar Arthur dan pergi mandi, Jungkook berkeliling membersihkan rumah dengan penuh dedikasi. Wajahnya berseri-seri. Kadang-kadang anak itu menatapnya, saat Arthur menatap balik, Jungkook tidak akan membuang muka. Malah makin tersenyum sambil menyapu. Creepy.

“Ada apa?” Arthur bertanya, heran melihat anak itu senyum-senyum sendiri. Ada sesuatu di janggutnya? Arthur mengusap dagunya, barangkali creamer kopi menempel disana.

Nope.” Jungkook mengendikkan bahu, berlalu membawa sapu ke dalam kamarnya. Suaranya jadi riang. “Nopenopenopenope.”

.

.

.

.

.

Jungkook ingin membuktikan bahwa uang yang dikeluarkan Arthur untuk kelas memasaknya tidak sia-sia. Jadi suatu hari, anak itu mencoba memasak sesuatu di rumah. Menu dessert yang mudah, menurut gurunya. Panna Cotta dengan whipped cream di atasnya. Itu menu favorit Jungkook, jadi anak itu ingin sekali menguasai resepnya.

Pada percobaan pertama, semangkuk kecil Panna Cotta masak sempurna, tampak begitu cantik sampai-sampai Jungkook tidak tega untuk mencicipinya. Jungkook menunggu sampai Arthur pulang, dan mempersembahkan dessert itu untuk Arthur.

“Ada racun di dalamnya?” Arthur bertanya datar, entah bercanda atau tidak. Tapi sebelum Jungkook membalas dengan kejengkelan menjadi-jadi, pria itu melahap Panna Cottanya sesendok besar.

Bibir Jungkook terkatup, anak itu langsung tegang menunggu respon Arthur. Yangbetapa bodohnya Jungkook jelas tidak akan menunjukkan ekspresi apapun.

“Bagaimana rasanya?” Jungkook bertanya tidak sabar.

Nice. Bisa dimakan.”

What?! Hanya begitu responnya? Jungkook mengharapkan pujian! Anak itu merebut sendok Arthur dan mencoba sendiri.

Begitu benda kenyal itu menyentuh lidahnya, Jungkook mendelik sebelum sempat menelan. Ia berlari ke kotak sampah dan memuntahkannya.

Asin!

Apa yang dimasukkannya kesana? Apa Arthur menukar isi gula dengan garam lagi? Bagaimana mungkin pria itu masih tetap mengunyah tanpa memasang ekspresi apapun?

Jungkook ingin marah. Tapi saat mengecek kotak rempah-rempah, gula dan garam berada di tempat yang benar. Jadi masakan gagal itu murni salahnya tanpa campur tangan Arthur.

Apa ia mencampur terlalu banyak butter?

Jungkook tidak menyerah. Besoknya ia memasak lagi. Menu yang sama, teknik yang berbeda. Tetap Arthur yang jadi korbannya. Pria itu disuruhnya mencoba pertama kali, tapi saat sadar Arthur tidak akan menunjukkan ekspresi apapun. Anak itu dengan gemas meraih sendoknya sendiri dan melahap secuil.

Agak takut pada awalnya, tapi setelah beberapa detik berpikir dan mengunyah, rasa yang berbeda mampir ke lidahnya…

“ENAK!” Jungkook berjingkat dan memekik senang, ia mencuil dan melahap lebih banyak lagi. “Aku bisa masak, Arthur!”

Kalau tidak bisa memasak, sia-sia biaya sekolah masakmu. 

“Aku bisa masak!!!”

“Kali ini— lebih manusiawi.” Arthur melahap sesuap lagi, potongan yang diambilnya kali ini separuhnya dipenuhi whipped cream.  Arthur menikmati, kalau boleh jujur, lebih dari semestinya.

“Arthur…” Jungkook tercenung sebentar sambil menunjuk wajah Arthur, lalu anak itu menggigit bibir, menahan geli yang tidak bisa dikuasainya lama-lama.

Ha— HAHAHAHAHA! Mirip Santa Claus!”

What?” Arthur mengerutkan keningnya malu, pria itu mencoba melihat dagunya dan mengusap-usap tanpa arah.

“Salah! Turun terus! Agak dekat dagu. AHAHAHAHAHA!”

Arthur mencoba, meraih noda di wajahnya tanpa kaca. Krim pasti menempel di suatu sudut diantara rambut-rambut wajahnya. Dekat dagu kata anak itu, tapi seluruh dagu Arthur pun ditutupi janggut.

“Kemari, birdie! Tunjukkan yang mana.” Arthur menarik tangan Jungkook. Agak marah dan malu ditertawai begitu. “Bersihkan!”

“Dasar Santa Claus.” Jungkook terkekeh, masih agak terpingkal-pingkal melihat krim putih mengotori jangkut gelap Arthur. Rusak sudah penampakan seram Arthur yang sering dipasangnya kemana-mana.

“Lebih lucu begini, Arthur. Biarkan saja!”

“Bersihkan!”

Setengah tidak rela Jungkook mengusap noda krim itu, yang akhirnya merembet makin luas mengotori helai-helai jangut dan kumis Arthur. Harusnya ia menggunakan tisu… Harusnya… Karena tanpa sengaja telunjuknya menyentuh bibir Arthur.

Tawa Jungkook terhenti, anak itu tercenung, satu jarinya masih menyentuh bibir Arthur. Kelebat bayangan Jane mencium Arthur menyeruak memenuhi kepalanya. Teringat lagi olehnya rasa penasaran yang abnormal itu. Seperti apa… rasanya?

Jungkook berjingkat, tahu-tahu sudah menempelkan bibirnya ke bibir pria itu. Ia tahu rasa telapak tangan Arthur, kasar dan berbuku-buku. Tapi bibir Arthur… bibir pria ini lembut di atas bibirnya sendiri.

Arthur tidak merespon, membuat Jungkook berpikir mungkin Arthur juga menyukai ini. Jadi Jungkook menekan ciumannya, lebih needy dari sebelumnya.

Tangan Arthur bergerak di bawah dagunya, sesaat Jungkook mengira Arthur akan membelainya, merespon dan membawa sentuhan itu menjadi mutual. Seperti dalam bayangan yang sering mampir ke dalam mimpinya. Jungkook menginginkan ini. Ia juga berharap Arthur punya keinginan yang sama.

Tapi pria itu mencengkeram dagunya lalu menjauhkan wajah mereka. Cepat, kasar, hampir mencekiknya.

“Apa yang kau lakukan?!”

Jungkook tergagap.

“Kau tidak suka? T-tapi kau—” menyelamatkanku, memungutku, memberi makan, memberi perlindungan. “K-kupikir kau—”

Jungkook dengar dari Julien, Arthur tidak pernah memungut siapa-siapa ke bawah atapnya. Hanya Jungkook… Apa namanya kalau bukan cinta?

Kini pria itu menatap balik padanya, tapi sorot mata hazelnya tidak memancarkan cinta.

Amarah.

Itu ekspresi sama seperti yang diberikan Arthur pada anggota cartel saat gagal menyelesaikan misi.

Arthur tidak suka Jungkook menciumnya.

“Kau bosan hidup?!” Hanya itu respon Arthur, dilontarkan dengan nada tinggi.

Jungkook tersedak. Anak itu menarik tangan Arthur dan berbalik cepat-cepat sebelum Arthur meraihnya, ia lari keluar rumah dan menolak berpaling lagi.

Tidak peduli ia belum menggunakan alas kaki.

Arthur tidak menginginkannya.

Kesadaran itu membuat Jungkook tidak bisa menghentikan langkahnya. Anak itu berlari tak tentu arah. Tetes airmatanya terhempas angin, tapi masih terus deras mengalir.

Harusnya ia tahu. Harusnya ia terbiasa. Ini bukan penolakan pertama yang dialaminya. Tidak ada satupun keluarga berkenan memungut Jungkook selama ini. Jadi tidak ada alasan bagi Arthur untuk menerimanya juga.

He’s a freak after all.

.

.

.

.

.

TUH KAN AKU APDET PANJANG2 DAN CEPET. Asal di komen dan divotes nih ah nanti aku apdet terus 🙁

Nih kusogok lagi pake om

Nih kusogok lagi pake om

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Braven – 6. Prudence”
Beranda
Cari
Bayar
Order