6. Re-Legion

“Your new God. Tidak peduli kekuatan magis ikut campur. God offspring is a God nonetheless.”

Author: Miinalee

.

.

.

.

.

.

Pada akhirnya mereka tidak perlu memisahkan Arthur dan Kent, karena kedua pria itu memutuskan untuk gencatan senjata sesaat setelah Jeon jatuh berlutut sambil kesakitan, memegangi perutnya sambil menatap Bruce panik.

It’s growing. Get it out of me!” pekiknya ketakutan. “Help me, Master Bruce!” 

Suara amat memelas itu lebih mudah diabaikan dua hari sebelumnya, tapi sekarang saat melihat Jungkook bersimpuh memeluk perutnya, menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan wajah berpeluh dipenuhi terror… Bruce hanya sanggup berdecak. Kalah. Pria itu berlutut dan mengangkat Jeon dalam gendongan.

Begitu Bruce merengkuhnya, Jeon menolak melepaskan pria itu sekalipun saat ia dibaringkan di atas meja bedah.

Dua jam setelah scan pertama, besar janin itu bukan lagi 6 minggu. Alfred harus melakukan dua kali scan untuk memastikan hasil analisisnya.

“Ini besar janin di minggu kedelapan.”

Cut it out!” 

“Kubilang aku ikut memutuskan!”

Calm down.” Diana berkata, akhirnya ikut campur. “Not even an Atlantean babies growing that fast, Arthur. I know, believe me.” 

Arthur menghela napas dengan mulut terbuka, seakan nyaris melontarkan sesuatu untuk membantah. Tapi wanita yang ditatapnya kini, hidup lima ratus tahun lebih lama dari dirinya. Jadi Arthur memutuskan bungkam, berpikir dalam diam. Ada benarnya, ada kemungkinan yang lebih besar lagi bahwa bayi itu bukan miliknya. Dan gelinya, Arthur tidak menyukai kemungkinan itu.

It’s mine.” Kent berkata, seakan-akan pengakuannya yang paling logis di ruangan ini. Pria itu berdiri dekat dari Jeon, meski ditolak tiap kali bermaksud menyentuh pemuda itu.

It’s the lamp doing, pasti ada cara untuk menangkal ini dan mengembalikan kondisimu seperti semula.”

Cuma ucapan Diana yang membuat Jeon sanggup tersenyum, meski senyumnya lebih tampak seperti ringisan. Membayangkan ada makhluk bukan manusia menumpang hidup di perutnya saat ini… pemuda itu tidak bisa berpikir jernih.

“B-bisa kita coba sekarang?”

Mereka membiarkannya mencoba, memegangi lampu itu sembari berusaha mengulang ucapannya. Mulai dari;

‘I take back my wish, dear lamp…. please?’

Lalu,

‘Bisa beri aku kekuatan Superman saja, jangan pakai bayi segala?’

Sampai,

‘Aku tidak menginginkan bayi, tolong ambil lagi!’

Tidak ada yang terjadi. Jeon meremas perutnya dan masih ada gembung asing disana, sungguhan berkedut di bawah kulitnya atau itu sekedar halusinasi saja. Apapun itu, tetap membuatnya ketakutan.

Opsi lainnya adalah pisau bedah. Operasi dadakan. 

Arthur mungkin lebih bisa diajak kompromi, setelah komentar Diana, pria itu tampaknya tidak berniat untuk bersikap ngotot lagi. Tapi Kent… pria itu sudah mengangkat tangan berniat mencegah pisau menyentuh kulit Jeon, sampai Jeon harus memelas sendiri.

Please, Mr. Kent. Please. Aku laki-laki, ini tidak seharusnya terjadi.”

Akhirnya… Jarum berhasil disuntikkan ke tubuhnya, dengan obat bius yang entah bekerja atau tidak, Jeon tidak peduli. Pemuda itu masih bisa duduk, bergerak, menggeliat, hal yang tidak mungkin bisa dilakukannya bila obat bius itu benar-benar mempengaruhi kerja sarafnya.

“Sepertinya anestesinya tidak bekerja.”

Cut it! Do it!” Jeon tidak peduli pada komentar itu, tidak yakin juga keluar dari bibir Victor atau Barry. Sekarang membayangkan dirinya harus hamil seperti wanita jauh lebih menakutkan daripada membayangkan pisau bedah itu membelah perutnya tanpa anestesi.

Kent memang tidak ikut campur lagi, tapi tidak ada gunanya juga sekalipun pria itu tidak mengganggu. Karena tidak satu pun dari belasan pisau tajam itu sanggup menembus kulit perut Jeon. Bila bukan meleset, pisau metal itu pasti meliuk bengkok bagai busa penyok saat diadu ke perut Jeon.

Jeon mengumpat di bawah napasnya, nyaris menangis. Tidak percaya, digenggamnya sendiri pisau itu dan dicobanya menikam diri sendiri. Hal sama terjadi. Kelakuannya yang berusaha menusuk perut dengan beragam gaya dan tetap gagal, membuat orang-orang menghela napas, dan mungkin hanya Barry yang kelepasan tertawa.

Jeon melotot padanya.

Ops, tidak bermaksud.”

“Dengar, aku memang berharap bisa gabung jadi anggota tim superhero kalian. Tapi tidak begini, bukan begini maksudnya. Bisa kita coba lagi, Alfred, please? Kau punya pisau yang lebih tajam? Yang itu pasti tumpul.”

“Ini bisa menunggu. Ada yang lebih genting, Steppenwolf sudah punya tiga Mother Box.” Bruce berkata sambil berdiri, membenahi lagi kemejanya. “Soal Jeon bisa ditunda, lebih penting cari cara sebelum Steppenwolf menyatukan benda itu.”

Excuse me?” Jungkook mendesis. “Ada makhluk yang bukan manusia numpang hidup di dalam perutku dan menurutmu solusinya sebaiknya ditunda?!”

You bring this to yourself. Sudah kubilang padamu untuk tidak menyentuh apapun malam itu.

Jeon termegap. Ditatapnya Bruce dengan tidak percaya.

It’s a fucking alien in my belly, growing like a demon’s offspring. Bagaimana kalau aku mati? Kau tetap tidak peduli? 

Begitu banyak tuntutan dilemparnya tanpa kata-kata, hanya lewat mata yang menatap nyalang…. dan berharap. Tapi Bruce membuang muka, rautnya jauh lebih tenang dibanding sebelumnya.

“Kusiapkan jet, sistemku mendeteksi dimana Steppenwolf membawa kotak-kotak itu.”

You hate me that much, aren’t you?”

Bruce tidak meladeni. Malah Arthur yang membantunya turun dari meja beda itu, menjaga bahunya berpikir Jeon mungkin akan limbung kapan saja.

Master!” serunya, diantara malu dan kecewa, emosinya yang kedua menang telak. “This thing might kill me!”

Bruce menahan napas saat berbalik padanya, tapi tatapan matanya teguh. “You’re being selfish. Nasib dunia di ujung tanduk dan kau ingin aku tetap disini mengurusi kecerobohanmu?”

“Aku salah, oke. But help me!” 

“Bigger matter come first.”

Jeon termegap setelah jawaban itu. Kalau bukan karena setitik malu yang masih tersisa menghalangi buncahan emosinya, airmatanya pasti sudah berderai, tumpah ruah disana.

“Paham,” katanya dengan suara pelan. Artinya bila dirinya mati pun, Bruce tidak peduli. Nyawanya bukan perkara besar. Keselamatannya bisa menunggu. Dan pun bila terlambat dan kematiannya jadi akibat, itu bukan isu penting untuk diributkan.

“Tapi kau harus tahu, ada kemungkinan lain juga,” ujarnya setengah berbisik. “Mungkin ini anak Bruce Wayne. Karena aku memikirkannya sampai dada dan kepalaku nyaris meledak saat aku meminta hal tidak masuk akal itu. Membantumu dengan cara apapun. Apapun.

Bruce berbalik padanya, tapi Jeon tidak sanggup lagi bertahan disana. Bertarung menghadapi kekecewaannya, rasa malu, sekaligus kenyataan. Untuk kesekian kalinya ia menyadari betapa bodoh dirinya, betapa tidak berguna. Bukan salah Bruce, ini salahnya.

But yea, I’m being selfish, Master Wayne. Please go save the world.”

Pemuda itu melangkah, ingin cepat-cepat keluar dari sana, mengabaikan sakit yang merongrong dari perut turun ke pinggang, dan membuatnya terpincang-pincang.

.

.

.

.

Jeon mengurung dirinya di kamar mandi pribadinya. Menatap pantulan tubuhnya yang bertelanjang dada. Ia melihat jelas, gumpalan itu, berkumpul di bawah pusarnya, bengkak bagai bola meringkuk di dalam sana. Jeon menatap dirinya sendiri dengan jijik. Pisau di tangannya dan ditusuknya pelan-pelan pusar perutnya sendiri. Begitu pelan, benda tajam itu seharusnya menggoreskan luka, meneteskan darah. Tapi ia tidak merasakan apapun.

Ditatapnya pisau itu dekat-dekat di depan wajahnya, ujung yang digunakannya menekan pusar sudah bengkok seakan baru saja digunakan menghantam dinding. Jeon melihat kilap stainless yang begitu tajam dan bening. Benda ini tidak tumpul, jadi kenapa?

Setengah marah, Jeon meremas benda itu dengan tangannya. Mengira kelakuannya akan mengoyak benda itu. Tapi justru perih menggores telapak tangannya, dan dalam sekejap saja darah merembes, amat deras, mengotori wastafel dan menggenang di lantai.

Pemuda itu memekik, refleks melepas pisaunya hingga berkelontang menghantam lantai. Dua tangan yang gemetaran, bersimbah darahnya sendiri. Tidak nampak lagi darimana luka koyakan itu berasal, tapi bisa dirasakannya luka amat dalam, melihat aliran darah yang begitu deras.

Pemuda itu berdiri gemetaran, bingung untuk sesaat. Sampai seseorang mengetuk pintu kamar mandi.

“Jeon. It’s Arthur.”

“Leave me alone,” Jeon tidak bermaksud menunjukkan kepanikannya, tapi sadar betul suaranya barusan bergetar.

Arthur tidak langsung menjawab, tapi Jeon tahu pria itu masih berdiri disana, berbatas pintu saja.

“I just need to make sure you’re okay.”

“Please leave me alone, Arthur.”

Aku tidak mau merusak pintunya. Please open it.

Jeon hampir tertawa. Merasa geli. Melihat darah di tangannya sekaligus mendengar Arthur memaksakan diri menggunakan suara selembut itu. Agak gemetar saat ia mencoba membuka pintu menggunakan tangannya yang basah. Sekarang, darah ikut-ikutan mengotori punggung pintu dan kenopnya.

The fuck, man?” Arthur terperangah menatap keadaan Jeon. “You just kill something?”

“Ini darahku, Arthur. Pisaunya tajam… tapi kenapa tidak mempan di perutku saja?”

You crazy fuck,” pria itu mengumpat. Tubuh besarnya memberondong masuk, merogoh set lemari di atas wastafel, mencari sesuatu. Botol-botol berjatuhan, tabung-tabung sampo dan sabun bergelinding menghantam lantai. Tangan besar pria itu kesulitan mencari benda kecil tanpa merusak sesuatu. Jeon hanya mendengus geli menyaksikannya.

Arthur menemukan roll perban dan kapas, bertepatan dengan kedatangan Kent. Pria itu menatap langsung ke tangan Jeon yang bersimba darah, dan Jeon segera tahu arti ekspresi wajahnya yang diiringi perubahan mata menuju amber…

“A-aku yang melakukan ini, Mr. Kent! Tolong jangan berkelahi lagi, please?”

Permohonan kecilnya dengan mata berbinar basah dan suara memelas, berhasil membuat Kent dan Arthur akur sesaat. Bertiga mereka terduduk di lantai kamar mandi. Arthur dan Kent berdampingan bahu-membahu membebat luka di tangan Jeon, setelah membilasnya dengan air lebih dulu.

“It’s mine… I can feel it.” Sempat-sempatnya Kent berkomentar, selagi mengikat perban di pergelangan tangan Jeon.

“Trisulaku ketinggalan di ruangan tadi. Tapi aku bisa duel tangan kosong.”

Boys…” Jeon menegur, sambil mendesah. Kehilangan banyak darah membuatnya lelah. “Kalian akan berangkat kan?”

“Malam nanti, ya.”

Jeon mengangkat wajahnya, tidak menyangka Kent yang menjawabnya.

“Kau akan membantu mereka, Mr. Kent?”

I guess?” pria itu hanya mengusap tangannya yang berbalut perban. Untuk sesaat tadi Jeon menangkap sorot linglung di balik mata birunya, matanya yang tampak amat manusia. Jeon tidak mengenal pria ini, dan ia sendiri masih merasa was-was. Clark Kent bisa membunuh mereka semua bila pria ini menginginkannya. Tapi saat ini, yang berlutut di depannya, memegangi tangannya yang berbalut perban sambil melamun…

Itu sorot mata seorang manusia.

Jeon tidak sanggup menggerakkan otot telapak tangannya, meski besar sekali keinginan untuk meremas jari besar itu

Stay alive, please,” katanya sambil membalik tangan, mengusap tangan Arthur dan Kent bergantian dengan jari-jari kaku terbebat perban. “Be safe.”

.

.

.

.

.

.

Ada kilat jingga menembus langit, menghujam begitu tinggi dan entah berhenti di titik mana.

Jungkook menonton dari balik jendela. Langit gelap malam itu bercampur jingga. Sumber cahaya terik itu pasti berasal nun jauh disana, di satu tempat yang mungkin masih bagian dari Gotham, atau mungkin juga sudah berada di luar batas wilayah kota ini. Tapi kesana Bruce pergi.

“Duduklah, kau baru melewati hari yang panjang.”

Jeon menyentuh kaca itu dengan tangan kanannya, mengatup dingin di bawah kulitnya. Seluruh dinding ruangan itu terbuat dari kaca, yang mengizinkannya melihat pemandangan danau di belakang Wayne Manor, hutan-hutan gelap, dan kini… semburat jingga tegak bagai pedang langit.

“Hanya Master Wayne satu-satunya manusia diantara mereka semua,” katanya tiba-tiba, “Kenapa dia tetap harus pergi?”

Kalau ada yang akan mati, kemungkinan terbesar adalah masternya sendiri.

Dan kalau dirinya sudah punya separuh kekuatan Superman, itu membuatnya berpikir. Kenapa mereka tetap tidak mengajakku pergi? Lalu matanya melirik, pada tangannya yang mengatup kaca, berbalut perban dengan semburat darah menembus mengotori kassa.

I’m useless.” Jeon menyadari.

“Dia akan cari cara untuk membantumu mengeluarkan makhluk itu.”

“Bagaimana kalau tidak bisa? Bagaimana kalau ternyata ini jadi bayi sungguhan? Punya kaki dan tangan seperti manusia? Apa kalau begitu Master Wayne akan mengurungkan niatnya membuangku jauh-jauh? Aku memberinya anak.” Jeon mengatup perutnya. Merasa beruntung setidaknya setelah semua orang pergi, tidak ada hal aneh terjadi. Seakan-akan keberadaan orang-orang itu justru yang jadi pemicu munculnya hal-hal abnormal lain.

Alfred menyerahkan secangkir cokelat panas ke tangan Jungkook, yang menerimanya sambil menunduk.

“Satu…” katanya mengawali, “Kita tidak tahu makhluk apa ini dan apa imbas yang akan terjadi padamu, dan dua…” ujarnya sambil menghela napas, “Itu bukan putra Wayne.”

“Tapi aku minta untuk Wayne. Pasti putra Wayne.”

Alfred tahu perdebatan itu tidak akan membawanya kemana-mana, apalagi bila persoalan yang dibahas adalah Bruce Wayne dan bibir yang membahas adalah Jeon Jungkook.

“Habiskan cokelatmu.”

“Master Wayne sedang lelang nyawa disana, aku tidak bisa minum cokelat panas,” katanya begitu terlanjur menyesap seteguk. Manis yang dikecapnya langsung berubah getir mengingat ucapan Bruce hanya beberapa menit lalu.

Jeon berniat berdiri disana, menatap garis jingga itu hingga menghilang. Berpikir mungkin itu akan jadi pertanda kepulangan Bruce. Sampai lelah ia berdiri disana, hingga ia memutuskan sudah saatnya memanfaatkan kursi yang disediakan Alfred.

Sambil duduk pun, Jeon mendongak lagi. Menatap langit. Garis itu meredup untuk sesaat, sebelum hilang bagai ditelan langit malam.

“Mereka berhasil Alfred!” pekiknya girang, lalu datang kebingungan. “Atau tidak? Atau bukan? Kalau garis jingganya hilang, artinya mereka menang kan? Kotak itu tidak berhasil menyatu?”

Jeon berpaling dan menemukan dirinya sendirian di ruangan itu. “Alfred?” panggilnya.

Jeon, aku di ruang kendali.”

Jeon menunduk, pria itu menyahut dari smartwatchnya.

Pergi ke ruang Master Wayne.”

Jeon tidak paham. Sampai matanya menangkap titik aneh di atas langit, perak, menyala, berterbangan di atas pohon-pohon dan bergerak makin lama makin mendekat.

“Alfred…” Jeon bangun pelan-pelan, merayap ke belakang kursi dengan keningnya bertaut. Ia paham karir yang dipilih Bruce Wayne bersikutan dengan hal-hal abnormal begini. Alien dan metahuman… Tapi hatinya belum siap menyaksikan berkali-kali.

“Aku tidak ingat Master Wayne menyalakan drone-nya. Kau yang nyalakan?” suaranya gemetar, berharap mendengar jawaban sederhana ‘Ya’. Ya, Alfred tengah malam iseng menyalakan drone Wayne entah untuk alasan apa.

Tapi suara sama panik yang didengarnya di sebrang panggilan.

Menyingkir dari jendela itu!”

.

.

.

.

.

.

Saat Arthur mengangkat tubuh Steppenwolf, tertikam di ujung trisulanya memekik bagai bison sekarat, Kent membantu dengan menghantam tubuh besar monster itu, dan Diana…

Diana menyelesaikannya. Satu tebasan mulus dari pedangnya dan tubuh Steppenwolf terpental masuk ke dalam portal, menghantam lantai dengan kepala terpisah dari badannya.

We’re not done,” sosok Darkseid berdiri di balik portal itu, mendesis remeh pada enam sosok di bawah portalnya. Dipijaknya potongan kepala Steppenwolf hingga lumat.

Arthur tegak di belakang Kent. Diana mengangkat pedangnya. Victor, Barry, dan Bruce berdiri siaga. Enam pasang mata menatap balik pada sosok di balik portal dimensi lain itu, tanpa bicara, nyalang menyatakan siap berperang bila Darkseid bermaksud melanjutkan kekalahan Steppenwolf.

Tapi makhluk itu bergeming, senyum miringnya terulas di wajah gelap penuh gurat.

“Your new God. Tidak peduli kekuatan magis ikut campur. God offspring is a God nonetheless.”

Barry mengerjap bingung, “Apa yang dimaksudnya…” katanya terbata-bata, sambil melirik orang-orang dan melihat tampang-tampang tegang yang sama.

“You’ll see me soon… Earthlings.”

Kent hampir-hampir melesat ke arah Darkseid saat portal biru itu mengatup dan tertutup dalam sekejap. Pria Kriptonian itu hampir menghantam dinding gedung saking cepatnya ia bergerak. Napasnya tergesa, dan saat menatap rekan-rekan barunya, Kent yakin mereka memikirkan hal yang sama.

“Jeon.” Arthur dan Kent mendesis bersamaan.

.

.

.

.

.

.

Nahlo beneran tiap hari update wkwkkw, mana minta review! *nagih utang*

Kalo bingung siapa bapaknya… nanti kutambah lagi satu calon bapaknya biar jadi 4 biar tambah bingung. aowkwowkwowk

 aowkwowkwowk

Reviews

  1. AuPembaca

    Seenggaknya kasih rasa simpati gtuloh Bruce, gk kasian apa ya anak orang 🥲 Bruce walau manusia tapi alat yang dipakek udah kuat buat berlawanan sama manusia+power

Add a review
Beranda
Cari
Bayar
Order