Kubuat alur maju mundur kayak di This Crazy Family ya
.
.
.
.
Jungkook memang gemar ngambek. Karena menurutnya itu salah satu cara mengetes kesetiaan dan ketangguhan Arthur, bagaimana pria itu akan merespon dan meladeninya seperti hasil ujian. Dan tentu saja, Jungkook lah juri yang menentukan Arthur akan lulus atau tidak.
Dan hari ini… Hari ini bukan sembarangan drama yang terjadi. Arthur tiba-tiba menelpon dan mengabari tidak bisa datang ke Baltimore malam itu, sekaligus menggagalkan rencana kencan yang sudah disusun berminggu-minggu sebelumnya.
“Kau sudah janji!” Jungkook menjerit di telpon.
“Hari ini dadakan sekali, baby. Kuganti dengan tiket ke New York, bagaimana? Julien dan Martin bisa menemani. Kau mau ke Disneyland?”
“Ya! Jangan lupa pesan hotel yang bagus. Aku mau bercinta dengan mereka! Nanti kurekam untuk cenderamata!”
“Baby! Jang-“
Jungkook menutup telpon itu sepihak.
Arthur disebrang telpon, hanya memandangi layar ponselnya heran. Beberapa kali ia mencoba melakukan panggilan ulang, tapi usahanya justru tersambung ke kotak suara.
Jungkook sungguhan merajuk. Dan ini bukan hal bagus, mengingat kandungan remaja itu sudah menginjak bulan kedelapan.
Terakhir kali pertengkaran mereka membuat Jungkook bersumpah akan memberi bayinya nama belakang Julien.
Arthur yang seumur hidup belum pernah mengirim voice note untuk siapapun, pertama kalinya memutuskan untuk merekam suaranya dengan nada memelas;
“Baby, please?”
Usaha telpon terakhirnya hanya masuk ke nada sambung. Jungkook pasti sengaja tidak mengangkat panggilan itu sama sekali.
***
Jungkook, tentu saja tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk melakukan serangan balik pada Arthur. Pria itu tidak jadi membelikannya tiket ke New York, tapi Jungkook punya kartu kredit sendiri, punya ponsel sendiri, dan punya dua penjaga bodoh yang akan iya-iya saja bila Jungkook mengajak mereka pergi bersama.
Baru Martin menyadari terjadi drama antara birdie dengan bos besar setelah mereka sampai di New York.
“Jadi kau bilang pada bos, kau bakal make love dengan kami di New York?”
“Ya, kenapa?!” sahutnya galak.
“Harusnya jangan bilang… kalau memang mau.”
“Heh, sinting! Cepat jalan.” Julien menempeleng Martin dari belakang, menyuruhnya jalan cepat-cepat.
“Pertengkaran rumah tangga sudah biasa, lil boss.” Julien nyengir tegar, dalam hati menambahkan, tapi bisa jangan libatkan aku?
Pria itu berjalan pelan mengiringi Jungkook, tangan dilipat di balik punggung untuk mencegahnya refleks menepuk-nepuk bahu Jungkook. Sudah cukup nyawanya dipertaruhkan dengan ikut kemari saat dua bosnya sedang bertengkar. Ia tidak ingin menambah runyam drama yang sudah terjadi.
Agak gugup Julien melirik ke atas, ke sana kemari, mencari CCTV. Bos besar punya kecenderungan mengerikan untuk menyuruh hackernya menyadap kamera di tempat umum yang dilewati lil boss.
“Telpon kalian sudah dimatikan?”
Julien melirik Jungkook, ponselnya dan ponsel Martin sudah digenggam di tangan anak itu, dicek bolak-balik, hampir dipreteli selagi mereka berjalan di lobi hotel. “Ada tracker atau tidak?”
“Ung…” Julien bukan pria jenius. Ia butuh waktu untuk memilih, mana yang lebih enak. Mati di tangan Arthur, atau mati di tangan Jungkook.
“Kau tangan kananku, Julien. Bukan tangan kanan Arthur lagi!” Jungkook mendesis, “Jadi ada tracker atau tidak?”
“Ad-T-tidak ada, bos.”
“Jadi ada, ya. Hm.”
Julien menelan ludah, mengusap keringat dingin kasat mata dari keningnya.
Jungkook membolak-balik santai ponsel di tangannya, sebelum mengembalikan satu pada Julien dan, “Martin, ambil ponselmu! Barangkali pacarmu rindu.”
Martin buru-buru kembali.
“Sudah kubilang jangan ngomong soal tracker!” Martin berbisik-bisik, menyikut Julien. Suara keduanya terdengar terlalu jelas oleh Jungkook yang hanya bisa mendesah melihat kebodohan mereka.
“Aku bilang tidak ada!” Julien balik tidak terima, “Kubilang tidak ada, kan ‘boss? Kau akan bilang pada big boss bahwa aku bilang tidak ada tracker sama sekali, kan lil boss?”
“Kau ingin pindah hotel sekarang bos? Kita bisa preteli trackernya, kalau kau mau ‘bos.”
“Martn’!” Julien mendesis marah, “Tidak ada tracker, dude!”
Jungkook memijat dahinya, pening sendiri. “Tidak perlu pindah. Aku suka tempat ini. Carikan makanan. Kutunggu di atas.”
“Tapi kau tidak boleh sendirian, lil boss.”
“Kalau begitu satu bersamaku-“
“Aku saja!”
“Aku! Aku!”
“Kalian bisa suwit?”
Martin dan Julien hanya bisa berkedip menatapnya.
“Sepuluh detik, kuhitung dari sekarang.”
“Fuck.” Keduanya mengumpat bersamaan. Dalam keadaan tertekan dan hitungan ketujuh Jungkook, Julien keluar sebagai pemenang.
“Yes! Aku stay dengan lil bos!”
“Memangnya aku bilang yang menang yang tinggal?”
Jungkook menyeringai geli melihat seluruh kebahagiaan di wajah Julien lenyap dalam sekejap. Pria itu menatapnya malang, tidak bisa berbuat apa-apa saat Jungkook mengoper kartu kreditnya. Martin menjulurkan lidah pada Julien dari balik tubuh Jungkook.
“Aku mau 2 Big Mac, 3 kentang goreng besar, 3 soda, dua Happy Meal, dua eskrim, tiga pai apel.”
“Tapi… itu junk food.”
“AKU MAU BIG MAC, TIGA KENTANG GORENG BESAR, TIGA SODA—”
“Aku berangkat, boss!”
.
.
.
.
Sampai di unit suite yang kelewat besar bahkan untuk tiga orang itu, Jungkook langsung memeriksa balkonnya, bar mungil di dekat sofa, dan kamar mandi besar dengan dinding kaca. Pemuda itu berdecak puas, meniti seribu satu skenario drama di kepalanya. Tempat ini sungguh apik untuk jadi latar belakang fotonya, dan keinginan dadakan itu makin membara saat dilihatnya Martin berdiri jauh-jauh dengan dua tangan di depan tubuh, bersiaga, jika barangkali ada serangan mendadak yang terbayang dalam benaknya. Jungkook tahu pria itu punya beberapa shotgun tersembunyi di balik kemejanya.
“Kenapa jauh-jauh? Kemari, Martin.”
Martin berkedip.
“Ehe… Yang tadi hanya bercanda, bos.”
“KEMARI.”
Martin terbatuk-batuk, sambil buru-buru menghampiri Jungkook sebelum ia diteriaki. Pemuda itu berdiri di beranda, bersandar pada pagar besi yang disepuh putih dengan pemandangan laut di belakang tubuhnya. Martin baru menyadari lebih jeli begitu melihat Jungkook berdiri sendirian di tempat seindah itu, pemuda itu mengenakan hoodie kuning kebesaran yang hampir lolos dari bahunya. Sepasang tulang selangka menyembul kokoh, bergerak licin di bawah kulit saat Jungkook memutar bahunya mencari posisi nyaman. Meskimembawa-bawa perut sebesar itu, Jungkook tetap berdiri tegap. Tingginya di atas rata-rata pemuda asia dan perut besarnya justru memperjelas proporsi ramping tubuhnya.
Langit masih terik, rambut cokelat Jungkook tampak bagai disepuh emas dan kulit pucatnya… membuat Martin segera komat-kamit di bawah napasnya sambil menundukkan pandangan.
“Disini agak silau, lil boss. Bagaimana kalau kita tunggu di dalam?”
“Kita tidak punya foto berdua.” Jungkook langsung menarik Martin, mengajaknya bersandar bersama-sama di sana. Dirangkulnya pria itu agak mesra.
“U-um, bos?”
“Bisa lipat sedikit kakimu? Aku tidak sampai nih.” Katanya sambil berusaha mencari posisi sempurna, ingin wajahnya dan wajah Martin tampak sejajar di kamera.
“….s-sampai?”
“Merunduk sedikit, Martin!” paksanya sambil menarik tangan Martin. Pria itu tidak diberi kesempatan bersiap. Wajahnya tampak kelewat kaget saat Jungkook menariknya miring, mengecup pipinya, dan berhasil menangkapnya di kamera.
Tidak cukup sekali, Jungkook mengambil tiga pose lainnya. Satu menunjukkan kepalanya bersandar di bahu Martin, dan semua menggunakan pemandangan latar belakang langit yang indah. Begitu selesai, Jungkook langsung melepas Martin dan melenggang masuk tanpa dosa. Tiba-tiba sibuk sendiri dengan ponselnya meninggalkan Martin yang masih tercengang-cengang sendirian di luar beranda.
“Makan tuh,” bisinya sinis sambil menekan tombol kirim.
“B-barusan kau cuma kirim ke Jean, kan?”
“Bukan. Ke Arthur.”
“Duuude!” Martin hampir memekik, “Kau tahu nyawaku cuma satu, kan?”
“Ya,” Jungkook menjawab santai, sambil menggerogoti sebulir kacang mede yang ditemukannya di meja bar. “Kau pakai rompi anti peluru kan? Aku menyuruhmu tadi pagi, jadi kuharap kau menuruti permintaanku, Martin.”
Martin terbata-bata. Dalam hati menghitung gentar, berapa hari dibutuhkannya untuk bertahan, sampai Arthur melupakan kejadian ini. Tapi foto itu dikirim langsung pada bosnya… Apa hitungan hari akan turun jadi hitungan jam?
Tiba-tiba pintu kamar hotel mereka didobrak, dan bukan Julien yang pertama masuk. Arthur yang menggebrak, dan Julien mengekor di belakang.
Martin yang kelewat refleks, melompati meja memberi jarak sejauh-jauhnya. Lalu sadar Arthur bukan tipe orang yang senang dihindari, pria itu memutuskan untuk berdiri tegak, memberi hormat.
“Selamat datang, bos!” ujarnya berlagak seperti menatap bendera Amerika.
“Get out. I’ll deal with you later, Martin.”
Tidak perlu disuruh dua kali, Martin setengah berlari keluar ruangan. Sudah ada bos besar disana, Jungkook tidak perlu dijaga. Sekarang yang perlu dijaga malah nyawanya sendiri.
“Aku yang paksa, Martin.” Jungkook menunduk, tidak menatap siapapun dan santai menggigiti kuku. Tangan kirinya menyilang di depan perut, dan kakinya ikut menyilang sambil bergoyang-goyang.
“Keluar, Julien. Aku tidak mau melihat kalian sekarang.” Julien ingin sekali langsung menurut, tapi ia membawa pesanan berharga Jungkook. Terpaksa ia masuk dulu, melakukan adegan serah terima dan baru bisa keluar bila Jungkook memintanya.
“Semua disini, yang di dalam kotak tanpa pickle, dan sodanya tanpa es.”
“JULIEN!”
Jungkook membuka-buka plastik Mc. Donald itu dengan santai. “Kubilang aku yang paksa Martin. Dia kan bawahanku, kau sendiri yang bilang. Jadi suka-sukaku mau berbuat apa.”
“Keluar. Kalian semua.”
Julien langsung keluar dan menutup pintu tanpa menunggu lagi. Yang penting pesanan bos sudah sampai di atas meja.
“Kau mau aku keluar juga, hm? Oke.” Jungkook melenggang hampir melewati Arthur, tapi pria itu menangkap tangannya dan menariknya kembali.
“Stop this non-sense!” Bentaknya jengah, tidak sadar mencengkeram lengan Jungkook kelewat kencang. Jungkook mendongak, tidak langsung merespon. Tapi pemuda itu menatapnya dengan ekspresi sama sengit.
“Barusan kau membentakku?”
Arthur hampir termegap dibuatnya. Pria itu mengatup mulutnya lagi sambil melapalkan ulang latihan dadakan yang diterimanya dari Jean sepuluh menit yang lalu. Untuk mengusir niat untuk membentak orang dengan suara menggelegar, pria itu berdehem dua kali.
“Maksudku… Ng— M-maafkan aku?” katanya pelan sekali. Meski dalam hati ia tidak tahu apa salahnya sampai Jungkook mengiriminya foto bersama Martin begitu mesra. Tapi dirapalnya lagi ucapan Jean, ‘Jangan tanya, bilang maaf, aku cinta padamu, ayo kita habiskan waktu bersama.’
Arthur tidak sanggup mengucapkan dua kalimat terakhir, jadi diulangnya lagi bagian termudah, “Maafkan aku?”
“Tangan.” Jungkook menunjuk tangan Arthur yang mencengkeram lengan atasnya. Arthur melepasnya, sambil menepuk-nepuk lembut lengan Jungkook.
“Maafkan aku?” ulangnya lagi, makin lama terdengar makin kaku.
“Ngapain kau kemari? Ada meeting penting, kan?”
Padahal pertanyaan itu sudah diprediksi Jean, dan wanita itu juga sudah mengajarinya cara menjawab. Tidak ada yang lebih penting dari dirimu. Tapi otaknya seperti berhenti bekerja yang bisa dikatakannya, “…sudah selesai?”
“Kau bertanya padaku atau memberi tahu?!”
“Maksudku meetingnya sudah selesai, jadi aku menyusulmu kemari. Bukannya kau yang menginginkan liburan?” Arthur terpancing, ikut-ikutan membentak. Tidak senang mendengar orang bicara padanya sambil tarik urat.
“Oh, jadi ini salahku sekarang?”
SIAPA YANG MENYALAHKANMU? Arthur hampir berang. Tapi terngiang olehnya suara Jean, Jangan melawan, bos. Rileks dan katakan, “Maafkan aku?”
Jungkook mengatup mulutnya, mulai tidak tahan. Sepertinya mengusir Arthur pun akan percuma. Karena Jungkook memang sengaja memancing agar pria ini datang kemari. Kenapa harus diusir saat sudah berhasil?
Jadi anak itu malah melangkah menuju ranjang. Duduk disana menyalakan TV, agak sengaja ia membuka hoodienya, setengah karena cuaca, dan setengah karena niat memancing. Kini tubuhnya hanya terbalut kaus kutang putih, dan celana longgar melilit di bawah perut.
“Ambilkan burgerku, daddy. Sodanya juga.”
Arthur hampir kelepasan tersenyum, dibawanya makanan di atas meja dengan penuh semangat. Sampai ia menyadari, “Junk food?”
“Ya, kenapa?”
Arthur menelan ludah susah payah, menekan balik emosinya yang hampir menggelegar. 4 kata maaf yang sudah susah payah diucapkannya tidak boleh terbuang cuma-cuma. “Tidak. Sesekali tidak apa.”
Jungkook memegangi Big Mac besar itu dengan satu tangan, menikmatinya dalam diam. Matanya melirik TV tapi ia tahu Arthur memandanginya dari sisi. Dengan sebelah tangan, Jungkook berusaha menanggalkan sepatu, baru sadar sejak tadi ia masih menggunakan boots besar yang agak berat itu. Tapi tentu saja, perut besarnya membuat aktivitas sederhana itu jadi 10 kali lebih menjengkelkan. Biasanya ada Yohana yang membantunya perkara hal sepele, tapi sekarang hanya ada Arthur… kalau boleh jujur, Jungkook tidak berharap banyak.
Tapi melihat Jungkook berjuang dan mengerang, Arthur segera duduk di lantai bersandar di pinggiran ranjang sambil merangkul kaki Jungkook ke dadanya. Pemuda itu tidak bisa menahan diri, senyumnya mengembang kelewat lebar di balik gigitan Big Mac.
Arthur melepas simpul sepatu, menarik benda berat itu, dan menggulung kaus kaki Jungkook, membebaskan kulit pucat pemuda itu. Diusap-usapnya kaki jenjang yang ramping itu lalu dibiarkannya kaki Jungkook tetap tersampir di pangkuannya.
Kadang bertengkar dengan Arthur memang menyenangkan, tapi melihat Arthur yang tiba-tiba lembut begini lebih langka jadi tidak akan disia-siakannya.
“Bagaimana dengan meetingnya?” Jungkook bertanya lembut, rupanya mulai luluh.
“Oke. Satu orang terbunuh.”
“Orangmu?”
“Nah.”
Jungkook menggoyang-goyang kakinya senang.
“Minum.” perintahnya sambil mengulurkan tangan. Arthur langsung mengerti, mengoper gelas plastik soda ke tangan Jungkook.
“Burgermu sudah habis?” Arthur melirik. Jungkook sedang minum riang sambil menggoyang-goyang kakinya.
“Hmm~ Masih dua, kau mau?” ujarnya sambil menunjuk ke arah meja menggunakan dagu. Arthur menggeleng, malah didorongnya Jungkook untuk minum lebih banyak.
“Minum lagi,” katanya. “I hate pickles.”
“Aku tahu. Makanya kumakan yang tanpa acar.” Jungkook nyengir kelewat lebar. Arthur tidak bisa menahan dengusannya. Pria itu menyesap bibir bawah Jungkook sambil mendorongnya ke ranjang., tidak peduli sisa soda Jungkook berceceran membasahi seprai putih. Cuma duduk dengan kaus kutang di atas ranjang, mudah sekali bagi Arthur untuk melanjutkan sisanya.
.
.
.
.
Ga boleh kebanyakan semut. Segini aja cukup yes.
Dedek dengan hoodie kuning:
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Filter pt.2 (NC)
Author: _baepsae95 -
🔒 Braven – 15. Bestow
Author: Miinalee -
🔒 Sky Above
Author: _baepsae95 -
🔒 Sugar, Baby – Special Ch
Author: Narkive94
Reviews
There are no reviews yet.