7. Memories

Author: Miinalee

Saat mereka kembali ke Wayne Manor, Bruce harus menyaksikan separuh tower Maria hancur. Itu hampir seperempat dari seluruh gedung huniannya. Potongan-potongan besi runtuh dan dinding-dinding luluh lantak. Kabel-kabel dan peralatan berpercik listrik kalang kabut di sana-sini. Beruntung ia tidak punya banyak orang bekerja untuknya di mansion itu, hanya dua orang pelayan dan tiga penjaga luka-luka.

Arthur dan Clark yang datang langsung mencari Jeon.

Bruce tidak berharap banyak, dalam hati bahkan merasa bersalah entah untuk apa. Bila sampai ditemukannya Jeon tergeletak di satu tempat di mansionnya, mungkin dalam keadaan tidak bernyawa… Bruce tidak akan bisa mem—

“Kalian terlalu lama.”

Bruce tersentak, sontak berpaling pada suara itu. Pelan berasal dari balik potongan sofa jungkir balik. Jeon menatap balik padanya, debu dan jelaga mengotori wajahnya. Namun dari caranya berdiri, pelan-pelan sambil mengatup perutnya sendiri dan melangkah menuju cahaya… Bruce bisa melihat anak itu.

Utuh tanpa sebaret pun luka. Kemeja yang dikenakannya robek di bagian bahu dan sedikit di bagian dada, namun selain itu, tidak ada satu pun bagian hilang dari tubuhnya.

Bruce berhenti di tempatnya berdiri, enggan melangkah maju sekali pun Jeon menatapnya dengan tangan terbuka, menyangka Bruce akan meraihnya.

Justru Arthur yang memapahnya keluar dari puing-puing dan Clark  mengatup wajahnya memastikan dua kali pemuda itu benar-benar tidak terluka.

Jeon terbatuk dua kali, sambil mengusap hidungnya dan bersin karena debu berhamburan di sekitarnya. Lalu mata anak itu mengerjap-ngerjap, menatap wajah-wajah yang menatapnya heran sambil bertanya,

“Aku lapar. Ada makanan?”

.

.

.

.

.

Mereka berusaha menginterogasi, mulai dari Diana, Arthur, hingga Bruce sendiri. Tapi Jeon… sibuk menelan dan mengunyah potongan sandwich dan nugget yang disiapkan Alfred untuknya, tiba-tiba diserang lapar seakan lambungnya tidak diisi berminggu-minggu lamanya. Pemuda itu  hanya akan menjawab tiap pertanyaan dengan mengendikkan bahu.

“Tidak tahu. Tidak ingat. Aku terlalu ketakutan tadi, tahu-tahu wajahku panas. Kupikir sesuatu menembak wajahku. Tapi… tidak… entahlah,” katanya, bicara dengan mulut penuh hingga suaranya redup redam. Tapi sebentar disadarinya betapa serius tatapan semua orang. Dengan canggung diletakannya potongan sandwichnya —yang ketujuh— lalu pemuda itu duduk tegap, “Mungkin kulakukan lagi seperti siang tadi? Mata laser Superman? Biar kucoba lagi. Lemari itu boleh jadi target ‘kan, Master Wayne?”

Jeon malah tidak menunggu Bruce menjawab, serius sekali anak itu memasang matanya memelototi potongan lemari sisa kehancuran tower Maria yang jungkir balik tidak jauh dari mereka. Tiga detik, lima detik, sepuluh detik. Tidak terjadi apa-apa. Jeon mengedip-ngedipkan matanya lalu mencoba lagi. Tidak terjadi apa apa. Lalu anak itu memijat sendiri bahunya di kanan kiri, meregangkan otot-otot jarinya, lalu duduk tegap menargetkan seluruh fokusnya pada potongan lemari itu.

Tidak terjadi apa-apa. Yang terdengar justru suara tawa Barry dan Arthur mengusap-usap kepalanya.

“Berhenti sebelum bola matamu bergulir, kawan,” Barry geli sekali sampai menepuk-nepuk meja.

IeckStupid,” Jeon kesal sendiri, malu mengangkat wajahnya lagi jadi pemuda itu memutuskan untuk memungut sandwichnya dan melanjutkan makan malamnya.

“Pipimu hangat,” Arthur komentar sambil mengusap pipinya dengan telunjuk.

“Ya. Kalau dingin artinya mati, no?” 

Silly.”

“Kau mau, Arthur?” Jeon mengangkat sandwichnya dekat ke bibir pria itu. Arthur malah hanya menatapnya dan menolak halus, untukmu saja.

“Jangan tolak aku, dimwit!” 

“Alright-alright!” Arthur mendesah, pria itu membungkuk dan menerima suapan tangan Jeon.

“Tapi jangan gigit banyak-banyak juga.”

Arthur mengunyah sambil tertawa.

“Enak, kan? You’re welcome.” 

Jeon menyesap segelas penuh susuk cokelat. Gerak-geriknya begitu santai, terlalu menikmati suasana mengingat kejadian macam apa yang baru saja menimpanya.

“Hei, Jeon…” Victor bersuara, akhirnya.

Jeon hanya berdehem sebagai jawaban. Anak itu baru mengitari meja untuk meletakkan piring kosongnya di wastafel. Mereka duduk di dapur luas yang kini setengah bagiannya kehilangan dinding.

“Coba cek benda ini, kurasa kau tahu apa ini.”

Jeon menatap benda itu, kotak kubus sebesar kepalan tangan Victor. Tanpa kecurigaan sedikit pun, pemuda itu menghampiri Victor dan menerima benda itu begitu saja, diserahkan langsung ke kedua belah tangannya yang terbuka.

Mana dia tahu kalau benda itu berat bukan main. Jadi Jeon yang tidak sanggup memegangnya, sontak menjatuhkannya ke lantai. Ujung kubus itu, hampir menghantam jempol Jeon yang beralaskan sandal, jika seandainya Clark tidak turun tangan dan melesat cepat, meraih Jeon ke dalam pelukannya.

Victor tanpa dosa, hanya melirik besi seberat seratus dua puluh kilo yang tergeletak di antara lantai retak. Lalu pria itu menatap Diana, yang hanya menurunkan bahunya.

Seperti dugaanmu. Dia tidak benar-benar punya kekuatan Kriptonian. The kid simply protecting itself.”

“Harus sekali kau tes dengan cara itu?!”

Jeon langsung panik melihat amarah di mata Kent. Sebelum amarah itu berubah warna jadi jingga, ditahannya dada Kent, “It’s okay, it’s okay, Mr. Kent!”  lalu Jeon berbalik pada Victor. “But please don’t do it again, Mr. Victor. It’s so bad!” katanya sambil mengangkat-angkat telunjuk. Lalu lewat dua detik pemuda itu terlupa lagi dan tiba-tiba disibukkan oleh hal lain. Santai sekali ia melenggang pergi, membawa piring kosong ke ruangan lain dan kembali lagi dengan piring terisi penuh.

“Apa yang mereka maksud dengan God Offspring?” Barry teringat lagi, pada ucapan Darkseid sebelumnya. 

“Anakku.” Kent menyela.

“Kau mengaku jadi dewa, eh?”  Arthur mendengus, tangannya terlipat di depan dada dan fokusnya digilir adil untuk meladeni ocehan orang-orang ini sambil mengawasi Jeon… yang lincah sekali bergerak kesana kemari, membuka kulkas, sambil mengunyahi sesuatu.

Bisa jadi dia bicara dewa secara literal? Mungkin itu keturunan Darkseid sendiri?”

Who’s Darkseid?” Jeon bertanya penasaran, matanya bergulir lincah menatap satu wajah ke wajah lain. “Is he handsome?”

“Kau pernah lihat orang obesitas… dijadikan mumi, dipendam dalam tanah, dua ribu tahun, lalu diangkat lagi ke permukaan?”

“Um…?”

“Seperti itu wajahnya.”

Jeon tersedak.

“Mungkin tidak. Kita tidak tahu apa yang diberikan benda ini, dan apa yang diinginkannya sebagai ganti. Selalu ada ganti, Wayne. Selalu.” Diana menatap Wayne, dengan lampu yang jadi sumber masalah di tangannya. Wanita itu mencoba membaca apapun yang terukir disana, tapi selain gurat abstrak tanpa makna. Tidak ada pesan apapun tertinggal disana.

It’s mine. Kenapa sulit sekali meyakinkan kalian? I’ve seen the thing. My eyes on it. Like now.”  Kent menunjukkan, bagaimana ia menatap perut Jeon. Bruce paham apa yang dimaksudnya, begitu pula semua orang di dalam ruangan itu.

Clark Kent punya kemampuan itu, tubuh manusia bukan batasan bagi kekuatannya. Matanya istimewa, tidak hanya sebagai penghancur, tapi juga sebagai penerawang, the eyes of the beholder. Gulir aliran darah, gerak otot, lapisan daging, hingga organ jatung berdetak pun tidak luput dari pengelihatan matanya bila ia mau. Tapi saat itu, Arthur yang paling tidak terima mendengar pengakuan sombong pria itu.

Aku lebih percaya tes DNA.”

Baru dua hari, tapi Jeon sudah terbiasa dengan suasana ini. Entah darimana didapatnya sebuket popcorn, sambil mengunyah bulir-bulir manis itu, Jeon menatap Bruce penuh harap, “Kau mau ikutan tes DNA anakku juga, Master Wayne? Barangkali dia putramu.”

Lima detik berlalu dan Jeon baru menyadari apa yang terlontar dari bibirnya. Anakku. 

Fuck. Umpatnya dalam hati, tiba-tiba kehilangan selera untuk mengunyah lagi.

‘Kau terlalu jijik untuk melakukannya langsung denganku, jadi anggap saja lucky draw… lumayan kan?‘ hampir saja ia menambahi dengan komentar itu.

Bruce seperti biasa, hanya menatapnya sebentar dan memilih tidak meladeni. Sikapnya yang berpura-pura seakan Jeon tidak berada disana membuat pemuda itu makin kehilangan selera makannya. Ditelannya susah payah bulir popcorn terakhir yang terlanjur masuk ke dalam mulutnya.

“Apa dia tumbuh lagi setelah scan terakhir kita?” Diana bertanya, Jeon mengendikkan bahunya. Bingung harus menjawab apa. Tapi berdasarkan apa yang dirasakannya langsung, belum ada perubahan signifikan apapun terjadi.

“Mungkin tidak ada. Aku tidak mau seperti di Prometheus. Jadi solusi apa yang bisa kuambil dari masalah ini? We’re gonna cut him out… orr?

“Belum ada. Dan operasi bukan opsi, menurutku. Biar kubawa benda ini pada kenalanku, mereka mungkin tahu sesuatu.”

Jeon menelan ludah, diraihnya gelas berisi air dan diteguknya cepat-cepat untuk menenangkan diri. Saat selesai, pemuda itu tidak berhasil mengusir tegang di dadanya. Jadi Jeon mendongak pada Arthur sambil mengusap bibirnya yang basah.

“Arthur you stay with me and watch me in my sleep. Kalau-kalau dia tumbuh seperti bayi Alien vs Predator 3 saat aku tidur, bangunkan aku, oke? Aku tidak mau dia meledak di perutku.”

Arthur hanya sanggup mendengus gemas, tidak ingin tertawa terang-terangan. “Roger that,” ujarnya.

Jeon mengangguk dan mengangguk, melamun dengan gelas masih tertempel di mulut. Pikirannya berkelana kemana-mana, ia jelas merasakan sesuatu berkedut di bawah kulit perutnya, tapi sebisa mungkin Jeon tidak menyentuhnya. Lalu Kent tiba-tiba terduduk di sisinya, membuat Jeon berpaling padanya bingung. Pria itu menunduk memegangi kepala, seakan menahan sakit.

You okay, Mr. Kent?” Jeon bertanya gugup, tidak ingin mengulurkan tangannya tapi juga khawatir melihat pria itu.

Mr. Kent?

“Lois,” katanya tiba-tiba. Jeon hanya mengernyitkan kening.

“Kal-El, calm down.” Diana mencoba turun tangan sebelum Kent kehilangan kendalinya lagi. Tapi pria itu tiba-tiba berdiri, menatap bingung kesana-kemari sambil berkata,

Lois.”

“Dia disini. Dia di Gotham,” kata Diana sambil mengangkat tangan bermaksud menyentuh bahu pria itu.

Kent menghindar dari tangan wanita itu. Ada perintah kasat mata yang membuatnya buru-buru melangkah ke pekarangan. Pria itu berjalan cepat sekali, nyaris melayang. Matanya menatap jauh ke langit malam. Sebelum seorang pun sempat menyusulnya, Kent sudah pergi. Melesat menembus langit dan hilang dari pandangan.

“Whew,”  Jeon berdecak, meneguk lebih banyak air sambil mengerjap-ngerjap. Betapa hari yang panjang dilaluinya hanya dalam satu malam. “Dia tampan. Tapi aku takut.”

.

.

.

.

.

.

awas pelit vote dan review ye, laserin pake mata om Kent nie

awas pelit vote dan review ye, laserin pake mata om Kent nie

Atau mau dilaser pake mata boba?

Atau mau dilaser pake mata boba?

Reviews

  1. efiflynn

    Jeon selamat mendapatkan hadiah 😁

Add a review
Beranda
Cari
Bayar
Order