Reconcile /ˈrɛk(ə)nsʌɪl/
restore friendly relations between
.
.
.
.
.
.
Saat Jungkook pulang ke rumah Hoseok —karena tentu ia tidak punya tujuan lain dan tidak berhak kembali ke gereja— keluarga itu menerimanya kembali. Tidak dengan tanpa bertanya. Pertama-tama, ibu Jung ingin tahu kemana Jungkook menghilang selama 2 bulan. Selama itu. Jungkook ingin marah, apa Hoseok tidak memberi tahu isi pesannya? Tapi sebagian adalah kesalahannya. Ia berjanji untuk kembali setelah satu minggu. Sebaliknya, Jungkook malah tinggal di tempat lain dua bulan lamanya.
“Kau tidak beri tahu, eomma?”
“Sudah. Tapi eomma mau dengar langsung darimu!”
Jungkook berpaling pada Ibu Jung, merasa tidak enak, “Aku menjaga rumah orang, eomma. Bulan depan mungkin aku akan pindah dan sewa kost dekat sekolah.”
“Tapi apa tidak sempat pulang sebentar? Eomma mengkhawatirkanmu, chagi. Jangan bicara soal kost, tinggal disini dulu sampai kau dapat pekerjaan yang baru.”
Jungkook merasa tidak enak hati. Anak itu menunduk, lalu mendongak lagi menatap wanita paruh baya di depannya dengan senyum berat. Seandainya Ibu Jung tahu siapa yang memotong jari putra sulungnya…
“Jujur padaku. Apa kemarin kau pindah dengan sugar daddy-mu, Kookie?” Hoseok tidak berhenti menginterogasi, lebih parah dibanding Ibu Jung. Apalagi saat mereka hanya berdua di dalam kamar.
“What? Aku tidak punya sugar daddy!”
“Padahal aku berharap kau punya sugar daddy, itu terdengar lebih mudah daripada cari pekerjaan, Kookie!”
Jungkook memberengut, ingin menangis tapi terlalu malu. Apalagi saat Jinwook menatapnya dari jauh. Enggan mendekat pada awalnya, tapi saat tiba kesempatan dan tidak ada Hoseok atau Ibu Jung, pemuda itu menghampirinya. Masih ada dendam di wajahnya, Jungkook bisa melihatnya. Tapi ada sesuatu menahannya, mungkin ingatan soal malam itu, mencegahnya menyentuh Jungkook. Jungkook bisa melihat luka di tangannya sudah kering. Jinwook menutupi kejadian yang sesungguhnya. Penghuni rumah ini hanya tahu Jinwook kehilangan jari karena perkelahian seru di bar dekat St. Igos. Ibu Jung tidak senang, terlihat di wajahnya, tapi semua orang lebih mudah menerima dengan alasan seperti itu. Hoseok bahkan bercerita dengan menggebu-gebu, seperti potongan jari kakaknya menghilang tiba-tiba adalah jenis cerita yang seru untuk diumbar kemana-mana.
“Dia sudah bosan padamu?”
Jungkook hanya duduk di ranjangnya, menolak terlihat takut. Walau anak itu tetap was-was dan siap menyerang Jinwook kalau pemuda itu memutuskan untuk mencoba menyentuhnya lagi.
“Aku sedang ngambek padanya. Kenapa? Kau ingin bantu aku cepat-cepat baikan dengan pacarku? Coba saja, Jinwook. Coba saja.”
“Orang dewasa gampang bosan pada anak-anak sepertimu. Apalagi yang punya tampang ‘ber-uang’ seperti itu. Habis manis sepah dibuang. “
“Jari tengahmu masih satu lagi, kan? Mau kehilangan dua-duanya?”
Jinwook menatapnya benci, tapi bibir pemuda itu kaku tidak bisa membalasnya. Ia melengos pergi sambil menggumamkan ‘tidak tahu diri’.
Benar, Jungkook memang tidak tahu diri. Ia kembali kemari setelah semua yang terjadi. Tapi kemana lagi ia harus pergi? Ia tidak punya siapa-siapa. Ia hampir punya seseorang, dalam angannya, dalam harapannya. Yang pada kenyataannya menolak menganggap Jungkook lebih dari anak hilang butuh tempat penampungan.
Begitu sendiri disana, Jungkook tidak bisa menahan airmatanya.
Pacar.
Sepertinya itu mimpi yang lebih berat diwujudkan dibanding mencari keluarga yang mau memungutnya. Tidak. Kedua-duanya sama mustahilnya. Siapa yang menginginkan makhluk ambigu seperti Jeon Jungkook?
.
.
.
.
.
.
Jean merintih. Suara derak kasur yang pelan bertempo menenangkan degup jantungnya. Padahal biasanya, pergumulan mereka begitu brutal sampai-sampai Jean harus rela jalan terpincang seharian. Arthur memutuskan untuk bermain lembut selama seminggu terakhir. Seperti juga malam ini. Pria itu merengkuhnya, meletakkan bibir di tengkuknya, dan berbisik lembut sekali.
“I’m close, baby.”
Jean dikuasai klimaks, tapi akal sehatnya masih utuh. Ia mendengar jelas kalimat itu diucapkan di telinganya— hampir-hampir dengan penuh cinta, sebelum cairan Arthur leleh di dalam tubuhnya.
Jean mengerang, meremas otot-otot lengan Arthur membiarkan pria itu menyelesaikan klimaksnya. Arthur langsung melepasnya begitu selesai. Bangun santai seakan-akan tidak ingat pada ucapannya barusan. Jean tidak berusaha mengingatkan.
Setahun terakhir jadi pelanggan setia di ranjang ini, Arthur tidak pernah memanggilnya BABY.
Arthur memantik api di ujung rokoknya. Pria itu duduk telanjang di pinggir ranjangnya. Sudah lama sejak Arthur menghisap batang ganja. Jean bahkan hampir tidak ingat kapan terakhir kali pria itu menggunakannya. Sejak Lana dan Max meninggal dua tahun lalu, Arthur menolak menyentuh apapun yang berhubungan dengan narkoba. Membantuku fokus. Katanya. Bisnis mereka butuh leader waras yang tidak sering berada di bawah pengaruh psikotropika. Tapi disini, tiba-tiba, setelah dua tahun berlalu… Arthur menggenggam satu, menghisap lamat-lamat sembari menatap fokus, entah memikirkan apa.
“Aku tidak lihat anak itu.”
“Dia pergi.”
Jean berusaha mencari-cari, sesuatu di wajah Arthur saat pria itu menjawab. Pendek. Datar.
“Begitu? Sayang sekali. Padahal aku senang ditatap benci setiap kali kesini. Wajahnya mengerut lucu dan matanya yang sipit itu makin hilang.” Wanita itu tertawa sendiri membayangkan Jungkook.
Jean sudah banyak dengar saat ia duduk di markas sibuk mengurusi diri sendiri. James membahasnya. Julien membahasnya. Martin membahasnya. Little birdie menghilang tiba-tiba. Bukan satu orang saja yang merasa kehilangan.
“Wajahnya manis sekali, hm? Seperti gadis kecil.”
“Dua kali hampir diperkosa gara-gara itu.”
Jean merangkak pada Arthur, lalu menyandarkan kepalanya di pangkuan pria itu. Senyumnya merekah, ekspresinya ingin tahu. “Jadi kau memungutnya kemari untuk melindungi little birdie?”
Arthur hanya meliriknya. Tidak menjawab. Tidak marah. Pria itu sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan Jean yang seandainya dilontarkan di luar kamar ini, harus dibayar dengan potongan tangan manusia.
Jean menarik tangan kanan Arthur, kepal besar tangan pria itu sebesar wajahnya. Wanita itu mengecupnya, tidak peduli walau tahu banyak nyawa hilang karenanya. Jean mendongak lagi, senyum di wajahnya.
“Anak itu selalu cemburu padaku, lama-lama terasa lucu.”
Arthur melirik tubuh molek Jean, ia mengusap payudara kenyal wanita itu dan meremasnya, lalu terbayang olehnya tubuh anak itu— little birdie. Berjingkat-jingkat dari kamar mandi menuju kamar tamu. Handuk di lilitkan dibawah ketiak keliling tubuhnya. Menggelikan jika mengingatnya, laki-laki pada umumnya hanya melilitkan handuk keliling pinggang, dan anak itu seperti ketakutan kulitnya terlihat oleh mata awam. Bagus. Karena Arthur juga tidak suka membayangkan mata lain melihat kulit anak itu. Kulitnya yang sepucat susu dan tampak begitu lembut seperti pao.
Arthur tersenyum tipis, membayangkan, seperti apa rasanya? Ia suka rasa kenyal dada wanita, Jean terutama. Begitu kecil dalam genggamannya. Tapi Jeon… Ada sesuatu pada anak itu yang membuatnya penasaran. Rasa penasaran yang menakutkan. Arthur menyesap lagi batang gitingnya, barangkali bisa membantu mengusir bayangan kotor itu dari kepalanya.
“Dia menciumku seminggu yang lalu,” ujar Arthur tiba-tiba.
“Oh? Akhirnya? Apa aku perlu berhenti datang kemari mulai minggu depan?”
Arthur mendengus. “Dia kabur setelah itu.”
Mereka punya perjanjian. Apapun yang diucapkan Arthur akan disimpan di kamar ini, tidak akan dibawa keluar, tidak akan ada telinga lain mendengar. Kalau orang lain tahu, Jean bertaruh pada nyawanya. Karena itu juga ia mendapat kepercayaan Arthur, jadi pendengar yang tahu lebih dari siapapun mengenai Arthur. Pria ini membuat orang-orang berpikir Jean hanya digunakan selayaknya pelacur. Tapi Arthur jadi orang yang berbeda setelah pintu ditutup. Ia lebih banyak bercerita, tahu Jean akan menjaga rahasianya.
“Dia hanya bingung, Jean. Membedakan romansa dan rasa kagumnya padaku sebagai figur orangtua.”
Jungkook belum pernah punya ayah sebelumnya dan Arthur sadar ia bersikap terlalu ke-ayahan pada anak itu, terlalu protektif. Ada baiknya jika Jungkook hanya bingung sekarang dan sadar suatu saat nanti. Akan jauh lebih mudah juga bagi Arthur. Mereka tidak bisa bersama. Terlalu berbahaya. Jungkook masih punya masa depan yang bisa dirintisnya, jauh dari dunia gelap dan berdarah Arthur.
“Apa kau selalu sebebal ini soal emosi? That kid loves you, Arthur. Sebagai laki-laki, bukan sebagai ayahnya.”
Arthur menggeser kepala Jean dan berdiri. Itu gesturnya untuk membuat Jean berhenti. Tapi Jean berbalik, tengkurap di atas ranjang, menatap Arthur dengan wajah meyakinkan.
“Dan kau… Saat melakukannya denganku… kau memikirkan orang lain, kan? Jangan sebut siapa, tapi aku yakin kau ingat siapa. Bukan Lana.”
Arthur selalu melakukannya dengan marah setiap kali teringat Lana, selalu bergumul sambil memeluknya saat teringat Max. Dan tiba-tiba saja ia punya gaya yang berbeda setelah little birdie datang di antara mereka. Soft sex. Jean hampir jantungan saat mendengar Arthur menggumamkan baby di tengah-tengah klimaks mereka.
“Stop this non sense now.”
“I like you, Arthur. Hell, you have the most majestic dick I’ve ever feel! Tapi kau berhak egois juga, setelah Lana dan Max. You know?”
“I said, stop, Jean.”
“Kau bisa lembut saat kau mau, kau tidak akan melukai anak itu, Arthur.”
“JEAN.”
Jean mendesah. Dipaksa bungkam saat Arthur menatapnya dengan sorot mata mengerikan itu.
“Okay, I talk too much. Kau mau aku pergi sekarang?”
“Yes, please.”
“Alright, boss.” Jean memungut pakaiannya, menutupi daerah selangkangannya sembari berjinjit mengecup pipi Arthur.
“See you next week,” ujarnya. Lalu menambahkan saat teringat Arthur memintanya datang setiap hari sejak little birdie pergi. “Or anytime you want.”
.
.
.
.
.
Sudah seminggu Arthur menghabiskan waktu di markasnya, menginap disana, makan disana, mengawasi semua project mereka dari sana. Tidak ada yang bertanya, karena toh dahulu sebelum little bird ada, Arthur lebih banyak tinggal di markas ketimbang di rumahnya sendiri. Sebagian besar orang percaya Big Boss sedang mengurusi proyek besar, wajahnya jarang teralih dari tablet. Mereka memang mengawasi 6 lokasi transaksi seminggu terakhir ini, jumlah rawan karena umumnya satu transaksi dipersiapkan selama dua minggu.
Mungkin cartel memang tengah mengurusi proyek besar, tapi pasti ada alasan lain sampai-sampai kesibukan mereka membuat bos besar menghisap ganja lagi setelah sekian lama.
“Aku mau 70 kilogram habis dalam satu minggu, jangan simpan di Detroit.” Terlalu berbahaya. Akhir-akhir ini banyak polisi menyamar jadi pembeli dan masuk ke wilayah Detroit. Membunuh mereka bukan pilihan, karena sama halnya seperti menabuh genderang perang. Hal terakhir yang diinginkan Arthur adalah memancing hidung DEA mengendus hingga ke kotanya.
“150 kilogram untuk pasar di Windsor. Minta Marcos urus sendiri wilayahnya. Oper dan langsung kembali kesini.”
“Yes, boss. Kudengar Marcos berencana ekspansi ke Asia Timur. Jepang, Korea, Taiwan.”
“I know.” Dan mereka melewati Jepang, karena pasar Jepang punya kerajaan yang kuat. Dilindungi mafia kelas berat. Sebaliknya, Korea dan Taiwan cukup lemah untuk diambil alih. Tapi mereka akan perang dengan Yakuza Jepang kalau berhasil bersaing. Dua wilayah itu kekuasaan Jepang hampir setengah abad lamanya.
“Pasar Amerika cukup membuatmu kaya 7 turunan. Untuk apa ambil Asia?” Julien bergeleng-geleng. Dalam hati, Arthur setuju pada ucapan bawahannya itu. Sampai Martin menimpali.
“Itu perintah David.”
I know. Arthur menyahut lagi, namun tidak disuakannya. Ia sangat tidak menyukai rencana itu. Tapi jika David sudah memutuskan, ia tetap akan terlibat. Suka atau tidak. Pria itu butuh tangannya, tangan Marcos, dan tangan cartel-cartel besar yang dibawahinya selama ini. Untuk mengerjakan bagian yang kotor. Sementara David duduk di singgasananya menonton dan menikmati.
Antara ini akan jadi kejayaan semua Cartel di bawah David, atau awal kehancuran mereka. Tidak ada jalan tengah, tidak ada jalan aman. Dengan memutuskan untuk menyentuh teritori lain—yang hampir 7000 mil jauhnya— Arthur dipaksa meletakkan seluruh hartanya di atas meja judi.
Dan Arthur menolak ikut hancur kalau prediksi mereka meleset soal keuntungan ekspansi ini.
Arthur hanya menyatut sedikit orang, yang terdekat dan yang paling dipercayanya. Ia akan membuat kerajaannya sendiri. Tanpa campur tangan David.
“Suruh James datang dengan bawahannya ke rumahku.”
“Yes, boss? Boleh tahu untuk apa?”
“Membersihkan rumahku.”
Pasti sisa pesta semalam. Julien dan Martin saling bertatapan. Sama-sama paham.
“Little bird sedang banyak PR dari sekolahnya?” Julien bertanya, setengah memancing. Padahal mereka tahu apa alasan Arthur meminta orang lain datang untuk mengambil alih pekerjaan Jungkook. Karena anak itu memang tidak ada disana.
“Dia pergi sejak minggu lalu.” Arthur menjawab jujur, datar. Seperti tidak ada pentingnya mengutarakan itu.
“Oh.” Martin melirik Julien, hampir menyikut temannya agar mengatakan sesuatu. Julien juga menatapnya, ingin memaksa balik agar Martin saja yang mengutarakannya. Arthur memergoki tingkah keduanya sehingga Martin terpaksa bicara sebelum ditanya.
“Aku lihat little bird kemarin di St. Broad, masih mengenakan seragamnya.”
Arthur mengerutkan kening. Lalu?
“Dia dipukuli di ujung jalan.” Julien menimpali buru-buru.
Arthur langsung meletakkan tabletnya. Pria itu menatap dua bawahannya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca, tapi matanya berkilat aneh. Julien mundur selangkah, terlalu refleks. Martin masih bisa berdiri tegap, berhadap-hadapan dengan Arthur meski satu dua kali ditangkapnya pria itu menunduk menghindari mata Arthur.
“Siapa?”
“Aku tidak kenal wajah-wajah itu. Dari Cartel Dominic? Atau Miguel? Tidak ada yang tahu. Mungkin kabar soal anak itu tinggal di rumahmu sudah sampai ke telinga Cartel lain.”
“Kau tidak menolongnya?” suara itu pelan, hampir lembut. Tapi wajah itu… sorot mata itu. Tidak ada yang tampak manusiawi dari sana.
Martin sendiri tidak paham apa yang tetap membuatnya berani bersuara,
“Dan membiarkan mereka makin yakin anak itu ada apa-apa denganmu? Siapapun mereka, artinya kabar soal Jeon sudah terdengar sampai luar kota. Kau yakin belum melakukan apapun padanya, boss?”
“What do you think I did to him? He’s a kid, Martin.”
“But not your kid…”
Julien menyikutnya, tapi Martin sudah enggan menyimpan opini yang ditahannya berminggu-minggu.
“He loves you, boss. Bukan seperti ‘anak-pada-ayahnya’ kind of love.”
Oh, Arthur sudah mendengar itu dua hari lalu. Hanya situasinya lebih private saat itu. Hanya ada dirinya dan Jean. Sekarang Martin yang mengucapkannya, memancing lebih banyak mata melirik pada mereka, takut-takut tapi ingin tahu.
“Gara-gara meth itu kau tiba-tiba bicara soal cinta, hm?” Arthur berujar hambar, berusaha mengambil alih topik. Apapun asal bukan dirinya yang jadi subyek.
“Sorry, boss. Martin baru menghisap meth tadi, sudah kubilang padanya ganja saja dan dia tetap ngeyel. Omongannya jadi ngawur.” Julien sudah berusaha, ia bersumpah. Menahan dada Martin mencoba menarik pria itu menjauh sebelum boss mengamuk. Tapi sial, saat nyali Martin sudah sampai ke mulutnya, tidak ada lagi yang bisa menghalangi.
“Tidak ada salahnya menyuruh dia ‘mengantar’ satu dua kali, boss. Sekedar meyakinkan orang-orang dia cuma courier boy.”
“No.“
“Lebih mudah menjaganya kalau dia di bawah pengawasanmu, kau tahu?”
“Martin…” suara Arthur berubah mengancam. Kenapa pula ia harus meyakinkan orang-orang bahwa Jungkook bukan siapa-siapa?
“Sorry! Sorry! Come on, Mart!” Julien berhasil menarik Martin. Pria itu sudah bersedia dibawa pergi, tapi justru Arthur yang memanggilnya lagi.
“Martin.”
Keduanya berhenti dan kembali berpaling pada Arthur.
“Kau yakin mereka datang untuk anak itu? Bukan untuk alasan lain?”
“Kalau benar orang bergosip soal kau ada apa apa dengan seorang remaja. Sudah cukup jadi alasan, menurutku.”
“Kau tahu apa maksudku, Martin.” Bukan itu. Jungkook mungkin jadi pancingan, bantalan yang digunakan cartel lawan untuk menarik perhatian Arthur. Tapi Arthur tahu jelas, ada kemungkinan besar lain yang akan jadi incaran. Kalau sampai terbongkar— “Aku ingin semua tempat itu aman, sampai tepat waktunya untuk perang.”
“Yes, boss!“
“Dan Julien.”
“Yes?”
“Cari siapa dan dimana mereka tinggal, dua orang itu. Aku juga mau tahu siapa yang menyebarkan soal Jeon,” Arthur tidak mendongak saat mengatakannya. Pria itu tampak berpikir keras meski tangannya masih mengutak-atik lembar-lembar kertas. Teringat lagi ucapan Jean olehnya; Setidaknya, amankan anak itu dulu.
“Jangan biarkan seorangpun keluar dari kotaku membawa kabar burung,” pesannya lagi.
Martin berubah tegap, kembali bersemangat. Padahal perintah barusan ditujukan pada Julien. “Apa aku perlu jemput little birdie?”
“Martn!” Julien memukul perut temannya.
Arthur sadar, ia memang tidak diberi pilihan.
“Tidak perlu, Martin. Akan kujemput sendiri.”
.
.
.
.
.
.
Jungkook mulai tidak betah tinggal di rumah Hoseok. Mungkin terbiasa hidup di bawah atap rumah Arthur, menikmati kebebasan. Sekarang kembali ke rumah ini, ia merasa lebih asing lagi. Hoseok lebih senang pergi dengan teman-temannya yang lain sepulang sekolah, teman-teman yang lebih populer. Akhir-akhir ini juga Hoseok jadi lebih gampang marah, satu ketika bicara bahwa Jungkook menyembunyikan sesuatu darinya. Apa yang bisa diprotesnya? Jungkook sendiri menutup-nutupi cerita. Haruskah ia cerita? Bahwa selama ini Jungkook bekerja pada leader cartel Detroit, tinggal di bawah atapnya, bergaul dengan orang-orangnya. Orang-orang yang dianggap kriminal dalam banyak percakapan yang dibuat di rumah Hoseok.
Ibu Jung yang jarang berada di rumah, saat pulang melihat memar di wajah dan tubuh Jungkook. Wanita itu membantu mengobati memar-memarnya, tapi sambil memandanginya setengah tidak percaya.
Kau berkelahi, nak?
Lama-lama, Jungkook melihat raut kecewa di wajah tua wanita itu tiap kali mereka berpapasan di dalam rumah. Jungkook setengah yakin ada cerita-cerita keliru yang dibuat oleh Jinwook dan disampaikan pada Ibu Jung.
Jinwook, jelas, yang paling senang melihat memar di wajah Jungkook. Tampangnya mengejek, dan saat tidak ada yang dengar kecuali anak itu, ia membisikkan,
‘Dia menghajarmu sekarang?’
Pergi, Jinwook. Sebelum kutelpon orang yang kau maksud.
Jungkook hanya berani mengancam, tentu saja. Ia tidak tahu harus berbuat apa kalau sampai nyali Jinwook kembali dan pemuda itu mencoba untuk… memperkosanya lagi… Jungkook terpaksa tidur memeluk sesuatu yang bisa digunakannya untuk membela diri. Pot minum yang kosong, raket tennis, apapun. Berjaga kalau-kalau Jinwook benar-benar berani mencoba.
Sebulan lagi. Ia hanya perlu menyiapkan mentalnya untuk kembali ke rumah Arthur. Memungut tabungan dan barangnya yang lain. Jungkook bahkan meninggalkan ponselnya di rumah Arthur, tidak berniat mengambilnya. Kalau suatu saat ia harus kembali kesana menjemput rongsokan miliknya, Jungkook sudah bertekad tidak akan membawa barang-barang yang dibelikan pria itu untuknya. Untuk apa? Mengingatkan terus bahwa Arthur menolaknya?
Sekarang sepulang sekolah, Jungkook lebih senang berjalan-jalan sendirian. Mengelilingi kota. Tidak punya uang. Tapi itu lebih baik daripada pulang ke rumah. Hoseok dan Ibu Jung tidak akan ada disana, tapi Jinwook ada. Sekalipun tiga hari lalu ia dipukuli di tempat yang sama, di jalan buntu sebelah toko kaset favoritnya. Jungkook menyangka ia akan mati disana hari itu, diserang tiba-tiba sambil dipaksa mengatakan sesuatu tentang Arthur. Mereka melepasnya setelah Jungkook merintih hampir menangis, meyakinkan ia tidak tahu siapa yang mereka maksud.
Mereka melepasnya sambil bertatapan ragu. Mungkin karena penampilannya, seragam sekolahnya, dan penampakannya yang lemah, membuatnya tampak tidak mungkin berhubungan dengan orang sekuat Arthur.
Arthur pasti malu kalau tahu. Pria itu bersikeras membuatnya berlatih bela diri. Percuma.
Harusnya Jungkook menghindari jalan itu. Tapi hari ini pun, Jungkook kembali kemari. Sama seperti dua hari sebelumnya. Dengan perban di jari-jarinya dan memar di tulang pipi. Ia masuk lagi ke toko kaset favoritnya, tempatnya bisa menunggu berlama-lama sampai jam tutup pukul 6. Jungkook akan melangkah ke pojok toko, yang disekat oleh rak-rak tinggi, masuk ke lorong satu arah tempat kaset-kaset game lawas diletakkan pada satu meja panjang bercelah-celah.
Jarang ada orang mampir ke bagian ini. Jadi Jungkook senang berada disana, menguasai ruang panjang 1×3 meter itu seorang diri. Membaca berulang-ulang summary di cover kaset Diablo II sambil merenungi kesialan hidupnya.
“Kau akan beli benda itu atau tidak? Karena aku tertarik membelinya.”
Jungkook tersentak, kaset di tangannya jatuh karena suara familiar itu. Anak itu berpaling dengan dramatis, dan dibuat mendelik saat melihat siapa yang kini berdiri di sampingnya. Hampir setinggi rak-rak kaset, menjulang menghalangi jalan.
Arthur.
Rambutnya diikat ke belakang dan dimasukkan rapi ke dalam beanie. Tanpa rambut panjang yang menjengkelkan itu— Arthur tampak lebih… muda dan tampan.
Jungkook hampir melongo. Tapi buru-buru ditutupnya mulutnya, sebelum ia mempermalukan dirinya sendiri lebih jauh.
“Kau jatuh dimana?” Arthur menautkan alisnya, tidak menyangka memar di wajah Jungkook lebih parah dari bayangannya. Kulit pucat remaja itu jadi terlihat kotor. “Seseorang melakukannya?”
Berhenti menatapku begitu.
“Peduli apa?!” Jungkook membentak galak, “Minggir! Aku mau lewat!” Paksa anak itu sembari berusaha mendorong Arthur minggir dari jalan keluarnya. Tapi sial, baru kali ini tempat persembunyian kecilnya justru jadi jebakan buat Jungkook. Ia tidak bisa keluar kecuali melewati jalan yang kini ditutupi tubuh besar Arthur. Sedangkan Arthur berdiri seperti patung besi yang dipahat langsung ke lantai.
“No, aku mau bicara.”
“NO!” Jungkook menjawab lebih galak.
“Kau boleh lewat. Tapi aku tidak mau minggir.”
Anak itu berusaha, mendorong Arthur, menggeser tubuh pria itu, sampai menyelipkan tubuhnya miring di sebelah Arthur. Tapi Arthur memang berniat menahannya disini. Berkali-kali Jungkook mengerang karena gagal mendorong tubuh Arthur dan malah tubuhnya sendiri yang meleset mundur. Anak itu hampir menangis.
Saat menyerah, Jungkook menatap pria di depannya dengan kejengkelan menjadi-jadi. Airmatanya menggenang, siap tumpah.
“Mau bicara sekarang?”
Arthur menyentuh bahunya, dan ditampik oleh Jungkook. Anak itu merasa perlu melakukannya. Ia masih sangat marah pada Arthur.
“Aku serius bertanya waktu itu. Kau bosan hidup? Tidak takut mati?”
“Kenapa? Baru sekarang ingin membunuhku?”
“Kalau kau bosan hidup dan tidak takut mati, kita boleh coba lagi.”
Jungkook menatap pria itu, tidak kuasa menahan amarah. Dipukulnya dada Arthur menggunakan kepala tangannya yang kecil. Arthur bergeming, tidak terpengaruh sama sekali sedangkan luka di buku-buku jari Jungkook merongrong lagi. Warna merah meluas di perban-perban putih. Arthur melihatnya. Saat Jungkook memberi ancang-ancang akan memukul lagi, pria itu menangkap tangannya.
“Stop, Jeon.” Arthur menariknya dekat, seperti akan memeluk. Tapi pria itu hanya memegangi tangannya, menahannya bergerak. “You want to try, right? With me, yes?”
“Aku tidak mengerti,” bisik Jungkook dengan airmata berlinangan. Bingung itu airmata hasil amarahnya atau hasil harapan yang tiba-tiba membumbung lagi, sesak berhenti di tenggorokan.
Coba apa?
“Ada 43 cartel di seluruh Amerika. Kalau mereka tahu aku bermain dengan burung kecil sepertimu, mereka akan mengincarmu. Kau bersedia diincar penghuni neraka seperti itu? Pengedar narkoba, mafia, pembunuh…”
Jungkook tertegun, lalu lamat-lamat keningnya bertaut. Ada kesadaran aneh menyusup dalam hatinya. Pria ini tengah bernegosiasi dengannya… soal?
“Jadi yang kemarin—” Jungkook mencicit, agak takut mengatakannya. Ia tidak mau ditolak dua kali. Sekali sudah menyakitkan. Tapi sekarang, barangkali… “—kau bukan menolakku? Bukan tidak suka padaku?”
“Lain kali, jangan terlalu banyak nonton telenovela. Tidak sopan kabur saat orang tua bicara.”
“Aku tidak nonton telenovela! Dan— dan kau bukan orangtuaku!”
“Pakai spasi, orang-tua. Bukan orangtua.”
“Kau datang kemari untuk marah-marah?!”
“Jadi kau takut mati atau tidak?”
“Aku tidak takut!”
“Begitu?”
“Aku tidak mau main-main. Aku juga bukan burung.”
“Lalu?”
“Aku mau…” anak itu dibuat gugup lagi. Ia memandangi kakinya, lalu mendongak menatap Arthur, dan kembali menunduk lagi. “Aku mau jadi pacarmu, Arthur. Tapi kau tidak mau punya pacar.”
“Kata siapa?”
“Hah?”
“Kata siapa aku tidak mau punya pacar?”
“Kalau begitu harusnya kau yang bertanya!”
“Tanya soal?”
“Mau jadi pacarku.”
“Mau.”
“Aku menyuruhmu bertanya, Arthur!”
“Tapi sudah kujawab ‘ya’“
“Masa bodo! Ulang!”
“No. Kita sudah official, apa lagi yang harus diulang?”
“Ulaaang!” Jungkook menghentakkan kakinya marah, wajah anak itu sudah basah oleh airmata.
Arthur bingung harus iba atau geli melihatnya, pria itu tertawa kecil dan bergeleng-geleng.
“Alright, alright, little bird,” sahut Arthur, hampir-hampir dengan suara lembut. Pria itu mengangkat Jungkook lewat ketiaknya. Didudukkannya anak itu di atas display kaset. Agar mereka bisa saling bertatapan dengan lebih sejajar.
Arthur sudah berpikir seribu kali sebelum ia datang kemari. Aku berhak egois, putusnya setelah melewati drama yang dibuat bawahannya dua minggu terakhir. Tiba-tiba saja banyak orang mendukungnya ‘mengklaim’ little bird. Memaksa Arthur berpikir siang malam soal keputusan-keputusan dan masa depan.
Anak itu sekarang menatapnya, duduk tegang menunggu. Jungkook sangat takut Arthur berubah pikiran.
“CEPAT!”
Arthur mendengus, merasa agak geli saat dipaksa mengucapkan ini,
“Mau jadi pacarku?”
“Sebut namaku!” Jungkook protes, tidak terima. “Ulang!”
“ALRIGHT ALRIGHT. Jeon Jungkook, little bird, kau mau jadi pacarku?”
“Aku mau, Arthur!” Jungkook menjawab cepat-cepat dan melonjak memeluk Arthur.
Arthur tertawa dan balas memeluk tubuh kecil Jungkook. Ini pertama kali mereka berhimpitan seerat ini, dada bertemu dada. Ia bisa merasakan degub jantung Jungkook berderu kencang di atas kulitnya. Arthur tidak ingin mengingkari lagi, ia ingin menikmatinya kali ini. Merasakan kepala itu di bahunya, kulit lembut Jungkook menyentuh lehernya… seperti dalam mimpi-mimpinya yang berdosa. Anak ini masih begitu muda. Tapi juga bukan anak-anak, sudah berhak memutuskan dengan siapa ia ingin menjalin hubungan.
Mungkin mereka membuat kegaduhan disana, seorang penjaga toko datang melongo ke lorong mereka dan agak terkejut melihat remaja tengah berpelukan dengan pria raksasa.
“Lihat apa?”
Pelayan itu buru-buru kabur setelah dibentak Arthur. Tidak ingin cari masalah.
“Itu ciuman pertamaku. Yang kemarin itu…” ucap Jungkook setelah melepas pelukan.
“Apa kau dapat ciuman kedua setelah menghilang hari itu?”
Jungkook menggigit bibirnya, lalu malu-malu anak itu mencondongkan tubuhnya. Mengecup Arthur, selembut kali pertama.
“Ini yang kedua.”
Arthur menjilat bibir bawahnya, menahan senyum. Karena sudah memutuskan untuk tidak menahan diri, pria itu bergerak refleks, lebih santai kali ini. Ditariknya tengkuk Jungkook dan diciumnya lagi bibir remaja itu.
“Dan ini yang ketiga,” Arthur pindah ke pinggir bibirnya, ke pipinya, tengkuknya, dagunya.
“Keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan.”
“Stop, Arthur!” Jungkook tergelak, geli, berusaha melepaskan diri. Janggut dan kumis pria itu menggesek bagian sensitif di lehernya.
“Well, you want this, birdie.” Arthur belum ingin mengampuni anak itu. Direngkuhnya tubuh Jungkook agar anak itu tidak bisa kabur kemana-mana, lalu dihujaninya wajah lembut itu dengan ciuman-ciuman. Ini pertama kalinya, Arthur diizinkan melepaskan emosinya pada Jungkook. Setelah berbulan-bulan menahan diri—terbayar hanya lewat mimpi— kini kulit pucat wajah dan leher Jungkook terpapar di depannya, bersentuhan dengan bibirnya dan selembut dalam bayangannya.
Jungkook berjuang membebaskan diri. Sampai terdengar deting ponsel Arthur. Anak itu selamat, setidaknya untuk sejenak.
Kami sudah menemukan mereka.
Arthur membuka pesan itu.
Dari Cartel Abel. Kesini memang mencari Jeon. Tapi tidak dapat apa-apa. Anak itu mengaku tidak kenal denganmu. Martin mengecek ponsel mereka. Keduanya memberi laporan yang sama pada Abel— bahwa Jeon bukan siapa-siapa.
Kalau begitu mereka bisa disingkirkan dengan lebih mudah. Arthur mengusap kepala Jungkook, diam-diam merasa bangga. Arthur yakin sekali ia tidak sedang menyunggingkan senyum, tapi Jungkook menatapnya ingin tahu.
“Ada apa? Kau chat dengan siapa?”
“Julien. Urusan bisnis,” ujarnya sembari mengembalikan ponsel ke dalam saku setelah mengirim balasan.
Bawa ke kabin dan selesaikan disana.
“Arthur…”
“Hm?”
“Jadi kau… sudah cinta padaku?”
“Belum,” Arthur tidak ingin berdusta. Tentu saja emosinya belum sedalam itu. Walau jika ditanya, pria itu bersedia membunuh seseorang demi anak ini.
Tapi Jungkook, tipikal remaja yang baru mengenyam cinta sungguhan, langsung terdiam. Senyumnya hilang.
“We’ll learn, alright?” Arthur menambahkan buru-buru.
“Alright.”
“Come. Sudah siap mati, kan?” Arthur mengulurkan tangannya, yang diterima cepat-cepat oleh anak itu.
Arthur merangkul Jungkook, ditariknya kupluk jaket anak itu sampai menutupi kepala. Jungkook bermaksud menurunkan kembali dengan risih, tapi Arthur mencegahnya.
“Jangan diturunkan.”
“Whyy?”
“Kau jadi mirip Red Riding Hood. Aku suka dongeng itu.” Dan aku tidak ingin ada yang melihat kita jalan bersisian, Arthur menambahkan dalam hati. Ia sengaja memarkir mobilnya dekat dari sini agar mudah dihampiri.
Jungkook menatapnya aneh, seakan yang barusan bicara bukan Arthur Dechlan tapi orang lain.
.
.
.
.
.
Drug Enforcement Administration (DEA) (/di.iˈeɪ/) : Penegak Hukum Narkoba Pemerintah adalah lembaga penegak hukum federal Amerika Serikat di bawah Departemen Kehakiman dan FBI, bertugas memerangi penyelundupan narkoba dan penggunaan di Amerika Serikat.
Aku beberapa kali mention soal DEA di Wild Heart dan Beyond Borders. Daniel di Beyond Borders juga kerja di bawah DEA sekaligus FBI.
Seperti biasaaaaa, jangan lupa vote dan komennya nih aku sogok pake om lagihhhh
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Braven – 14. Credence
Author: Miinalee -
🔒 Braven – 12. Disclosure
Author: Miinalee -
🔒 I Feel You pt.2 (NC)
Author: _baepsae95 -
🔒 Baby Daddy Special Epilogue
Author: Perigigibts
Reviews
There are no reviews yet.