Tiny Toes – 8. Cravings

Author: Miinalee

Kata orang, kelakuan orang hamil memang ada-ada saja. Apalagi saat ngidam terjadi, kalau bisa diputar waktu agar matahari terbit pukul 6 sore dan terbenam pukul 6 pagi, pasti Jungkook sudah memintanya terjadi.

Di bulan saat mereka mengetahui kehamilan Jungkook, rasa-rasanya semua orang bahagia… kecuali Jungkook sendiri. Tapi pemuda itu tahu orang-orang bersedia melakukan apapun untuknya, menuruti semua keinginannya, setidak-masuk akal apapun.

Jadi satu hari yang amat dingin di musim gugur, Jungkook ingin berendam. Bukan di jacuzzi dalam genangan air panas. Jungkook ingin melakukannya di luar sambil menatap daun-daun mapel berguguran. Tawar menawar terjadi,

Jacuzzi dipindah keluar, ya?”

Jungkook mencemooh.

“Aku mau kolam renang.”

Jadi dua belas penjaga terpaksa membantu Martin dan Julien menguras air kolam renang itu dan menggantinya dengan air panas, yang tentu saja makan waktu dan usaha. Karena tiap sekian liter air masuk kesana, hawa panas air menguap dan berubah dingin dengan segera. Melihat usaha keras semua orang, bermandi peluh dan keluh kesah, sampai hair wax Albert yang tadinya silver berubah abu-abu, membuat Jungkook tertawa puas.

Tepat saat air hampir memenuhi kolam, tidak sepenuhnya panas, tapi cukup hangat, anak itu berkacak pinggang di pintu dan berujar,

“Sudah penuh? Kalian boleh berendam disana.”

Lalu Jungkook masuk ke dalam rumah sambil cekikikan, memutuskan tidak ingin berendam lagi.

Kejadian itu masih sering jadi bahasan diam-diam yang kerap terdengar oleh Arthur, yang mewajarkannya sambil tertawa, masih bisa bahagia melihat penderitaan bawahannya. Sampai pria itu sendiri yang harus menghadapi ngidam istrinya.

Transaksi langka sekali bisa dilakukan di Baltimore, di markas yang dekat dari akademi terbesar FBI? Tapi minggu itu, mereka sungguhan harus bertransaksi di kota itu, membuat Arthur bisa pulang ke rumah Jungkook dan menghabiskan waktu lebih banyak bersama istrinya.

Arthur sudah membayangkan 1001 jurus kamasutra untuk ditekuninya selama menginap di rumah Jungkook. Harapan itu membumbung bagai petasan di langit malamnya yang kelam, melihat cara Jungkook menyambutnya dengan senyum manis merekah.

Arthur belum memijakkan kakinya turun dari mobil saat Jungkook memberondong dari ruang depan.

“Berhenti disana! Berhenti disana!” jegat Jungkook sambil berlari-lari kecil, membuat orang-orang panik melihat Jungkook bergerak kelewat lincah dengan perut besar itu. Arthur yang merentangkan tangan paling lebar, siap menangkap pemuda itu.

“Menunduk sedikit.” kata Jungkook saat Arthur memeluknya.

Baru Arthur menyadari Jungkook membawa-bawa karangan bunga. Pria itu tertawa tanpa suara, dan menurut, menunduk, membiarkan Jungkook memasangkan kalung karangan bunga itu ke lehernya.

“Welcome, Arthur.” Jungkook berjingkat, menarik tengkuk suaminya dan mengecup bibir Arthur malu-malu. “Ini kali pertamamu datang kesini.”

Bayangan dirinya mengulen Jungkook di atas ranjang langsung membanjir bagai bandang. Mana sanggup Arthur menahan diri lagi. Apalagi ditatap dengan tampang semanis itu, senyum selembut itu, yang mungkin cuma terjadi sekali dalam setahun. Dikecupnya wajah Jungkook berulang-ulang, di pipinya, di keningnya, di pinggir bibirnya, tidak peduli ada belasan penonton. Sambil  berangkulan mereka masuk ke dalam.

Tapi hot time yang diharapkan Arthur menguap sudah. Saat dilihatnya ada miniatur rumah boneka digelar di ruang tengah, lengkap dengan lusinan boneka Barbie dan Kent. Disusun rapi hampir tampak saling berinteraksi, selayaknya satu perumahan mewah nan makmur. Dengan horror Arthur menyadari, hampir seluruh boneka itu tanpa mengenal gender, dipasangi wig panjang awut-awutan.

“Kau percaya kalau kubilang bayi kita perempuan? Kadang dia menyuruhku main PES, kadang Metal Gear, tapi sekarang… sekarang aku sedang gemar Mattel, Arthur. Duduk disini temani aku.” kata anak itu sambil menepuk-nepuk ruang di sisinya. Arthur hampir mengaum meneriaki Julien yang terlihat sekali sedang buru-buru kabur. Namun tangan Jungkook hinggap di atas pahanya, begitu ganjil senyum yang terulas di bibir anak itu.

“Rambut pirangnya cantik sekali, kan? Kuharap putriku berambut pirang.”

Gatal sekali Arthur ingin membalas, ‘Kau lihat rambutku? Lihat warna rambutmu? Warna rambut kita? Kalau diulen bersama tetap tidak akan jadi pirang.’

Tapi Arthur lebih tahu kapan untuk menahan mulutnya, kapan sebaiknya tidak bicara.

“Rambutmu tambah panjang, daddy.”

Boleh dibilang, Arthur paling suka saat Jungkook memanggilnya begitu. Tapi di situasi ini, saat istrinya menggenggam sebongka barbie, sambil memanggilnya daddy, dan membahas rambut panjangnya? Arthur tahu kemana arah pembicaraan akan menuju.

“Kau belum makan, kan? Mau makan malam bersama?”

“Sebentar saja, daddy!” Jungkook tergopoh-gopoh berusaha bangun sambil memegangi perut. Ia bermaksud berdiri di belakang Arthur, sudah hampir menggenggam rambut suaminya. Arthur menangkap tangan itu, sebelum terlambat.

Arthur menyayangi anak ini, lebih dari apapun, kalau dirinya diminta berperang tumpah darah pasti akan dilakukannya demi Jungkook. Tapi soal harga diri? Ditawar untuk duduk anteng sementara Jungkook bermain dengan rambutnya… bukan dengan cara sensual yang biasa, tapi dengan selusin jepit dan karet rambut? Arthur kelepasan,

“Kau sinting?!” bentaknya sambil mendelik, ditariknya tangan anak itu hingga Jungkook berdiri berhadapan dengannya. Jungkook pintar bersandiwara, Arthur sudah mengenalnya. Tapi saat itu, pemuda itu jelas tersentak sungguhan. Matanya membulat kaget dan wajahnya tegang.

“D-Daddy?” katanya, lirih sekali. Jungkook tampak ketakutan. Lalu kemudian matanya berkaca-kaca. “I’m sorry? Kau lelah ya, oke. Oke. So sorry, daddy.” 

Jungkook menarik tangannya, mengusap bagian yang digenggam Arthur barusan. Anak itu berbalik buru-buruk bermaksud pergi ke kamarnya. Kalau Jungkook sedang melancarkan drama, pasti anak itu tidak akan langsung lari, pasti ditunggunya hingga Arthur merespon. Jadi Arthur tahu mungkin dirinya yang bersikap keterlaluan, apalagi saat dilihatnya remasannya di pergelangan tangan Jungkook meninggalkan ruam samar.

Arthur mengejarnya buru-buru, ditangkapnya anak itu sebelum Jungkook melewati pintu. Makin menggebu rasa bersalahnya saat Jungkook berbalik padanya dengan wajah penuh airmata.

Wait-wait. I’m just kidding, baby,” katanya panik, sambil mengusapi airmata di wajah pemuda itu.“You can do it, baby. You can do it.”

Dunia boleh berputar balik, Arthur berpikir. Asal Jungkook berhenti menatapnya dengan tampang semengenaskan itu.

“Benar boleh, ya?”

“Ya!”

“Jangan marah ya?”

“Ya!”

Jadi begitulah, Arthur berakhir dengan dua cepol di kepalanya, dengan kalung karangan bunga di lehernya, dan tidak diizinkan untuk menanggalkannya hingga Jungkook mengucapkan kata kunci “Aku bosan”. Anak itu tidak bosan, hingga keesokan paginya.

Dan seharusnya berlalu seiring trimester kedua menuju trimester ketiga

Dan seharusnya berlalu seiring trimester kedua menuju trimester ketiga. Untuk Jungkook, Arthur merasa, semakin waktu justru kelakuan pemuda itu semakin menjadi-jadi.

Memang sudah dua minggu ia tidak mengunjungi istrinya. Terlalu banyak transaksi yang harus dilakukannya, dan lebih banyak di luar Amerika. Jadi siang itu saat menerima panggilan telpon Julien, Arthur sudah tahu bukan bawahannya yang punya hajat untuk bicara.

Suara Julien gagap, tanpa tujuan, menanyakan kabar Arthur sambil gemetaran.

Sayup-sayup suara teriakan Jungkook terdengar dari belakang panggilan.

“Suruh dia kemari! Sekarang juga!”

“Senang mendengar kabar baikmu, bos. Kututup telponnya dulu, bos.

” JANGAN DITUTUP! JULIEN! IMMA CUT YOU IN HALF, SURUH ARTHUR KEMARI!”

Dia minta sesuatu, Julien?” Arthur menebak. Kenapa tidak menghubunginya langsung? Kenapa menyiksa Julien dengan menyuruh pria itu menelpon bos besar? Jungkook menyukai alur yang lebih panjang, Arthur paham… tapi juga tidak paham.

“Aduh!”

Arthur hampir mati bosan menunggu Julien terus terang atau Jungkook merebut ponsel dan bicara langsung padanya. Tapi hampir ditutup telponnya, hal yang didengarnya malah suara rintihan tiba-tiba Jungkook, samar, tapi Arthur mendengarnya.

“Ada apa?” katanya sambil duduk tegap. Ia sudah berkendara tiga puluh menit menuju pelabuhan. Siap mengunjungi klien.

Sakit, Angel!”

Suara kasar Jungkook berubah serak, seperti bercampur tangis, Arthur menimbang. Sedang sungguhan mendengar yang dipikirnya atau tidak.

“Tidak apa-apa, bos. Lil bos hanya-“

Arthur memutus panggilan, ditepuknya bahu Almitrage, “Putar arah. Ke Baltimore sekarang.”

.

.

.

.

Padahal bukan sekali Arthur dikibuli. Tapi sejam perjalanan darat ditempuhnya buru-buru demi segera sampai kemari, amarahnya terlalu membara sampai Arthur tidak bisa merespon lagi.

Jungkook berdiri sehat dan utuh di hadapannya. Malahan tadi saat melihat Arthur sungguhan mengunjunginya, Jungkook berlari ke depan, hampir tersandung, memancing Jean memekik tetakutan. Jungkook malah cengengesan, begitu cerita melihat kehadiran suaminya. Tidak ingat lagi untuk memberi kecupan sambutan, langsung saja ditagihnya;

“Buka baju. Cepat! Buka! Buka! Buka!” paksanya sambil menarik-narik kemeja flanel Arthur.

“Jesus!” desis Arthur, sambil mau tidak mau menanggalkan kancing kemejanya. Jungkook membantu dari kancing terbawah. Begitu kemeja beraroma keringat bercampur parfum sampai di tangannya, anak itu memekik senang, mengendus kaus itu beringasan sambil berbalik, meninggalkan semua orang yang terheran-heran.

“Jadi aduhnya tadi persoalan apa?”

“Dia mengejar Martin. Kelingkingnya terbentur kaki meja.”

Arthur mengumpat, sudah niat membentak Jungkook agar anak itu belajar bahwa suaminya harus bekerja. Arthur harus mencari nafkah demi masa depan keluarga kecil mereka.

Tapi saat Arthur menyusulnya ke kamar, Jungkook setengah bertelanjang. Perut buncitnya mengilap pucat dan pemuda itu hanya mengenakan celana dalam yang melilit longgar di pinggangnya dan melindungi paha atasnya saja. Arthur membanting pintu kamar.

“Kenapa?” tanyanya tanpa dosa, sambil mengenakan kemeja Arthur, yang menjuntai hingga ke paha bawahnya.

“Kau menyuruhku kemari cuma untuk ini?”

“Aku tidak bisa tidur.” katanya sambil memanjat ranjang, berkali-kali menyesap aroma di kerah flanel itu lalu cekikikan senang. Jungkook melengkung di atas ranjang, bagai kucing, menggeliat kesana-sini dengan perasaan riang. Begitu puas rasanya berbaring nyaman disana sambil terbalut pakaian dengan aroma yang diidamkannya sejak semalam. Persoalan ada pria raksasa setinggi hampir dua meter berdiri di dekat ranjangnya sambil menatapnya penuh amarah, ah… bukan hal besar.

“Kau menyuruhku kemari… KARENA TIDAK BISA TIDUR?”

“Ya. Tapi sekarang, sepertinya bisa. Aku ngantuk, night daddy.”

Fuck my life.” 

I love your scent, Daddy. Ehe.” 

Arthur ikut memanjat ranjang itu, ditariknya pinggang Jungkook, hingga mereka berdempetan.

Kau mau aroma yang lebih lama membekas?”

Nggg.” Jungkook hanya mengerjap-ngerjap. Tidak mengiyakan, tidak juga menolak. Dibiarkannya saja saat Arthur menjarahnya disana, yang penting ia tidur dalam balutan kemeja Arthur.

.

.

.

.

.

Anggap aja kurang lebih adek dalam flanel begini, tapi harusnya lebih gombrong lagi kwkwkw:

Anggap aja kurang lebih adek dalam flanel begini, tapi harusnya lebih gombrong lagi kwkwkw:

EIYAAAAA

potong lagi semutnya wkwkwkwkkwkwkwk

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Tiny Toes – 8. Cravings”
Beranda
Cari
Bayar
Order